Powered By Blogger

Jumat, 16 November 2018

Tekanan Fiskal (Fiscal Stress)


2.3      

Tidak ada definisi Fiscal Stress yang diterima secara universal. Sehingga para peneliti membuat definisi sendiri yang mampu menjawab tujuan penelitian mereka dengan mempertimbangkan ketersediaan data (Arnett, 2011). Banyak definisi dan indikator Fiscal Stress yang diajukan oleh berbagai penelitian di luar negeri. Arnet (2011) menyebutkan bahwa Fiscal Stress merupakan tekanan anggaran (fiskal) yang terjadi sebagai akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penyelenggaran pelayanan publik. Dimana tekanan keuangan (Fiscal Stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber- sumber daya daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe, dalam Adi dan Setyawan (2008), mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang sama, dimana tekanan keuangan (Fiscal Stress) yang menjadi semakin tinggi.
Menurut  Arnett  (2011)  literatur  tentang  kondisi  keuangan dan pengukuran

fiscal tress menekankan beberapa isu yang perlu dipertimbangkan dalam  pengukuran






Fiscal Stress dalam spektrum kondisi keuangan publik. Terdapat 5 kategori besar pengukuran Fiscal Stress di tingkat daerah (state) yang dikaji oleh Arnett (2011), antara lain: defisit anggaran (budget deficits), saldo anggaran akhir tahun yang tidak dicadangkan (year-end unreserved budget balance), penurunan atas kinerja penerimaan pemerintah daerah (decline in states’s revenues performance), peningkatan pajak relatif terhadap trend pengeluaran (tax increases relative to spending trends) dan rasio keuangan (financial ratios). Hasil kajian Arnett (2011) menekankan bahwa Fund Balance (Saldo Dana = selisih penerimaan dan pengeluaran) adalah penting dalam penentuan indikator (ukuran) Fiscal Stress karena dianggap mewakili kemampuan pemerintah untuk terus bertahan beroperasi meskipun dalam kondisi ekonomi yang mengalami permasalahan finansial sekalipun. Pemerintah daerah yang memiliki Saldo Dana (fund balance) masih mampu bertahan beroperasi untuk menyerap dampak negatif dari permasalahan finansial tersebut. Dalam spektrum kondisi keuangan publik, Fiscal Stress dapat dikategorikan sebagai kondisi keuangan publik yang lemah (weak financial condition).




Gambar 2.5 Spektrum Kondisi keuangan publik (Arnett, 2011)







Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang No. 34 tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah dalam era otonomi ini. Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Sobel dan Holcombe dalam Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran.
Shamsub dan Akoto (2004) mengelompokkan penyebab timbulnya Fiscal Stress ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1.  Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress.

Penyebab utama terjadinya Fiscal Stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2.  Menekankan bahwa ketiadaan perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya Fiscal Stress. Yu dan Korman (1987) dalam Shamsub dan Akoto (2004) menemukan bahwa kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.






3.  Menerangkan bahwa Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam Shamsub dan Akoto (2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.


2.6.1        Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Fiscal Stress

Iskandar Muda (2012) menunjukkan bahwa Pertumbuhan PAD memiliki dampak atas Fiscal Stress suatu daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan penerimaan daerah (dalam hal ini PAD) mempengaruhi tingkat Fiscal Stress pada suatu daerah. Adanya perubahan (kenaikan/penurunan) dari komponen penerimaan daerah akan menyebabkan perubahan tingkat Fiscal Stress yang dialami oleh daerah tersebut. Terkait dengan hal itu, penelitian Iskandar Muda (2012) merinci bahwa komponen dari sektor penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi Fiscal Stress adalah proporsi retribusi daerah, sedangkan proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan proporsinya sedikit naik dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Purnaninthesa (2006) juga mendukung temuan yang menyatakan bahwa Fiscal Stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa Fiscal






Stress di suatu daerah mendorong dan memotivasi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan penerimaan daerah (PAD) dengan fenomena Fiscal Stress.


2.6.2        Pengaruh Belanja Modal terhadap Fiscal Stress

Dalam menghadapi otonomi daerah, pemerintah daerah harus lebih meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan terus mengalami perbaikan sepanjang didukung oleh tingkat pembiayaan daerah yang memadai. Alokasi belanja yang memadai untuk peningkatan pelayanan publik diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan pendapatan asli daerah, baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan lainnya.
Dongori (2006) memberikan gambaran empirik bahwa terjadi perbedaan tingkat pembiayaan sesudah era otonomi daerah lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya. Perubahan pembiayaan ini lebih banyak disebabkan adanya tuntutan peningkatan pelayanan publik yang ditunjukkan dengan peningkatan alokasi ataupun terjadi pergeseran belanja untuk kepentingan-kepentingan pelayanan publik secara langsung, dalam hal ini belanja pembangunan.
Belanja pembangunan seperti pembangunan infrastruktur pada jangka pendek akan memperbesar anggaran belanja daerah. Hal ini jika tidak diimbangi dengan






penerimaan yang cukup signifikan (besar) maka dapat menimbulkan Fiscal Stress yang cukup serius, mengingat Fiscal Stress di sini dicerminkan adanya ketidakseimbangan anggaran penerimaan dengan pengeluaran. Pada jangka panjang dengan peningkatan kualitas infrastruktur suatu daerah pada gilirannya mempunyai harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah di masa yang akan datang. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan belanja daerah dapat mempengaruhi Fiscal Stress.


2.6.3        Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) terhadap Fiscal Stress


Tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah terciptanya kemandirian daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui PAD (Sidik, 2002). Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki tingkat pendapatan per kapita yang lebih baik. PAD berkorelasi positif dengan petumbuhan ekonomi (diukur dengan PDRB) di daerah (Brata, 2004). PAD merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Jika PAD meningkat maka dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk membiayai aktifitasnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik juga akan lebih tinggi. Pada gilirannya, tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula. Pemerintah daerah akan berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB. Pertumbuhan PAD






secara berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu.
Peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah (Saragih, 2003). Oleh karena itu, daerah tidak akan berhasil bila daerah tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun terjadi peningkatan penerimaan PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa diindikasikan adanya eksploitasi PAD terhadap masyarakat secara berlebihan tanpa memperhatikan peningkatan produktifitas masyarakat itu sendiri. Sidik (2002) menegaskan bahwa keberhasilan peningkatan PAD hendaknya tidak hanya diukur dari jumlah yang diterima, tetapi juga diukur dengan perannya untuk mengatur perekonomian masyarakat agar dapat lebih berkembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Pada gilirannya harapan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dapat terpenuhi. Dalam hal ini melalui peningkatan PAD maka pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB memberikan pengaruh terhadap Fiscal Stress.


Teori Peacock dan Wiseman


2.3              


Teori ini didasarkan pada suatu analisis penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemerintah selalu berusaha memperbesar pengeluarannya dengan mengandalkan penerimaan dari pajak, padahal masyarakat tidak menyukai pembayaran pajak yang besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Dalam keadaan normal meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.






Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada situasi di mana masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat mentoleransi besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Dalam teori Peacock dan Wiseman terdapat efek penggantian (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Pengentasan gangguan tidak hanya cukup dibiayai semata-mata dengan pajak sehingga pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri.
Setelah gangguan teratasi muncul kewajiban melunasi utang dan membayar bunga. Pengeluaran pemerintah yang semakin bertambah bukan hanya karena GNP bertambah tetapi karena adanya kewajiban baru tersebut. Akibat lebih lanjut adalah pajak tidak menurun kembali ke tingkat semula meskipun gangguan telah berakhir.
Selain itu, masih banyak aktivitas pemerintah yang baru kelihatan setelah terjadinya perang dan ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah yang sebelumnya dilaksanakan oleh swasta. Efek inilah disebut sebagai efek konsentrasi (concentration effect). Dengan adanya ketiga efek tersebut menyebabkan






bertambahnya aktivitas pemerintah sehingga setelah perang selesai tingkat pajak tidak menurun kembali pada tingkat sebelum terjadi perang. Adanya dampak eksternal tadi digambarkan dalam bentuk kurva di bawah ini.


Gambar 2.3 Kurva dalam Teori Peacock dan Wiseman


Dalam keadaan normal, t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap GNP meningkat sebagaimana yang ditunjukan garis AG. Apabila pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah meningkat sebesar AC dan kemudian meningkat seperti yang ditunjukan pada segmen CD. Setelah perang selesai pada tahun t+1, pengeluaran pemerintah tidak menurun ke G. Hal ini disebabkan setelah perang, pemerintah membutuhkan tambahan dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan pembangunan.






Berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis, seperti kurva di bawah, tetapi berbentuk seperti tangga.






Gambar 2.4 Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah


Pengeluaran pemerintah menurut teori Wagner, Rostow, dan Musgrave digambarkan dalam bentuk kurva yang eksponensial, sedangkan teori Peacock dan Wiseman mengatakan bahwa pengeluaran pemerintah jika digambarkan dalam kurva seperti bentuk tangga. Hal ini dikarenakan adanya kendala toleransi pajak. Ketika masyarakat tidak ingin membayar pajak yang tinggi yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah tidak bisa meningkatkan pengeluarannya, walaupun pemerintah ingin senantiasa menaikkan pengeluarannya. Di sisi lain ada fenomena di mana






penerimaan pemerintah yang terbatas seiring dengan pengeluaran daerah yang semakin meningkat, fenomena ini disebut Fiscal Stress.

Belanja Modal


2.

Menurut Halim (2001), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum”. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 53 ayat 1 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah juga disebutkan bahwa Belanja Modal merupakan pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.
Menurut Syaiful (2006), Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5(lima) kategori utama:






1.                    Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ pembelian/ pembebasan, penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2.                    Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3.                    Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian, termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4.                    Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan, pembangunan/






pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5.                    Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pegadaan/ penambahan/ penggantian/ peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainya yang tidak dapat dikategorikan dalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan termasuk dalam belanja ini adalah belanja kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku dan jurnal ilmiah.

Penerimaan Pemerintah


2.1

2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat kemandirian suatu daerah otonom dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan daerah tersebut. Sejalan dengan itu, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya (Koswara, 2000). Sumber dari PAD sendiri terdiri dari 1) Penerimaan pajak, 2) Penerimaan retribusi, 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan 4) Lain-lain PAD yang sah. Sumber-sumber PAD tersebut memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap penerimaan PAD secara keseluruhan, namun kontribusi terbesar dalam penerimaan PAD berasal dari pajak daerah.

Perpajakan


Perpajakan merupakan sumber utama pendapatan pemerintah untuk membayar barang dan jasa yang dihasilkannya. Tujuan utama dari beberapa prinsip umum perpajakan dan mengevaluasinya adalah untuk memahami dampak dari sumber berbagai pajak yang digunakan untuk membiayai pemerintah. Untuk sepenuhnya memahami dampak dari pajak atas ekonomi, sistem pajak harus

dianalisis secara keseluruhan karena efek dari satu jenis pajak akan tergantung pada bagaimana pajak yang berinteraksi dengan ketentuan jenis pajak lainnya.
Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk tujuan- tujuan tertentu. Misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur perekonomian dan juga untuk mengatur konsumsi masyarakat. Karena sifatnya yang dipaksakan tersebut maka pajak akan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau seseorang.
Pajak merupakan modal dasar pembangunan. Lebih dari dua pertiga modal dasar pembangunan adalah berasal dari pajak. Mekanisme bekerjanya sistem pajak seperti ini dapat dijelaskan seperti berikut. Pada saat pemerintah melakukan belanja barang dan jasa terjadi aliran pendapatan dari pemerintah ke dalam masyarakat. Termasuk juga dalam hal ini beberapa multiplier effect dalam bentuk, misalnya employment creation dan peningkatan output. Kenaikan pendapatan masyarakat ini akan merangsang peningkatan permintaan dan dalam kondisi penawaran yang relatif terbatas akan terjadi kecenderungan kenaikan harga (untuk selanjutnya mengarah pada inflasi). Dalam situasi seperti ini sebagian dari pendapatan masyarakat yang meningkat itu diambil oleh pemerintah melalui pajak untuk membiayai defisit anggaran berikutnya. Hal inilah yang dikatakan sebagai forced saving, yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk pembentukan modal.


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di suatu daerah. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga yaitu harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas harga berlaku merupakan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada tahun bersangkutan, sementara PDRB atas dasar harga konstan dihitung dengan menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan saat ini menggunakan tahun 2000. Terdapat dua cara dalam metode perhitungan PDRB, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Metode langsung terdapat beberapa pendekatan, diantaranya adalah pendekatan produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran, sedangkan metode tidak langsung adalah dengan menghitung nilai tambah suatu kelompok ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah ke dalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan yang paling besar tergantung atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling menunjang satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong peningkatan kualitas data daerah, sedangkan metode tidak langsung akan merupakan koreksi dalam pembanding bagi data daerah

Peran Pemerintah


Dalam setiap sistem perekonomian, apakah sistem perekonomian kapitalis atau sistem perekonomian sosialis, pemerintah senantiasa mempunyai peranan yang penting. Peranan pemerintah yang sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis dan sangat terbatas dalam sistem perekonomian kapitalis murni seperti yang dikemukakan oleh Adam Smith. Adam Smith mengemukakan bahwa fungsi pemerintah hanya terbatas pada kegiatan:
1)              memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan.

2)              menyelenggarakan peradilan.






3)              menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti misalnya jalan dan bendungan.
Dapat dipahami bahwa dengan kemajuan-kemajuan dan perkembangan di setiap negara, tidak ada satu pun negara kapitalis di dunia ini yang melaksanakan sistem kapitalis murni. Dalam dunia modern, pemerintah diharapkan peranannya semakin besar mengatur jalannya perekonomian.
Adam Smith, konseptor sistem kapitalis murni, mengemukakan ideologinya karena dia menganggap bahwa dalam perekonomian kapitalis, setiap individu yang paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri. Prinsip kebebasan ekonomi dalam prakteknya menghadapi benturan kepentingan, karena tidak adanya koordinasi yang menimbulkan harmonis dalam kepentingan masing-masing individu. Dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam 3 golongan besar, yaitu:
1)              Peranan alokasi

2)              Peranan distribusi, dan

3)              Peranan stabilisasi.

Sementara itu, Barton (2000) menyebutkan peran utama pemerintah secara garis besar adalah: 1) peran alokasi sumber daya, 2) peran regulator, 3) peran






kesejahteraan sosial, 4) peran mengelola ekonomi makro. Penjelasan keempat peran pemerintah tersebut adalah sebagai berikut:
1.                 Dalam peran alokasi sumber daya tercakup soal penentuan ukuran absolut dan relatif pemerintah dalam perekonomian (keseimbangan sektor publik dan sektor swasta) dan penyediaan barang-barang publik serta pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.
2.                 Peran regulator. Hal ini mencakup undang-undang dan tata tertib yang dibutuhkan masyarakat termasuk undang-undang yang mengatur dunia bisnis yang memadai untuk memfasilitasi aktivitas bisnis dan hak-hak kepemilikan pribadi.
3.                 Peran kesejahteraan sosial. Mencakup kebijakan-kebijakan yang mendorong pemerataan sosial di negara yang bersangkutan seperti perpajakan, jaminan sosial (transfer payment) dan penyediaan sejumlah barang publik campuran bagi masyarakat.
4.                 Peran mengelola ekonomi makro yang memfasilitasi stabilitas secara umum dan kemakmuran ekonomi negara melalui kebijakan-kebijakan yang didesain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang stabil, full employment, inflasi yang rendah, dan stabilitas neraca pembayaran.

Kegagalan Pasar


2.1             


Pengertian kegagalan pasar secara sederhana identik dengan kegagalan pasar dalam mencapai efisiensi alokasi sumber daya pada masyarakat. Namun pengertian ini tidak mutlak, tergantung dengan tujuan bagaimana suatu sistem yang diterapkan. Sebagaimana Jepang mengartikan kegagalan pasar sebagai kondisi dimana mekanisme pasar tidak mampu mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah, sehingga pasar menjadi tidak memadai dalam penyediaan infrastruktur dasar, pemenuhan kebutuhan dasar, dan pengiriman layanan penting bagi masyarakat.
Teori tradisional kegagalan pasar menggambarkan kegagalan pasar sebagai kondisi dimana terjadi kerugian atau kehilangan alokasi atau efisiensi. Hasil dari pasar tidak optimal atau kurang efisien sehingga menyebabkan eksternalitas. Stiglitz (1997a. p. 64) mencatat adanya tiga tipe pasar yang tidak efisien, yaitu: (1) product mix inefficiency, dimana pasar memproduksi sangat banyak satu barang dan sedikit barang yang lain, (2) exchange inefficiency, dimana beberapa barang yang diproduksi di pasar tidak mampu mencapai keinginan dari individu, dan (3) production inefficiency, ketika produksi suatu barang menjauhi dari batas kemungkinan produksi.






10












Gambar 2.1

Inefisiensi Alokasi Sumber Daya Sebagai Wujud Kegagalan Pasar



Gambar di atas menunjukkan salah satu inefisiensi alokasi sumber daya akibat perilaku monopolis di pasar monopoli. Keberadaan monopoli mendistorsi alokasi sumber daya. Monopoli secara sengaja membatasi produksi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan keuntungan. Dari grafik tersebut dapat dilihat, bahwa monopoli memproduksi barang jauh lebih kecil seperti yang terjadi pada pasar persaingan sempurna yaitu sebesar Q**. Selisih (Q**- Q*) mencerminkan ketidak efisienan atau munculnya deadweight loss, yaitu hilangnya bagian surplus konsumen.






Selisih antara harga dan biaya marginal menunjukkan bahwa pada tingkat output yang memaksimalkan keuntungan, konsumen mau untuk membayar lebih mahal untuk unit tambahan dari pada biaya untuk memproduksi output tersebut.
Dewasa ini boleh dikatakan tidak ada satu negarapun yang aktivitas ekonominya bebas dari campur tangan pemerintah. Kecenderungan tersebut juga terjadi di negara yang perekonomiannya paling liberal atau kapitalis sekalipun. Bila dilihat sejarah ke belakang hal ini merupakan siklus yang terus berputar, pada masa Merkantilisme dimana peran pemerintah cukup dominan dalam perekonomian mengalami kegagalan yang ditandai dengan lahirnya teori Klasik Adam Smith. Kemudian diganti dengan peran swasta yang begitu dominan dalam perekonomian suatu negara. Namun peran swasta tersebut juga menemui kegagalan yang dikenal sebagai kegagalan pasar (market failure). Hal ini ditandai dengan adanya depresi besar akibat mekanisme pasar yang tidak berjalan sebagai mestinya, yang pada akhirnya pemerintah diharapkan untuk memainkan peran dalam perekonomian. Dengan kata lain peran pemerintah tetap diperlukan, bukan dihapuskan. Peran pemerintah yang semakin besar dalam perekonomian tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar inilah yang pada mulanya menjadi latar belakang dirasa perlunya campur tangan pemerintah. Mekanisme pasar melalui invisible hand dinilai tidak mampu secara efisien dan efektif dalam menjalankan fungsinya yang menuurut Weimer dan Vining (1992) adalah merupakan kegagalan pasar tradisional. Namun kegagalan pasar hanyalah salah satu sebab mengapa






pemerintah harus turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara optimal (Mangkusoebroto, 1999). Kegagalan pasar barulah merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi campur tangan pemerintah. Barton (2000) menyebutkan pula bahwa dalam ekonomi pasar yang dikendalikan oleh pemerintahan yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat, yaitu: social equity dan kegagalan pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan public policies-nya adalah mengkoreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi.dan alokasi sumber daya dan barang, serta merelokasi oportunitas dan barang untuk mencapai nilai-nilai distribusional dan nilai-nilai lainnya (Weimer dan Vining, 1992).

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN PAD, PDRB, DAN BELANJA MODAL TERHADAP FISCAL STRESS PADA KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH

Pengertian Kredit Bermasalah



Kredit bermasalah adalah semua kredit yang memiliki risiko tinggi karena debitur telah gagal atau menghadapi masalah dalam memenuhi kewajiban yang telah ditentukan. Kredit bermasalah dapat diartikan sebagai suatu keadaan kredit dimana debitur sudah tidak sanggup membayar sebagian atau keseluruhan kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan atau telah ada suatu indikasi potensial bahwa sebagian maupun keseluruhan kewajibannya tidak akan mampu dilunasi debitur.
Dendawijaya (2000 : 11 ), kredit bermasalah terutama disebabkan oleh kegagalan pihak debitur memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran (cicilan) pokok kredit beserta bunga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit. Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.        Terjadi kegagalan pemenuhan perjanjian pembayaran angsuran kredit.
2.        Terjadi penundaan pembayaran tanpa alasan jelas.
3.        Terdapat kemungkinan kerugian yang melebihi batas toleransi kreditur/bank.
4.        Diperlukan tindakan hukum untuk memperoleh kembali tagihan kredit.
                         
Indikasi terjadinya potensi kredit bermasalah adalah sebagai berikut:
1.        Terjadinya keterlambatan pembayaran bunga dan atau pokok kredit.
2.        Tidak melunasi sama sekali.
3.        Diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kredit dan bunga yang tercantum dalam perjanjian kredit.

Setiap kredit yang diberikan bank kepada debiturnya mengandung risiko kegagalan. Oleh karena itu untuk pemantauannya setiap bank memerlukan alat ukur kelancaran/kesehatan kredit untuk memperkecil risiko kemacetan dan secara dini melakukan tindakan yang tepat dalam upaya mencegah memburuknya permasalahn suatu pinjaman yang mengarah kepada kerugian bank. Alat ukur yang saat ini dipergunakan yaitu kolektibilitas kredit.
Kolektibilitas adalah gambaran dari keadaan pembayaran utang pokok serta angsuran dan bunga pinjaman serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana yang ditanamkan dalam surat berharga atau penanaman lainnya. Kolektibilitas menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Kolektibilitas ketepatan pembayaran pokok dan bunga
Kolektibilitas
Ketepatan Pembayaran pokok dan bunga
Lancar
Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.
Dalam perhatian khusus
Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga sampai 90 hari.
Kurang lancar
Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 120 hari.
Diragukan
Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 120 hari sampai dengan 180 hari.
Macet
Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan atau bunga yang telah melampaui 180 hari.
Sumber:  Peraturan  Bank  Indonesia  (PBI)  No.  7/2/PBI/2005 Tanggal 20 Januari 2005
Tiga kelompok terakhir yaitu Kurang Lancar, Diragukan dan Macet sesuai ketentuan Bank Indonesia digolongkan sebagai kredit bermasalah atau NPL yang ditunjukkan dengan perbandingan dari jumlah seluruh kredit dengan formula :
 


 
   (Umar, 2001 : 161)