Powered By Blogger

Kamis, 14 Maret 2013

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) : MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA


Untuk mengetahui perpajakan yang terjadi antar berbagai negara, maka
penulis  mengklasifikasikannya   berdasarkan       pendekatan       tiga        model.
Pendekatan ini terkait dengan negara mana Indonesia mengadakan perjanjian.
Untuk negara yang maju dan negara berkembang, Indonesia menggunakan
model                      sendiri          dalam         mengadakan        perjanjian          tersebut         dengan
mengkombinasikan kedua Model UN maupun OECD.

Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)


7 Jaja Zakaria, P3B serta penerapannya di Indonesia, PT. Fisca Sarana, Cetakan I, Agustus
2001, Hal. 35


Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju,
didirikan di Paris, 14 Desember 1960, meliputi 24 negara termasuk Jepang
yang masuk tahun 1998. Model ini lebih mengedepankan pada asas domisili
negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal, dimana hak
pemajakannya berada di negara domisili.
Oleh karena itu penulis ingin mengulas tentang perjanjian dengan negara
Jepang yang merupakan contoh dari model P3B yang mengkombinasikan
kedua model UN dan OECD.
Model UN (United Nations)
Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang.
Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, karena mereka
umumnya yang menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri,
sehingga model ini lebih menerapkan pemajakan yang berasal dari negara
yang memberi penghasilan.
Namun demikian model OECD dan UN tidaklah dapat berdiri sendiri,
karena tergantung kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian
tersebut.



Model Indonesia
Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD, dan
yang cocok digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait
dengan ketentuan Undang-Undang PPh dan program pembangunan di
Indonesia dan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak dalam perjanjian.
Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan Negara Indonesia menjadi lebih
maju, dapat diatur dalam perjanjian ini, misal penghasilan atas guru dan
peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD tidak diatur, namun dalam
Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri.

PERJANJIAN PERPAJAKAN INTERNASIONAL : PERJANJIAN INTERNASIONAL


Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian antar
negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju
investasi dan perekonomian negara tersebut.

Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat
negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu
perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat,
dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas.

Berdasarkan  Undang-Undang      No.      24       Tahun       2000,   perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Perjanjian internasional dapat dilakukan dengan cara: penandatanganan,
pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik, cara-cara lain
sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional.

Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:

a.  ratifikasi (ratification);
b. aksesi (accession);
c.  penerimaan (acceptance);
d. penyetujuan (approval).

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan; masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan
keamanan negara, perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
Republik Indonesia, kedaulatan atau hak berdaulat negara, hak asasi manusia
dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum baru, pinjaman dan/atau
hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak
termasuk masalah tersebut diatas, dilakukan dengan Keputusan Presiden
(Keppres).

Jika melihat Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, maka
perjanjian persetujuan penghindaran pajak berganda cukup disahkan melalui
Keputusan Presiden. Hal ini agak berbeda dengan pemahaman Pasal 11
Undang-Undang Dasar 1945, dimana menyatakan bahwa: ”Presiden dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”.

Atas perbedaan dasar pemijakan tersebut, penulis berharap bahwa segala
bentuk perjanjian dengan negara lain hendaknya harus mendapatkan
persetujuan       dari      Dewan       Perwakilan    Rakyat      (DPR),     sehingga      tidak bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan undang-undang.

Namun demikian pada pelaksanaannya, pengesahan tax treaty melalui
Keputusan Presiden (Keppres) dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan
adanya       pengesahan    sebelum memulai     berlakunya      perjanjian, hal   ini
dikarenakan perjanjian ini memiliki materi yang bersifat prosedural dan
memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan
perundang-undangan nasional.

Dalam contoh tax treaty antara Indonesia dengan Amerika Serikat,
Presiden Republik Indonesia, Soeharto telah mengesahkan tax treaty pada
tanggal 11 Juli 1988, kemudian Presiden memberitahukan kepada Pimpinan
DPR pada tanggal 31 Oktober 1988 tentang pengesahan tax treaty antara
Indonesia dengan Amerika tersebut.

Terhadap perjanjian yang disahkan melalui Keppres, DPR dapat
melakukan pengawasan terhadap pemerintah, walaupun tidak diminta
persetujuan sebelum pembuatan perjanjian internasional tersebut karena pada

umumnya pengesahan dengan keppres hanya dilakukan bagi perjanjian
internasional di bidang teknis.3

Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan
dengan itikad baik;

b. perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan
berdasarkan                    prinsip-prinsip       kesamaan,      saling    menguntungkan,     dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang
berlaku.

Tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:

a.       penjajakan,
b.      perundingan,
c.       perumusan naskah,
d.      penerimaan,
e.      dan penandatanganan.




Penandatanganan perjanjian berarti merupakan persetujuan atas naskah
perjanjian internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau merupakan
pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai dengan kesepakatan
para pihak dalam perjanjian tersebut.

Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan
para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan
perjanjian tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang
mempengaruhi pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan
atau melanggar ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang
menggantikan perjanjian lama, muncul norma-norma baru dalam hukum
internasional, objek perjanjian hilang, terdapat hal-hal yang merugikan
kepentingan nasional.



3 Op.cit, Muchtar Kusumaatmadja