Powered By Blogger

Rabu, 27 Februari 2013

Pengertian Harta Bersama


                Istilah ”harta bersama” dalam pergaulan hukum masyarakat telah melekat di dalamnya, maka keterlibatan pasangan suami istri di dalam memperolehnya, atau harta yang diperoleh, atau harta yang diperoleh bersama suami istri di dalam memperolehnya, atau harta yang diperoleh bersama suami istri selama perkawinan di Jawa disebut ”poligami” di Sunda disebut ”guna kaya”, di Sulawesi Selatan disebut ”cakkare” atau ”beli reso”. Dan di Banjar disebut ”harta perpantangan” (A Hamzah, 1996 : 23).    
                Menurut fiqih Islam ada dua versi pemikiran mengenai eksistensi harta bersama, yaitu pemikiran yang mengakui keberadaannya dan pemikiran yang menyebut harta yang diperoleh selama perkawinan, bukan sebagai harta bersama, tetapi persekutuan ”syarkah”.
                 Pertama tidak dikenal harta bersama kecuali dengan syiarkah, persekutuan ”syarkah”, persetukuan/ kongsi. Berbeda dengan sistem hukum perdata, (Burgerlijk wet boek) dalam hukum Islam tidak dikenal dengan percampuran harta bersama antara suami dan istri karena perkawinan.
                Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian  juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam persoalan apapun termasuk mengurus harta benda suami, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat. (Djamil Latif, 1998 : 82).
                Latar belakang pemikiran tersebut bertitik tolak dari ketentuan menurut ayat Al-qur’an antara  lain dalam surat An-Nisa ayat 34 yang terjemahnnya :   .   
         Kaum laki-laki adalah pimpinan dari kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (Departemen Agama, 1997 : 123).

    Menurut Djamil Latif (1986 : 92)  surat At-Talak Ayat 6 Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati (mereka)  
         Oleh karena istri memperoleh perlindungan baik tentang nafkah lahir bathin moril dan materil tempat tinggal, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, berdasarkan petunjuk ayat-ayat di atas, diperingatkan kepada suami maka suami bertanggungjawab sepenuhnya sebagai kepala keluarga.
         Berarti istri dianggap/ fasiq menerima apa yang datang dari suami, dengan demikian tidak ada harta bersama antara suami istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami kepada istri diluar pembiayaan rumah tangga dan pemeliharaan anak, misalnya hadiah berupa perhiasan yang dipakai, itulah yang menjadi hak istri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh suami, sedangkan apa yang diusahakan oleh suami seluruhnya menjadi hak milik suami kecuali bila ada ”syiarkah”.   
         Dengan ikatan perkawinan kedudukan istri menjadi sekutu (kongsi) dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bila harta kekayaan suami istri bersatu karena syiarkah, maka harta tersebut seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan, karena usaha bersama suami istri dilakukan dengan suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi milik bersama, karena itu jika kelak ternyata  perjanjian  perkawinan terputus, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami istri yang turut serta dalam berusaha dalam syiarkah.
         Kedua adalah pendapat yang paling mutakhir dalam menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami dan istri. Pendapat yang kedua ini mengakui bahwa hal-hal yang diatur dalam udang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sepanjang mengenai harta bersama seperti ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37, sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Bawarah ayat 228 yang terjemahannya:
       ”....  dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”.
Demikian juga surat An Nissa ayat 21, berbunyi bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, pada hal sebagaimana kamu telah bergaulm (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-suami) telah mengambil dari kami yang kuat.
         Bertitik tolak dari ayat tersebut dan sesuai pula dengan pendapat Hazairin maupun Sayuthi Thaib (M Idris Ramulyo (1996 : 218), maka menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau tidak.
         Sekali mereka terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syiarkah, sebab suatu perkawinan dengan ”ijab qabul” serta memenuhi persyaratan lainnya, sudah otomatis menurut anggapan hukum ada suatu syiarkah antara suami istri yang bersangkutan (Sayuti Thalib, 1994 : 84).
         Harta bersama dalam undang-undang No. 1 Tanun 1974 pengaturannya dimuat dalam Bab VII pada pasal 35 ayat (1), 36 ayat 1) dan pasal 37.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ”harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
          Tidak disebutkan secara jelas atas jerih payah siapa harta itu diperoleh. Pokoknya harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik berupa benda berwujud  maupun yang tidak berwujud. Harta benda yang berwujud dapat meliputi, benda bergerak, benda yang tidak bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
Kalau pasal 36 ayat (1), menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
        Harta bersama dapat dipergunakan atau dipakai baik oleh suami maupun oleh istri, untuk kepentingan apa saja dan berapapun juga banyaknya, asal terdapat persetujuan kedua belah pihak.
          Adapun hak suami dan atau istri mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya demikian, mengingat hak dan kedudukan istri adalah seimbang dan selaras dengan hak dan kedudukan suami dalam organisasi kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan masyarakat dalam hal mana masing-masing berhak untuk melakukanb perbuatan hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa :
1.        Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2.        Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ketentuan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) tersebut yang mendudukkan secara sejajar hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat adalah sangat relevan dengan keberadaan harta bersama, demikian juga dengan tata kehidupan dalam masyarakat yang dikehendaki dalam hukum Islam. Dan kesejahteraan hak dan kewajiban suami istri sangat berbeda dengan ketentuan sebagaimana yang disebutkan burgerlijk wet boek (BW). Terutama dalam pasal 108 dan 110, di mana dinyatakan kedudukan wanita dalam suatu ikatan perkawinan dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Adapun syarat persetujuan kedua belah pihak yang dimaksud, secara praktis tidak disebutkan dalam perundang-undangan, berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing atau istri untuk merumuskan persetujuannya.

Pengertian Perkawinan Poligami


         Ketentuan dalam hukum Islam mempunyai dasar hukum yang membolehkan perkawinan poligami diterangkan pada surat Annisa Ayat (3) yang terjemahannya, adalah maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut  tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja (Departemen Agama, 1997 : 115).
         Menurut ketentuan ayat tersebut seorang pria boleh mengawini wanita lebih dari seorang yakni dua, tiga atau empat (poligami) tetapi dengan syarat suami harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, kalau syarat berlaku adil tidak terpenuhi, maka terkandung di dalamnya termasuk larangan berpoligami.
          Ketentuan ayat itu pula sehingga batas maksimal berpoligami hanya empat orang, sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) kompilasi Hukum islam, dengan berbunyi beristrilah lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
         Praktek dalam pengadilan untuk mengetahui apakah seorang suami sanggup berlaku adil atau tidak terlihat dari surat pernyataan yang dibuat dan atau ditandatangani di muka persidangan yang terbuka untuk umum yaitu surat pernyataan sanggup berlaku adil (formulir model Nk 1) apabila seorang suami menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut, maka tidak akan diberi izin beristri lebih dari seorang.

Syarat Hukum Poligami


 Pelaksanaan poligami tentu mempunyai ketentuan yang didasari pada pasal 3 ayat (1) Tahun 1974  menyinggung tentang perkawinan monogami dan poligami bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya saja dalam keadaan tertentu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (suami istri).
         Jadi sebagai patokan dasar atau azas perkawinan adalah perkawinan monogami, sedangkan perkawinan poligami adalah dispensasi atas azas tersebut dan untuk melakukan poligami harus dengan izin Pengadilan, meskipun pihak suami istri masing-masing telah memberikan persetujuan.
       Perkawinan poligami, syarat utama tentang kebolehannya adalah ditentukan oleh apakah hukum dan agama yang bersangkutan menghendaki atau tidak. Apabila hukum dan agama yang bersangkutan tidak menghendaki maka undang-undang turut menguatkan sebagai larangan, demikian pula sebaliknya apabila hukum dan agama yang bersangkutan memperbolehkannya, maka undang-undang turut memberikan dukungan akan kebolehannya.
         Berbeda dengan perkawinan monogami yang pada waktu tertentu, maka kecuali yang berkaitan dengan larangan pada undang-undang yang dapat mengakibatkan batal perkawinan demi hukum atau dapat dibatalkannya suatu perkawinan. Jika dalam perkawinan poligami ditentukan secara limitatif alasan-alasan kebolehan suami untuk berpoligami sebagai tersebut dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) PP No. 9 Tahun 1975, yakni :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan.
         Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
  1. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Alasan-lasana yang tersebut pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 adalah bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu syarat terpenuhi,maka telah cukup alasan untuk berpoligami. Sedangkan syarat yang telah disebutkan pada pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bersifat kumulatif, dengan demikian maka semuanya harus terpenuhi. Dengan adanya ketentuan mengenai alasan-alasan dan syarat-syarat tersebut, maka untuk melakukan poligami tidak tergantung kepada selera suami semata tetapi juga harus memenuhi alasan dan persyaratan objektif yang ditentukan di dalam undang-undang, selain dari pada itu, terdapat pula syarat yang melekat pada perkawinan ini sendiri yakni disebutkan dalam pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seorang melarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susunan istrinya :
a.    Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.    Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
         Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang istri yang akan dimadu membuat atau menandatangani surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu dengan menyebutkan wanita yang akan menjadi istri kedua dan seterusnya dan suami yang bersangkutan (formulir Nk. 2).
         Larangan dilaksanakan kawin bagi laki-laki, maka semua larangan kawin sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IV Pasal 39 sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum islam dalam perkawinan monogami, berlaku pula untuk perkawinan poligami.
         Larangan-larangan kawin yang telah diatur sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.    karena adanya pertalian nasab
2.    karena pertalian kerabat semenda
3.    karena pertalian sesusuan
4.    karena wanita yang dikawini masih terikat dengan perkawinan dengan pria lain, atau masih dalam masa iddah dengan pria lain, atau seorang wanita yang tidak beragama Islam.
5.    karena suami sedang mempunyai empat orang istri
6.    karena istri telah dijatuhkan talak tiga atau istri yang dicerai karena li’an.
         Uraian-uraian tersebut disimpulkan, bahwa :
1.        perkawinan monogami merupakan azas, sedangkan perkawinan poligami merupakan aturan dispensasi (pengecualian) dari azas perkawinan (Sayuti halib, 1994 : 57).
2.        Di dalam perkawinan monogami relatif tidak disebutkan alasan-alasan tertentu kecuali alasan yang bersifat subjektif, sedangkan dalam perkawinan poligami terdapat alasan dan persyaratan tertentu yang bersifat okjektif.
3.        Di dalam perkawinan monogami, tidak diperlukan putusan pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang sedangkan di dalam perkawinan poligaami harus terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai dizinkan atau tidaknya suami untuk berpoligami. Putusan pengadilan tersebut sifatnya adalah imperatif, meskipun pada hakekatnya istri telah setuju.           

Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami


             Perkawinan poligami adalah sebagai permainan perkawinan bagi pria dengan istri lebih dari seorang yang dilakukan atas dasar izin dari pengadilan yang berwenang, sebagimana disebutkan di dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan batas maksimal 4 (empat) orang istri (Pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
                Menurut ketentuan dan Undang-Undang tentang kepemilikan harta bersamaterkait dengan secara langsung terhadap pasangan suami dengan istri-istrinya, sebagai berikut :
1.    Ketentuan yang mengatur harta bersama dalam perkawinan poligami,  berbeda dengan perkawinan monogami yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan poligami dalam keterkaitannya dengan harta bersama diatur secara khusus di dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam.
Aturan khusus tersebut berkenaan dengan dua pokok persoalan, yaitu :
a.     Harta bersama seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dengan maksimal empat orang kedudukannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
b. Pemilikan harta bersama sebagaimana tersebut terhitung pada saat berlangsungnnya akad nikah perkawinan kedua dan seterusnya sampai dengan keempat.

Pengertian Pemasaran Jasa


1.   Pengertian Pemasaran 
            Dalam konteks yang lebih luas pemasaran adalah suatu upaya mengantar perusahaan mencapai tujuan melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Untuk melakukan pemasaran, maka manajer pemasaran sebagai salah satu fungsi perusahaan harus mengenali seluk beluk kebutuhan manusia dengan memberikan kepuasan bagi tamu.
            Philip Kotler, (1997 : 8) mengemukakan bahwa pemasaran adalah suatu proses soaial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan produk yang lain.
            Sedangkan pengertian pemasaran lainnya bisa dilihat dari pendapat Alex S. Nitisemito (2001 : 31) yang mengemukakan bahwa pemasaran adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memperlanacar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen secara paling efisien dengan maksud untuk menciptakan permintaan efektif.   
            Indriyo Gito Sudarmo, (2000 : 1) pemasaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengusahakan agar produk yang dipasarkan itu dapat diterima dan disenangi oleh pasar.
            Melayu S.P Hasibua (2003 : 143) pemasaran adalah kegiatan manusia yang paling diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran.
            Basu Swastha Dhammesta dan T Hani Handoko (2003 : 3) pemasaran merupakan salah satu dan kegiatan-kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya untuk berkembang dan mendapatkan laba.
             Konsep inti pemasaran menurut pendapat di atas menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam terjadinya proses pemasaran. Dalam pemasaran terdapat produk sebagai kebutuhan dan keinginan orang lain yang memiliki nilai sehingga diminta dan terjadinya proses permintaan karena ada yang melakukan pemasaran.
2.    Pengertian Jasa atau Layanan
      Jasa atau layanan sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa atau layanan itu sendiri mempunyai banyak arti dari mulai layanan personal (personal service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendefinisikan pengertian jasa.
      Menurut Philip Kotler, (1997 : 83)  jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan pada suatu produk fisik.
      Payne (2000 : 8) mengemukakan jasa adalah suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan yang berhubungan dengannya melibatkan beberapa interaksi dengan konsumen atau dengan property dalam kepemilikannya, dan tidak menghasilkan transfer kepemilikan.
      Zeithami dan Bitner (2000 : 3) mengemukakan definisi jasa adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.
      Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jasa pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang memiliki beberapa unsur ketakberwujudan yang dapat diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan memberikan berbagai manfaat bagi pihak-pihak yang terkait.
      Dari pengertian pemasaran dan jasa di atas, maka pemasaran jasa dapat disimpulkan bahwa sebagai kegiatan proses sosial dan manajerial yang mana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang dibutuhkan dan inginkan melalui penciptaan penawaran yang pada dasarnya tidak berwujud fisik dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun mempunyai nilai tambah yang tidak berwujud pula pada saat dibeli.
3.   Karakteristik Jasa    
      Produk jasa memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan barang (produk fisik. Oleh Philip Kotler (1997 : 84) menyebutkan ciri-ciri sebagai berikut :
  1. Intangibility (tidak berwujud)
Jasa tidak berwujud, tidak dapat dipilih, dicicipi, dirasakan dan didengar sebelum dibeli
  1. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)
Jasa tidak dapat dipisahkan dan pemberi jasa itu, baik pemberi jasa itu adalah orang maupun mesin. Jasa tidak dapat dijejerkan dalam rak-rak penjualan dan dibeli konsumen kapan saja dibutuhkan.
  1. Variability (bervariasi)
Jasa sangat beraneka ragam karena tergantung siapa yang menyediakan dan kapan serta dimana disediakan. Seringkali pemberi jasa menyadri akan keanekarupaan yang besar ini dan membericarakan dengan yang lain sebelum memilih satu penyediaan jasa.  

  1. Persihability (tidak tahan lama)
Jasa tidak dapat tahan lama karenanya tidak dapat disimpan untuk penjualan atau penggunaan dikemudian hari. Sifat jasa yang tidak tahan lama ini bukanlah masalah kalau permintaan tetap/teratur karena jasa-jasa sebelumnya dapat dengan mudah disusun terlebih dahulu. Kalau permintaan fluktuasi, perusahaan jasa akan dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit.

Pengertian Perilaku Konsumen


      Tujuan utama pemasar adalah untuk melayani dan memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu pemasar perlu memahami bagaimana perilaku konsumen dalam usaha memaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.
      Jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi para konsumen dalam rangka menentukan pilihannya mengenai produk apa yang dikonsumsinya. Menurut Nitisemito (2000 : 29) faktor-faktor tersebut antara lain tingkat pendapatan, pendidikan dan  status sosial yang disandang oleh para konsumen yang secara potensial akan mengkonsumsi barang yang akan dipasarkan diperusahaan. Ketiga faktor ini akan turut berpengaruh bagi perilaku konsumen sehingga perusahaan perlu mengkajinya, sehubungan dengan upaya perusahaan didalam meningkatkan penjualan.
      Melakukan suatu kajian atau studi terhadap perilaku  konsumen dalam memainkan peranan untuk meningkatkan penjualan barang, akan diperoleh suatu petunjuk yang konkret mengenai perlu tidaknya perusahaan melakukan perluasan  dan penyebaran produk-produknya dipasar yang telah disesuaikan dengan perilaku konsumen.
      Sehubungan dengan hal ini maka Sofyan Assauri, (2001: 12) dalam tulisannya mengemukakan bahwa dengan mengkaji perilaku konsumen tersebut, perusahaan dapat mengetahui diagnosa tentang siap dan apa serta bagaimana kebenaran mengenai pemakaian suatu produk. Hasil pengkajian tentang perilaku konsumen tersebut digunakan oleh perusahaan untuk menentukan perlu tidaknya perusahaan merubah strategi pemasaran produknya.
      Dengan demikian, jelas terlihat bahwa aspek perilaku konsumen perlu mendapatkan perhatian dari unsur manajemen perusahaan, saat perusahaan yang bersangkutan akan merencanakan untuk mempertahankan posisinya di pasar. Meskipun terdapat banyak faktor yang memungkinkan suatu perusahaan untuk mempertahankan posisinya di pasar, namun masalah perilaku konsumen ini perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius, khususnya  bagi barang-barang industri  yang pangsa pasarnya berada pada kalangan masyarakat yang berpenghasilan relatif tinggi.   

Pengertian Kualitas Jasa dan Layanan


1.  Pengertian Kualitas   
       Dalam situasi persaingan global yang semakin kompetitif  persoalan kuaitas produk menjadi isu sentral bagi perusahaan, Kemampuan perusahaan untuk menyediakan produk berkualitas akan menjadi senjata untuk memenangkan persaingan karena dengan memberikan produk berkualiatas,kepuasan pelanggan akan tercapai. Oleh karena itu perusahaan harus menentukan definisi yang tepat dan pemahaman akurat tentang kualitas yang tepat. Menurut The American Sociaty of Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari suatu layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau yang bersifat laten. Sedangkan menurut filsafat Jepang kualitas adalah “zero defect” mengerjakan pertama kali dengan benar.
      Banyak pakar bidang kualitas yang mencoba mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandangannya masing-masing. Dalam purnama  (2006 : 10) beberapa definisi kualitas yang opuler diantaranya dkembangkan oleh tiga guru kualitas yaitu Crosby, Deming dan Jaran. Menurut Crosby kuaitas adalah “kesesuaian denga persyaratan. Sedangkan menurut Deming kualitas adalah “derajat” keseragaman produk yang bisa diprediksi dan tergantung pada biaya rendah dan pasar “ serta menurut Juran kualitas adalah keseusian dengan penggunaan (memuaskan kebutuhan konsumen)
      Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas bersumber dari dua sisi,  produsen dan konsumen. Produsen menentukan persyaratan atau sfesifikasi kualitas, sedangkan konsumen menentukan kebutuhan dn keinginan. Pendefinisian akan akurat jika produsen mampun menterjemahkan kebutuhan dan keinginan atas produk ke dalam spesifikasi produk yang dihasilkan.               


2.  Pengertian Kualitas Jasa atau Layanan

       Kualiatas layanan (service quality) seperti yang Parasuraman et al, (1998 : 29) menyatakan bahwa sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang mereka terima/peroleh.
      Rangkuti (2003 : 28) menyatakan bahwa kualitas jasa didefinisikan sebagai penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan pelanggan.  
      Wyckof yang dikutip oleh Fandy Tjiptono (2006 : 59) menyatakan bahwa kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan.
      Salah satu modal kualitas layanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset pemasaran adalah modal ServQual (servive quality) seperti yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithami dan Berry seperti yang dikutip oleh Zeithami dan Bither (2000 : 82) dalam serangkaian penelitian mereka terhadap enam sektor jasa, reparasi, peralatan rumah tangga kartu kredit, sambungan telepon jarak jauh, otomotif, intel, dan pialang, sekuritas. ServQual (service quality) dibangun atas adanya perbandingan dua faktor utama yang persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived service) dengan layanan yang nyata sesungguhnya diharapkan/diinginkan (expected service). 
      Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu apabila jasa yang diterima atau dirasakan sesuai yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima baik dan mempengaruhi harapan tamu, maka kualitas jasa dipersepsi sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan / nasabah secara konsisten.

3. Dimensi kulitas jasa (service quality)      

      Konsep kualitas pelayanan merupakan fokus penilaian yang merefleksikan persepsi tamu terhadap Lima (5) dimensi spesifik dari kinerja layanan. Parasaruman et al, (2000 : 129) menyimpulkan bahwa lima dimensi yang dipakai untuk mengukur kualitas pelayanan, yaitu :
1.       Tangibles, yaitu penamplan fisik dari perusahaan seperti fasilitas, penampilan personil dan materi komunikasi.
2.       Reability, atau keandalan, yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.
3.       Responbsiveness, (ketanggapan), yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4.       Assurance, (jaminan dan kepastian) yaitu, pengetahuan kesopan santunan, dan kemampuan para karyawan perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para tamu kepada perusahaan.
5.       Empaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para tamu dengan berupaya memahami keinginan tamu.

Kepuasan Pelanggan


1.    Pengertian Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan telah menjadi konsep dalam wacana bisnis dan manajemen. Pelanggan merupakan fokus utama dalam pembahasan mengenai kepuasan dan kualitas jasa. Oleh karena itu tamu memegang peranan cukup penting dalam mengukur kepuasan terhadap produk maupun pelayanan yang diberikan perusahaan.
      Menurut Tjipto dan Chandra, (2005 : 195) kata kepuasan (safisfaction) berasal dari bahasa latin yang artinya cukup baik memadai dan “factio” yang artinya melakukan atau membuat jadi kepuasan bisa diartikan sebagai “upaya pemenuhan sesuatu”.     
      Menurut Tjipto dan Chandra (2005 : 195) kepuasan deskriptipkan yaitu istilah ini begitu kompleks dan tidak seorangpun yang bisa mendefinisikannya secara pasti dan definisi-definisi di atas kelihatan berlainan artinya sebab kata-kata yang digunakan sangat bervariasi demikian pada dasarnya enak yang dirasakan ketika sesuatu hasrat yang kita inginkan akhirya tercapai.
      Sementara menurut Websters (dictionary) (1998 : 93) pelanggang adalah seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu barang atau peralatan. Jadi dengan kata lain pelanggan adalah seseorang yang secara kontinyu datang ke suatu tempat yang sama untuk memuaskan keingiannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan jasa dan membayar produk atauy jasa.
      Sedangkan definisi kepuasan pelanggan (custumer salisfaction) menurut Tjipto dan Chandra (2005 : 198) kepuasan adalah situasi kognitif pembeli yang merasa dihargai setara atau tidak setara dengan pengorbanan yang telah dilakukannya.
      Pendapat lainnya bisa dilihat menurut Tjipto dan Chandra (2005 : 197) kepuasan pelanggan (custumer satifaction) adalah penilaian evaluatif purna pilihan menyangkut seleksi pembelian spesifik definisi tersebut akan memperlihatkan bahwa konsumen akan melihat secara keseluruhan apa yang telah mereka rasakan setelah membeli suatu produk/jasa. Hal ini dapat dinilai dari fitur, kualitas harga dan lainnya dari suatu yang bisa saja sangat bagus dan sangat tidak bagus.
2.  Jenis-Jenis  Modal Kepuasan Tamu
      Berdasarakan model kepuasan kualitatif Status dan Neuhaus ( 2005 : 202) membedakan tipa tipe kepuasan dan juga tipe ketidak puasan berdasarkan kombinasi antara emosi-emosi speifik terhadap penyedia dan minat berperilaku untuk memilih lagi penyedia jasa bersangkutan. Tipe-tipe kepuasan dan tidak kepuasan tersebut adalah :
  1. Demangding costumer satisfaction
Tipe ini merupakan tipe kepuasan yang aktif. Relasi dengan penyedia jasa diwarnai emosi positif terutama optimisme dan kepercayaan. Berdasarakan pengalaman positif dimasa lalu, tamu dengan tipe kepuasan ini berharap bahwa penyedia jasa bakal mampu memuaskan ekspestasi yang semakin meningkat dimasa depan.
  1. Stable customer satisfaction
Tamu dalam tipe ini memiliki tingkat aspirasi positif dan perilaku yang demining. Emosi positif terhadap penyedia jasa bercirikan steadiness dan frust dalam relasi yang terbina saat ini. Meraka menginginkan segala sesuatunya tetap sama. Berdasarkan pengalaman-pengalaman positif yang telah terbentuk sehingga saat ini mereka bersedia melanjutkan relasi dengan penyedia jasa.   
  1. Regigned costumer statisfaction
Tamu dalam tipe ini juga merasa puas. Namun, kepuasannya bukan disebabkan oleh pemenuhan ekspestasi, hal ini didasarkan pada kesan bahwa tidak realistis untuk berharap lebih. Perilaku tamu tipe ini cenderung pasif. Mereka tidak bersedia melakukan berbagai upaya dalam rangka menuntut perbaikan situasi.
  1. Stable customer disatisfaction
Tamu dalam tipe ini tidak puas terhadap jasa namun mereka cenderung tidak melakukan apa-apa. Relasi mereka dengan penyedia jasa diwarnai emosi negative dan asumsi bahwa ekspestasi mereka tidak bakal terpenuhi di masa datang. Dalam ini ia juga tidak melihat adanya peluang untuk perubahan dan perbaikan.
  1. Demanding custimer distisfaction
Tipe ini bercirikan tingkat aspiratisi aktif dan perilaku demanding. Pada tingkat emosi, ketidak puasan menimbulkan protes dan posisi. Hal ini menyiratkan bahwa mereka akan aktif dalam menuntut perbaikan. Pada saat bersamaan mereka juga merasa tidak perlu tetap loyal pada penyedia jasa. Berdasarkan pengalaman negatifnya, mereka tidak akan memilih penyedia jasa yang sama lagi di kemudian hari.   
3.  Faktor kualitas layanan dalam menentukan kepuasan Tamu.
      Menurut Zeitham dan Bitner (2000 : 81) kualitas layanan ditentukan oleh persepsi konsumen dalam dua hal, pertama persepsi kualitas pelayanan dalam arti teknis (technical outcome) yang diberikan oleh penyedia jasa, dan kedua kualitas dalam arti hasil dari suatu proses jasa (outcome process) yang diwujudkan dalam bentuk bagaimana jasa itu diberikan.
       Zeitham dan Bitner (2000 : 75) juga menyatakan bahwa kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh factor kualitas pelayanan, kualitas produk, harga, faktor situasi dan faktor pribadi/individu pelanggan.
Sumber : Zeitami dan Bitner (2000 : 75)
      Pengukuran kepuasan pelanggan dalam jasa dapat dilakukan dengan cara melakukan pengukuran atas dimensi kualitas layanan, yang sebagai model ServQual yang meliputi dimensi reliability, responsiveness, asurance, emphaty dan tangible.
Reability adalah kemampuan produk untuk memuaskan pelanggan sesuai jaminan perusahaan Responsiveness, menyangkut kesediaan staff/ karyawan untuk membantu kesulitan yang dihadapi pelanggan maupun kecepatan tanggapan karyawan dalam melayani pelanggan.
       Asurance, aspek yang dilihat dalam kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan yang dapat diukur salah satu dengan tingkat keterampilan dalam memberikan layanan maupun pengetahuan karyawan. Emphaty yaitu perhatian (kepedulian) perusahaan secara individual terhadap pelanggannya, seperti kemudahan menghubungiu perusahaan dan layanan keluhan pelanggan. Tangibles, meliputi penampilan fisik (pegawai, kantor, teknologi dan sebagaianya bagi perusahaan yang mendukung terwujudnya kepuasan.
4.  Pengukuran Kepuasan Tamu
      Menurut Philip Kotler, (2005 : 210) ada empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu :
a.    Sistem keluhan dan saran
Setiap organisasi yang berorientasi pada tamu (costumer oriented) perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi tamu guna menyampaikan saran, kritik, pendapat dan keluhan mereka seperti kotak saran, saluran telepon khusus bebas pulsa, websites dan lain-lain.
b.    Ghost Shopping (Myste Shopping)
Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan tamu adalah dengan mempekerjakan bebeapa orang gost shopper untuk berperan atau berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahaan dan pesaing. Meraka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk/jasa perusahaan. Mereka kemudian diminta melaporkan temuan-temuannya berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing. Biasanya para ghost shopping diminta mengamati secara saksama dan menilai cara perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan spesifik tamu, menjawab pertanyaan, dan menangani setiap keluhan.
c.    Last Custumer Analisis
Perusahaan menghubungi tamu yang telah berhenti membeli atau beralih, hal ini harus dilakukan sebab hal ini bisa dikatakan bahwa perusahaan telah gagal dalam memuaskan tamu dan dapat menganalisa sebagai pelajaran dan pengalaman yang tidak diulangi.
d.    Survei Kepuasan Pelanggan
Pada umumnya penelitian mengenai kepuasan tamu dilakukan dengan penelitian survey, baik melalui pos, telepon, maupun dengan wawancara langsung. Hal ini disebabkan setiap survey akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari planggan dan juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para tamu. Pengukuran kepuasan tamu dengan memakai metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya :
  1. Directly reported satisfaction
Pengukuran secara langsung menggunakan item-item spesifik yang menyatakan langsung tingkat kepuasan yag dirasakan tamu.
  1. Derivedsatifaction
Pertanyaan yang diajukan mengenai (1) tingkat harapan atau ekspestasi tamu terhadap kinerjka produk terhadap atribut-atribut yang relevan (2) persepsi pelanggan terhadap kinerja aktual.
  1. Problem analysis
Pada teknik ini responden diminta mengungkapkan masalah yang dihadapi dengan produk atau jasa dan memberikan saran-saran perbaikan.  
  1. Importance-performance analysis
Dalam teknik ini responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan dalam berbagai atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan pada masing-masing atribut tersebut. Kemudian nilai rata-rata tingkat kepentingan atribut dan kinerja perusahaan akan dianalisis di Importance-Performance Matrix. Matrik ini sagat bermanfaat sebagai pedoman dalam mengalokasikan sumber daya organisasi yang terbatas pada bidang-bidang spesifik di mana perbaikan kerja berdampak besar pada kepuasan pelanggan total.
5.  Gap Kualitas Jasa
      Secara umum kepuasan tamu akan terpenuhi jika jasa yang dipersepsikan oleh tamu berupa harapan akan kualitas jasa yang diterima sesuai dengan kenyataan diterima dari pembeli jasa. Akan tetapi oleh berbagao faktor-faktor situasional, faktor individu, kualitas produk, atau harga, maka seringkali terjadi perbedaan (gap) antara apa yang dipersepsikan oleh tamu dengan apa yang dirasakan oleh mereka.
      Menurut tiga pakar terkemuka kualitas jasa Parasuraman, Zeithaml dan Berry yang dikutip oleh Tjipto dan Chandra (2005 : 145) dipaparkan secara rinci lima gap kualitas jasa yang berpotensi sebagai sumber masalah kualitas jasa. 
Sumber : Tjipto dan Chandra; et, al, (2005 : 146)

      Lima gap utama dijelaskan oleh Tjipto dan Chandra lebih lanjut  diuraikan masing-masing gap, sebagai berikut :
1.      Gap I : gap antara harapan tamu dan persepsi manajemen (knowledge gap)
Gap ini berarti bahwa sebagai akibat dari ketidak tahuan perusahaan tentang kualitas pelayanan seperti apa yang diharapkan oleh tamu didasarkan perusahaan menciptakan kualitas pelayanan yang hanya didasarkan pada pemikiran orang-orang dalam perusahaan tanpa mengetahui kualitas layanan seperti apa yang diharapkan oleh tamu.
2.      Gap 2 : Gap antara p[ersepsi manajemen terhadap harapan tamu dan spesifikasi kualitas jasa (Standard gap) Gap ini berarti bahwa perusahaan tidak memiliki standard dan desain kualitas yang akan diberikan kepada tamu. Pada umumnya hal ini terjadi karena standard dan desain dari kualitas pelayanan oleh perusahaan lebih dititk beratkan pada kualitas teknis, sedangkan tamu menghendaki bukan hanya pada kualitas teknis tetapi juga pada kualitas layanan.
3.      Gap 3 : Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (Delivery Gap). Gap ini berarti bahwa spesifikasi kualitas tidak terpenuhi oleh kinerja dapat proses produksi dan penyampaian jasa. Hal ini dapat terlihat pada ketidak sesuaian pelayanan yang diberikan kepada tamu yang sebelumnya telah ada pemberian standardnya. Misalnya apa yang telah dijanjikan, tidak bisa dipenuhi.   
4.      Gap 4 : Gap antara penyampaian jasa dikomunikasi eksternal (Komunication Gap).
5.      Gap ini berarti janji-janji yang disampaikan melalui komunikasi pemasaran tidak konsisten dengan jasa yang disampaikan kepada para tamu.
6.      Gap 5 : Gap antara jasa yang dipersepsikan dan jasa yang diharapkan (Service Gap)
Gap ini berada dalam lingkungan internal tamu sendiri dan terjadi manakala apa yang diharapkan tamu tidak sesuai dengan apa yang dipersepsikan. Harapan dipengaruhi oleh faktor mulut ke mulut dan pengaruh komunikasi dengan peruahaan pembeli jasa faktr-faktor ini membentuk harapan tamu. Persepsi tentang kualitas pelayanan adalah pengalaman aktual yang diterima.