Powered By Blogger

Jumat, 12 Agustus 2011

Pengaruh Fiskal Stress Terhadap Pertumbuhan Pendapatan Asli daerah


I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan (manajemen) pemerintah daerah mengalami perubahan yang sangat berarti sejalan dengan diimpementasikannya otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang permibangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan arti penting bagi sistem pemerintahan pusat dan Daerah, serta sistem hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. (Undang-Undang tersebut disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Keduan ketentuan perundangan ini memberikan kesempatan yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan berbagai potensi yang di mililki.
Otonomi daerah disatu sisi memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah, namun disisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemandirian untuk mengelola dan mengatur rumah tangga sendiri akan terwujud dengan baik apabila dukugan (partisipasi) publik (Adi,2007), hal ini relative akan dapat terwujud bila terjadi proses distribusi, baik pada kebutuhan masyarakat maupun perolehan serta pembagian pendapatan untuk daerah dan masyarakat secara merata.
Sementara itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai tingkat kesiapan yang berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerian daerah. Dimana beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki sumber-sumber penerimaan yang potensial, yang berasal dari pajak, retribusi daerah, maupun ketersediaan sumber daya alam yang memadai yang dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan daerah. Namun disis lain bagi beberpa daerah, otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mengalami peningkatan tekanan fiscal (Fiscal Stress) yang lebih tinggi dimana daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.
Adanya kewenangan yang lebih luas yang di berikan pusat tidak hanya diindikasikan akan mempengaruhi pendapatan daerah. Penelitian  ini dimaksudkan untuk melihat bagaimanakah takanan fiscal (Fiscal stress) dalam otonomi daerah dalam mampengaruhi pertumbuhan pendapatan khususunya pada kabupaten Gowa. Dimana Kabupaten Gowa sebagai daerah yang cukup potensial dikembangkan manjadi daerah yang berotonomi, bahkan telah menjadi daerah percontohan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Sulewesi Selatan. Terkait dengan hal itu, pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah kabupaten Gowa diharapkan semakin mandekatkan diri dalam barbagai kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tinggkat partisipasi (dukungan) publik terhadap pemerintah daerah itu juga semakin tinggi (adi,2007).
B. Masalah Pokok
Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah sejauh manakah pengaruh fiscal stress terhadap peningkatan pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD) dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah, khususnya pada Kabupaten Gowa,
C. Tujan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujan penelitian dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat  pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang mengalami peningkatan tekanan fiscal (Fiscal Stress), dimana daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka meningkatkan kemandirian daerah dan untuk mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat,
2. Kegunaan Penelitian
Sedangkan manfaat yag diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a. sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan, terutama pemerintah kabupaten Gowa terkait dengan pemanfaatan dan peningkatan potensi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
b. sebagai referensi dan informasi bagi mahasisiwa maupun masayarakat, untuk mengetahui tentang kinerja Kabupaten Gowa, khususnya pengelolaan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
 II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pentingnya Otonomi Daerah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negative bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Di satu sisi, krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan, namaun di sisi yang lain, krisis tersebut dapat juga memberi ‘’ berkah tersembunyi’’ bagi upaya peningkayan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan datang. Mengapa? Karena krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total bagi suluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia.  Tema sentral reformasi tersebut adalah mewujudkan masarakat madani, terciptanya good governance. dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibel sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi diberbagai bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada kabupten dan kota, tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar dimasa yang lalu telah menimbulkan mesalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembagunan dan kehidupan demokrasi di daerah  (Mardiasmo, 1999). Arah dan statutory requiremet (persyaratan hukum) yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehinga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagi tujuan, dan bukan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumberdaya manusia daerah yang dirasa masih relative lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sabagai prasyaratan untuk persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya , Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap (shalt, et.al., 1994). Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta mamperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (bastin dan semoke, 1992 dalam shat, et.al., 1994).
Kedua, tuntutan pemberian otonomi daerah itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules ( aturan baru) pada semua aspek kehidupan manusia di masa yangakan datang. Di erah seperti ini dimana globalization cascade sudah semakin maluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlau besar untuk meyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelsaikan semua masalah yang di hadapi oleh masyarakat (shad,1997)
B. Desentralisasi Fiskal
Dalam  Tap MPR No XV/MPR/1998 tentang “penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat Dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatauan Republik indonesia’’ Tap MPR tersebut merupakan landasan hokum keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan segerah membawa angin segar bagi pengembagan otonomi daerah. Kedua Undang-undang tersebut kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004. Kedua ketentuan perundang-undangan ini memberi kesempatan yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan potensi  yang dimiliki.
Misi utama kedua Undang-ungang terseburt adalah Desentralisasi, Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah (daerah), tetapi juga pelimpahan beberapa wewenag pemerintah ke pada pihak swasta dalam bentuk privatisasi.  Pada masa yang akan datang, pemerintah pada semua tingkatan harus fokus pada fungsi-fungsi dasarnya, yaitu : penciptaan dan modernisasi legal dan regulasi; pengembagan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya yang efisien; pengembagan kualitas sumberdaya manusia dan infrastruktur; melindungi orang-orang yang rentah fisik dan nonfisik; serta meningkatkan dan konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997).
Selanjutnya beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) juga sedang disiapkan. Semuanya dimaksudkan untuk memperjelas bahwa kita menginginkan pemerintahan daerah yang otonom yang efisien, efektif, akuntabel, trasparan dan responsive secara berkesinambugan. Arah seperti itu adalah keharusan, karena dengan model pemerintahan tersebut pembagunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuruh tanah air dapat dilaksanakan. Pada satu sisi, pembagunana dengan model pemerintahan di seluruh wilaya di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Disis yang lain, kebijakan desentralisasi itu akan menghasilakan wadah bagi masyarakat setempat dalam berpartisipasi bahkan perperan serta dalam menentukan priroritas dan preferensinya sendiri dalam meningkatkan taraf hidup sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan nasional.
Salah satu peratuaran pemerintah yang telah disipakan pemerintah pusat adalah peraturan pemerintah tentang keuangan daerah. Peraturan ini lebih konkret dan lebih jelas dengan titik berat pada koreksi total semua kesalahan di masa yang lalu, dan keristalisasi semangat reformasi yaitu pemerintahan yang bersih, jujur,terbuka, akuntabel, dan responsive, serta berorientasi pada kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produkti melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Konsekuensi dari pelimpahan wewenang pemerintah dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, saran dan prasarana, serta sumberdaya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk merealisasikan ketentuan tersebut, maka pemerintah mengeluarakan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerinta Pusat-Daera dan telah disempurnakan dalam UU Nomor 32 tahun 2004.
Secara singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiscal adalah suatu proses distribusi angaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan. Jumlah bidang pemerintahan yang menjadi tangguang jawab di Indonesia adalah sama di antara level pemerintah kabupaten atau kota, serta di antara pemerintah provinsi. Namun, dengan otonomi daerah, kewenangan daerah kabupaten atau kota kini menjadi lebih besar dibanding provinsi ataupun pusat. Bagaimana masing-masing daerah melaksanakan kewenangannya tergantung kepada daerah yang bersangkutan sesuai dengan kreativitas, kemampuan organisasi pemerintah daerah, serta kondisi setiap daerah.
Dalam melaksanakan desentralisasi fiscal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatiakan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenagan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivative dari kebijakan otonomi daerah, pelimpahan wewenang pemerintah pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas desentralisasi, prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintah atau pelayanan publik sedapat mungkin dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang maksimal.
Roy W. Bahl (1999) mengemukakan dalam aturan yang kedua belas disebutkan bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan di antara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik, pemerintah local berlombah-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh masyarakat, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar, peningkatan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan dan lain-lain.
Sistem hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah. Konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah konsekuensi dari adanya tangguang jawab terhadap kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah. Karena itu setiap tingkatan pemerintah berkepentingan terhadap kebijakan desentralisai fiscal. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pusat pun masih mempunyai kewenangan pemerintahan. Artinya, kewenagan pemerintah pusat bukan kewenangan yang tersisa sepeti diungkapkan oleh beberpa pakar ekonomi. 
C. Fiscal Stress
Salah satu aspek dari pemerintah yang harus diataur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang di ketahui, anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran Daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.  Angaran daerah di gunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar  untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi proritas dan preferansi daerah yang bersangkutan.
Dengan di berlakuakannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retrribusi daerah, yang kemudian disempurnakan kembali dalam undang-undang No. 28 Tahun 2009 pada tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010. Undang-undang ini lahir dengan mempertimbangan bahwa undang-undang No 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang NO 34 Tahun 2000 perlu di sesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.
Hal-hal yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam undang-undang PDRD dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang  No 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kapupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiabn mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pengutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undang-undang.
Pengaturan kewenangan pajak dan retribusi kurang mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi daerah.
Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaranya. Sobel dan Hocombe (1996) dalam andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan di sebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan dalam menghadapi persoalan ini bisa mengalami tekanan fiskal (fiscal stress) manjadi semakin tinggi di karenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang di tunjukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada.
Shamsub & Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya fiscal stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1. menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama terjadinya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi
2. menekankan bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran industry sebagai penyebab utama timbulnya fiscal stress. YU dan Korman (1987) dalam (shamsub & Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran industry menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan fiscal stress.
3. menerangkan fiscal stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub & Akoto, 2004) menunjukan bahwa sebahagian dari peran ketidak efisienan biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab fiscak stress.
Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran sacara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontorl anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan pajak dan retribusi. Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melapaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerinyah pusat. Dalam erah ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat fiscal stress tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Uapaya pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
D. Pendapatan Asli Daerah
Dari tahun ke tahun kebijakan mengenai pendapatan asli daerah (PAD) di setiap daerah propinsi, kabupaten dan kota relative tidak banyak berubah. Artinya, sumber utama pendapatan asli daerah (PAD) komponennya itu-itu juga yang terdiri atas pajak daerah, rertibusi daerah, dan bagian laba dari BUMN. Hali ini lebih dipengaruhi oleh kebijakan fiscal (national Fiscal Policy) pemerintah pusat mengandalkan penerimaan jenis pajak yang “subur” untuk kepentingan nasional.
Setelah desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah (pemda) berlombah-lombah menciptakan “kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) di masimg-masing daerah. Akan tetapi , pertanyaannya adalah apakah dengan peningkatan pendapatan Asli Daerah (PAD) pemerintah daerah (pemda) mampu melaksanakan seluruh kewenagannya? Apakah dangan meningkatkan pendapatan asli daerah merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan desntralisasi atau otonomi daerah?
Selama pendapatan asli daerah (PAD) benar-benar  tidak memberatkan atau membebani masyarakat lokal, investor lokal, maupun investor asing, tentu tidak masalah. Dan dapat dikatakan bahwa daerah dengan Pendapatan asli daerah (PAD) yang meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara mandiri tanpa tergantung dana pusat.
Sebaliknya jika pendapatan asli daerah (PAD) justru berdampak terhadap perekonomian daerah yang tidak berkembang atau semakin buruk, maka belum dapat dikatakan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Pemahaman kemana sebenarnya pergerakan otonomi daerah , masih kurang. Mereka berfikir otonomi daerah hanya untuk memperoleh pendapatan asli daerah (PAD)  sebesar-besarnya. Itu presepsi yang salah. Tujuan dan sasaran pemberian otonomi daerah dalam artian wewenang yang luas kepada kabupaten dan kota adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) tampa mempertimbangkan bahwa ini sangat memberatkan masarakat lokal, investor lokal dan investor asing, justru menghambat perkembangan perekonomian daerah terutama dalam erah kompetitif yang berlaku sekarang. Dimana pelayanan terbaik dan iklim usaha yang kondusif ikut menentukan investasi di daerah.
Pendapat asli daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok pendapatan asli darah (PAD) dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan yaitu:
1. Pajak daerah.
2. Retribusi daerah.
3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang di pisahkan.
4. lain-lain Pendaparan Asli Daerah (PAD) yang sah.
Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan pandapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak secara umum adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapatkan prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung
Berdasarkan UU No 34 Tahun 2000 yang dimaksud dengan “pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerinta daerah dan pembangunan daerah’’
Dari defenisi diatas jelas bahwa pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang  (wajib pajak) tanpa terkecuali). Ditegaskan  pula bahwa hasil pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.
Retribusi Daerah
Disamping pajak daerah sebagai mana disebutkan sebelumnya, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi rertibusi atau perizinan yang diperoleh dalam undang-undang. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipunggut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang di berikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
Yang dimaksud rertibusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah (pemda) untuk kepentingan orang atau badan.
Perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh karena itu, tarif rertibusi bersifat fleksibel sesuai dangan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanankan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.
Hasil kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup :
1. Bagian laba atas peyertaan modal pada perusahan milik daerah/BUMD
2. Bagian laba atas penyertaan modal perusahan milik Negara/BUMN
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik suasta atau kelompok masyarakat.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerinta daerah (pemda). Rekening ini di sediakan untuk mengakuntansi penerimaan daerah selain yang disebutkan diatas. Pendapatan Asli Daerah  lainnya yang disahkan seperti penjualan asset tetap daerah, pendapatan denda pajak dan jasa giro
E. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Pada Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui  dan mengesahkan Rancagan Undang-undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di banding desentralisasi fiscal, karena terdapat perubahan kebijkan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku tanggal 1 januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dangan semakin besarnya tanggungjawab daerah dalam penyelengaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat
2. meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3. memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penusunan UU ini yaitu :
1. pemberian kewenangan pemungtan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiscal nasional.
2. jenis pajak dan retrbusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang.
3. pemberian kewenangan kepada daerah untu menetpkan tarif pajak dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.
4. pemerintah daerah tidak dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintah daerah.
5. pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakuakn secara preventif dan korektif. Rancangan peratuan daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus dapat persetujuan pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi.
Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan pada tanggal 18 agustus 2009 adalah sebagai berikut :
1. penambahan pajak daerah.
Pajak daerah yang diataur dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 adalah sebangai mana dibawa ini:
a. Jenis pajak propinsi terdiri atas:
1. Pajak Kendaraan Bermotor;
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4. Pajak Air Permukaan; dan
5. Pajak Rokok.
b. Jenis Pajak Kabupaten dan Kota terdiri atas:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan logam dan Bebatuan;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
Ada empat jenis pajak baru bagi daerah , yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat, dan Pajak Sarang burung Walet yang ditetapkan sebagai pajak kabupaten dan kota. Selain itu pajak rokok ditetapkan sebagai pajak provinsi. Berarti ada 4 jnis pajak daerah, yaitu 1 pajak propinsi dan 3 jenis pajak kabupaten dan kota. Dengan tambahan tersebut secara keseluruhan ada 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak propinsi dan 11 jenis pajak kabupaten dan kota.
a. Pajak Rokok
Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil penerimaan pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten dan kota di propinsi yang bersangkutan.
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaansarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (semoking area), kegiatan memasyrakatkan mengenai bahaya merokok, dan iklan layanan, masyarakat mengenai bahaya rokok.
b. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkantoran
selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor pedesaan dan perkotaan diahlikan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambagan masih merupakan pajak pusat. Dengan menjadikan PBB Pedesaan dan perkotaan manjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai Pendapatan Asli Daearah (PAD)
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB)
selama ini PBHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya di serahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan daerah BPHTB diahlikan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
d. Pajak Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung wallet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung wallet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung wallet yang besar akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD).
2. Penambahan Jenis retribusi Daerah
Retribusi daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a. Retribusi Jasa Umum, yang meliputi:
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4. Retribusi Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6. Retribusi Pelayanan Pasar;
7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9. Retribusi Penggantian biaya Cetak Peta;
10.Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan Kakus;
11. Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
12. Retribusi Tera/Tera ulang;
13. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14. Retribusi Pengendalian Menara telekomunikasi
b. Retribusi Jasa Khusus, yang meliputi:
1. Retribusi Pemakaiaan Kekayaan daerah;
2. Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan;
3. Retribusi Tempat Pelelangan;
4. Retribusi Terminal;
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesangrahan/villa;
7. Retriubusi Rumah Potong Hewan;
8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10. Retribusi Penyebragan Di Air; dan
11. Retribusi Penjulan Produksi Usaha Daerah;
c. Retribusi Perizinan Tertentu
1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3. Retribusi Izin Gangguan;
4. Retribusi Izin Trayek; dan
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan;
Terdapat pemanbahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini , secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang di kelompokkan kedalam 3 gologan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, rertibusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a. Retribusi Tera/Tera Ulang
pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, Timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengandalian tersebut , alat ukur, takaran, dan timbangan akan berfungsi dengan baik, sehingga pengunaannya tdk merugikan masyarakat.
b. Retribusi Pengendalian Menara telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembagunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi . denga pengendalian ini , keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan, dan keselamatan, keindahan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari nilai jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c. Retribusi Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menegah, separti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatian dimaksud.
d. retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah pemerintah daerah sesuai dengan kewenagannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi lainya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengandalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksanan secara terus menerus dengan kualitas yang lebih baik.

F. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang berkaitan antara lain :
1. Penelitian sebelulmnya yang dilakukan oleh Bappenas (2003), serta Setiaji dan Adi (2007) tentang peta kemampuan daerah (propinsi, mau pun kabupaten dan Kota) dalam era otonomi menunjukan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami peningkatan yang cukup singnifikan. Pemerintah daerah berupaya mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah sebagai bagian utama dalam penyusunan APBD sebagai upaya meminimalkan ketergantungan penerimaan dari pemerintah pusat. Dalam kondisi fiscal stress, pemerintah daerah akan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah sebagai upaya meningkatkan pembiayaan daerah.
2. Penelitan lain yang dilakukan oleh Purnaninthesa (2006) membuktikan bahawa fiscal stress berpengaruh secara siknifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten dan kota di jawa tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan suatu motivasi dari daerah untuk meningkatkan pendaptan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat.
3. Adi (2006) memberikan argumentasi bahwa perubahan pola pembiayaan, terutama dangan peningkatan pembiayayaan pembangunan menjadi hal yang logis dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah. Terkait dengan hal itu, pemerintah daerah diharpkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan public guna meningkatkan kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi.
4. Abdul Halim (2001) dalam penelitiannya tentang fiscal stress, disebutkan bahwa PAD masih berperan terhadap total penerimaan daerah/provinsi. Retribusi sebagai komponen utama PAD, berpengaruh secara signifikan dari pada pajak. Sedangkan proporsi pajak daerah relative tidak berpengaruh terhadap PAD. Analisis berdasarkan data realisasi anggaran propinsi sebelum fiskali stress (1996/1997) dan sesudah (1998/1999). Selanjutnya dilakukan pengujian dangan paired sampel T Test, yaitu membandingkan dua sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan yang berbeda. Penelitian tersebut hanya terfokus pada rata-rata seluruh propinsi di Indonesia.
5. PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan dari sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.
6. Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
7. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah sangat tinggi kepada Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi beban subsidi Pemerintah Pusat, Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan memanfaatkannya secara optimal.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada lokasi, waktu, dan alat analisis yang digunakan.
G. Kerangka Fikir
Pada era otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun 2001 dapat memberdayakan daerah untuk mengembangkan sumberdaya yang dimiliki, sehingga dapat berkembang dan mandiri dalam menentukan arah kebijakan yang diambil oleh daerah tetapi masih dalam koridor negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk mewujudkan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus mampu menggali potensi daerah guna menunjang PAD, dan mencari faktor–faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap PAD. Sebagai upaya peningkatan PAD perlu diambil langkah kebijakan efisiensi didalam pelaksanaan anggaran yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dalam kondisi fiscal stress yang kuat, daerah lebih termotifasi  untuk meningkatkan  Pendapatan asli Daeranya (PAD) guna menguruangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Peningkatan pertumbuhanPendapatan asli Daerah (PAD) yang di pengaruhi oleh Fiscal stress selama otonomi daerah merupakan indikasi dari semakin besarnya usaha yang dilakuan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber Pendapatan asli Daerannya (PAD). Selama otonomi daerah, pemerintah  akan berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin denga Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Sehigga dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat.

Gambar  1. Bagan Alur Kerangka Pikir
                       

H. Hipotesis
Dengan mengacu pada masalah pokok, tujuan penelitaian, landasan teori yang dikemukakan dan beberapa penelitan terdahulu yang berkaitan dengan penelitain ini, maka hipotesis yang di ajukan pada penelitian ini adalah : ‘’Diduga, bahwa Fiscal Stress berpengaruh positif terhadap pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah khususnya pada Kabupaten Gowa’’
III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakuakn di Kabupaten Gowa sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Gowa sebagai daerah yang cukup potensial dikembangkan manjadi daerah yang berotonomi, bahkan telah menjadi daerah percontohan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Sulewesi Selatan.
Sedangkan waktu yang digunakan dalam melakukan penelitiaan ini adalah dua bulan.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka yang merupakan teknik untuk mendapatkan informasi melalui catatan, literatur, dan jurnal-juranl penelitan serta dokumentasi yang masih relevan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Berupa data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
C.Jenis dan Sumber Data
Penelitan ini mengguankan  jenis data sekunder (time series) selama periode 2009 s/d 2010. Penggunaan data sekunder berupa data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Gowa. Data Anggaran dan Pendapatan Belanja daerah (APBD) realisasi yang digunakan adalah data pada saat masih diberlakukannya UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribiusi daerah dan pada saat diberlakukannya UU no UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Periode APBD yang menjadi pengamatan penelitian adalah periode 2009 sebelum di berlakukannya UU No. 28 Tahun 2009. Sedangkan periode 2010 dalam pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
D. Metode Analisi
Untuk menguji hipotesis yang telah diajukan, maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
1. Analisi deskriktif, digunakan untuk menjelaskan gambaran pengaruh fiscal Sterss, terhadap pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah dan dua komponen penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar (pajak daerah dan retribusi daerah) yaitu dalam periode sebelum diberlakukannya UU No 28 tahun 2009 dan setelah diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
2. Analisi  komparatif, yaitu membandingkan tingkat pertumbuhan Pendapatan asli daerah sebelum di berlakukannya UU tahun 28 tahun 2009 tentang pajak daerah/retribusi dan setelah diberlakuannya Undang-undang tersebut.
Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh variabel independen secara individual menerangkan variasi. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 5%. Jika nilai signifikansi t < 0,05 artinya terdapat pengaruh yangsignifikan antara satu variabel independen terhadap variabel dependen. Jika nilaisignifikansi t > 0,05 artinya tidak terdapat pengaruh antara satu variabel independenterhadap variabel dependen



E. Defenisi Oprasional
Variabel Independen
Kemandirian daerah
Daerah yang mengalami peningkatan tekanan fiscal (Fiscal Stress) yang lebih tinggi dimana daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat. Tekanan fiskal (fiscal stress) manjadi semakin tinggi di karenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang di tunjukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada.
Variable dependen
Variabel Dependen dalam penelitian ini yang masuk dalam variable dependen adalah pendapatan asli daerah ( PAD ). PAD adalah merupakan suatu pendapatan yang menunjukkan kemampuan suatu daerah untuk menghimpun sumber – sumber dana untuk membiayai kegiatan daerah. Jadi pengertian PAD dapat dikatakan sebagai pendapatan rutin dari usaha – usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi – potensi sumber – sumber keuangan untuk membiayai tugas – tugas dan tanggung jawabnya ( Sutrisno PH, 1982 ).
Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan ekonomi daerah, karena pendapatan asli daerah digunakan untuk membiayai kegiatan – kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi di suatu daerah, oleh karena itu pendapatan asli daerah sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi daerah, jika pendapatan asli daerah meningkat maka dapat pula mempengaruhi produksi nasional, pendapatan asli daerah diperoleh dari:
- Pajak Daerah
Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat (kontar prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini menunjukan bahwa pajak merupakan pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan undang-undang yang tidak dapat dihindarai bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa kas Negara selalu berisi uang pajak. Selain itu, pengenaan pajak berdasarkan undang-undang akan mencerminkan adanya keadilan dan kepastian hukum bagi pembayar pajak sehingga pemerintah tidak dapat sewenang-weanang menempatkan besaran pajak.

- Retribusi Daerah
Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara. Salah satu contoh retribusi adalah retribusi pelayanan persampahan/kebersihan yang di kelolah oleh pemerintah. Setiap orang yang ingin mendapatkan pelayanan kebersihan harus membayarkan retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai pembayaran atas balas jasa pelayanan kebersihan.