Powered By Blogger

Senin, 04 Maret 2013

Mekanisme APBD


Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau ouput dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan dalam PP Nomor 58 Tahun 2005.
Berdasarkan pendekatan kinerja, APBD disusun berdasarkan pada sasaran tertentu yang hendak dicapai dalam satu tahun anggaran. Oleh karena itu, dalam rangka menyiapkan Rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama DPRD menyusun Kebijakan Umum APBD yang memuat petunjuk dan ketentuan-ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman dalam penyusunan APBD. 

Anggaran Berbasis Kinerja dan Anggaran Partisipatif


Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan (Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 Pasal 8).
Anggaran Partisipatif
Dalam konteks yang lebih spesifik, partisipasi dalam penyusunan anggaran merupakan proses para individu, yang kinerjanya dievaluasi dan memperoleh penghargaan berdasarkan pencapaian target anggaran, terlibat dan memiliki pengaruh dalam penyusunan target anggaran (Brownell,1982)
Tingkat keterlibatan dan pengaruh bawahan dalam proses penyusunan anggaran merupakan faktor utama yang membedakan antara anggaran partisipatif dengan anggaran nonpartisipatif (Milani, 1975)

Pengertian dan Manfaat Anggaran Publik


Anggaran akan berdampak pada kinerja pemerintah sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang akan dicapai pada satu periode mendatang yang dinyatakan dengan satuan finansial, sedangkan penganggaran merupakan proses dan metode yang dilakukan untuk menyusun sebuah anggaran (Halim,2001)
Ada beberapa alasan mengapa anggaran sektor publik tersebut diperlukan: (1) anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, (2) anggaran diperlukan untuk mengendalikan kebutuhan dan keinginan masyarakat yag tidak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas, dan (3) anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggungjawab terhadap rakyat. 

PRO POOR BUDGETING

Anggaran Pro Poor dapat dipahami sebagai anggaran yang memihak orang miskin. Proses anggaran mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin. Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun dan dilaksanakan. Dengan demikian anggaran pro poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, sehingga hak-hak dasarnya dapat dipenuhi melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran. Untuk menentukan kebijakan anggaran yang pro poor dapat diidentifikasi melalui dua hal, yaitu: proses dan isi atau alokasi dana.
Melalui proses dapat dilihat keterlibatan kelompok miskin dalam memformulasikan kebijakan anggaran. Oleh karena itu partisipasi masyarakat miskin untuk terlibat dalam tahap-tahap penggangaran menjadi penting untuk diamati. Selain aspek partisipasi, juga perlu dilihat aspek transparansi dan akuntabilitasnya. Di dalamnya termasuk akses terhadap semua data tentang anggaran, artinya informasi tersebut disediakan..
Di dalam Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman  Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008, sudah diatur secara jelas, bahwa prinsip penyusunan APBD mensyaratkan 6 hal yang harus dipenuhi, yaitu: partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efisiensi dan efektivitas anggaran, serta taat azas (Sony Yuwono, dkk;2008; 126 -  128)
Partisipasi masyarakat tersebut tercermin dalam Musyawarah perencanaan dan pembangunan (Musrenbang) yang dimulai dari tingkat desa. Hasil Musrenbang ini sebagai dasar bagi pemerintah daerah utuk menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Plafon dan Prioritas Anggaran (PPA) yang kemudian akan dijadikan dasar oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah  (TAPD) untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD. Dan RKA-SKPD ini kemudian akan dibahas oleh TAPD dengan Tim anggaran DPRD untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD). Namun, pada umumnya dalam menyusun KUA dan PPAS itu aspirasi masyarakat yang tercermin dalam hasil musrenbang tidak dihiraukan. Karena pemerintah daerah melalui Bappeda telah mempunyai perencanaan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini menjadi salah satu faktor tidak relevansinya program-program kerja pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Sebenarnya kalau kita lihat bahwa regulasi tentang musrenbang itu masih membatasi ruang partisipasi masyarakat, karena masyarakat dilibatkan hanya pada konteks perencanaan dan pembangunan, sedangkan pada fase penyusunan anggaran masyarakat tidak dilibatkan, fase penyusunan anggaran menjadi kewenangan pemerintah.
Persoalan transparansi, pengaturannya juga masih belum mantap. Permendagri No 59/2007 “Untuk memenuhi asas transparansi, kepala daerah wajib menginformasikan substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam lembaran daerah.” Karena tak secara eksplisit menyatakan dokumen apa yang harus diinformasikan, maka hal ini berpotensi tidak mampu menjamin warga, untuk mengakses dokumen tertentu yang justeru merupakan kunci dalam mempraktikkan penganggaran yang baik. Persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat bisa berbeda terhadap peraturan  tersebut. Bagi pemerintah daerah, pengumuman ringkasan APBD bisa saja dianggap telah memenuhi amanat Permendagri tersebut. Seperti yang terjadi selama ini. Untuk memasang “iklan APBD” di media cetak dalam bentuk ringkasan yang kurang informatif, Pemda harus membayar mahal. Sementara dokumen kunci seperti KUA-PPA, RKA SKPD yang sangat informatif, malah tidak diperlihatkan atau tidak bisa diakses oleh publik.
Pengamatan terhadap isi APBN/APBD merupakan tahap berikutnya untuk memastikan apakah sebuah kebijakan alokasi anggaran pro poor atau tidak.  Ada dua sisi yang harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBN/APBD yaitu sisi pendapatan dan sisi belanja.  Dari sisi belanja pengalokasian anggaran untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti. Beberapa alokasi anggaran yang berkait erat perubahan hak-hak dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan perumahan untuk mendapatkan gambaran bagaimana  kebijakan serta prioritas pemerintah terhadap pelayanan dasar tersebut. Untuk membuktikan adanya kebijakan anggaran pro poor dari sisi  pendapatan, dilihat dari mekanisme pajak atau retribusi yang dikenakan bagi masyarakat miskin. Perlu dilihat kelompok yang paling diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan pendapatan tersebut.
Berkaitan dengan itu, kita mencoba untuk mencermati sejauhmana keberpihakan pemerintah terhadap rakyat miskin melalui pengalokasian anggaran pada program atau kegiatan yang tercermin dalam APBN.
Menurut Abdur Rozaki, dkk (2008 : 7 – 12) bahwa, kemiskinan, ketimpangan dan ketertinggalan sebenarnya berakar pada struktur ekonomi politik anggaran yang timpang, yaitu tidak  berorientasi pada kesejahteraan. Ada tiga masalah dalam struktur ekonomi politik anggaran.
Pertama, desentralisasi politik sudah dijalankan, namun di sisi lain, potret kemiskinan sangat berakar di bawah dan beragam antardaerah.
Kondisi itu diperparah oleh rezim anggaran yang masih jauh dari skema desentralisasi fiskal (jika tidak bisa dikatakan, uang digenggam secara terpusat oleh Jakarta). APBN 2007, misalnya, dari total anggaran sebesar Rp 752 triliun, sebesar Rp 498 triliun (66%) dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat, dan sebesar   Rp 254 triliun (34%) yang ditransfer ke daerah dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Angka Rp 498 triliun yang dibelanjakan pemerintah pusat, terdiri dari Rp 97,9 triliun untuk belanja pegawai, Rp 61,8 triliun untuk belanja barang, Rp 69,2 triliun untuk belanja modal, Rp 83,5 triliun untuk pembayaran bunga utang, Rp 105 triliun untuk subsidi, Rp 47,5 triliun untuk bantuan sosial dan Rp 24,1 triliun untuk belanja lain-lain. Jika dana sebesar 34% “didaerahkan” melalui skema desentralisasi (block grant), sebagian besar belanja pemerintah pusat yang dibawa ke daerah dan desa, menggunakan skema dana alokasi khusus, dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sudah ditentukan dan dikendalikan secara terpusat (spesific grant). Termasuk dalam hal ini adalah anggaran untuk penanggulangan kemiskinan yang dikabarkan terus meningkat dari tahun ke tahun (Rp 23 triliun tahun 2005, Rp 42 triliun tahun 2006, Rp 51 triliun tahun 2007 dan Rp 58 triliun tahun 2008). Proyek dan anggaran anti kemiskinan yang terpusat itu, kontradiktif dengan gambaran kemiskinan yang beragam antar daerah. Keragaman terjadi dalam bentuk data potret kemiskinan. Pemerintah pusat menggunakan data kemiskinan berdasarkan kriteria dan temuan agregat Badan Pusat Statistik. Sementara itu daerah cenderung resisten dengan data yang dikeluarkan BPS. Kondisi ini menyebabkan angka kemiskinan versi pusat berbeda dengan versi daerah. Sejumlah daerah mengklaim telah membuat data dan peta kemiskinan lokal sendiri per rumah tangga dan bahkan per individu (by name). Perbedaan pendataan inilah yang membuat kesulitan dalam membuat  program antikemiskinan dari pusat ke daerah dan desa.
Kedua, negara mempunyai formasi dan karakter pemangsa (predatory state) terhadap anggaran. Sudah lama kita mendengar, bahwa gaji pegawai negeri dan TNI/Polri sangat kecil. Tetapi secara makro, gaji mereka memakan mayoritas anggaran negara dan daerah (sekitar 60%). Di daerah, belanja aparatur jauh lebih besar daripada belanja publik, bahkan belanja publik sekalipun masih ada yang dikonsumsi untuk biaya administrasi dan belanja aparatur. Pemerintah selalu mengatakan, bahwa sangat wajar kalau gaji perangkat negara memakan porsi yang besar dalam anggaran negara/daerah, karena keberadaan mereka bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam komponen gaji pegawai juga melekat biaya pelayanan yang sangat besar. Tetapi argument ini bisa dibilang rapuh, karena ketersediaan pangan maupun akses rakyat terhadap pelayanan dasar, yang tentu membutuhkan biaya besar, tidak bisa serta-merta ditukar dengan keberadaan pegawai negara. Ketimpangan distribusi anggaran juga terjadi antarsektor dalam tubuh negara.  Sebagai contoh Presiden yang mengurus 200 juta lebih penduduk Indonesia, bergaji sekitar 60 juta rupiah. Sementara gaji direktur utama BUMN sekitar 200 juta rupiah. Gaji pegawai Departemen Keuangan, berlipat ganda, bila dibandingkan dengan gaji pegawai departemen dan lembaga negara lainnya maupun pegawai daerah.  Negara bukan hanya berkarakter predatory, tetapi juga soft, karena institusi negara digerogoti oleh penyerobotan elite (elite capture), Elite capture hadir dalam bentuk; korupsi (mencuri uang negara), aktor-aktor dalam Negara yang membuat kebijakan dan kegiatan yang menguntungkan mereka, maupun, kebijakan yang kontradiktif dengan hak-hak kepentingan kaum miskin dan kelompok-kelompok marginal. Capture, sebaliknya, bisa juga hadir dalam bentuk tindakan invidividu maupun kelompok, baik aktor informal maupun formal, yang mempengaruhi peraturan maupun kebijakan pemerintah untuk kepentingan mereka. Dalam praktik pemerintahan sehari-hari, korupsi merupakan bentuk capture yang bisa dilihat secara terbuka oleh publik. Korupsi merajalela dimana-mana, mulai dari skala kecil hingga skala besar: SPPD yang berjalan-jalan,  fee proyek, mark up pembelian perlengkapan kantor, jalan-jalan dengan alasan studi banding, pungutan liar, menyunat dana bantuan, hingga skandal mega proyek dan perbankan. Capture yang lain, hadir dalam kinerja pemerintah yang membagi-bagi uang secara populis, kepada berbagai lapisan masyarakat untuk mendongkrak popularitasnya menjelang pemilikan kepala daerah.
Ketiga, alokasi-distribusi anggaran untuk rakyat, bersifat residual atau “sisanya-sisa”.  Menurut Muh. Kholid AS  (2008), kebijakan negara yang berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D), yang sebagian besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif, belum sepenuhnya berpihak pada kaum miskin.Contoh mudah dari ketidakpekaan anggaran tersebut bisa dilihat dari alokasi anggaran pendidikan yang hanya Rp. 48 triliun (12 persen) dari kekuatan APBN 2008 yang berjumlah Rp781,354 triliun. Sangat mungkin kebijakan tidak populis ini juga semarak di berbagai daerah lainnya, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten.  Selanjutnya ia mengatakan dalam kehidupan bernegara, sumber utama perubahan dalam masyarakat itu, khususnya dalam mengentaskan kemiskinan, terletak pada seberapa besar anggaran yang dialokasikan oleh negara untuk kaum lemah. Bisa dikatakan, anggaran adalah refleksi keputusan politik antara pemerintah dan legislatif dalam menetapkan prioritas pembangunaan. Keputusan “politik” ini tentu akan berdampak sangat luas terhadap taraf kehidupan masyarakat, terutama seberapa besar alokasi anggaran pembangunan yang bermanfaat sebagai penyedia layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi lokal. (Suara Muhammmadiyah, 28 Januari  2008). Selanjutnya Prof. Mubyarto dalam Abdur Rozaki, dkk, (2008 : 7), beliau menyoroti ketimpangan itu, dengan menunjukkan anggaran penanggulangan kemiskinan hanya 40 triliun rupiah, sementara untuk rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah. Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diterapkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM akhir 2005, dan kemudian  diterapkan pada tahun 2008,  merupakan bentuk ekstrem pendekatan distribusi yang keliru, bermasalah, menciptakan konflik dan dikecam berbagai pihak. Dan suatu hal sangat menarik bahwa pada tahun 2009 pemerintah berjanji akan memikirkan rakyat miskin sebagai prioritas ketika harga BBM dinaikkan.  Ada beberapa opsi yang ditawarkan oleh pemerintah SBY-JK sebagai kompensasi kepada rakyat miskin atas naiknya BBM, antara lain melalui bantuan langsung tunai plus (BLT Plus) dan program nasional pembangunan mandiri (PNPM), dimana tidak kurang sejumlah dana akan digelontorkan oleh World Bank, 19, 7 Trilyun rupiah pada tahun 2008,  dan 58 trilyun  rupiah pada tahun 2009. (sumber www.sarekathijauindonesia.org). Kompensasi atas kenaikan BBM untuk rakyat miskin melalui uang tunai yang sarat dengan berbagai dampak, terutama dampak sosial dengan meningkatnya konflik horizontal. Telah banyak dampak yang terjadi akibat adanya BLT,  seperti pertikaian warga dengan aparat, muncul salah urus, banyak keluarga mampu yang serakah, dengan menyatakan dirinya sebagai keluarga miskin. Kenaikan BBM, justru akan semakin meningkatkan angka kemiskinan dan semakin menjerumuskan rakyat kedalam krisis turunannya, seperi krisis pangan yang dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Tercatat tidak kurang dari 4456 kali peristiwa rawan pangan terjadi di Indonesia (sumber :  www.sarekathijauindonesia.org).
Berkaitan dengan berbagai fenomena tersebut di atas, maka reformasi anggaran, bukan hanya dilihat dari kecanggihan teknik penganggaran, tetapi kita juga harus lihat dari sisi yang lain yang memang mempunyai potensi mendorong terciptanya anggaran yang  pro poor.

Referensi :

Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus : Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen,  Yogyakarta, Penerbit IRE
Bastian, Indra, 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi
Muhammad Kholis, 2008, Urgensi Dakwah Anggaran,  Majalah Suara Muhammadiyah,  28 Januari 2008.
www.pbet.org/publikasi/modul, Pengantar Analisis Anggaran Pro Poor
www.sarekathijauindonesia.org, Kenaikan BBM, Agenda Liberalisasi Sumber Daya Alam,  19 Mei 2008
Sony Yuwono, dkk, 2008,  Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.
Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman  Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008
Permendagri No. 59 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah

PRINSIP- PRINSIP PRO POOR BUDGETING

Prinsip-prinsip penganggaran yang diperlukan sebagai prasyarat pro-poor budgeting adalah sebagai berikut    (www.pbet.org/publikasi/modul) :
a.       Transparan. Penyusunan anggaran kemiskinan dilakukan secara terbuka melalui berbagai saluran media, baik media cetak, media elektonik,  maupun media informasi yang akrab dengan masyarakat (mudah diakses rakyat miskin)
  1. Partisipasi . Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang  keterlibatan publik secara langsung untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi penganggaran diindikasikan dari adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan rakyat miskin.
  2. Rasional. Perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan cermat, jelas dan terukur berdasarkan data yang akurat dan sesuai kondisi aktual.
  3. Responsif. Anggaran yang direncanakan merupakan respon sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin
  4. Adil dan proporsional. Penentuan alokasi anggaran dilakukan dengan mempertimbangkan prioritas yang mendesak dan berkaitan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat masyarakat miskin. Anggaran dialokasikan secara proposional pada sektor-sektor tertentu yang sifatnya mendesak  dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas  sekaligus sebagai kompensasi/keberpihakan kepada kelompok masyarakat untuk mengurangi ketimpangan pendapatan.
  5. Kemandirian. Upaya penanggulangan kemiskinan perlu didukung sepenuhnya oleh sumber pembiayaan dalam negeri  atau tidak menimbulkan ketergantungan, termasuk program-program yang ditujukan untuk masyarakat miskin itu sendiri.
  6. Akuntabel. Adanya tanggungjawab yang tinggi dari pemerintah dalam mengelolah anggaran sebagai amanat rakyat terutama anggaran program penanggulangan kemiskinan. Hal ini diindikasikan dari: (a) adanya jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran; (b) adanya prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan
  7. Efektif dan efisien, pengelolaan anggaran ditujukan secara tepat sasaran untuk penanggulangan kemiskinan dan setiap nilai yang dikeluarkan dalam anggaran mampu memberikan nilai tambah dalam penanggulangan kemiskinan.
  8. Pendekatan kinerja, setiap input anggaran yang dipergunakan dalam penanggulangan kemiskinan harus berdasarkan terhadap out put yang akan dicapai dengan target indikator yang jelas dan terukur

Referensi :

Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus : Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen,  Yogyakarta, Penerbit IRE
Bastian, Indra, 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi
Muhammad Kholis, 2008, Urgensi Dakwah Anggaran,  Majalah Suara Muhammadiyah,  28 Januari 2008.
www.pbet.org/publikasi/modul, Pengantar Analisis Anggaran Pro Poor
www.sarekathijauindonesia.org, Kenaikan BBM, Agenda Liberalisasi Sumber Daya Alam,  19 Mei 2008
Sony Yuwono, dkk, 2008,  Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.
Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman  Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008
Permendagri No. 59 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah

POLITIK REFORMASI ANGGARAN


Anggaran dalam sektor pemerintahan didefinisikan sebagai pernyataan resmi pemerintah tentang perkiraan resmi pemerintah dan usulan belanja pada tahun berjalan, atau dengan kata lain sebuah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah baik kebijakan publik maupun kebijakan ekonomi.
Sebagai kebijakan publik dan ekonomi, Richard Musgrave (1959), dalam Abdur Razak (1998 : 11), beliau mengidentifikasi tiga fungsi anggaran, yaitu :
Pertama, fungsi alokasi. Anggaran  merupakan sebuah kebijakan pemerintah untuk penyediaan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, fungsi alokasi ini dilakukan melalui pembangunan fasilitas publik, pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya) maupun bantuan untuk pemberdayaan masyarakat.
Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan sebuah kebijakan untuk membagi sumberdaya dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata. Fungsi distribusi anggaran terutama ditujukan untuk menanggulangi kesenjangan publik-ekonomi, misalnya kesenjangan antara golongan kaya dan kaum miskin, kesenjangan antara daerah maju dengan daerah tertinggal atau kesenjangan antara desa dan kota.
Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran public tentu kakan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Anggaran menjadi sebuah kebijakan publik untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi, yakni terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan stabilitas ekonomi makro (laju inflasi, nilai tukar, harga-harga barang, dan lain-lain).
Berkaitan dengan ketiga fungsi tersebut, maka anggaran itu bersifat multidimensional, yakni anggaran sebagian bersifat politik, sebagian mengandung ekonomi, sebagian mengandung akuntansi dan sebagian bersifat manajemen dan administrasi publik. Sebagai sebuah dokumen politik, anggaran hendak mengalokasikan sumberdaya langka kepada masyarakat di antara kepentingan yang kompleks, kompetitif dan bahkan konflik publik. Sebagai dokumen ekonomi dan publik, anggaran menjadi kebijakan utama untuk mengevaluasi distribusi pendapatan, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi inflasi, mempromosikan lapangan pekerjaan maupun menjaga stabilitas ekonomi. Sebagai dokumen akuntansi, anggaran menjadi pedoman dan pagu bagi belanja pemerintah. Sebagai dokumen manajerial dan administasi publik, anggaran menjadi kebijakan untuk mengarahkan penyediaan pelayanan publik.
Di Indonesia, reformasi anggaran menjadi wacana dan kebijakan pemerintah yang utama sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Cara pandang better budget menjadi pegangan utama rezim keuangan di Indonesia dalam melakukan reformasi anggaran. Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting) juga diadopsi oleh semua institusi pemerintah untuk membuat penganggaran lebih baik dan rasional. Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting) termasuk sebuah konsep mutakhir yang membimbing reformasi anggaran untuk membuat anggaran yang lebih baik.  Tetapi apa sumbangan better budget itu terhadap kesejahteraan? Tampaknya reformasi anggaran ditujukan untuk mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi dalam tubuh pemerintah. Jika upaya-upaya reformasi anggaran yang tengah berjalan tidak kompatibel dengan tujuan kesejahteraan, maka kita perlu melihat reformasi anggaran dari sisi lain. Artinya bahwa reformasi anggaran bukan sekadar membuat better budget, tetapi yang lebih penting harus melihat dimensi politik anggaran, karena anggaran di sektor pemerintah merupakan kompromi-kompromi politik antara legislatif dan eksekutif. Penganggaran bukan sekadar mengalokasikan sumberdaya langka antara aktivitas X dan Y, tetapi yang lebih penting adalah mempertemukan berbagai kebutuhan masyarakat yang saling berbenturan melalui proses kompromi dalam proses politik.
Sehingga dalam kerangka kerja dari pro poor bedgeting, bahwa  Better budget seharusnya ditempatkan pada dimensi kesekian dalam reformasi anggaran. Dimensi pertama yang harus ditekankan adalah “politik anggaran”, terutama kebijakan (pilihan-pilihan politik) untuk alokasi dan distribusi anggaran kepada publik. Oleh karena itu, keberhasilan menciptkan pengelolaan anggaran publik yang pro poor sangat ditentukan oleh beberapa faktor pertama, komitmen politik yang kuat pemimpin. kedua, dukungan berbagai kelompok elite dan masyarakat dan ketiga, terbangunnya model demokrasi yang stabil dan dihasilkan oleh konsesus bersama.

Referensi :

Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus : Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen,  Yogyakarta, Penerbit IRE
Bastian, Indra, 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi
Muhammad Kholis, 2008, Urgensi Dakwah Anggaran,  Majalah Suara Muhammadiyah,  28 Januari 2008.
www.pbet.org/publikasi/modul, Pengantar Analisis Anggaran Pro Poor
www.sarekathijauindonesia.org, Kenaikan BBM, Agenda Liberalisasi Sumber Daya Alam,  19 Mei 2008
Sony Yuwono, dkk, 2008,  Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.
Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman  Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008
Permendagri No. 59 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah

BEBERAPA PRAKTIK TERBAIK ANGGARAN PRO POOR


Jembrana, sebuah Kabupaten yang berada di propinsi Bali merupakan sebuah contoh yang mengadopsi anggaran pro poor. Hal ini dapat dilihat dari gratisnya beberapa pelayanan dasar bagi masyarakat Jembrana, yaitu pendidikan dan kesehatan. Seluruh biaya pendidikan mulai dari SD (sekolah dasar) sampai SMA (sekolah menengah atas) digratiskan. Sementara di bidang kesehatan, pemerintah daerah juga mengembangkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Semua warga Jembrana diasuransikan, sehingga mereka bisa berobat disemua rumah sakit yang ada di Jembrana secara gratis.  
Kabupaten lain yang bisa dijadikan contoh penerapan Anggaran Pro Poor adalah Kabupaten Sleman. Pemerintah daerah membuat program dombanisasi, pemberian bantuan domba. Program ini diyakini dapat menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) yang cukup besar karena akan mendorong munculnya kegiatan-kegiatan usaha pupuk (berupa kotoran kambing), jasa pemotong kambing, penyamakan kulit, kerajinan kulit, penjualan daging kambing dalam  berbagai bentuk hidangan, pembuatan kerupuk kulit dan lain-lain.
Sementara itu contoh-contoh dari negara-negara ”walfare state” seperti Swedia dan Finlandia. Karena gas dinilai sebagai kebutuhan dasar masyarakat, maka pemerintah Swedia mengratiskannya. Di Finlandia, misalnya orang kaya harus membayar pajak yang sangat tinggi untuk mensubsidi orang miskin. Dengan demikian adanya jaminan untuk masyarakat miskin dan kelompok rentan seperti para lanjut usia, mendapatkan jaminan yang cukup baik di negara-negara tersebut. 

Referensi :

Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus : Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen,  Yogyakarta, Penerbit IRE
Bastian, Indra, 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia, Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Mardiasmo, 2004, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi
Muhammad Kholis, 2008, Urgensi Dakwah Anggaran,  Majalah Suara Muhammadiyah,  28 Januari 2008.
www.pbet.org/publikasi/modul, Pengantar Analisis Anggaran Pro Poor
www.sarekathijauindonesia.org, Kenaikan BBM, Agenda Liberalisasi Sumber Daya Alam,  19 Mei 2008
Sony Yuwono, dkk, 2008,  Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan Daerah, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.
Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman  Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008
Permendagri No. 59 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah