Powered By Blogger

Rabu, 14 November 2018

Value for Money



Sebelum membahas mengenai Value for Money, terlebih dahulu akan dibahas mengenai kinerja. Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi (Indra Bastian, 2006: 274). Menurut Moh Mahsun (2006) kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok ukurnya. Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi atau organisasi dihubungkan dengan visi yang diemban oleh suatu organisasi.
Menurut Robertson (2002) dalam Moh. Mahsun (2006), pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
a.    Definisi Value for Money
Value for Money menurut Mardiasmo (2009: 4) merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Secara skematis, Value for Money dapat digambarkan sebagai berikut:
Value for Money merupakan suatu konsep pengukuran kinerja sektor publik yang memiliki tiga elemen utama: ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia, di mana pengertian dari masing-masing elemen tersebut adalah:
1)    Ekonomi
Ekonomi adalah pemerolehan sumber daya (input) tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Ekonomi terkait dengan sejauh mana organisasi sektor publik dapat meminimalisir input resources dengan menghindari pengeluaran yang boros dan tidak produktif (Mardiasmo, 2009: 4). Indikator ekonomi merupakan indikator tentang input. Pertanyaan yang diajukan adalah “apakah organisasi telah mengeluarkan biaya secara ekonomis?” (Indra Bastian, 2006: 78).
2)    Efisiensi
Efisiensi adalah hubungan antara input dan output di mana barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi digunakan untuk mencapai output tertentu (Indra Bastian, 2006: 280). Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2009: 4).
3)    Efektivitas
Efektivitas adalah hubungan antara output dan outcome  (tujuan), di mana efektivitas diukur berdasarkan seberapa jauh tingkat output, kebijakan, dan prosedur organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Indra Bastian, 2006: 280). Jika suatu organisasi berhasil mencapai tujuannya, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan efektif. Efektivitas hanya melihat apakah suatu program telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Mardiasmo, 2009: 134).
Dari uraian ketiga elemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa: (1) ekonomi terkait dengan nilai input dan input, (2) efisiensi terkait dengan input dan output, dan (3) efektivitas terkait dengan output dan outcome.
b.    Indikator Value for Money
Tuntutan masyarakat dalam Value for Money adalah ekonomis (hemat) dalam pengadaan dan alokasi sumber daya, efisien dalam arti bahwa penggunaan/pengorbanannya diminimalkan dan hasilnya dimaksimalkan, serta efektif (berhasil guna) dalam arti pencapaian tujuan dan sasaran. Peranan indikator kinerja pada Value for Money adalah untuk menyediakan informasi sebagai pertimbangan untuk pembuatan keputusan (Mardiasmo, 2009: 130). Mardiasmo (2009) juga membagi indikator Value for Money menjadi dua, yaitu:
1)    Indikator alokasi biaya (ekonomis dan efisiensi)
Ekonomis artinya pembelian barang dan jasa dengan tingkat kualitas tertentu pada harga terbaik (spending less). Efisiensi artinya output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang serendah-rendahnya (spending well).
2)    Indikator kualitas pelayanan (efektivitas)
Efektivitas artinya kontribusi output terhadap Outcome (pencapaian tujuan) dan sasaran yang ditetapkan (spending wisely).
c.    Manfaat Implementasi Value for Money
Penerapan konsep Value for Money dalam pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik tentunya memberikan manfaat bagi organisasi itu sendiri maupun masyarakat. Manfaat yang dikehendaki dalam pelaksanaan Value for Money pada organisasi sektor publik yaitu: ekonomis (hemat cermat) dalam pengadaan dan alokasi sumber daya, efisien (berdaya guna) dalam penggunaan sumber daya, dan efektif (berhasil guna) dalam mencapai tujuan dan sasaran (Mardiasmo 2009: 130).
Manfaat lain dari implementasi konsep Value for Money antara lain:
1)    Meningkatkan efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran.
2)    Meningkatkan mutu pelayanan publik.
3)    Menurunkan biaya pelayanan publik.
4)    Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik.
5)    Meningkatkan kesadaran akan uang publik (public costs awareness) sebagai akar pelaksanaan akuntabilitas publik (Mardiasmo 2009: 7).
Dari berbagai manfaat yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan Value for Money dalam pengukuran kinerja organisasi sektor publik sangat membantu suatu instansi pemerintah agar dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan tepat dan sesuai sasaran sehingga terciptanya mutu pelayanan yang baik dengan penggunaan sumber daya yang ekonomis dan efisien.
d.    Langkah-langkah pengukuran Value for Money
1)    Pengukuran Ekonomi
Pengukuran ekonomi hanya mempertimbangkan masukan yang digunakan. Ekonomi merupakan ukuran relatif. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan pengukuran ekonomi adalah:
a)    Apakah biaya organisasi lebih besar dari yang telah dianggarkan oleh organisasi?
b)    Apakah biaya organisasi lebih besar daripada biaya organisasi lain yang sejenis yang dapat diperbandingkan?
c)    Apakah organisasi telah menggunakan sumber daya finansialnya secara optimal? (Mardiasmo 2009: 133)
Mardiasmo (2009: 4) menyebutkan bahwa ekonomi merupakan perbandingan antara input dengan input value. Input dalam hal ini adalah target anggaran, sedangkan input value adalah realisasi anggaran. Indra Bastian (2006: 280) mencontohkan biaya pembangunan rumah sakit dapat dikatakan ekonomis jika biaya yang digunakan dalam pembangunan lebih rendah dari yang sesungguhnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu kinerja dikatakan ekonomis apabila realisasi anggaran lebih kecil daripada target anggaran dan dapat mencapai output sesuai dengan yang ditetapkan. Dari penjelasan tersebut, secara matematis pengukuran ekonomi dapat dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut:
2)    Pengukuran Efisiensi
Efisiensi dapat diukur dengan rasio antara output dengan input. Semakin besar rasio tersebut maka semakin efisien suatu organisasi (Indra Bastian 2006: 280). Mardiasmo (2009: 133) merumuskan efisiensi sebagai berikut:
Keterangan:
Output             : keluaran yang dicapai dari suatu kegiatan/program
Input                : segala sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan suatu
  kegiatan atau program
Pengukuran efisiensi tidak bersifat absolut tetapi bersifat relatif. Karena efisiensi diukur dengan membandingkan keluaran dan masukan, maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan:
a)    Meningkatkan output pada tingkat input yang sama.
b)    Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi peningkatan input.
c)    Menurunkan input pada tingkatan output yang sama.
d)    Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi penurunan output (Mardiasmo 2009: 134).
3)    Pengukuran Efektivitas
Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Efektivitas tidak menyatakan tentang seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu organisasi sektor publik dapat dikatakan efektif apabila organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Mardiasmo, 2009: 134).
Jadi secara matematis, efektivitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Semakin tinggi nilai rasio efektivitas, maka suatu kegiatan/program dikatakan lebih efektif.

PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA



Robinson dan Brumby (2005) mendefinikan performance budgeting sebagai prosedur dan mekanisme yang dimaksudkan untuk memperkuat kaitan antara dana yang disediakan untuk entitas sektor publik dengan outcome dan/atau output entitas tersebut melalui penggunaan informasi kinerja formal dalam pengambilan keputusan alokasi sumberdaya. Pengertian yang tidak jauh berbeda diberikan oleh Shah dan Shen (2007), yaitu suatu sistem penganggaran yang menyajikan tujuan dan sasaran untuk apa dana dibutuhkan, biaya dari program yang diusulkan dan kegiatan yang terkait untuk mencapai tujuan tersebut, serta output yang dihasilkan atau jasa yang diberikan pada setiap program.
Sementara itu, Robinson and Last (2009) menyatakan performance-based budgeting bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi kinerja secara sistematik. Carter (1994), seperti dikutip Young (2003), menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan dan sasaran untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan dan sasaran ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur. Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang dikeluarkan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance budgeting mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Pengkaitan biaya dengan output organisasi merupakan bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran.
Sejalan dengan pengertian dan tujuannya, Robinson dan Last (2009) menyatakan persyaratan mendasar dalam penerapan bentuk sederhana penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting), adalah:
     Informasi mengenai sasaran dan hasil dari pengeluaran pemerintah dalam bentuk indikator kinerja dan evaluasi program sederhana, dan
     Proses penyusunan anggaran yang dirangcang untuk menfasilitasi penggunaan informasi tersebut.
Hal ini, seperti yang dinyatakan Hou (2010), menunjukkan bahwa desain dari performance-based budgeting didasarkan pada pemikiran bahwa memasukan ukuran kinerja dalam anggaran akan mempermudah pemantauan terhadap program untuk melihat seberapa baik pemerintah telah mencapai outcome yang dijanjikan dan diinginkan.
Sejalan dengan Robinson dan Last, Young (2003) menyatakan 4 (empat) karakteristik performance-based budgeting. Pertama, performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran uang. Kedua, performance-based budgeting menyediakan informasi dan data mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga memungkinkan dilakukan perbandingan antara kemajuan yang aktual dengan yang direncanakan. Ketiga, dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program dilakukan untuk menutup setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual. Keempat, performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Lebih lanjut Robinson dan Last (2009) menyatakan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran (spending agency) diharuskan untuk:
     secara eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat, dan
     menyediakan indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses penyusunan anggaran.
Di Indonesia, persyaratan di atas tergambar dalam dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses penyusunan anggaran pemerintah. Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang dilaksanakan SKPD.
Di samping persyaratan adanya indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi penggunaan inkator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan penganggaran berbasis kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last (2009) adalah klasifikasi pengeluaran berdasarkan program (program budget) dan fleksibilitas yang lebih besar bagi manajer atau pejabat pelaksana anggaran.
Program budget mengklasifikasikan pengeluaran anggaran berdasarkan jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada traditional line-item budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada program budget proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program (program based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja. Senada dengan Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan bahwa bertentangan dengan line-item budgeting, performance budgeting menerapkan alokasi lumpsum untuk program-program bukan klasifikasi line item secara rinci (detailed line item clasification). Terkait dengan ini, Rubin (2007) mengemukakan bahwa output model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan menggunakan sumber daya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya untuk mencapai target dengan alasan bahwa mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan (line item), melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran.
Pelaksanaan anggaran membutuhkan adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana anggaran harus diberi fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-belanja yang dilakukannya untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus diikuti pada pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada traditional budgeting. Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting, performance budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya fiskal secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap (fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab atas apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.
Namun, kedua persyaratan ini belum diakomodir oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk penyusunan anggaran pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam penyusunan APBD masih menggunakan struktur line-item budgeting di mana anggaran disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek belanja. Hal ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang mengakibatkan kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran) dalam menggunakan anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai pengeluran anggaran yang diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum mendukung fleksibilitas pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran.
Seperti telah diuraikan di atas, penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Dengan demikian, dalam penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) informasi kinerja merupakan media atau sarana dalam mengaitkan pengeluaran yang akan dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerjanya. Informasi kinerja dimaksud dinyatakan dalam bentuk indikator kinerja dan target capaiannya. Karena itu, salah satu unsur penting dalam penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) adalah penetapan ukuran atau indikator kinerja.
Menurut Bastian (2006), indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Carlin (2004) menyatakan indikator kinerja output memegang peranan kunci dalam ketentuan mengenai akuntabilitas pemerintah yang baik dan pengambilan keputusan mengenai alokasi sumberdaya, perencanaan dan prektek manajemen yang lebih baik. Stewart (1984), seperti dikutip Carlin (2004), menyatakan pada sektor publik indikator kinerja seharusnya membantu pengguna laporan dalam memahami input, output, outcome dan kebijakan yang berkaitan dengan suatu periode tertentu. Indikator kinerja yang digunakan pada setiap kegiatan mencakup:
1)    Indikator Masukan (Input)
Masukan (input) merupakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu kegiatan untuk menghasilkan keluaran atau memberikan pelayanan. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, sarana, informasi, dan sebagainya.
2)    Indikator Keluaran (Output)
Keluaran (Output) merupakan produk atau keluaran langsung dari suatu aktivitas/kegiatan yang dilaksanakan. Indikator keluaran dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila target kinerjanya dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya, indikator keluaran harus sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi yang bersangkutan. Indikator keluaran (ouput) digunakan untuk memonitor seberapa banyak produk yang dapat dihasilkan atau disediakan.
3)    Hasil (Outcome)
Hasil (Outcome) menggambarkan hasil nyata dari keluaran (output) suatu kegiatan dan mencerminkan berfungsinya output tersebut. Indikator hasil (outcome) merupakan ukuran kinerja dari program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian sasaran dapat ditentukan dalam satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran, atau periode pemerintahan. Sasaran itu sendiri dituangkan dalam fungsi/bidang pemerintahan, seperti keamanan, kesehatan, atau peningkatan pendidikan. Indikator hasil (outcome) digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari setiap fungsi pemerintah yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa pelayanan) telah memenuhi keinginan masyarakat yang dituju.
4)    Manfaat (Benefit)
Manfaat (Benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
5.    Dampak (Impact)
Dampak (Impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif terhadap setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Kualitas dari suatu indikator kinerja dapat dilihat dari pemenuhan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja yang baik. Syarat-syarat tersebut menurut Bastian (2006) adalah:
1.    Spesifik, jelas, dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.
2.    Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yaitu dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja tersebut mempunyai kesimpulanyan sama.
3.    Relevan, yaitu indikator kinerja harus menangani aspek objektif yang relevan.
4.    Dapat dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan.
5.    Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan / penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan
6.    Efektif, yaitu data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan performance budgeting adalah mendefinisikan kinerja (performance). Agar bisa mengukur kinerja organisasi harus mengartikulasikan dengan jelas sasaran-sasarannya yang menjadi dasar dalam pengukuran kinerja. Kinerja tidak dapat diukur sebelum sasaran-sasaran tersebut dinyatakan dalam hasil-hasil yang diinginkan yang dapat diukur (measurable desired results) yang dinyatakan dalam bentuk output atau outcome. Diamond (2005) menyatakan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh output adalah merupakan barang atau jasa yang disediakan bagi individu atau organisasi di luar instansi yang bersangkutan, dapat diidentifikasi dengan jelas, berkontribusi untuk pencapaian outcome yang direncanakan, berada dalam kendali (controlable) instansi yang bersangkutan, serta menjadi dasar untuk perbandingan kinerja antar periode atau dengan kinerja aktual instansi lainnya. Sedangkan, ciri-ciri yang harus dimiliki oleh outcome menurut Diamond (2005) adalah harus mencerminkan sasaran dan prioritas pemerintah, ditandai dengan dampak terhadap masyarakat, menjelaskan strategi instansi, mengidentifikasikan target grup dengan jelas, dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu, dapat dipantau dan dinilai pencapaiannya, memperlihatkan hubungan sebab akibat dengan output, serta mempunyai definisi dan deskripsi yang jelas sehingga mudah dilaporkan.
Sementara itu, terkait dengan kualitas indikator kinerja, Carlin (2004) menyatakan indikator kinerja yang digunakan dan dilaporkan instansi harus:
a.    Correlative
Sekumpulan indikator yang dipilih suatu instansi harus sangat terkait dengan aktifitas dan fungsi utama instansi yang bersangkutan.
b.    Controllable
Untuk menganalisis sampai sejauh mana pencapaian kinerja didorong oleh upaya yang dilakukan instansi, informasi kinerja yang digunakan sebaiknya terkait dengan faktor-faktor yang berada dalam kendali instansi yang bersangkutan.
c.    Comprehensible
Agar berguna, pembaca laporan harus dapat mengerti indikator yang dilaporkan yang dimulai dengan memastikan bahwa unit pengukuran yang relevan digunakan untuk setiap indikator kinerja.
d.    Timely
Untuk memaksimalkan penggunaannya, indikator yang digunakan berhubungan dengan keadaan sekarang.
e.    Consistent
Konsistensi antar waktu merupakan dimensi utama dari kualitas dalam pelaporan kinerja.
f.     Constrainted
Indikator yang digunakan sebaiknya dibatasi pada hal-hal yang memberikan gambaran yang jelas dan akurat mengenai operasi instansi.

Penganggaran Sektor Publik



Sistem penganggaran sektor publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan tuntutan yang muncul di masyarakat. Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis penganggaran sektor publik, yaitu Line-Item Budgeting yang banyak digunakan pada negara berkembang, Planning Programing Budgeting System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun 1960-an, Zero-Based Budgeting (ZBB) yang mulai dikembangkan tahun 1970-an dan terakhir Performance-Based Budgeting (PBB) yang mulai dikembangkan tahun 1990-an.
Traditional line-item budgeting muncul karena adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang dapat meningkatkan korupsi. Anggaran line item tradisional menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Ciri yang utama dari sistem line item budget adalah menetapkan batas atas line item pada proses alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak dapat melakukan pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya (Shah and Shen, 2007). Asumsi yang mendasari input model budgeting adalah sumber daya yang terbatas dan kontrol terhadap tingkat pengeluaran sumber daya dan distribusinya akan dapat meningkatkan efisiensi (Rubin, 2007). Karena itu, kekuatan line item budgeting adalah kontrol yang ketat tehadap pengeluaran publik melalui spesifikasi input yang detail atau rinci (Shah and Shen, 2007). Ciri lain dari traditional budget adalah incrementalism. Dengan pendekatan incrementalism, jumlah item-item anggaran suatu tahun anggaran ditentukan dengan menambah atau mengurangi jumlah anggaran tahun sebelumnya dengan suatu marjin tertentu.
Sistem penganggaran tradisional berdasarkan line-item membawa beberapa permasalahan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada negara-negara yang telah meninggalkam sistem penganggaran ini. Permasalahan utama yang ditimbulkan oleh sistem anggaran line-item di Indonesia adalah (Rasul, 2003, 45-48):
     Orientasi pada pengendalian pengeluaran (expenditure control oriented) yang mengakibatkan akuntabilitas yang sangat terbatas, yaitu hanya pada besar dan cara pengeluaran sesuai dengan yang dialokasikan, bukan pada hasil yang dicapai (overseeing result).
     Dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas (ambiguity on distinction between capital and revenue expenditure) yang menimbulkan praktek pergeseran anggaran (budgetary sifting) yang dikenal dengan “rutin yang diproyekkan” dan masalah kesinambungan pembiayaan (sustainable financing)
      Basis alokasi yang tidak jelas (allocation base is not clear) dimana target kenaikan anggaran didasarkan pada persentase realisasi anggaran tahun sebelumnya atau, dengan kata lain, hanya berdasarkan kemampuan masing-masing instansi pemerintah untuk menyerap anggaran, bukan berdasarkan tingkat kinerja yang dicapai.
     Cenderung tidak fleksible (rigid) dimana pada jenis-jenis pengeluaran tertentu terdapat kewenangan yang terbatas pada pimpinan instansi untuk melakukan pergeseran mata anggaran tertentu yang menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan akuntabilitas yaitu pimpinan instansi hanya berakuntabilitas untuk sejumlah uang yang dibelanjakan sesuai anggaran yang tersedia, bukan terhadap hasil yang dicapai.
     Orientasi hanya satu tahun anggaran (short-term perspective) sehingga rencana pembiayaan tahunan yang dituangkan dalam Repelita (dokumen perencanaan lima tahunan) tidak dihubungkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan.
Planning Programming Budgeting System (PPBS) muncul sebagai koreksi terhadap kelemahan sistem Line-Item Budgeting terutama dalam hal tidak adanya hubungan yang rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran anggaran tersebut (Diamond, 2003, 6). Planning-Programming-Budgeting System mencoba memperkenalkan kerangka pengambilan keputusan yang jelas untuk proses formulasi anggaran unit-unit eksekutif (McNab, 2001, 9). PPBS, sebagai suatu sistem yang lengkap dari pembuatan anggaran pertama kali diterapkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1961, kemudian diterapkan pada semua instansi pemerintah federal dan menyebar dengan cepat pada pemerintahan negara bagian dan lokal (Diamond, 2003, 6).
Proses PPBS, sesuai dengan namanya, mempunyai tiga tahapan pokok yang menghubungan perencanaan dengan penganggaran melalui program-program. Tahap perencanaan (planning phase) mengidentifikasi tujuan sekarang dan masa datang serta berbagai cara yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tahap pemrograman (programming phase) menggunakan usulan hasil tahap perencanaan  untuk menetapkan program-program berdasarkan skala prioritas sesuai tingkatan hirarki pengambil keputusan. Tahap penganggaran (budgeting phase) menerjemahkan masing-masing program ke dalam rencana tahunan dengan menentukan siapa melakukan apa dan menetapkan sumberdaya yang dibutuhkan (Diamond, 2003, 6). Dari ketiga tahap tersebut, tahap pemrogramanlah untuk pertama kali mencoba untuk membuat hubungan yang jelas antara komponen-komponen perencanaan dan penganggaran pada proses anggaran (McNab, 2001, 10).
Sama halnya dengan PPBS, konsep zero-based budgeting (ZBB) dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan incremental budgeting yang ada pada sistem anggaran tradisional (line item budgeting). Sistem zero-based budgeting mencoba menciptakan lingkungan kelembagaan dimana unit-unit kerja diminta untuk membuat prioritas-prioritas berdasarkan hasil-hasil program yang dapat dicapai pada berbagai tingkat pengeluaran. Dalam membuat proposal anggaran, berbagai alternatif dirangking tanpa melihat pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan sebelumnya dan dengan memberi perhatian pada total pengeluaran yang diajukan, bukan penambahannya (McNab, 2001, 11-12). Dengan demikian, penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep zero-based budgeting dapat menghilangkan incrementalisms dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base) (Mardiasmo, 2005, 84).
Jenis yang terakhir, performance-based budgeting, berkembang sejalan dengan bergesernya paradigma manajemen sektor publik dari model tradisional administrati publik (traditional model of public administration) ke pendekatan new public management. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pendekatan new public management, seperti dinyatakan Hughes (1998), adalah adanya perubahan yang mendasar administrasi publik tradisional dengan memberikan perhatian yang besar pada pencapaian hasil; pergeseran dari birokrasi klasik untuk membuat organisasi, pegawai dan persyaratan kepegawaian lebih fleksibel; penetapan sasaran organisasi dan personal secara jelas dan indikator kinerja untuk mengukur pencapaiannya; pejabat pemerintah secara politis lebih bertanggung jawab pada pemerintah yang sedang berkuasa; fungsi-fungsi pemerintah bisa dicoba dilaksanakan oleh pasar; serta adanya kecendrungan mengurangi peran pemerintah melalui privatisasi.

Anggaran



Telah banyak para ahli yang memberikan pengertian tentang anggaran. Menurut Munandar (2000) anggaran ialah suatu rencana yang disusun secara sistematis yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan yang dinyatakan dalam unit (kesatuan) moneter dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Christina, dkk. (2001) menyatakan bahwa anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sitematis dalam bentuk angka dan dinyatakan dalam unit moneter yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan untuk jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. Asri dan Adisaputro (1996) memberikan pendapat yang sedikit berbeda, anggaran adalah suatu pendekatan yang formal dan sistematis dan pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan pengawasan.
Anggaran ialah suatu rencana, uraian tentang kegiatan yang akan dilaksanakan dan dinyatakan dalam bentuk uang (Azwar, 1996). Menurut Munandar (2000) anggaran mempnyai 3 kegunaan pokok, yaitu :
1.    Sebagai pedoman kerja dan memberikan arah serta sekaligus memberikan target yang harus dicapai oleh kegiatan-kegiatan perusahaan di waktu yang akan datang.
2.    Sebagai alat pengkoordinasian kerja agar semua bagian yang terdapat di dalam perusahaan dapat saling menunjang, saling bekerja sama dengan baik, untuk menuju sasaran yang telah ditetapkan.
3.    Sebagai alat pengawasan kerja yaitu sebagai alat pembanding untuk menilai realisasi kegiatan perusahaan.
Sementara itu menurut purwanto  (2005)  anggaran  mempunyai fungsi yaitu :
1.    Alat perencanaan (planning tool), merencanakan tindakan apa yang dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan dan berapa hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
2.    Alat pengendalian (control tool), memberikan rencana detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
3.    Alat kebijakan fiskal (fiskal tool), mendorong dan memfasilitasi kegiatan ekonomi masyarakat sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4.    Alat politik (political tool), bentk komitmen eksekutif dan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
5.    Alat koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool), mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja dan alat komunikasi dalam lingkungan eksekutif.
6.    Alat penilaian kerja (performance tool), pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran.
7.    Alat motivasi (motivation tool), memotivasi manajer dan stafnya agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien dalam mencapai target dantujuan organisasi.
Langkah-langkah yang harus diikuti dalam penganggaran adalah ; (1) penetapan tujuan, (2) pengevaluasian sumber-sumber daya yang tersedia, (3) negosiasi antara pihak-pihak yang terlibat mengenai angka anggaran, (4) persetujuan akhir, (5) pendistribusian anggaran yang disetujui (Shim dan Siegel, 2000).
Menurut Salomo (2005) terdapat tiga jenis anggaran yaitu :
1.    Line item budgeting/traditional budgeting yaitu sistem penganggaran yang disusun berdasarkan fungsi suatu organisasi. Bertujuan untuk melakukan kontrol keuangan dan berorientasi pada input organisasi serta pendekatannya melalui kenaikkan bertahap, dalam prakteknya indicator keberhasilannya adalah kemampuan menyerap anggaran. Kelemahannya adalah kontrol uang sebatas administrasinya, tidak menggambarkan kinerja karena berorientasi pada input, hanya menetapkan rencana anggaran berdasarkan kenaikkan secara bertahap yang berakibat tidak tersedianya informasi yang logis dan rasional tentang anggaran tahun yang akan datang. Indikator keberhasilannya adalah kemampuan menghabiskan anggaran. Kelemahan ini mengakibatkan inefisiensi, inefektivitas dan rendahnya akuntabilitas publik.
2.    Planning programing budgeting system dan zero based budgeting yaitu penyusunan anggaran yang berorientasikan pada rasionalitas dengan menjabarkan anggaran dalam program-program, sub-program dan proyek, dalam hal ini yang diukur adalah biaya dan manfaatnya. Kelemahan system ini adalah memerlukan banyak kertas kerja, data dan sistem manajemen informasi canggih sehingga sulit karena keterbatasan sumber daya manusia, menghasilkan keputusan unit yang menghasilkan paket alternative anggaran dengan tujuan agar responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
3.    Performance budgeting, anggaran yang berorientasi pada kinerja yaitu sistem penganggaran yang berorientasi pada output organisasi dan berkaitan dengan visi, misi dan rencana strategis organisasi.

EVALUASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA MELALUI KINERJA KEUANGAN YANG BERBASIS VALUE FOR MONEY (Pada Kabupaten Gowa)

Dana Alokasi Khusus



Berdasarkan Undang–undang No. 33 Tahun 2004, Dana AlokasiKhusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikankepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanaikegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai denganprioritas nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 tentang Danaperimbangan bahwa DAK untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadiurusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas ke Pemerintahan dibidang tertentu khusunya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2007 Penggunaan Dana perimbangan khususnya DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan fisik, sarana dan prasarana dasar yang menjadi urusan daerah antara lain program dan kegiatan pendidikan, kesehatan dan lain-lain sesuai dengan petunjuk teknis yang ditetapkan oleh menteri teknis terkait sesuai dengan PeraturanPerundang-undangan.
Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangankebijakan DAK bertujuan:
1.    Diprioritaskan untuk membantu daerah-daerah dengan kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah.
2.    Menunjang percepatan pembangunan sarana dan prasarana di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal terpincil, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil daerah rawan banjir/longsor, serta termasuk kategori daerah ketahanan pangan dan daerah pariwisata.
3.    Mendorong peningkatan produktivitas perluasan kesempatan kerja dan diversifikasi ekonomi terutama di pedesaan, melalui kegiatan khusus di bidang pertanian, kelautan dan perikanan, serta infrastruktur.
4.    Meningkatkan akses penduduk miskin terhadap pelayanan dasar dan prasarana dasar melalui kegiatan khusus di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
5.    Menjaga dan meningkatkan kualitas hidup, serta mencegah kerusakan lingkungan hidup, dan mengurangi risiko bencana melalui kegiatan khusus dibidang lingkungan hidup, mempercepat penyediaan serta meningkatkan cakupan dan kehandalan pelayanan prasarana dan sarana dasar dalam satu kesatuan sistem yang terpadu melalui kegiatan khusus di bidang infrastruktur.
6.    Mendukung penyediaan prasarana di daerah yang terkena dampak pemekaran Pemerintah kabupaten, kota, dan provinsi melalui kegiatan khusus di bidang prasarana Pemerintahan.
7.    Meningkatkan keterpaduan dan sinkronisasi kegiatan yang didanai dari DAK dengan kegiatan yang didanai dari anggaran Kementrian/Lembaga dan kegiatan yang didanai dari APBD.
8.    Mengalihkan secara bertahap dan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang telah menjadi urusan daerah ke DAK. Dana yang dialihkan berasal dari anggaran Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Pendidikan Nasionaldan Departemen Kesehatan.
Menurut UU No. 33 Tahun 2004 kriteria pengalokasian DAK meliputi:
1.    Kriteria Umum
Sesuai dengan pasal 40 UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan–kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai.
2.    Kriteria Khusus
Ditetapkan dengan memperhatikan Peraturan Perundang–undangan dan karakteristik daerah. Karakteristik daerah yang meliputi: untuk Provinsi (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata), untuk Kabupaten/Kota (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata.
3.    Kriteria Teknis
Kriteria teknis dirumuskan oleh kementrian negara atau departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator– indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saran prasarana pada masing–masing bidang/kegiatan yang akan di danai oleh DAK. Kriteria teknis berdasarkan lingkup kegiatanyaitu, Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan&perikanan, pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan, keluarga berencana, kehutanan, perdagangan, perumahan&pemukiman, listrik pedesaan, sarana kawasan, transportasi pedesaan, keselamatan transportasi, dansarana prasarana.
Menurut Bagus Santoso prosedur alokasi DAK meliputi:
1.    Menentukan apakah daerah tersebut memenuhi kriteria umum, yaitu daerah tersebut memiliki kemampuan keuangan daerah di bawah nilai rata-rata nasional kemampuan keuangan daerah.
2.    Jika memenuhi kriteria umum tersebut maka daerah tersebut layak memperoleh alokasi DAK.
3.    Jika tidak memenuhi, maka kita lihat kriteria khusus yang pertama, yaitu apakah daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki pengaturan otonomi khusus atau tidak.
4.    Jika daerah tersebut adalah daerah otonomi khusus, maka secara otomatis daerah tersebut layak mendapatkan alokasi DAK.
5.    Jika daerah tersebut bukan daerah otonomi khusus maka lihat kembali kriteria khusus yang kedua, yaitu karakteristik kewilayahannya yang ditunjuk dengan Indeks Karakteristik Wilayah (IKW).
6.    Gabungkan IKW dengan IFN (Indeks Fiskal Netto) untuk menghasilkan Indeks Daerah (ID).
7.    Jika suatu daerah memiliki Indeks Daerah kurang dari satu maka daerah tersebut secara otomatis layak mendapatkan alokasi DAK.
8.    Jika nilai ID tersebut lebih besar dari satu, maka daerah tersebut tidak layak mendapatkan alokasi DAK.
9.    Dapat disimpulkan, dari langkah 1-8 di atas, daerah yang layak mendapatkan alokasi DAK adalah (1) daerah yang memiliki kemampuan keuangan daerah dibawah rata-rata nasional, (2) daerah otonomi khusus, dan (3) daerah yang memiliki nilai Indeks Daerah kurang dari satu.
10. Dari semua daerah yang layak memperoleh alokasi DAK, tentukan nilai Indeks Fiskal Wilayah (IFW) yang merupakan fungsi dari IFN dan IKW.
11. Tentukan Bobot Daerah (BD) dengan mengalikan nilai IFW dengan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
12. Dari semua daerah yang layak, tentukan nilai Indeks Teknis setiap bidang DAK dan pada setiap daerah.
13. Tentukan Bobot Teknis (BT) dengan mengalikan IT dengan IKK.
14. Tentukan bobot DAK sebagai hasil penambahan Bobot Daerah (BD) dengan Bobot Teknis (BT).
15. Setelah ditentukan bobot DAK, tentukan besar alokasi DAK bagi setiap daerah.
Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan, pengadaan peningkatan, perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Dengan adanya pengalokasian DAK diharapkan dapat mempengaruhi pengalokasian anggaran belanja modal, karena DAK cenderung akan menambah aset tetap yang dimiliki Pemerintah guna meningkatkan pelayanan public.