Powered By Blogger

Rabu, 27 Februari 2013

Syarat Hukum Poligami


 Pelaksanaan poligami tentu mempunyai ketentuan yang didasari pada pasal 3 ayat (1) Tahun 1974  menyinggung tentang perkawinan monogami dan poligami bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya saja dalam keadaan tertentu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (suami istri).
         Jadi sebagai patokan dasar atau azas perkawinan adalah perkawinan monogami, sedangkan perkawinan poligami adalah dispensasi atas azas tersebut dan untuk melakukan poligami harus dengan izin Pengadilan, meskipun pihak suami istri masing-masing telah memberikan persetujuan.
       Perkawinan poligami, syarat utama tentang kebolehannya adalah ditentukan oleh apakah hukum dan agama yang bersangkutan menghendaki atau tidak. Apabila hukum dan agama yang bersangkutan tidak menghendaki maka undang-undang turut menguatkan sebagai larangan, demikian pula sebaliknya apabila hukum dan agama yang bersangkutan memperbolehkannya, maka undang-undang turut memberikan dukungan akan kebolehannya.
         Berbeda dengan perkawinan monogami yang pada waktu tertentu, maka kecuali yang berkaitan dengan larangan pada undang-undang yang dapat mengakibatkan batal perkawinan demi hukum atau dapat dibatalkannya suatu perkawinan. Jika dalam perkawinan poligami ditentukan secara limitatif alasan-alasan kebolehan suami untuk berpoligami sebagai tersebut dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) PP No. 9 Tahun 1975, yakni :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan.
         Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
  1. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Alasan-lasana yang tersebut pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 adalah bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu syarat terpenuhi,maka telah cukup alasan untuk berpoligami. Sedangkan syarat yang telah disebutkan pada pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bersifat kumulatif, dengan demikian maka semuanya harus terpenuhi. Dengan adanya ketentuan mengenai alasan-alasan dan syarat-syarat tersebut, maka untuk melakukan poligami tidak tergantung kepada selera suami semata tetapi juga harus memenuhi alasan dan persyaratan objektif yang ditentukan di dalam undang-undang, selain dari pada itu, terdapat pula syarat yang melekat pada perkawinan ini sendiri yakni disebutkan dalam pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seorang melarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susunan istrinya :
a.    Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.    Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
         Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang istri yang akan dimadu membuat atau menandatangani surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu dengan menyebutkan wanita yang akan menjadi istri kedua dan seterusnya dan suami yang bersangkutan (formulir Nk. 2).
         Larangan dilaksanakan kawin bagi laki-laki, maka semua larangan kawin sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IV Pasal 39 sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum islam dalam perkawinan monogami, berlaku pula untuk perkawinan poligami.
         Larangan-larangan kawin yang telah diatur sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.    karena adanya pertalian nasab
2.    karena pertalian kerabat semenda
3.    karena pertalian sesusuan
4.    karena wanita yang dikawini masih terikat dengan perkawinan dengan pria lain, atau masih dalam masa iddah dengan pria lain, atau seorang wanita yang tidak beragama Islam.
5.    karena suami sedang mempunyai empat orang istri
6.    karena istri telah dijatuhkan talak tiga atau istri yang dicerai karena li’an.
         Uraian-uraian tersebut disimpulkan, bahwa :
1.        perkawinan monogami merupakan azas, sedangkan perkawinan poligami merupakan aturan dispensasi (pengecualian) dari azas perkawinan (Sayuti halib, 1994 : 57).
2.        Di dalam perkawinan monogami relatif tidak disebutkan alasan-alasan tertentu kecuali alasan yang bersifat subjektif, sedangkan dalam perkawinan poligami terdapat alasan dan persyaratan tertentu yang bersifat okjektif.
3.        Di dalam perkawinan monogami, tidak diperlukan putusan pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang sedangkan di dalam perkawinan poligaami harus terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai dizinkan atau tidaknya suami untuk berpoligami. Putusan pengadilan tersebut sifatnya adalah imperatif, meskipun pada hakekatnya istri telah setuju.           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar