Pelaksanaan poligami tentu mempunyai ketentuan
yang didasari pada pasal 3 ayat (1) Tahun 1974
menyinggung tentang perkawinan monogami dan poligami bahwa pada azasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang istri,
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya saja dalam keadaan
tertentu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
(suami istri).
Jadi sebagai patokan dasar atau azas
perkawinan adalah perkawinan monogami, sedangkan perkawinan poligami adalah
dispensasi atas azas tersebut dan untuk melakukan poligami harus dengan izin
Pengadilan, meskipun pihak suami istri masing-masing telah memberikan
persetujuan.
Perkawinan poligami, syarat utama
tentang kebolehannya adalah ditentukan oleh apakah hukum dan agama yang
bersangkutan menghendaki atau tidak. Apabila hukum dan agama yang bersangkutan
tidak menghendaki maka undang-undang turut menguatkan sebagai larangan,
demikian pula sebaliknya apabila hukum dan agama yang bersangkutan
memperbolehkannya, maka undang-undang turut memberikan dukungan akan
kebolehannya.
Berbeda dengan perkawinan monogami
yang pada waktu tertentu, maka kecuali yang berkaitan dengan larangan pada
undang-undang yang dapat mengakibatkan batal perkawinan demi hukum atau dapat
dibatalkannya suatu perkawinan. Jika dalam perkawinan poligami ditentukan
secara limitatif alasan-alasan kebolehan suami untuk berpoligami sebagai tersebut
dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) PP No. 9
Tahun 1975, yakni :
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disebuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan.
Sedangkan
syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan
poligami disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu
:
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Alasan-lasana yang tersebut pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun
1974 adalah bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu syarat terpenuhi,maka
telah cukup alasan untuk berpoligami. Sedangkan syarat yang telah disebutkan
pada pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bersifat kumulatif,
dengan demikian maka semuanya harus terpenuhi. Dengan adanya ketentuan mengenai
alasan-alasan dan syarat-syarat tersebut, maka untuk melakukan poligami tidak
tergantung kepada selera suami semata tetapi juga harus memenuhi alasan dan
persyaratan objektif yang ditentukan di dalam undang-undang, selain dari pada
itu, terdapat pula syarat yang melekat pada perkawinan ini sendiri yakni
disebutkan dalam pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seorang melarang
memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab
atau susunan istrinya :
a.
Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.
Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
seorang istri yang akan dimadu membuat atau menandatangani surat pernyataan tidak
keberatan untuk dimadu dengan menyebutkan wanita yang akan menjadi istri kedua
dan seterusnya dan suami yang bersangkutan (formulir Nk. 2).
Larangan dilaksanakan kawin bagi laki-laki,
maka semua larangan kawin sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IV Pasal 39
sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum islam dalam perkawinan monogami, berlaku
pula untuk perkawinan poligami.
Larangan-larangan kawin yang telah
diatur sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.
karena adanya pertalian nasab
2.
karena pertalian kerabat semenda
3.
karena pertalian sesusuan
4.
karena wanita yang dikawini masih terikat dengan
perkawinan dengan pria lain, atau masih dalam masa iddah dengan pria lain, atau
seorang wanita yang tidak beragama Islam.
5.
karena suami sedang mempunyai empat orang istri
6.
karena istri telah dijatuhkan talak tiga atau istri yang
dicerai karena li’an.
Uraian-uraian tersebut disimpulkan,
bahwa :
1.
perkawinan monogami merupakan azas, sedangkan perkawinan poligami
merupakan aturan dispensasi (pengecualian) dari azas perkawinan (Sayuti halib,
1994 : 57).
2.
Di dalam perkawinan monogami relatif tidak disebutkan
alasan-alasan tertentu kecuali alasan yang bersifat subjektif, sedangkan dalam
perkawinan poligami terdapat alasan dan persyaratan tertentu yang bersifat
okjektif.
3.
Di dalam perkawinan monogami, tidak diperlukan putusan
pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang
sedangkan di dalam perkawinan poligaami harus terdapat putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap mengenai dizinkan atau tidaknya suami untuk
berpoligami. Putusan pengadilan tersebut sifatnya adalah imperatif, meskipun
pada hakekatnya istri telah setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar