Powered By Blogger

Kamis, 19 Januari 2012

KEMAMPUAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN DESETRALISASI FISKAL (SEBUAH REVIEW TERHADAP PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH)

Kontribusi dari Administrator
Monday, 17 December 2007
Terakhir kali diperbaharui Tuesday, 19 February 2008
KEMAMPUAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN DESETRALISASI FISKAL (SEBUAH REVIEW TERHADAP
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH) Oleh : Sigit Sapto Wardono, S.T.[*]
I. Pendahuluan
Mulai tahun 2001 pemerintah Indonesia melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang kemudian direvisi dan dibuat undang-undang baru
yaitu UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004. Dengan dilaksanakannya kedua undang-undang tersebut maka
sebagian besar urusan daerah yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat diserahkan kepada masing-masing
daerah. Kewenangan daerah tidak mencakup kewenangan bidang politik, pertahanan kemananan, peradilan, moneter
dan fiskal, dan kewenangan agama ( UU No.32 Th 2004, pasal 7). Tujuan utama dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara
optimal dan terpadu, nyata, dinamis dan bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi
tingkat daerah. (Yulianti dalam Halim, 2001:23) Misi utama dari kedua undang-undang tersebut adalah bukan hanya
pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya
keuangan daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat (Bratakusumah dan
Solihin, 2002:206). Konsekuensi dari pelaksanaan kedua undang-undang tersebut adalah bahwa maju tidaknya daerah
sangat bergantung pada kemampuan daerah mengelola dan menggali potensi yang dimilikinya. Dearah dengan potensi
besar dan kemampuan manajemen yang baik tentu akan berkembang dengan pesat demikian pula sebaliknya. Salah
satu aspek penting dalam perkembangan daerah adalah kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Ciri utama yang
menunjukkan bahwa suatu daerah mampu menjadi daerah otonom adalah kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya dengan tingkat ketergantungan pada bantuan pusat yang
semakin kecil. Dengan demikian sumber pendapatan utama daerah bukan dari bantuan pemerintah pusat melainkan
berasal dari pendapatan daerah itu sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar
daerah akan memperoleh dana perimbangan tetapi harus diimbangi dengan sejauh mana instrumen atau sistem
pengelolaan keuangan daerah mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan,
partisipatif, dan bertanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang tersebut (Yani,
2002:203). Dalam UU No. 33 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pemberian kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah
diikuti dengan kewenangan pembiayaan dan pengelolaan keuangan daerah. Hal tersebut bertujuan agar daerah mampu
memanfaatkan dan mengelola keuangan daerah sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Daerah
diperbolehkan untuk memaksimalkan semua sektor yang dianggap mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan
pendapatan daerah seperti pendapatan asli daerah, retribusi, keuntungan dari perusahaan daerah. Pemerintah pusat
hanya memberikan insentif berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini bertujuan agar
pemerintah daerah mampu membiayai sendiri pembangunan daerahnya tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah
pusat. Dalam penyusunan, pengawasan, maupun evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerahpun, pemerintah
pusat tidak lagi berperan hanya sebatas mengetahui, sedangkan aktor utamanya adalah legislatif (DPRD) dan eksekutif
(Gubernur/Bupati). Pengertian desentralisasi fiskal sendiri menurut Bachrul Elmi adalah pelimpahan kewenangan di
bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administratif maupun pemanfaatannya diatur atau
dilakukan oleh pemerintah pusat (Elmi, 2002:26). Dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi
perubahan paradigma dalam pengelolaan keuangan daerah, antara lain : § Dari vertical accountability menjadi
horizontal accountibility, yang berarti bahwa tanggung jawab pengelolaan keuangan yang semula sentralistik menjadi
pengelolaan yang terdesentralisasi dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama DPRD sepenuhnya; §
Dari traditional budget menjadi performance budget, yang berarti terjadi perubahan sistem penyusunan anggaran yeng
sebelumnya berupa “line item” dan inkremental dengan penekanan pada pertanggungjawaban pada setiap
input yang dialokasikan menjadi sistem penganggaran yang bersifat kinerja yang berarti tidak hanya menekankan pada
input tetapi juga pada output atau outcome; § Lebih menekankan konsep value of money, konsep ini lebih dikenal
dengan konsep 3E (ekonomis, efisien, dan efektif), dengan demikian pemerintah daerah diharapkan lebih baik dan teliti
dalam menggunakan dana anggaran dengan menekankan ketiga prinsip tersebut.
II. Permasalahan
Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan kesempatan bagi daerah untuk
memaksimalkan penyelenggaraan keuangan daerah sehingga pelaksanaan pembangunan benar-benar menyentuh akar
permasalahan serta mampu dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Tetapi adanya undang-undang tersebut juga
merupakan tantangan bagi pemerintah daerah. Daerah harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengelola
keuangannya sendiri secara efektif dan efisien. Dalam upaya peningkatan kapabilitas dan efektivitas pemerintah dalam
pelaksanaan desentralisasi, anggaran keuangan daerah menduduki posisi yang sentral. Pengembangan kapabilitas
diartikan sebagai upaya untuk memperbaiki kemampuan pemerintah daerah dalam menajalankan fungsi dan perannya
secara efisien, sedangkan peningkatan efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan kapabilitasnya dengan
tuntutan dan kebutuhan publik (World Bank dalam Mardiasmo, 2002:177). Akan tetapi, pada pelaksanaannya dilapangan
tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan yang muncul dalam usaha meningkatkan pendapatan
daerah serta pengelolaannya. Permasalahan yang paling sering dihadapai adalah tidak adanya kerjasama yang baik
antara legislatif dan eksekutif dalam pengelolaan dan penyusunan anggaran keuangan, kurangnya sumberdaya manusia  yang menguasai manajemen keuangan dengan baik, pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan, keterlibatan masyarakat yang masih minim, daerah terlalu mengeksploitasi apa-apa yang kiranya bisa
dimanfaatkan untuk menambah pendapatan asli daerah, dan buruknya manajemen pengelolaan yang menyebabkan
pembangunan daerah tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Fenomena permasalahan pengelolaan
keuangan daerah yang terjadi di Indonesia selama pelaksanaan desentralisasi diantaranya: § Ketidakcukupan
sumberdaya finansial § Minimnya jumlah pegawai yang memiliki ketrampilan dan keahlian § Prosedur dan sistem
pengendalian manajemen yang tidak memadai § Rendahnya produktivitas pegawai § Inefisiensi § Infrastruktur yang
kurang mendukung § Lemahnya perangkat hukum (aparat penegak hukum dan peraturan hukum) serta kesadaran
masyarakat terhadap penegakan hukum § Political will yang rendah § Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) §
Lemahnya akuntabilitas publik Banyaknya permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi khususnya dibidang keuangan daerah membutuhkan perhatian khusus dalam penanganannya.
Pemerintah dituntut untuk responsif terhadap perubahan paradigma tersebut. Mampu atau tidaknya daerah dalam
melaksanakan desentralisasi fiskal sangat tergantung pada kesiapan dan kemauan setiap elemen stakeholders daerah
yang didukung oleh adanya potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai sumber pembiayaan daerah.
III. Syarat
Keberhasilan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Dari pengalaman berbagai negara di dunia yang telah melaksanakan
desentralisasi fiskal, terdapat setidaknya dua syarat yang sangat penting untuk keberhasilan pelaksanaan desentralisasi
fiskal (Bird, 2000:17). Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan
keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Kedua, yang lebih sesuai dengan rancangan kebijakan-biaya-biaya dari
keputusan yang diambil sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu sebenarnya tidak diperlukan
ekspor pajak dan transfer dana dari pemerintah pusat. Maksudnya adalah pemerintah daerah seharusnya memiliki
kontrol atas tarif dan mungkin beberapa jenis pajak. Selain itu, yang diperlukan agar desentralisasi memberikan hasilhasil
yang efisien adalah anggaran daerah yang berimbang yang ketat dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang
didaerahkan agar akuntabilitas dapat dijamin. Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat kompleks dan multidimensi.
Akuntabilitas politis membutuhkan pimpinan politis dari berbagai jenjang agar dapat responsif dan bertanggung jawab
terhadap masyarakatnya. Akuntabilitas administratif membutuhkan kerangka kerja yang jelas dan bersandarkan pada
aturan-aturan serta perundang-undangan yang berlaku khususnya berkaitan dengan kinerja sistem kelembagaan.
Akuntabilitas ekonomis membutuhkan tanggung jawab masyarakat atas pembayaran pelayanan yang mereka nikmati
serta partisipasi mereka dalam proses pembangunan. Pada prinsipnya sangat mungkin daerah bergantung 90 persen
pada transfer pusat dan sepenuhnya dapat diakuntabilitas oleh masyarakat setempat dan pemerintah pusat. Dengan
alasan ini, format yang baik dari transfer intrapemerintahan sudah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat diubah-ubah
(Ahmad dan Thomas dalam Bird, 2000:18). Transfer tetap yang dibuat atas dasar suatu formula akan memberikan arti
bahwa upaya-upaya daerah untuk meningkatkan atau menurunkan penerimaan atau pengeluaran akan secara langsung
mempengaruhi keluaran (outcomes) dan hal inilah yang dibutuhkan agar akuntabilitas dapat dilaksanakan.


IV. Tuntutan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal Dimensi reformasi lembaga sektor publik, seperti
pemerintahan daerah dan lembaga-lembaga dibawahnya dalam rangka pemberian pelayanan publik (public service)
secara ekonomis, efisien, dan efektif adalah dengan memberikan otonomi tanggung jawab dalam memberikan
pelayanan masyarakat kepada pemerintah daerah. Pemberian otonomi tersebut mengharuskan lembega-lembaga
daerah harus dapat lebih profesional, berorientasi pada kepentingan publik dan lebih transparan khususnya dalam
pemanfaatan sumber-sumber keuangan daerah. Tuntutan yang lebih mengutamakan kepentingan publik/akuntabilitas
publik mengharuskan pemerintah daerah tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu pelaporan kepada pemerintah
pusat tetapi juga dilakukannya horizontal reporting, yaitu pelaporan kinerja pemerintah kepada DPRD dan masyarakat
sebagai bentuk horizontal accountability. Pada dasarnya akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan
disclosure atas aktivitas dan kinerja pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan
tersebut (Mardiasmo,2002:226). Pemerintah daerah harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka
pemeruhan hak-hak publik, yaitu hak untuk diberi informasi, didengar aspirasinya, dan diberi penjelasan. Bentuk
pertanggungjawaban publik oleh pemerintah daerah dapat bermacam-macam. Ellwood (dalam Mardiasmo,2002:226)
menjelaskan terdapat empat bentuk akuntabilitas publik, yaitu: 1. Akuntabilitas hukum dan peraturan (accountability for
probity and legality) Akuntabilitas hukum dan pertauran terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan
peraturan lain yang disyaratkan dalam pelaksanaan pemerintahannya; 2. Akuntabilitas proses (process accountability)
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik.
Akuntabilitas proses dapat diwujudkan melalui pemberian layanan publik yang cepat, responsif, dan dengan biaya yang
murah. Audit terhadap akuntabilitas proses pemerintahan daerah meliputi kecukupan sistem akuntansi, prosedur
administrasi, dan struktur organisasi pemerintah daerah; 3. Akuntabilitas program (Program accountability)
Akuntabilitas program terkait dengan apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, apakah pemerintah daerah
telah mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil optimal dengan sumberdaya yang minimal; 4.
Akuntabilitas kebijakan (policy accountability) Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah
daerah terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil dan dijalankan pemerintah daerah selaku eksekutif terhadap
DPRD sebagai legislatif dan kepada masyarakat daerah. Saat ini masyarakat menuntut adanya transparansi dalam
pelaksanaan roda pemerintahan serta ikut aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
V. Peran masyarakat
lokal dalam sistem keuangan daerah Sebelum masa otonomi daerah digulirkan, paradigma pembangunan yang
berkembang dan dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah pembangunan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah,
sedangkan masyarakat tinggal menikmati hasilnya saja. Dengan bergulirnya otonomi daerah maka terjadi perubahan
pola pembangunan dengan lebih melibatkan masyarakat. Dalam pelaksanaan desentralisasi fokus harus diarahkan pada
pelayanan-pelayanan lokal bukan pada pemerintahan lokal (Bird,2000:54). Dengan fokus pada pelayanan local diharapkan seluruh masyarakat dapat menikmati hasil yang telah dicapai. Peranan penting masyarakat yang lainnya
adalah adanya kesadaran masyarakat untuk ikut membangun daerahnya dengan cara mengikuti semua aturan-aturan
yang telah ditetapkan pemerintah daerah, khususnya dalam hal pembayaran pajak dan retribusi. Hal ini penting
mengingat sumber dana utama dalam desentralisasi fiskal seharusnya adalah sumber anggaran yang berasal dari
daerahnya sendiri termasuk didalamnya pajak dan retribusi. Dengan tingginya kesadaran masyarakat dalam membayar
pajak maka diharapkan ketergantungan pemerintah daerah dari transfer dana pemerintah pusat (dana perimbangan)
akan semakin menurun, dengan demikian tujuan dari desentralisasi akan terwujud. Pemerintah daerah juga harus
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan mengenai
kebijakan daerahnya. Demokratisasi merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan. Oleh karenanya
dalam pelaksanaan desentralisasi sudah bukan saatnya membentuk pemerintah yang otoriter. Masyarakat harus tahu
seberapa besar anggaran yang dibutuhkan dan untuk apa saja anggaran tersebut serta mengetahui tingkat kinerja
pemerintahannya. Masyarakat dapat dijadikan eksternal control bagi pemerintah daerah khususnya dalam mengawasi
dan mengevaluasi kinerja keuangannya. Jika masyarakat lokal tidak diberi tahu tentang apa yang dikerjakan, berapa
baik pengerjaannya, berapa besar pembiayaannya, dan siapa yang membayarnya, maka tidak akan terbentuk
kesadaran dan partisipasi efektif dari masyarakat lokal yang dibutuhkan dalam sebuah sistem pemerintahan yang efektif
dan efisien.
VI. Kesimpulan Desentralisasi fiskal di Indonesia diterjemahkan sebagai pemberian kewenangan dari
pusat kepada daerah untuk mengatur sistem penerimaan daerahnya baik dalam mengumpulkan maupun
memanfaatkannya. Sistem desentralisasi fiskal di Indonesia lebih menganut pada sistem top down dan lebih merupakan
federalisme fiskal yang lebih menitikberatkan pencapaian tujuan-tujuan nasional dengan cara memberikan sebagian
kewenangan pengelolaan keuangan daerah kepada daerah itu sendiri. Sistem ini juga ditandai adanya transfer dana dari
pusat ke daerah sebagai bentuk block grant dengan menggunakan formulasi perhitungan tertentu sehingga tiap daerah
memperoleh jumlah yang berbeda. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal sangat tergantung pada kesiapan
daerah dalam menerima pelimpahan kewenangan dari pusat. Kesiapan daerah dapat ditunjukkan melalui kesiapan
semua unsur stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat) serta kesiapan daerah dari sisi finansial. Selain itu,
diperlukan juga aturan yang jelas untuk mengevaluasi kinerja masing-masing elemen baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tergolong sangat
terlambat dibanding negara-negara berkembang lainnya di dunia. Desentralisasi muncul seiring arus reformasi yang
terus berhembus yang menuntut adanya keterlibatan aktif masyarakat serta adanya transparansi pemerintahan.
Desentralisasi banyak disalahartikan oleh beberapa pemerintah daerah dengan menganggap bahwa mereka berkuasa
penuh atas daerahnya sehingga banyak kebijakan daerah yang kontra produktif terhadap pembangunan. Kemampuan
daerah dalam melaksanakan kebijakan desentralisasi masih disangsikan. Untuk mengukur kemampuan lembaga
pengelola keuangan daerah digunakan pendekatan kinerja yakni dengan mengevaluasi hasil-hasil yang telah dicapai
selama pelaksanaan desentralisasi, apakah hasil yang didapat sudah sesuai dengan tujuan, seberapa besar manfaatnya
bagi masyarakat luas, persepsi masyarakat terhadap kinerja lembaga serta melihat track record pelaksanaan tugas dan
wewenang lembaga pengelola keuangan. Kemampuan masyarakat dapat dilihat dari kecenderungan rasio antara target
dan realisasi pungutan pajak dan retribusi, serta apakah pajak dan retribusi tersebut memberatkan sebagain besar
masyarakat ataukah tidak. Potensi keuangan dapat diketahui dari rasio pinjaman daerah terhadap pendapatan, upayaupaya
optimalisasi pemanfaatan potensi daerah, dan dapat dilihat dari kecenderungan derajat desentralisasi fiskal.
Daftar Kepustakaan Bird, Richard. M dan Vaillancourt, Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara
Berkembang. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di
Indonesia. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Daerah.
Yogyakarta. UPP AMP YKPN. Mardiasmo. 2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Wardono, Sigit Sapto. 2005. Kemampuan Kabupaten Purbalingga Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal. Tugas
Akhir (tidak diterbitkan).Semarang. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
[*] Staf Bidang Pendataan, Penelitian dan Pelaporan Bappeda Kab. Brebes

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 

NOMOR 28 TAHUN 2009 

TENTANG 

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 

Menimbang : a. 
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan 
negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 
bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa 
yang aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan; 

b. 
bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan 
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang 
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang 
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan 
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka 
penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan 
memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai 
dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan 
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan 
pemerintahan negara; 
c. 
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan 
salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna 
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah; 
d. 
bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada 
masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan 
perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan 
pemberian diskresi dalam penetapan tarif; 
e. 
bahwa kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah 
dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan 
dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas 
dengan memperhatikan potensi daerah; 
f. bahwa . . . 
-22


f. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang 
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah 
diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu 
disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah; 
g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan 
huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pajak 
Daerah dan Retribusi Daerah; 

Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat 
(2), Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945; 

Dengan Persetujuan Bersama 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 

dan 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 

MEMUTUSKAN: 

Menetapkan : 
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI 
DAERAH. 

BAB I 
KETENTUAN UMUM 

Pasal 1 
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan: 

1. 
Daerah Otonom, yang selanjutnya disebut Daerah, adalah 
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas 
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan 
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat 
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat 
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
2. Pemerintah . . . 
-3-3-

2. 
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, 
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang 
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia 
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
3. 
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan 
pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan 
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan 
Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya 
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik 
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
4. 
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau 
walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur 
penyelenggara Pemerintahan Daerah. 
5. 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya 
disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah 
sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 
6. 
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau 
bupati bagi Daerah kabupaten atau walikota bagi Daerah 
kota. 
7. 
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang 
perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah sesuai 
dengan peraturan perundang-undangan. 
8. 
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan 
yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah 
kabupaten/kota dengan persetujuan bersama Kepala 
Daerah. 
9. 
Peraturan Kepala Daerah adalah Peraturan Gubernur 
dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. 
10. 
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah 
kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang 
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan 
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan 
secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah 
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
11. Badan . . . 
-4-4-

11. 
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang 
merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha 
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi 
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan 
lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan 
usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam 
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, 
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, 
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga 
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi 
kolektif dan bentuk usaha tetap. 
12. 
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan 
dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. 
13. 
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda 
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan 
darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor 
atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah 
suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak 
kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya 
menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara 
permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di 
air. 
14. 
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas 
penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat 
perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan 
yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, 
warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. 
15. 
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas 
penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. 
16. 
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis 
bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk 
kendaraan bermotor. 
17. 
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan 
dan/atau pemanfaatan air permukaan. 
18. 
Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada 
permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang 
berada di laut maupun di darat. 
19. 
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang 
dipungut oleh Pemerintah. 
20. Pajak . . . 
-5-5-

20. 
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan 
oleh hotel. 
21. 
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa 
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya 
dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, 
losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, 
pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta 
rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). 
22. 
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang 
disediakan oleh restoran. 
23. 
Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau 
minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga 
rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan 
sejenisnya termasuk jasa boga/katering. 
24. 
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. 
25. 
Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, 
permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan 
dipungut bayaran. 
26. 
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. 
27. 
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang 
bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan 
komersial memperkenalkan, menganjurkan, 
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum 
terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat 
dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati 
oleh umum. 
28. 
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan 
tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun 
diperoleh dari sumber lain. 
29. 
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas 
kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, 
baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan 
bumi untuk dimanfaatkan. 
30. 
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan 
logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam 
peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan 
batubara. 
31. Pajak . . . 
-6-6-

31. 
Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat 
parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan 
dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai 
suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan 
kendaraan bermotor. 
32. 
Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan 
yang tidak bersifat sementara. 
33. 
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau 
pemanfaatan air tanah. 
34. 
Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah 
atau batuan di bawah permukaan tanah. 
35. 
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan 
pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 
36. 
Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga 
collocalia, yaitu collocalia 
fuchliap haga, collocalia 
maxina, 
collocalia esculanta, dan collocalia linchi. 
37. 
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 
adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, 
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau 
Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan 
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 
38. 
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan 
perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. 
39. 
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau 
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan 
pedalaman dan/atau laut. 
40. 
Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, 
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual 
beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat 
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan 
harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan 
baru, atau NJOP pengganti. 
41. 
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak 
atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. 
42. 
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah 
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan 
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh 
orang pribadi atau Badan. 
43. Hak . . . 
-7-7-

43. 
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas 
tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di 
atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di 
bidang pertanahan dan bangunan. 
44. 
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang dapat 
dikenakan Pajak. 
45. 
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi 
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, 
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai 
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 
perpajakan daerah. 
46. 
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender 
atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan 
Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang 
menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, 
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. 
47. 
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) 
tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan 
tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 
48. 
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada 
suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau 
dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 
49. 
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari 
penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, 
penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang 
sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada 
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan 
penyetorannya. 
50. 
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya 
disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak 
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau 
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek 
pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 
daerah. 
51. 
Surat Pemberitahuan Objek Pajak, yang selanjutnya 
disingkat SPOP, adalah surat yang digunakan oleh Wajib 
Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek Pajak Bumi 
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sesuai dengan 
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 
daerah. 
52. Surat . . . 
-8-8-

52. 
Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat 
SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak 
yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau 
telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui 
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 
53. 
Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat 
SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan 
besarnya jumlah pokok pajak yang terutang. 
54. 
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya 
disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk 
memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan 
Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib 
Pajak. 
55. 
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang 
selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan 
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, 
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran 
pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah 
pajak yang masih harus dibayar. 
56. 
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, 
yang selanjutnya disingkat SKPDKBT, adalah surat 
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah 
pajak yang telah ditetapkan. 
57. 
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang selanjutnya 
disingkat SKPDN, adalah surat ketetapan pajak yang 
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan 
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak 
ada kredit pajak. 
58. 
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang 
selanjutnya disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan 
pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran 
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada 
pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 
59. 
Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat 
STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak 
dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau 
denda. 
60. Surat . . . 
-9-9-

60. 
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang 
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau 
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam 
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang 
terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, 
Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak 
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah 
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah 
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat 
Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau 
Surat Keputusan Keberatan. 
61. 
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas 
keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, 
Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak 
Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah 
Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah 
Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau 
terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga 
yang diajukan oleh Wajib Pajak. 
62. 
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak 
atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang 
diajukan oleh Wajib Pajak. 
63. 
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang 
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan 
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, 
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan 
penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan 
menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan 
laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. 
64. 
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, 
adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa 
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan 
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk 
kepentingan orang pribadi atau Badan. 
65. 
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha 
dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau 
kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang 
pribadi atau Badan. 
66. 
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan 
oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan 
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang 
pribadi atau Badan. 
67. Jasa . . . 
- 10 - 10 -

67. 
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah 
Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena 
pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 
68. 
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah 
Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi 
atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, 
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, 
pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, 
barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna 
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian 
lingkungan. 
69. 
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau Badan yang 
menurut peraturan perundang-undangan retribusi 
diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, 
termasuk pemungut atau pemotong retribusi tertentu. 
70. 
Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang 
merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk 
memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah 
Daerah yang bersangkutan. 
71. 
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat 
SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi 
yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau 
telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui 
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 
72. 
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya 
disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang 
menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang 
terutang. 
73. 
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang 
selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan 
retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran 
retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar 
daripada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak 
terutang. 
74. 
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya 
disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan 
retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga 
dan/atau denda. 
75. Pemeriksaan . . . 
- 11 - 11 -

75. 
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun 
dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang 
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan 
suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan 
pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi 
dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan 
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 
daerah dan retribusi daerah. 
76. 
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan 
retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh 
Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang 
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang 
perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta 
menemukan tersangkanya. 
BAB II 
PAJAK 

Bagian Kesatu 
Jenis Pajak 

Pasal 2 

(1) 
Jenis Pajak provinsi terdiri atas: 
a. 
Pajak Kendaraan Bermotor; 
b. 
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 
c. 
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 
d. 
Pajak Air Permukaan; dan 
e. 
Pajak Rokok. 
(2) 
Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: 
a. 
Pajak Hotel; 
b. 
Pajak Restoran; 
c. 
Pajak Hiburan; 
d. 
Pajak Reklame; 
e. 
Pajak Penerangan Jalan; 
f. 
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; 
g. Pajak . . . 
- 12 - 12 -

g. 
Pajak Parkir; 
h. 
Pajak Air Tanah; 
i. 
Pajak Sarang Burung Walet; 
j. 
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; 
dan 
k. 
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 
(3) 
Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 
(4) 
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 
(2) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang 
memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah 
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
(5) 
Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan daerah 
provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota 
otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jenis 
Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari 
Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah 
kabupaten/kota. 
Bagian Kedua 
Pajak Kendaraan Bermotor 


Pasal 3 

(1) 
Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan 
dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. 
(2) 
Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan 
bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan 
di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang 
dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima 
Gross 
Tonnage) sampai dengan GT 7 (tujuh Gross 
Tonnage). 
(3) 
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: 
a. 
kereta api; 
b. 
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan 
untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara; 
c. Kendaraan . . . 
- 13 - 13 -

c. 
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai 
kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan 
asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional 
yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari 
Pemerintah; dan 
d. 
objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan 
Daerah. 
Pasal 4 

(1) 
Subjek Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi 
atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan 
Bermotor. 
(2) 
Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau 
Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. 
(3) 
Dalam hal Wajib Pajak Badan, kewajiban perpajakannya 
diwakili oleh pengurus atau kuasa Badan tersebut. 
Pasal 5 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil 
perkalian dari 2 (dua) unsur pokok: 
a. 
Nilai Jual Kendaraan Bermotor; dan 
b. 
bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat 
kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan 
akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. 
(2) 
Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di 
luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat 
besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak 
Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan 
Bermotor. 
(3) 
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b 
dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau 
lebih besar dari 1 (satu), dengan pengertian sebagai 
berikut: 
a. 
koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan 
dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan 
Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam 
batas toleransi; dan 
b. 
koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti penggunaan 
Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas 
toleransi. 
(4) Nilai . . . 
- 14 - 14 -

(4) 
Nilai Jual Kendaraan Bermotor ditentukan berdasarkan 
Harga Pasaran Umum atas suatu Kendaraan Bermotor. 
(5) 
Harga Pasaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat 
(4) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai 
sumber data yang akurat. 
(6) 
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud 
pada ayat (4) ditetapkan berdasarkan Harga Pasaran 
Umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak 
sebelumnya. 
(7) 
Dalam hal Harga Pasaran Umum suatu Kendaraan 
Bermotor tidak diketahui, Nilai Jual Kendaraan Bermotor 
dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh 
faktor-faktor: 
a. 
harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder 
dan/atau satuan tenaga yang sama; 
b. 
penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau 
pribadi; 
c. 
harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan 
Bermotor yang sama; 
d. 
harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan 
Kendaraan Bermotor yang sama; 
e. 
harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan 
Bermotor; 
f. 
harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan 
Bermotor sejenis; dan 
g. 
harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen 
Pemberitahuan Impor Barang (PIB). 
(8) 
Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b 
dihitung berdasarkan faktor-faktor: 
a. 
tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah 
sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor; 
b. 
jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan 
menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, atau 
jenis bahan bakar lainnya; dan 
c. 
jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri 
mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan 
berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi 
silinder. 
(9) Penghitungan . . . 
- 15 - 15 -

(9) 
Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), 
ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) dinyatakan 
dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan Peraturan 
Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari 
Menteri Keuangan. 
(10) Penghitungan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali 
setiap tahun. 
Pasal 6 

(1) 
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai 
berikut: 
a. 
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling 
rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi 
sebesar 2% (dua persen); 
b. 
untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan 
seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif 
paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi 
sebesar 10% (sepuluh persen). 
(2) 
Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama 
dan/atau alamat yang sama. 
(3) 
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, 
ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, 
lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI, 
Pemerintah Daerah, dan kendaraan lain yang ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah, ditetapkan paling rendah 
sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dan paling tinggi 
sebesar 1% (satu persen). 
(4) 
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-
alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol 
koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol 
koma dua persen). 
(5) 
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan 
Peraturan Daerah. 
Pasal 7 . . . 

- 16 - 16 -

Pasal 7 

(1) 
Besaran pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang 
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan dasar pengenaan 
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9). 
(2) 
Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dipungut di 
wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. 
(3) 
Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dilakukan 
bersamaan dengan penerbitan Surat Tanda Nomor 
Kendaraan Bermotor. 
(4) 
Pemungutan pajak tahun berikutnya dilakukan di kas 
daerah atau bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 
Pasal 8 

(1) 
Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan untuk Masa Pajak 
12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat 
pendaftaran Kendaraan Bermotor. 
(2) 
Pajak Kendaraan Bermotor dibayar sekaligus di muka. 
(3) 
Untuk Pajak Kendaraan Bermotor yang karena keadaan 
kahar (force 
majeure) Masa Pajaknya tidak sampai 12 (dua 
belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas pajak yang 
sudah dibayar untuk porsi Masa Pajak yang belum dilalui. 
(4) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan 
restitusi diatur dengan Peraturan Gubernur. 
(5) 
Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 
10% (sepuluh persen), termasuk yang dibagihasilkan 
kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk 
pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta 
peningkatan moda dan sarana transportasi umum. 
Bagian Ketiga 
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 


Pasal 9 

(1) 
Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah 
penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor. 
(2) Termasuk . . . 
- 17 - 17 -

(2) 
Termasuk dalam pengertian Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan 
bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan 
di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang 
dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima 
Gross 
Tonnage) 
sampai dengan GT 7 (tujuh Gross 
Tonnage). 
(3) 
Dikecualikan dari pengertian Kendaraan Bermotor 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2): 
a. 
kereta api; 
b. 
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan 
untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara; 
c. 
Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai 
kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan 
asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional 
yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari 
Pemerintah; dan 
d. 
objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan 
Daerah. 
(4) 
Penguasaan Kendaraan Bermotor melebihi 12 (dua belas) 
bulan dapat dianggap sebagai penyerahan. 
(5) 
Penguasaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud 
pada ayat (4) tidak termasuk penguasaan Kendaraan 
Bermotor karena perjanjian sewa beli. 
(6) 
Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan 
Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di 
Indonesia, kecuali: 
a. 
untuk dipakai sendiri oleh orang pribadi yang 
bersangkutan; 
b. 
untuk diperdagangkan; 
c. 
untuk dikeluarkan kembali dari wilayah pabean 
Indonesia; dan 
d. 
digunakan untuk pameran, penelitian, contoh, dan 
kegiatan olahraga bertaraf internasional. 
(7) 
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c 
tidak berlaku apabila selama 3 (tiga) tahun berturut-turut 
tidak dikeluarkan kembali dari wilayah pabean Indonesia. 
Pasal 10 . . . 

- 18 - 18 -

Pasal 10 

(1) 
Subjek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah 
orang pribadi atau Badan yang dapat menerima 
penyerahan Kendaraan Bermotor. 
(2) 
Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah 
orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan 
Kendaraan Bermotor. 
Pasal 11 

Dasar pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah 
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 5 ayat (9). 

Pasal 12 

(1) 
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan 
paling tinggi masing-masing sebagai berikut: 
a. 
penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen); 
dan 
b. 
penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu 
persen). 
(2) 
Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan 
alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif 
pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai 
berikut: 
a. 
penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh 
puluh lima persen); dan 
b. 
penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol 
koma nol tujuh puluh lima persen). 
(3) 
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 13 

(1) 
Besaran Pokok Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dengan 
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 11. 
(2) Bea . . . 
- 19 - 19 -

(2) 
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang terutang 
dipungut di wilayah daerah tempat Kendaraan Bermotor 
terdaftar. 
(3) 
Pembayaran Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 
dilakukan pada saat pendaftaran. 
Pasal 14 

Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib 
mendaftarkan penyerahan Kendaraan Bermotor dalam jangka 
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat 
penyerahan. 

Pasal 15 

(1) 
Orang pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan 
Bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut 
kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka 
waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. 
(2) 
Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), 
paling sedikit berisi: 
a. 
nama dan alamat orang pribadi atau Badan yang 
menerima penyerahan; 
b. 
tanggal, bulan, dan tahun penyerahan; 
c. 
nomor polisi kendaraan bermotor; 
d. 
lampiran fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan 
Bermotor; dan 
e. 
khusus untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan 
nomor pas kapal. 
Bagian Keempat 
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 


Pasal 16 

Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan 
Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap 
digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar 
yang digunakan untuk kendaraan di air. 

Pasal 17 . . . 

- 20 - 20 -

Pasal 17 

(1) 
Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah 
konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 
(2) 
Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah 
orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor. 
(3) 
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 
dilakukan oleh penyedia Bahan Bakar Kendaraan 
Bermotor. 
(4) 
Penyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana 
dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir 
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual 
maupun untuk digunakan sendiri. 
Pasal 18 

Dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 
adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum 
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. 

Pasal 19 

(1) 
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan 
paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). 
(2) 
Khusus tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 
untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan 
paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari 
tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk 
kendaraan pribadi. 
(3) 
Pemerintah dapat mengubah tarif Pajak Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor yang sudah ditetapkan dalam 
Peraturan Daerah dengan Peraturan Presiden. 
(4) 
Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif Pajak 
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan dalam hal: 
a. 
terjadi kenaikan harga minyak dunia melebihi 130% 
(seratus tiga puluh persen) dari asumsi harga minyak 
dunia yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 
berjalan; atau 
b. diperlukan . . . 
- 21 - 21 -

b. 
diperlukan stabilisasi harga bahan bakar minyak 
untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak 
ditetapkannya Undang-Undang ini. 
(5) 
Dalam hal harga minyak dunia sebagaimana dimaksud 
pada ayat (4) huruf a sudah normal kembali, Peraturan 
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut 
dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. 
(6) 
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 20 

Besaran pokok Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang 
terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) dengan dasar 
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. 

Bagian Kelima 
Pajak Air Permukaan 


Pasal 21 

(1) 
Objek Pajak Air Permukaan adalah pengambilan 
dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Pajak Air Permukaan adalah: 
a. 
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan 
untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan 
pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap 
memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan 
perundang-undangan; dan 
b. 
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan 
lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. 
Pasal 22 

(1) 
Subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau 
Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau 
pemanfaatan Air Permukaan. 
(2) 
Wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau 
Badan yang melakukan pengambilan dan/atau 
pemanfaatan Air Permukaan. 
Pasal 23 . . . 

- 22 - 22 -

Pasal 23 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai 
Perolehan Air Permukaan. 
(2) 
Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung 
dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-
faktor berikut: 
a. 
jenis sumber air; 
b. 
lokasi sumber air; 
c. 
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; 
d. 
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; 
e. 
kualitas air; 
f. 
luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan 
air; dan 
g. 
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh 
pengambilan dan/atau pemanfaatan air. 
(3) 
Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing 
Daerah. 
(4) 
Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan 
Gubernur. 
Pasal 24 

(1) 
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 
10% (sepuluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan 
Daerah. 
Pasal 25 

(1) 
Besaran pokok Pajak Air Permukaan yang terutang 
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dengan dasar pengenaan 
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4). 
(2) 
Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah 
daerah tempat air berada. 
Bagian . . . 

- 23 - 23 -

Bagian Keenam 
Pajak Rokok 

Pasal 26 

(1) 
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. 
(2) 
Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi 
sigaret, cerutu, dan rokok daun. 
(3) 
Dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai 
cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan di 
bidang cukai. 
Pasal 27 

(1) 
Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok. 
(2) 
Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik 
rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin 
berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. 
(3) 
Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang 
berwenang memungut cukai bersamaan dengan 
pemungutan cukai rokok. 
(4) 
Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening 
kas umum daerah provinsi secara proporsional 
berdasarkan jumlah penduduk. 
(5) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan 
dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan 
Menteri Keuangan. 
Pasal 28 

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan 
oleh Pemerintah terhadap rokok. 

Pasal 29 

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari 
cukai rokok. 

Pasal 30 . . . 

- 24 - 24 -

Pasal 30 

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan 
cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 29 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 28. 

Pasal 31 

Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian 
kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh 
persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan 
penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. 

Bagian Ketujuh 
Pajak Hotel 

Pasal 32 

(1) 
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh 
Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang 
sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya memberikan 
kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga 
dan hiburan. 
(2) 
Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, 
pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis 
lainnya yang disediakan atau dikelola Hotel. 
(3) 
Tidak termasuk objek Pajak Hotel sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah: 
a. 
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh 
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; 
b. 
jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya; 
c. 
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan 
keagamaan; 
d. 
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, 
panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya 
yang sejenis; dan 
e. 
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang 
diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan 
oleh umum. 
Pasal 33 . . . 

- 25 - 25 -

Pasal 33 

(1) 
Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang 
melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan 
yang mengusahakan Hotel. 
(2) 
Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang 
mengusahakan Hotel. 
Pasal 34 

Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau 
yang seharusnya dibayar kepada Hotel. 

Pasal 35 

(1) 
Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10% 
(sepuluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Hotel ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 36 

(1) 
Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan 
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
35 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 34. 
(2) 
Pajak Hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat Hotel berlokasi. 
Bagian Kedelapan 
Pajak Restoran 

Pasal 37 

(1) 
Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan 
oleh Restoran. 
(2) 
Pelayanan yang disediakan Restoran sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan penjualan 
makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh 
pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di 
tempat lain. 
(3) Tidak termasuk . . . 
- 26 - 26 -

(3) 
Tidak termasuk objek Pajak Restoran sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan yang disediakan 
oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas 
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 38 

(1) 
Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan 
yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. 
(2) 
Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan 
yang mengusahakan Restoran. 
Pasal 39 
Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran 
yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran. 

Pasal 40 

(1) 
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% 
(sepuluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Restoran ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 41 

(1) 
Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung 
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 40 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. 
(2) 
Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat Restoran berlokasi. 
Bagian Kesembilan 
Pajak Hiburan 


Pasal 42 

(1) 
Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan 
dengan dipungut bayaran. 
(2) 
Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. 
tontonan film; 
b. 
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; 
c. kontes . . . 
- 27 - 27 -

c. 
kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; 
d. 
pameran; 
e. 
diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; 
f. 
sirkus, akrobat, dan sulap; 
g. 
permainan bilyar, golf, dan boling; 
h. 
pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan 
ketangkasan; 
i. 
panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat 
kebugaran (fitness center); dan 
j. 
pertandingan olahraga. 
(3) 
Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 43 

(1) 
Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan 
yang menikmati Hiburan. 
(2) 
Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang 
menyelenggarakan Hiburan. 
Pasal 44 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang 
diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara 
Hiburan. 
(2) 
Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket 
cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan. 
Pasal 45 

(1) 
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% 
(tiga puluh lima persen). 
(2) 
Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes 
kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan 
ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak 
Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh 
puluh lima persen). 
(3) 
Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan 
tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% 
(sepuluh persen). 
(4) 
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 46 . . . 

- 28 - 28 -

Pasal 46 

(1) 
Besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung 
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. 
(2) 
Pajak Hiburan yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat Hiburan diselenggarakan. 
Bagian Kesepuluh 
Pajak Reklame 

Pasal 47 

(1) 
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan 
Reklame. 
(2) 
Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. 
Reklame papan/billboard/videotron/megatron 
dan 
sejenisnya; 
b. 
Reklame kain; 
c. 
Reklame melekat, stiker; 
d. 
Reklame selebaran; 
e. 
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan; 
f. 
Reklame udara; 
g. 
Reklame apung; 
h. 
Reklame suara; 
i. 
Reklame film/slide; dan 
j. 
Reklame peragaan. 
(3) 
Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah: 
a. 
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, 
radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, 
dan sejenisnya; 
b. 
label/merek produk yang melekat pada barang yang 
diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan 
dari produk sejenis lainnya; 
c. nama . . . 
- 29 - 29 -

c. 
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang 
melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi 
diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang 
mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut; 
d. 
Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau 
Pemerintah Daerah; dan 
e. 
penyelenggaraan Reklame lainnya yang ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 48 

(1) 
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan 
yang menggunakan Reklame. 
(2) 
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan 
yang menyelenggarakan Reklame. 
(3) 
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri secara 
langsung oleh orang pribadi atau Badan, Wajib Pajak 
Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut. 
(4) 
Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, 
pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame. 
Pasal 49 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa 
Reklame. 
(2) 
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, 
Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. 
(3) 
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa 
Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 
dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang 
digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu 
penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. 
(4) 
Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak 
wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan 
menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada 
ayat (3). 
(5) Cara . . . 
- 30 - 30 -

(5) 
Cara perhitungan Nilai 
dimaksud pada ayat (3) 
Daerah. 
(6) 
Hasil perhitungan Nilai 
dimaksud pada ayat (5) 
Kepala Daerah. 
Pasal 50 

Sewa Reklame sebagaimana 
ditetapkan dengan Peraturan 

Sewa Reklame sebagaimana 
ditetapkan dengan Peraturan 

(1) 
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% 
(dua puluh lima persen). 
(2) 
Tarif Pajak Reklame ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 51 

(1) 
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung 
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 50 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (6). 
(2) 
Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat Reklame tersebut diselenggarakan. 
Bagian Kesebelas 
Pajak Penerangan Jalan 


Pasal 52 

(1) 
Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga 
listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh 
dari sumber lain. 
(2) 
Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) meliputi seluruh pembangkit listrik. 
(3) 
Dikecualikan dari objek Pajak Penerangan Jalan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. 
penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah 
dan Pemerintah Daerah; 
b. 
penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang 
digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan 
asing dengan asas timbal balik; 
c. penggunaan . . . 
- 31 - 31 -

c. 
penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri 
dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin 
dari instansi teknis terkait; dan 
d. 
penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan 
Peraturan Daerah. 
Pasal 53 

(1) 
Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau 
Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik. 
(2) 
Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau 
Badan yang menggunakan tenaga listrik. 
(3) 
Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh sumber lain, Wajib 
Pajak Penerangan Jalan adalah penyedia tenaga listrik. 
Pasal 54 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual 
Tenaga Listrik. 
(2) 
Nilai Jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditetapkan: 
a. 
dalam hal tenaga listrik berasal dari sumber lain 
dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah 
jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan 
biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam 
rekening listrik; 
b. 
dalam hal tenaga listrik dihasilkan sendiri, Nilai Jual 
Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas 
tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu 
pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang 
berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. 
Pasal 55 

(1) 
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 
sebesar 10% (sepuluh persen). 
(2) 
Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, 
pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak 
Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga 
persen). 
(3) Penggunaan . . . 
- 32 - 32 -

(3) 
Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif 
Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 
1,5% (satu koma lima persen). 
(4) 
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan 
Daerah. 
Pasal 56 

(1) 
Besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang 
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dengan dasar pengenaan 
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54. 
(2) 
Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah 
daerah tempat penggunaan tenaga listrik. 
(3) 
Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan sebagian 
dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan. 
Bagian Kedua Belas 
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 


Pasal 57 

(1) 
Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah 
kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan 
yang meliputi: 
a. 
asbes; 
b. 
batu tulis; 
c. 
batu setengah permata; 
d. 
batu kapur; 
e. 
batu apung; 
f. 
batu permata; 
g. 
bentonit; 
h. 
dolomit; 
i. 
feldspar; 
j. 
garam batu (halite); 
k. 
grafit; 
l. 
granit/andesit; 
m. 
gips; 
n. 
kalsit; 
o. kaolin . . . 
- 33 - 33 -

o. 
kaolin; 
p. 
leusit; 
q. 
magnesit; 
r. 
mika; 
s. 
marmer; 
t. 
nitrat; 
u. 
opsidien; 
v. 
oker; 
w. 
pasir dan kerikil; 
x. 
pasir kuarsa; 
y. 
perlit; 
z. phospat; 
aa. talk; 
bb. tanah serap (fullers 
earth); 
cc. tanah diatome; 
dd. tanah liat; 
ee. tawas (alum); 
ff. tras; 
gg. yarosif; 
hh. zeolit; 
ii. basal; 
jj. trakkit; dan 
kk. Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya sesuai 
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

(2) 
Dikecualikan dari objek Pajak Mineral Bukan Logam dan 
Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. 
kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan 
Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara 
komersial, seperti kegiatan pengambilan tanah untuk 
keperluan rumah tangga, pemancangan tiang 
listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, 
penanaman pipa air/gas; 
b. 
kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan 
Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan 
pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara 
komersial; dan 
c. 
pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan lainnya 
yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 58 . . . 

- 34 - 34 -

Pasal 58 

(1) 
Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah 
orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral 
Bukan Logam dan Batuan. 
(2) 
Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah 
orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan 
Logam dan Batuan. 
Pasal 59 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 
adalah Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam 
dan Batuan. 
(2) 
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 
dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan 
dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis 
Mineral Bukan Logam dan Batuan. 
(3) 
Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 
harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah 
daerah yang bersangkutan. 
(4) 
Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan 
Logam dan Batuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) 
sulit diperoleh, digunakan harga standar yang ditetapkan 
oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan 
Mineral Bukan Logam dan Batuan. 
Pasal 60 

(1) 
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan 
paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen). 
(2) 
Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 61 

(1) 
Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 
yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dengan 
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 59. 
(2) Pajak . . . 
- 35 - 35 -

(2) 
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang 
dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral 
Bukan Logam dan Batuan. 
Bagian Ketiga Belas 
Pajak Parkir 


Pasal 62 

(1) 
Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat Parkir 
di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan 
pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu 
usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan 
bermotor. 
(2) 
Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) adalah: 
a. 
penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan 
Pemerintah Daerah; 
b. 
penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang 
hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; 
c. 
penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, 
konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas 
timbal balik; dan 
d. 
penyelenggaraan tempat Parkir lainnya yang diatur 
dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 63 

(1) 
Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang 
melakukan parkir kendaraan bermotor. 
(2) 
Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang 
menyelenggarakan tempat Parkir. 
Pasal 64 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran 
atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara 
tempat Parkir. 
(2) Dasar . . . 
- 36 - 36 -

(2) 
Dasar pengenaan Pajak Parkir sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
(3) 
Jumlah yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) termasuk potongan harga Parkir dan Parkir 
cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir. 
Pasal 65 

(1) 
Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi sebesar 30% 
(tiga puluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Parkir ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 66 

(1) 
Besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan 
cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
65 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 64. 
(2) 
Pajak Parkir yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat Parkir berlokasi. 
Bagian Keempat Belas 
Pajak Air Tanah 


Pasal 67 

(1) 
Objek Pajak Air Tanah adalah pengambilan dan/atau 
pemanfaatan Air Tanah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Pajak Air Tanah adalah: 
a. 
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk 
keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian 
dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan 
b. 
pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya 
yang diatur dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 68 . . . 

- 37 - 37 -

Pasal 68 

(1) 
Subjek Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan 
yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air 
Tanah. 
(2) 
Wajib Pajak Air Tanah adalah orang pribadi atau Badan 
yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air 
Tanah. 
Pasal 69 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan 
Air Tanah. 
(2) 
Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dinyatakan dalam rupiah yang dihitung dengan 
mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor 
berikut: 
a. 
jenis sumber air; 
b. 
lokasi sumber air; 
c. 
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air; 
d. 
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; 
e. 
kualitas air; dan 
f. 
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh 
pengambilan dan/atau pemanfaatan air. 
(3) 
Penggunaan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) disesuaikan dengan kondisi masing-masing 
Daerah. 
(4) 
Besarnya Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan 
Bupati/Walikota. 
Pasal 70 

(1) 
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan paling tinggi sebesar 20% 
(dua puluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Air Tanah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 71 . . . 

- 38 - 38 -

Pasal 71 

(1) 
Besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung 
dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 70 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4). 
(2) 
Pajak Air Tanah yang terutang dipungut di wilayah daerah 
tempat air diambil. 
Bagian Kelima Belas 
Pajak Sarang Burung Walet 


Pasal 72 

(1) 
Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan 
dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. 
(2) 
Tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) adalah: 
a. 
pengambilan Sarang Burung Walet yang telah 
dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); 
b. 
kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang 
Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan 
Peraturan Daerah. 
Pasal 73 

(1) 
Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi 
atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau 
mengusahakan Sarang Burung Walet. 
(2) 
Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi 
atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau 
mengusahakan Sarang Burung Walet. 
Pasal 74 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai 
Jual Sarang Burung Walet. 
(2) Nilai . . . 
- 39 - 39 -

(2) 
Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga 
pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di 
daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung 
Walet. 
Pasal 75 

(1) 
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi 
sebesar 10% (sepuluh persen). 
(2) 
Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan 
Peraturan Daerah. 
Pasal 76 

(1) 
Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang 
dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana di 
maksud dalam Pasal 75 ayat (2) dengan dasar pengenaan 
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74. 
(2) 
Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di 
wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau 
pengusahaan Sarang Burung Walet. 
Bagian Keenam Belas 
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 

Pasal 77 

(1) 
Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 
adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, 
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, 
kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha 
perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 
(2) 
Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: 
a. 
jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks 
bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, 
yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks 
Bangunan tersebut; 
b. jalan . . . 
- 40 - 40 -

b. 
jalan tol; 
c. 
kolam renang; 
d. 
pagar mewah; 
e. 
tempat olahraga; 
f. 
galangan kapal, dermaga; 
g. 
taman mewah; 
h. 
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, 
pipa minyak; dan 
i. 
menara. 
(3) 
Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan 
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak 
yang: 
a. 
digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk 
penyelenggaraan pemerintahan; 
b. 
digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan 
umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan 
dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan 
untuk memperoleh keuntungan; 
c. 
digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, 
atau yang sejenis dengan itu; 
d. 
merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan 
wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang 
dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum 
dibebani suatu hak; 
e. 
digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat 
berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan 
f. 
digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga 
internasional yang ditetapkan dengan Peraturan 
Menteri Keuangan. 
(4) 
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak 
ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 
(sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. 
(5) 
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana 
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan 
Daerah. 
Pasal 78 . . . 

- 41 - 41 -

Pasal 78 

(1) 
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan 
Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara 
nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau 
memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, 
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas 
Bangunan. 
(2) 
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 
adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata 
mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh 
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, 
dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. 
Pasal 79 

(1) 
Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan 
dan Perkotaan adalah NJOP. 
(2) 
Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak 
tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan 
perkembangan wilayahnya. 
(3) 
Penetapan besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada 
ayat (2) dilakukan oleh Kepala Daerah. 
Pasal 80 

(1) 
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 
ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga 
persen). 
(2) 
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan 
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 81 

Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan 
Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) dengan dasar 
pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat 

(3) setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (5). 
Pasal 82 . . . 

- 42 42 Pasal 
82 


(1) Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. 
(2) Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah 
menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. 
(3) Tempat pajak yang terutang adalah di wilayah daerah yang 
meliputi letak objek pajak. 

Pasal 83 

(1) 
Pendataan dilakukan dengan menggunakan SPOP. 
(2) 
SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi 
dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan 
disampaikan kepada Kepala Daerah yang wilayah kerjanya 
meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 (tiga 
puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh 
Subjek Pajak. 
Pasal 84 

(1) 
Berdasarkan SPOP, Kepala Daerah menerbitkan SPPT. 
(2) 
Kepala Daerah dapat mengeluarkan SKPD dalam hal-hal 
sebagai berikut: 
a. 
SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) 
tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur 
secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana 
ditentukan dalam Surat Teguran; 
b. 
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain 
ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari 
jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang 
disampaikan oleh Wajib Pajak. 
Bagian Ketujuh Belas 
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 

Pasal 85 

(1) 
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 
(2) 
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. pemindahan . . . 
- 43 - 43 -

a. 
pemindahan hak karena: 
1) jual beli; 
2) tukar menukar; 
3) hibah; 
4) hibah wasiat; 
5) waris; 
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum 
lain; 
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 
8) penunjukan pembeli dalam lelang; 
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai 

kekuatan hukum tetap; 
10) penggabungan usaha; 
11) peleburan usaha; 
12) pemekaran usaha; atau 
13) hadiah. 


b. 
pemberian hak baru karena: 
1) kelanjutan pelepasan hak; atau 
2) di luar pelepasan hak. 
(3) 
Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
adalah: 
a. 
hak milik; 
b. 
hak guna usaha; 
c. 
hak guna bangunan; 
d. 
hak pakai; 
e. 
hak milik atas satuan rumah susun; dan 
f. 
hak pengelolaan. 
(4) 
Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas 
Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: 
a. 
perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas 
perlakuan timbal balik; 
b. 
negara untuk penyelenggaraan pemerintahan 
dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna 
kepentingan umum; 
c. badan . . . 
- 44 - 44 -

c. 
badan atau perwakilan lembaga internasional yang 
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan 
dengan syarat tidak menjalankan usaha atau 
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas 
badan atau perwakilan organisasi tersebut; 
d. 
orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau 
karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya 
perubahan nama; 
e. 
orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan 
f. 
orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk 
kepentingan ibadah. 
Pasal 86 

(1) 
Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang 
memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 
(2) 
Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak 
atas Tanah dan/atau Bangunan. 
Pasal 87 

(1) 
Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. 
(2) 
Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), dalam hal: 
a. 
jual beli adalah harga transaksi; 
b. 
tukar menukar adalah nilai pasar; 
c. 
hibah adalah nilai pasar; 
d. 
hibah wasiat adalah nilai pasar; 
e. 
waris adalah nilai pasar; 
f. 
pemasukan dalam peseroan atau badan hukum 
lainnya adalah nilai pasar; 
g. 
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah 
nilai pasar; 
h. 
peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim 
yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai 
pasar; 
i. pemberian . . . 
- 45 - 45 -

i. 
pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan 
dari pelepasan hak adalah nilai pasar; 
j. 
pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak 
adalah nilai pasar; 
k. 
penggabungan usaha adalah nilai pasar; 
l. 
peleburan usaha adalah nilai pasar; 
m. 
pemekaran usaha adalah nilai pasar; 
n. 
hadiah adalah nilai pasar; dan/atau 
o. 
penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga 
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. 
(3) 
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak 
diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang 
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan 
pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang 
dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. 
(4) 
Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 
ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,00 (enam 
puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. 
(5) 
Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat 
yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan 
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat 
ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah 
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak 
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar 
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 
(6) 
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana 
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan 
Peraturan Daerah. 
Pasal 88 

(1) 
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). 
(2) 
Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan 
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
Pasal 89 . . . 

- 46 - 46 -

Pasal 89 

(1) 
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan 
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) 
dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan 
Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 87 ayat (6). 
(2) 
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang 
terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah 
dan/atau Bangunan berada. 
Pasal 90 

(1) 
Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah 
dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: 
a. 
jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
b. 
tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
c. 
hibah adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
d. 
hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
e. 
waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan 
mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang 
pertanahan; 
f. 
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum 
lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
g. 
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah 
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
h. 
putusan hakim adalah sejak tanggal putusan 
pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang 
tetap; 
i. 
pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan 
dari pelepasan hak adalah sejak tanggal 
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
j. pemberian . . . 
- 47 - 47 -

j. 
pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah 
sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan 
pemberian hak; 
k. 
penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
l. 
peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
m. 
pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; 
n. 
hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan 
ditandatanganinya akta; dan 
o. 
lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang 
lelang. 
(2) 
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya 
perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
Pasal 91 

(1) 
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat 
menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah 
dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan 
bukti pembayaran pajak. 
(2) 
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara 
hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak 
atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak 
menyerahkan bukti pembayaran pajak. 
(3) 
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan 
pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan 
Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti 
pembayaran pajak. 
Pasal 92 

(1) 
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor 
yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan 
pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas 
Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling 
lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. 
(2) Tata cara . . . 
- 48 - 48 -

(2) 
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. 
Pasal 93 

(1) 
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor 
yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) 
dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda 
sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) 
untuk setiap pelanggaran. 
(2) 
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor 
yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) 
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk 
setiap laporan. 
(3) 
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar 
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) 
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan 
perundang-undangan. 
BAB III 
BAGI HASIL PAJAK PROVINSI 


Pasal 94 

(1) 
Hasil penerimaan Pajak provinsi sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi 
kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan 
dengan ketentuan sebagai berikut: 
a. 
hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea 
Balik Nama Kendaraan Bermotor diserahkan kepada 
kabupaten/kota sebesar 30% (tiga puluh persen); 
b. 
hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan 
Bermotor diserahkan kepada kabupaten/kota sebesar 
70% (tujuh puluh persen); 
c. hasil . . . 
- 49 - 49 -

c. 
hasil penerimaan Pajak Rokok diserahkan kepada 
kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen); 
dan 
d. 
hasil penerimaan Pajak Air Permukaan diserahkan 
kepada kabupaten/kota sebesar 50% (lima puluh 
persen). 
(2) 
Khusus untuk penerimaan Pajak Air Permukaan dari 
sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah 
kabupaten/kota, hasil penerimaan Pajak Air Permukaan 
dimaksud diserahkan kepada kabupaten/kota yang 
bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen). 
(3) 
Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan 
dan/atau potensi antarkabupaten/kota. 
(4) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil penerimaan 
Pajak provinsi yang diperuntukkan bagi kabupaten/kota 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) 
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. 
BAB IV 
PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR 
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK 


Pasal 95 

(1) 
Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
(2) 
Peraturan Daerah tentang Pajak tidak berlaku surut. 
(3) 
Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur 
ketentuan mengenai: 
a. 
nama, objek, dan Subjek Pajak; 
b. 
dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; 
c. 
wilayah pemungutan; 
d. 
Masa Pajak; 
e. 
penetapan; 
f. 
tata cara pembayaran dan penagihan; 
g. 
kedaluwarsa; 
h. sanksi . . . 
- 50 - 50 -

h. 
sanksi administratif; dan 
i. 
tanggal mulai berlakunya. 
(4) 
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur 
ketentuan mengenai: 
a. 
pemberian pengurangan, keringanan, dan 
pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak 
dan/atau sanksinya; 
b. 
tata cara penghapusan piutang pajak yang 
kedaluwarsa; dan/atau 
c. 
asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, 
keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, 
konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan 
kelaziman internasional. 
BAB V 
PEMUNGUTAN PAJAK 


Bagian Kesatu 
Tata Cara Pemungutan 


Pasal 96 

(1) 
Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. 
(2) 
Setiap Wajib Pajak wajib membayar Pajak yang terutang 
berdasarkan surat ketetapan pajak atau dibayar sendiri 
oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan. 
(3) 
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan 
berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan 
menggunakan SKPD atau dokumen lain yang 
dipersamakan. 
(4) 
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (3) berupa karcis dan nota perhitungan. 
(5) 
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri 
dibayar dengan menggunakan SPTPD, SKPDKB, dan/atau 
SKPDKBT. 
Pasal 97 . . . 

- 51 - 51 -

Pasal 97 

(1) 
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat 
terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan: 
a. 
SKPDKB dalam hal: 
1) 
jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau 
keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau 
kurang dibayar; 

2) 
jika SPTPD tidak disampaikan kepada Kepala 
Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah 
ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada 
waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat 
teguran; 

3) 
jika kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, 
pajak yang terutang dihitung secara jabatan. 

b. 
SKPDKBT jika ditemukan data baru dan/atau data 
yang semula belum terungkap yang menyebabkan 
penambahan jumlah pajak yang terutang. 
c. 
SKPDN jika jumlah pajak yang terutang sama 
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak 
terutang dan tidak ada kredit pajak. 
(2) 
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan 
angka 2) dikenakan sanksi administratif berupa bunga 
sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang 
kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling 
lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat 
terutangnya pajak. 
(3) 
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan 
sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% 
(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. 
(4) 
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak 
dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum 
dilakukan tindakan pemeriksaan. 
(5) Jumlah . . . 
- 52 - 52 -

(5) 
Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi 
administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh 
lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi 
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) 
sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat 
dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh 
empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. 
Pasal 98 

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat 
dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar 

sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan lainnya berkaitan 
dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan 
Pemerintah. 

Pasal 99 

(1) 
Tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang 
dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat 
(5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. 
(2) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan 
penyampaian SKPD atau dokumen lain yang 
dipersamakan, SPTPD, SKPDKB, dan SKPDKBT 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat 
(5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. 
Bagian Kedua 
Surat Tagihan Pajak 

Pasal 100 

(1) 
Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD jika: 
a. 
pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; 
b. 
dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan 
pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah 
hitung; 
c. Wajib . . . 
- 53 - 53 -

c. 
Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa 
bunga dan/atau denda. 
(2) 
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b 
ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga 
sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 
(lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak. 
(3) 
SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo 
pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga 
sebesar 2% (dua persen) sebulan dan ditagih melalui STPD. 
Bagian Ketiga 
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan 


Pasal 101 

(1) 
Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo 
pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling 
lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya 
pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal 
diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. 
(2) 
SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan 
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan 
Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus 
dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan 
harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) 
bulan sejak tanggal diterbitkan. 
(3) 
Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah 
memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan 
persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau 
menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga 
sebesar 2% (dua persen) sebulan. 
(4) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, 
penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan 
penundaan pembayaran pajak diatur dengan Peraturan 
Kepala Daerah. 
Pasal 102 . . . 

- 54 - 54 -

Pasal 102 

(1) 
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, 
SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat 
Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak 
atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya 
dapat ditagih dengan Surat Paksa. 
(2) 
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan 
berdasarkan peraturan perundang-undangan. 
Bagian Keempat 
Keberatan dan Banding 


Pasal 103 

(1) 
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada 
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu: 
a. 
SPPT; 
b. 
SKPD; 
c. 
SKPDKB; 
d. 
SKPDKBT; 
e. 
SKPDLB; 
f. 
SKPDN; dan 
g. 
Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga 
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah. 
(2) 
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia 
dengan disertai alasan-alasan yang jelas. 
(3) 
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 
3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau 
pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali 
jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu 
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar 
kekuasaannya. 
(4) 
Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah 
membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui 
Wajib Pajak. 
(5) Keberatan . . . 
- 55 - 55 -

(5) 
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), 
dan ayat (4) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan 
sehingga tidak dipertimbangkan. 
(6) 
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh 
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda 
pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat 
sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan. 
Pasal 104 

(1) 
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua 
belas) bulan, sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus 
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. 
(2) 
Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa 
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau 
menambah besarnya pajak yang terutang. 
(3) 
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu 
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap 
dikabulkan. 
Pasal 105 

(1) 
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya 
kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai 
keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. 
(2) 
Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan 
alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak 
keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan 
keberatan tersebut. 
(3) 
Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban 
membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak 
tanggal penerbitan Putusan Banding. 
Pasal 106 . . . 

- 56 - 56 -

Pasal 106 

(1) 
Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding 
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan 
pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan 
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 
24 (dua puluh empat) bulan. 
(2) 
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan 
diterbitkannya SKPDLB. 
(3) 
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan 
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa 
denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak 
berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak 
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. 
(4) 
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, 
sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh 
persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak 
dikenakan. 
(5) 
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan 
sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa 
denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak 
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan 
pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan 
keberatan. 
Bagian Kelima 
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan 
Penghapusan atau Pengurangan Sanksi administratif 


Pasal 107 

(1) 
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, 
Kepala Daerah dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, 
SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam 
penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau 
kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan 
ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan 
perpajakan daerah. 
(2) Kepala . . . 
- 57 - 57 -

(2) 
Kepala Daerah dapat: 
a. 
mengurangkan atau menghapuskan sanksi 
administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan 
pajak yang terutang menurut peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi 
tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak 
atau bukan karena kesalahannya; 
b. 
mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, 
SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB 
yang tidak benar; 
c. 
mengurangkan atau membatalkan STPD; 
d. 
membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak 
yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai 
dengan tata cara yang ditentukan; dan 
e. 
mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan 
pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak 
atau kondisi tertentu objek pajak. 
(3) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan 
atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan 
atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud 
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. 
BAB VI 
RETRIBUSI 

Bagian Kesatu 
Objek dan Golongan Retribusi 


Pasal 108 

(1) 
Objek Retribusi adalah: 
a. 
Jasa Umum; 
b. 
Jasa Usaha; dan 
c. 
Perizinan Tertentu. 
(2) Retribusi . . . 
- 58 - 58 -

(2) 
Retribusi yang dikenakan atas jasa umum sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan sebagai 
Retribusi Jasa Umum. 
(3) 
Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf b digolongkan sebagai 
Retribusi Jasa Usaha. 
(4) 
Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digolongkan 
sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. 
Bagian Kedua 
Retribusi Jasa Umum 


Pasal 109 

Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan 
atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan 
dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang 
pribadi atau Badan. 

Pasal 110 

(1) 
Jenis Retribusi Jasa Umum adalah: 
a. 
Retribusi Pelayanan Kesehatan; 
b. 
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan; 
c. 
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda 
Penduduk dan Akta Catatan Sipil; 
d. 
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan 
Mayat; 
e. 
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; 
f. 
Retribusi Pelayanan Pasar; 
g. 
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; 
h. 
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran; 
i. 
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; 
j. 
Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus; 
k. 
Retribusi Pengolahan Limbah Cair; 
l. 
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; 
m. 
Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan 
n. Retribusi . . . 
- 59 - 59 -

n. 
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 
(2) 
Jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil 
dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk 
memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma. 
Pasal 111 

(1) 
Objek Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf a adalah 
pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, 
puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit 
umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya 
yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh 
Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan kesehatan 
adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh 
Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 112 

(1) 
Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf b 
adalah pelayanan persampahan/kebersihan yang 
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi: 
a. 
pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya 
ke lokasi pembuangan sementara; 
b. 
pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau 
lokasi pembuangan sementara ke lokasi 
pembuangan/pembuangan akhir sampah; dan 
c. 
penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan akhir 
sampah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, 
taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. 
Pasal 113 

Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda 
Penduduk dan Akta Catatan Sipil sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 110 ayat (1) huruf c adalah pelayanan: 

a. kartu . . . 
- 60 60 


a. kartu tanda penduduk; 
b. kartu keterangan bertempat tinggal; 
c. kartu identitas kerja; 
d. kartu penduduk sementara; 
e. kartu identitas penduduk musiman; 
f. kartu keluarga; dan 
g. akta catatan sipil yang meliputi akta perkawinan, akta 
perceraian, akta pengesahan dan pengakuan anak, akta 
ganti nama bagi warga negara asing, dan akta kematian. 

Pasal 114 

Objek Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf d adalah 
pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat yang meliputi: 

a. 
pelayanan penguburan/pemakaman termasuk penggalian 
dan pengurukan, pembakaran/pengabuan mayat; dan 
b. 
sewa tempat pemakaman atau pembakaran/pengabuan 
mayat yang dimiliki atau dikelola Pemerintah Daerah. 
Pasal 115 

Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf e adalah 
penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang 
ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 

Pasal 116 

(1) 
Objek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 110 ayat (1) huruf f adalah penyediaan 
fasilitas pasar tradisional/sederhana, berupa pelataran, 
los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus 
disediakan untuk pedagang. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan fasilitas pasar yang dikelola 
oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 117 . . . 

- 61 - 61 -

Pasal 117 

Objek Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf g adalah pelayanan 
pengujian kendaraan bermotor, termasuk kendaraan bermotor 
di air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. 

Pasal 118 

Objek Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf h 
adalah pelayanan pemeriksaan dan/atau pengujian alat 
pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat 
penyelamatan jiwa oleh Pemerintah Daerah terhadap alat-alat 
pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat 
penyelamatan jiwa yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh 
masyarakat. 

Pasal 119 

Objek Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf i adalah penyediaan 
peta yang dibuat oleh Pemerintah Daerah. 

Pasal 120 

(1) 
Objek Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf j 
adalah pelayanan penyediaan dan/atau penyedotan kakus 
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan dan/atau 
penyedotan kakus yang disediakan, dimiliki dan/atau 
dikelola oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta. 
Pasal 121 

(1) 
Objek Retribusi Pengolahan Limbah Cair sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf k adalah 
pelayanan pengolahan limbah cair rumah tangga, 
perkantoran, dan industri yang disediakan, dimiliki, 
dan/atau dikelola secara khusus oleh Pemerintah Daerah 
dalam bentuk instalasi pengolahan limbah cair. 
(2) Dikecualikan . . . 
- 62 - 62 -

(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan pengolahan limbah cair 
yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh 
Pemerintah, BUMN, BUMD, pihak swasta, dan 
pembuangan limbah cair secara langsung ke sungai, 
drainase, dan/atau sarana pembuangan lainnya. 
Pasal 122 

Objek Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf l adalah: 

a. 
pelayanan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang, dan 
perlengkapannya; dan 
b. 
pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang 
diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 
Pasal 123 

(1) 
Objek Retribusi Pelayanan Pendidikan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf m adalah 
pelayanan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 
teknis oleh Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah: 
a. 
pelayanan pendidikan dasar dan menengah yang 
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah; 
b. 
pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh 
Pemerintah; 
c. 
pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh 
BUMN, BUMD; dan 
d. 
pendidikan/pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak 
swasta. 
Pasal 124 

Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf n 
adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi 
dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan 
kepentingan umum. 

Pasal 125 . . . 

- 63 - 63 -

Pasal 125 

(1) 
Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau 
Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa 
umum yang bersangkutan. 
(2) 
Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau 
Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan 
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong 
Retribusi Jasa Umum. 
Bagian Ketiga 
Retribusi Jasa Usaha 


Pasal 126 

Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan 
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial 
yang meliputi: 

a. 
pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan 
Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; 
dan/atau 
b. 
pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum 
disediakan secara memadai oleh pihak swasta. 
Pasal 127 
Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah: 

a. 
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; 
b. 
Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; 
c. 
Retribusi Tempat Pelelangan; 
d. 
Retribusi Terminal; 
e. 
Retribusi Tempat Khusus Parkir; 
f. 
Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; 
g. 
Retribusi Rumah Potong Hewan; 
h. 
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; 
i. 
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; 
j. Retribusi . . . 
- 64 - 64 -

j. 
Retribusi Penyeberangan di Air; dan 
k. 
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. 
Pasal 128 

(1) 
Objek Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127 huruf a adalah pemakaian 
kekayaan Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari pengertian pemakaian kekayaan Daerah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan 
tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. 
Pasal 129 

(1) 
Objek Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf b adalah 
penyediaan fasilitas pasar grosir berbagai jenis barang, dan 
fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang 
disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah fasilitas pasar yang disediakan, 
dimiliki, dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak 
swasta. 
Pasal 130 

(1) 
Objek Retribusi Tempat Pelelangan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 127 huruf c adalah penyediaan tempat 
pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah 
Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil 
bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta 
fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. 
(2) 
Termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah 
Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat 
pelelangan. 
(3) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah tempat pelelangan yang disediakan, 
dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak 
swasta. 
Pasal 131 . . . 

- 65 - 65 -

Pasal 131 

(1) 
Objek Retribusi Terminal sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 127 huruf d adalah pelayanan penyediaan tempat 
parkir untuk kendaraan penumpang dan bis umum, 
tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lainnya di lingkungan 
terminal, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh 
Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah terminal yang disediakan, dimiliki, 
dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan 
pihak swasta. 
Pasal 132 

(1) 
Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127 huruf e adalah pelayanan 
tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau 
dikelola oleh Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan tempat parkir yang 
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah, 
BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 133 

(1) 
Objek Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf f adalah 
pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang 
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah 
Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah tempat 
penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, 
dan/atau dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan 
pihak swasta. 
Pasal 134 

(1) 
Objek Retribusi Rumah Potong Hewan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127 huruf g adalah pelayanan 
penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak 
termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan 
sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, 
dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. 
(2) Dikecualikan . . . 
- 66 - 66 -

(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan penyediaan fasilitas rumah 
pemotongan hewan ternak yang disediakan, dimiliki, 
dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 135 

(1) 
Objek Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127 huruf h adalah pelayanan jasa 
kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan 
pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola 
oleh Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan jasa kepelabuhanan yang 
disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah, 
BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 136 

(1) 
Objek Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf i adalah 
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang 
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah 
Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, 
dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola 
oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 137 

(1) 
Objek Retribusi Penyeberangan di Air sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127 huruf j adalah pelayanan 
penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan 
kendaraan di air yang dimiliki dan/atau dikelola oleh 
Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pelayanan penyeberangan yang 
dikelola oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 138 . . . 

- 67 - 67 -

Pasal 138 

(1) 
Objek Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf k adalah 
penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah. 
(2) 
Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah penjualan produksi oleh Pemerintah, 
BUMN, BUMD, dan pihak swasta. 
Pasal 139 

(1) 
Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau 
Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa 
usaha yang bersangkutan. 
(2) 
Wajib Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau 
Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan 
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong 
Retribusi Jasa Usaha. 
Bagian Keempat 
Retribusi Perizinan Tertentu 


Pasal 140 

Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan 
tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau 
Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan 
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya 
alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna 
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian 
lingkungan. 

Pasal 141 
Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: 

a. 
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 
b. 
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 
c. 
Retribusi Izin Gangguan; 
d. 
Retribusi Izin Trayek; dan 
e. 
Retribusi Izin Usaha Perikanan. 
Pasal 142 . . . 

- 68 - 68 -

Pasal 142 

(1) 
Objek Retribusi Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 141 huruf a adalah pemberian izin 
untuk mendirikan suatu bangunan. 
(2) 
Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
meliputi kegiatan peninjauan desain dan pemantauan 
pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan 
rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, dengan 
tetap memperhatikan koefisien dasar bangunan (KDB), 
koefisien luas bangunan (KLB), koefisien ketinggian 
bangunan (KKB), dan pengawasan penggunaan bangunan 
yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat 
keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut. 
(3) 
Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah pemberian izin untuk bangunan milik 
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 
Pasal 143 

Objek Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b adalah 
pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman 
beralkohol di suatu tempat tertentu. 

Pasal 144 

(1) 
Objek Retribusi Izin Gangguan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 141 huruf c adalah pemberian izin tempat 
usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau Badan yang 
dapat menimbulkan ancaman bahaya, kerugian dan/atau 
gangguan, termasuk pengawasan dan pengendalian 
kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah 
terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau 
kesehatan umum, memelihara ketertiban lingkungan, dan 
memenuhi norma keselamatan dan kesehatan kerja. 
(2) 
Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) adalah tempat usaha/kegiatan yang telah 
ditentukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. 
Pasal 145 . . . 

- 69 - 69 -

Pasal 145 

Objek Retribusi Izin Trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
141 huruf d adalah pemberian izin kepada orang pribadi atau 
Badan untuk menyediakan pelayanan angkutan penumpang 
umum pada suatu atau beberapa trayek tertentu. 

Pasal 146 

Objek Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 141 huruf e adalah pemberian izin kepada orang 
pribadi atau Badan untuk melakukan kegiatan usaha 
penangkapan dan pembudidayaan ikan. 

Pasal 147 

(1) 
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi 
atau Badan yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah 
Daerah. 
(2) 
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi 
atau Badan yang menurut ketentuan peraturan 
perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk 
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut 
atau pemotong Retribusi Perizinan Tertentu. 
Pasal 148 
Teknis pemberian perizinan tertedalam Pasal 141 dilaksanakan 
peraturan perundang-undangan. 
ntu 
sessebuai 
agaimana 
dengan 
dimaksud 
ketentuan 

Bagian Kelima 
Jenis, Rincian Objek, dan Kriteria Retribusi 

Pasal 149 

(1) 
Jenis Retribusi Jasa Umum dan Retribusi Perizinan 
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) 
dan Pasal 141, untuk Daerah provinsi dan Daerah 
kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan Daerah 
masing-masing sebagaimana diatur dalam peraturan 
perundang-undangan. 
(2) Jenis . . . 
- 70 - 70 -

(2) 
Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 127, untuk Daerah provinsi dan Daerah 
kabupaten/kota disesuaikan dengan jasa/pelayanan yang 
diberikan oleh Daerah masing-masing. 
(3) 
Rincian jenis objek dari setiap Retribusi sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1), Pasal 127, dan Pasal 
141 diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan. 
Pasal 150 

Jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam Pasal 110 ayat (1), 
Pasal 127, dan Pasal 141 sepanjang memenuhi kriteria sebagai 
berikut: 

a. 
Retribusi Jasa Umum: 
1. 
Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan 
bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha atau Retribusi 
Perizinan Tertentu; 
2. 
jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan 
Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; 
3. 
jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang 
pribadi atau Badan yang diharuskan membayar 
retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan 
kemanfaatan umum; 
4. 
jasa tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi 
atau Badan yang membayar retribusi dengan 
memberikan keringanan bagi masyarakat yang tidak 
mampu; 
5. 
Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan 
nasional mengenai penyelenggaraannya; 
6. 
Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, 
serta merupakan salah satu sumber pendapatan 
Daerah yang potensial; dan 
7. 
pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan 
jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas 
pelayanan yang lebih baik. 
b. 
Retribusi Jasa Usaha: 
1. 
Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan 
bersifat bukan Retribusi Jasa Umum atau Retribusi 
Perizinan Tertentu; dan 
2. jasa . . . 
- 71 - 71 -

2. 
jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat 
komersial yang seyogyanya disediakan oleh sektor 
swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta 
yang dimiliki/dikuasai Daerah yang belum 
dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah. 
c. 
Retribusi Perizinan Tertentu: 
1. 
perizinan tersebut termasuk kewenangan 
pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam 
rangka asas desentralisasi; 
2. 
perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna 
melindungi kepentingan umum; dan 
3. 
biaya yang menjadi beban Daerah dalam 
penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk 
menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin 
tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari 
retribusi perizinan; 
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 

Bagian Keenam 
Tata Cara Penghitungan Retribusi 


Pasal 151 

(1) 
Besarnya Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan 
perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif 
Retribusi. 
(2) 
Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) adalah jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar 
alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk 
penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. 
(3) 
Apabila tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa 
dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh 
Pemerintah Daerah. 
(4) 
Rumus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus 
mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah 
dalam menyelenggarakan jasa tersebut. 
(5) Tarif . . . 
- 72 - 72 -

(5) 
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan 
untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. 
(6) 
Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat 
ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan 
sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif 
Retribusi. 
Bagian Ketujuh 
Prinsip dan Sasaran Penetapan Tarif Retribusi 


Pasal 152 

(1) 
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa 
Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya 
penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan 
masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian 
atas pelayanan tersebut. 
(2) 
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya 
operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. 
(3) 
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan 
biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk 
menutup sebagian biaya. 
(4) 
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk 
dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta hanya 
memperhitungkan biaya pencetakan dan 
pengadministrasian. 
Pasal 153 

(1) 
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif 
Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk 
memperoleh keuntungan yang layak. 
(2) 
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat 
(1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan 
jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan 
berorientasi pada harga pasar. 
Pasal 154 . . . 

- 73 - 73 -

Pasal 154 

(1) 
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi 
Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup 
sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian 
izin yang bersangkutan. 
(2) 
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, 
pengawasan di lapangan, penegakan hukum, 
penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian 
izin tersebut. 
Pasal 155 

(1) 
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun 
sekali. 
(2) 
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga 
dan perkembangan perekonomian. 
(3) 
Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat 
(2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. 
BAB VII 
PENETAPAN DAN MUATAN YANG DIATUR 
DALAM PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI 


Pasal 156 

(1) 
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
(2) 
Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku 
surut. 
(3) 
Peraturan Daerah tentang Retribusi paling sedikit 
mengatur ketentuan mengenai: 
a. 
nama, objek, dan Subjek Retribusi; 
b. 
golongan Retribusi; 
c. cara . . . 
- 74 - 74 -

c. 
cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang 
bersangkutan; 
d. 
prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan 
besarnya tarif Retribusi; 
e. 
struktur dan besarnya tarif Retribusi; 
f. 
wilayah pemungutan; 
g. 
penentuan pembayaran, tempat pembayaran, 
angsuran, dan penundaan pembayaran; 
h. 
sanksi administratif; 
i. 
penagihan; 
j. 
penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; 
dan 
k. 
tanggal mulai berlakunya. 
(4) 
Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur 
ketentuan mengenai: 
a. 
Masa Retribusi; 
b. 
pemberian keringanan, pengurangan, dan 
pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok 
Retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau 
c. 
tata cara penghapusan piutang Retribusi yang 
kedaluwarsa. 
(5) 
Pengurangan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (4) huruf b diberikan dengan melihat kemampuan 
Wajib Retribusi. 
(6) 
Pembebasan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat 
(4) huruf b diberikan dengan melihat fungsi objek 
Retribusi. 
(7) 
Peraturan Daerah untuk jenis Retribusi yang tergolong 
dalam Retribusi Perizinan Tertentu harus terlebih dahulu 
disosialisasikan dengan masyarakat sebelum ditetapkan. 
(8) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme 
pelaksanaan penyebarluasan Peraturan Daerah 
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan 
Peraturan Kepala Daerah. 
BAB VIII . . . 

- 75 - 75 -

BAB VIII 
PENGAWASAN DAN PEMBATALAN 
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAN RETRIBUSI 


Pasal 157 

(1) 
Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan 
Retribusi yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan 
DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada 
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 
3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan 
dimaksud. 
(2) 
Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang 
Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh 
bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum 
ditetapkan disampaikan kepada gubernur dan Menteri 
Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak 
tanggal persetujuan dimaksud. 
(3) 
Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap 
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan 
Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, 
kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-
undangan lain yang lebih tinggi. 
(4) 
Gubernur melakukan evaluasi terhadap Rancangan 
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah 
dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum 
dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih 
tinggi. 
(5) 
Menteri Dalam Negeri dan gubernur dalam melakukan 
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) 
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. 
(6) 
Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri 
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat 
berupa persetujuan atau penolakan. 
(7) Hasil . . . 
- 76 - 76 -

(7) 
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) 
disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur 
untuk Rancangan Peraturan Daerah provinsi dan oleh 
gubernur kepada bupati/walikota untuk Rancangan 
Peraturan Daerah kabupaten/kota dalam jangka waktu 
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya 
Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. 
(8) 
Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (6) disampaikan dengan disertai alasan 
penolakan. 
(9) 
Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah 
dimaksud dapat langsung ditetapkan. 
(10) Dalam 
hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah 
dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/walikota 
bersama DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian 
disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan 
Menteri Keuangan untuk Rancangan Peraturan Daerah 
provinsi dan kepada gubernur dan Menteri Keuangan 
untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. 
Pasal 158 

(1) 
Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh 
gubernur/bupati/walikota disampaikan kepada Menteri 
Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) 
hari kerja setelah ditetapkan. 
(2) 
Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan 
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan 
merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah 
dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 
(3) 
Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri 
Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 20 (dua 
puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan 
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(4) Berdasarkan . . . 
- 77 - 77 -

(4) 
Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan 
oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan 
permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud 
kepada Presiden. 
(5) 
Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan 
Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak 
diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1). 
(6) 
Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan 
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala 
Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan 
Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah 
mencabut Peraturan Daerah dimaksud. 
(7) 
Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima 
keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (5) dengan alasan-alasan yang dapat 
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala 
Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah 
Agung. 
(8) 
Jika keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) 
dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah 
Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi 
batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 
(9) 
Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden 
untuk membatalkan Peraturan Daerah sebagaimana 
dimaksud pada ayat (5), Peraturan Daerah dimaksud 
dinyatakan berlaku. 
Pasal 159 

(1) 
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 158 ayat 
(1) dan ayat (6) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa 
penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum 
dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi. 
(2) 
Tata cara pelaksanaan penundaan atau pemotongan Dana 
Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan 
Peraturan Menteri Keuangan. 
BAB IX . . . 

- 78 - 78 -

BAB IX 
PEMUNGUTAN RETRIBUSI 


Bagian Kesatu 
Tata Cara Pemungutan 


Pasal 160 

(1) 
Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau 
dokumen lain yang dipersamakan. 
(2) 
Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) dapat berupa karcis, kupon, dan kartu 
langganan. 
(3) 
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat 
pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi 
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap 
bulan dari Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang 
dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. 
(4) 
Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada 
ayat (3) didahului dengan Surat Teguran. 
(5) 
Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan 
dengan Peraturan Kepala Daerah. 
Bagian Kedua 

Pemanfaatan 

Pasal 161 

(1) 
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis 
Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang 
berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan 
yang bersangkutan. 
(2) 
Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan 
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan 
dengan Peraturan Daerah. 
Bagian . . . 

- 79 - 79 -

Bagian Ketiga 
Keberatan 

Pasal 162 

(1) 
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan 
hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk 
atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. 
(2) 
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia 
dengan disertai alasan-alasan yang jelas. 
(3) 
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 
3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD diterbitkan, kecuali jika 
Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka 
waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar 
kekuasaannya. 
(4) 
Keadaan di luar kekuasaannya sebagaimana dimaksud 
pada ayat (3) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar 
kehendak atau kekuasaan Wajib Retribusi. 
(5) 
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar 
Retribusi dan pelaksanaan penagihan Retribusi. 
Pasal 163 

(1) 
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) 
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus 
memberi keputusan atas keberatan yang diajukan dengan 
menerbitkan Surat Keputusan Keberatan. 
(2) 
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, 
bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan 
oleh Kepala Daerah. 
(3) 
Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa 
menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau 
menambah besarnya Retribusi yang terutang. 
(4) 
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu 
keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap 
dikabulkan. 
Pasal 164 . . . 

- 80 - 80 -

Pasal 164 

(1) 
Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau 
seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan 
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) 
sebulan untuk paling lama 12 (dua belas) bulan. 
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada 
dihitung sejak bulan pelunasan sampai 
diterbitkannya SKRDLB. 
ayat (1) 
dengan 

BAB X 
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN 

Pasal 165 

(1) 
Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib 
Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan 
pengembalian kepada Kepala Daerah. 
(2) 
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua 
belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian 
kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1), harus memberikan keputusan. 
(3) 
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) 
bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian 
kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1), harus memberikan keputusan. 
(4) 
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) 
dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak 
memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian 
pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan 
SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka 
waktu paling lama 1 (satu) bulan. 
(5) 
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai 
utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan 
pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi 
terlebih dahulu utang Pajak atau utang Retribusi tersebut. 
(6) Pengembalian . . . 
- 81 - 81 -

(6) 
Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam 
jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak 
diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB. 
(7) 
Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau 
Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala 
Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua 
persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan 
pembayaran Pajak atau Retribusi. 
(8) 
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau 
Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur 
dengan Peraturan Kepala Daerah. 
BAB XI 
KEDALUWARSA PENAGIHAN 


Pasal 166 

(1) 
Hak untuk melakukan penagihan Pajak menjadi 
kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun 
terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila 
Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang 
perpajakan daerah. 
(2) 
Kedaluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) tertangguh apabila: 
a. 
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau 
b. 
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik 
langsung maupun tidak langsung. 
(3) 
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa 
penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat 
Paksa tersebut. 
(4) 
Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Pajak dengan 
kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak 
dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. 
(5) Pengakuan . . . 
- 82 - 82 -

(5) 
Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari 
pengajuan permohonan angsuran atau penundaan 
pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. 
Pasal 167 

(1) 
Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi 
kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun 
terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika 
Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang 
Retribusi. 
(2) 
Kedaluwarsa penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud 
pada ayat (1) tertangguh jika: 
a. 
diterbitkan Surat Teguran; atau 
b. 
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, 
baik langsung maupun tidak langsung. 
(3) 
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa penagihan 
dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. 
(4) 
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah Wajib Retribusi 
dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai 
utang Retribusi dan belum melunasinya kepada 
Pemerintah Daerah. 
(5) 
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung 
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat 
diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau 
penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh 
Wajib Retribusi. 
Pasal 168 

(1) 
Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin 
ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah 
kedaluwarsa dapat dihapuskan. 
(2) 
Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang 
Pajak dan/atau Retribusi provinsi yang sudah kedaluwarsa 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(3) Bupati/walikota . . . 
- 83 - 83 -

(3) 
Bupati/walikota menetapkan Keputusan Penghapusan 
Piutang Pajak dan/atau Retribusi kabupaten/kota yang 
sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(4) 
Tata cara penghapusan piutang Pajak dan/atau Retribusi 
yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Kepala 
Daerah. 
BAB XII 
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN 


Pasal 169 

(1) 
Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling 
sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) per tahun 
wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. 
(2) 
Kriteria Wajib Pajak dan penentuan besaran omzet serta 
tata cara pembukuan atau pencatatan sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala 
Daerah. 
Pasal 170 

(1) 
Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk 
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan 
daerah dan kewajiban Retribusi dalam rangka 
melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan 
daerah dan Retribusi. 
(2) 
Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang diperiksa wajib: 
a. 
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau 
catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan 
dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak 
atau objek Retribusi yang terutang; 
b. 
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat 
atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan 
bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau 
c. 
memberikan keterangan yang diperlukan. 
(3) Ketentuan . . . 
- 84 - 84 -

(3) 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan 
Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Kepala 
Daerah. 
BAB XIII 
INSENTIF PEMUNGUTAN 


Pasal 171 

(1) 
Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan 
Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian 
kinerja tertentu. 
(2) 
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja 
Daerah. 
(3) 
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan 
Peraturan Pemerintah. 
BAB XIV 
KETENTUAN KHUSUS 


Pasal 172 

(1) 
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain 
segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan 
kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau 
pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan 
perundang-undangan perpajakan daerah. 
(2) 
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku 
juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala 
Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan 
peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 
(3) 
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada 
ayat (1) dan ayat (2) adalah: 
a. Pejabat . . . 
- 85 - 85 -

a. 
Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi 
atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; 
b. 
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh 
Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada 
pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang 
berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang 
keuangan daerah. 
(4) 
Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang 
memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana 
dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, 
memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib 
Pajak kepada pihak yang ditunjuk. 
(5) 
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam 
perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim 
sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara 
Perdata, Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis kepada 
pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga 
ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk 
memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan 
keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. 
(6) 
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) 
harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, 
keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara 
pidana atau perdata yang bersangkutan dengan 
keterangan yang diminta. 
BAB XV 
PENYIDIKAN 

Pasal 173 

(1) 
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan 
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai 
Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di 
bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana 
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
(2) Penyidik . . . 
- 86 - 86 -

(2) 
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan 
Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang 
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. 
(3) 
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
adalah: 
a. 
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti 
keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak 
pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi 
agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih 
lengkap dan jelas; 
b. 
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan 
mengenai orang pribadi atau Badan tentang 
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan 
dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan 
Retribusi; 
c. 
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang 
pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana 
di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi; 
d. 
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain 
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan 
Daerah dan Retribusi; 
e. 
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan 
bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, 
serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti 
tersebut; 
f. 
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka 
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang 
perpajakan Daerah dan Retribusi; 
g. 
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang 
meninggalkan ruangan atau tempat pada saat 
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa 
identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang 
dibawa; 
h. 
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak 
pidana perpajakan Daerah dan Retribusi; 
i. 
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan 
diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 
j. 
menghentikan penyidikan; dan/atau 
k. melakukan . . . 
- 87 - 87 -

k. 
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran 
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan 
Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 
(4) 
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 
memberitahukan dimulainya penyidikan dan 
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut 
Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik 
Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam 
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
BAB XVI 
KETENTUAN PIDANA 


Pasal 174 

(1) 
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan 
SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap 
atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga 
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan 
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana 
denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang 
yang tidak atau kurang dibayar. 
(2) 
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan 
SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap 
atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga 
merugikan keuangan Daerah dapat dipidana dengan 
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana 
denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang 
yang tidak atau kurang dibayar. 
Pasal 175 

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dituntut 
setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat 
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau 
berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak 
yang bersangkutan. 

(3) Pasal 176 . . . 
- 88 - 88 -

Pasal 176 

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya 
sehingga merugikan keuangan Daerah diancam pidana 
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling 
banyak 3 (tiga) kali jumlah Retribusi terutang yang tidak atau 
kurang dibayar. 

Pasal 177 

(1) 
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah 
yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban 
merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 
ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan 
paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling 
banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah). 
(2) 
Pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah 
yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau 
seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban 
pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1) 
dan ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 
2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak 
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 
(3) 
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas 
pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. 
(4) 
Tuntutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan 
ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut 
kepentingan pribadi seseorang atau Badan selaku Wajib 
Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak 
pidana pengaduan. 
Pasal 178 

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174, Pasal 176, dan 
Pasal 177 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan negara. 

BAB XVII . . . 


- 89 - 89 -

BAB XVII 
KETENTUAN PERALIHAN 


Pasal 179 

Pada saat undang-undang ini berlaku, Pajak dan Retribusi yang 
masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah mengenai jenis 
Pajak Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 
dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam 
Pasal 2 ayat (2), dan Peraturan Daerah tentang Retribusi 
mengenai jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi 
Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, 
sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang 
bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) 
tahun terhitung sejak saat terutang. 

BAB XVIII 
KETENTUAN PENUTUP 


Pasal 180 
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: 

1. 
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis 
Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 
(1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku untuk jangka 
waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan 
Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; 
2. 
Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah mengenai jenis 
Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 
110 ayat (1), jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 127, dan jenis Retribusi Perizinan 
Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, masih 
tetap berlaku untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum 
diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan 
Undang-Undang ini; 
3. Peraturan . . . 
- 90 - 90 -

3. 
Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan 
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap 
berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya 
Undang-Undang ini, sepanjang Peraturan Daerah 
Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum 
diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini; 
4. 
Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi 
Daerah selain sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 
2, dan angka 3 dinyatakan masih tetap berlaku paling lama 
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini; 
5. 
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak 
Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas 
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak 
Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 3569) yang terkait dengan peraturan pelaksanaan 
mengenai Perdesaan dan Perkotaan masih tetap berlaku 
sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, sepanjang 
belum ada Peraturan Daerah tentang Pajak Bumi dan 
Bangunan yang terkait dengan Perdesaan dan Perkotaan; 
dan 
6. 
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea 
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor 44, Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana 
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 
1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan 
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 
130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 3988) tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak 
diberlakukannya Undang-Undang ini. 
Pasal 181 
Ketentuan mengenai Pajak Rokok sebagaimana diatur dalam 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 
2014. 

Pasal 182 . . . 

- 91 - 91 -

Pasal 182 
Pada saat Undang-Undang ini berlaku: 

1. 
Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam 
Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi 
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak 
Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013; dan 
2. 
Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam 
Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Bea 
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak 
Daerah paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya 
Undang-Undang ini. 
Pasal 183 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang 
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi 
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 
Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 
Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas 
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah 
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia 
Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik 
Indonesia Nomor 4048) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 

Pasal 184 

Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan 
paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini 
diundangkan. 

Pasal 185 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 
2010. 

Agar . . . 

- 92 - 92 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan 
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 

Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 15 September 2009 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 ttd 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 

Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 15 September 2009 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 

REPUBLIK INDONESIA, 
ttd 
ANDI MATTALATTA 


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 130 

Salinan 
sesuai 
dengan 
aslinya 


SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA 
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan 
Bidang Perekonomian dan Industri, 


SETIO SAPTO NUGROHO 

PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR 28 TAHUN 2009 
TENTANG 
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH 


I. UMUM 
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik 
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri 
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut 
mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan 
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas 
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 

Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak 
mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan 
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa 
penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang 
bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, 
pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada 
Undang-Undang. 

Selama ini pungutan Daerah yang berupa Pajak dan Retribusi diatur 
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan 
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 
34 Tahun 2000. Sesuai dengan Undang-Undang tersebut, Daerah diberi 
kewenangan untuk memungut 11 (sebelas) jenis Pajak, yaitu 4 (empat) jenis 
Pajak provinsi dan 7 (tujuh) jenis Pajak kabupaten/kota. Selain itu, 
kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis 
Pajak lain sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-
Undang. Undang-Undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum 
untuk kesebelas jenis Pajak tersebut. Terkait dengan Retribusi, Undang-
Undang tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis 
Retribusi yang dapat dipungut Daerah. Baik provinsi maupun 
kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi 
selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Selanjutnya, peraturan 
pemerintah menetapkan lebih rinci ketentuan mengenai objek, subjek, dan 
dasar pengenaan dari 11 (sebelas) jenis Pajak tersebut dan menetapkan 27 
(dua puluh tujuh) jenis Retribusi yang dapat dipungut oleh Daerah serta 
menetapkan tarif Pajak yang seragam terhadap seluruh jenis Pajak provinsi. 

Hasil . . . 

-2-2-

Hasil penerimaan Pajak dan Retribusi diakui belum memadai dan memiliki 
peranan yang relatif kecil terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja 
Daerah (APBD) khususnya bagi daerah kabupaten dan kota. Sebagian besar 
pengeluaran APBD dibiayai dana alokasi dari pusat. Dalam banyak hal, 
dana alokasi dari pusat tidak sepenuhnya dapat diharapkan menutup 
seluruh kebutuhan pengeluaran Daerah. Oleh karena itu, pemberian 
peluang untuk mengenakan pungutan baru yang semula diharapkan dapat 
meningkatkan penerimaan Daerah, dalam kenyataannya tidak banyak 
diharapkan dapat menutupi kekurangan kebutuhan pengeluaran tersebut. 
Dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang hampir tidak ada 
jenis pungutan Pajak dan Retribusi baru yang dapat dipungut oleh Daerah. 
Oleh karena itu, hampir semua pungutan baru yang ditetapkan oleh Daerah 
memberikan dampak yang kurang baik terhadap iklim investasi. Banyak 
pungutan Daerah yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena 
tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang dan 
jasa antardaerah. 

Untuk daerah provinsi, jenis Pajak yang ditetapkan dalam Undang-Undang 
tersebut telah memberikan sumbangan yang besar terhadap APBD. Namun, 
karena tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif Pajak, 
provinsi tidak dapat menyesuaikan penerimaan pajaknya. Dengan 
demikian, ketergantungan provinsi terhadap dana alokasi dari pusat masih 
tetap tinggi. Keadaan tersebut juga mendorong provinsi untuk mengenakan 
pungutan Retribusi baru yang bertentangan dengan kriteria yang 
ditetapkan dalam Undang-Undang. 

Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai 
pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh 
Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan 
Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang 
memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap 
Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan 
kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi 
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus 
disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari 
kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur 
Pajak dan Retribusi. 

Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut 
tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak 
menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah 
masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh 
Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang 
yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar 
ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan 

Daerah . . . 

-3-3-

Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat 
persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. 

Pengaturan kewenangan perpajakan dan retribusi yang ada saat ini kurang 
mendukung pelaksanaan otonomi Daerah. Pemberian kewenangan yang 
semakin besar kepada Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan 
pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian 
kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan retribusi. Basis pajak 
kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan 
provinsi dalam penetapan tarif pajaknya mengakibatkan Daerah selalu 
mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya. 
Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan 
dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. 
Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara 
efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah 
karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. 

Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, 
Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam 
perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan 
tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang 
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan 
Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut 
dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan 
kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. 

Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang 
baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi 
dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa 
antardaerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas 
izin masuk kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu 
daerah ke daerah lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak 
dapat dijadikan sebagai objek Pajak atau Retribusi. Berdasarkan 
pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan 
memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan 
menambah jenis Pajak baru. Perluasan basis pajak yang sudah ada 
dilakukan untuk Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama 
Kendaraan Bermotor diperluas hingga mencakup kendaraan Pemerintah, 
Pajak Hotel diperluas hingga mencakup seluruh persewaan di hotel, Pajak 
Restoran diperluas hingga mencakup pelayanan katering. Ada 4 (empat) 
jenis Pajak baru bagi Daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan 
dan Perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang 
sebelumnya merupakan pajak pusat dan Pajak Sarang Burung Walet 
sebagai Pajak kabupaten/kota serta Pajak Rokok yang merupakan Pajak 
baru bagi provinsi. 

Selain . . . 

-4-4-

Selain perluasan pajak, dalam Undang-Undang ini juga dilakukan 
perluasan terhadap beberapa objek Retribusi dan penambahan jenis 
Retribusi. Retribusi Izin Gangguan diperluas hingga mencakup pengawasan 
dan pengendalian kegiatan usaha secara terus-menerus untuk mencegah 
terjadinya gangguan ketertiban, keselamatan, atau kesehatan umum, 
memelihara ketertiban lingkungan dan memenuhi norma keselamatan dan 
kesehatan kerja. Terdapat 4 (empat) jenis Retribusi baru bagi Daerah, yaitu 
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, 
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha 
Perikanan. 

Berkaitan dengan pemberian kewenangan dalam penetapan tarif untuk 
menghindari penetapan tarif pajak yang tinggi yang dapat menambah beban 
bagi masyarakat secara berlebihan, Daerah hanya diberi kewenangan untuk 
menetapkan tarif pajak dalam batas maksimum yang ditetapkan dalam 
Undang-Undang ini. Selain itu, untuk menghindari perang tarif pajak 
antardaerah untuk objek pajak yang mudah bergerak, seperti kendaraan 
bermotor, dalam Undang-Undang ini ditetapkan juga tarif minimum untuk 
Pajak Kendaraan Bermotor. 

Pengaturan tarif demikian diperkirakan juga masih memberikan peluang 
bagi masyarakat untuk memindahkan kendaraannya ke daerah lain yang 
beban pajaknya lebih rendah. Oleh karena itu, dalam Undang-Undang ini 
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan 
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor masih ditetapkan 
seragam secara nasional. Namun, sejalan dengan tuntutan masyarakat 
terhadap pelayanan yang lebih baik sesuai dengan beban pajak yang 
ditanggungnya dan pertimbangan tertentu, Menteri Dalam Negeri dapat 
menyerahkan kewenangan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor 
kepada Daerah. Selain itu, kebijakan tarif Pajak Kendaraan Bermotor juga 
diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan 
dengan memberikan kewenangan Daerah untuk menerapkan tarif pajak 
progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya. Khusus 
untuk Pajak Rokok, dasar pengenaannya adalah cukai rokok. Tarif Pajak 
Rokok ditetapkan secara definitif di dalam Undang-Undang ini, agar 
Pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara beban cukai yang harus 
dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional dan Daerah 
melalui penetapan tarif cukai nasional. 

Untuk meningkatkan akuntabilitas pengenaan pungutan, dalam Undang-
Undang ini sebagian hasil penerimaan Pajak dialokasikan untuk membiayai 
kegiatan yang berkaitan dengan Pajak tersebut. Pajak Penerangan Jalan 
sebagian dialokasikan untuk membiayai penerangan jalan, Pajak 
Kendaraan Bermotor sebagian dialokasikan untuk pembangunan dan/atau 
pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum, 
dan Pajak Rokok sebagian dialokasikan untuk membiayai pelayanan 
kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. 

Dengan . . . 

-5-5-

Dengan perluasan basis pajak dan retribusi yang disertai dengan pemberian 
kewenangan dalam penetapan tarif tersebut, jenis pajak yang dapat 
dipungut oleh Daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. 
Untuk Retribusi, dengan peraturan pemerintah masih dibuka peluang 
untuk dapat menambah jenis Retribusi selain yang telah ditetapkan dalam 
Undang-Undang ini sepanjang memenuhi kriteria yang juga ditetapkan 
dalam Undang-Undang ini. Adanya peluang untuk menambah jenis 
Retribusi dengan peraturan pemerintah juga dimaksudkan untuk 
mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah 
kepada Daerah yang juga diatur dengan peraturan pemerintah. 

Selanjutnya, untuk meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan 
Daerah, mekanisme pengawasan diubah dari represif menjadi preventif. 
Setiap Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebelum dilaksanakan 
harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah. Selain itu, 
terhadap Daerah yang menetapkan kebijakan di bidang pajak daerah dan 
retribusi daerah yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan 
yang lebih tinggi akan dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau 
pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi. 

Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini, kemampuan Daerah untuk 
membiayai kebutuhan pengeluarannya semakin besar karena Daerah dapat 
dengan mudah menyesuaikan pendapatannya sejalan dengan adanya 
peningkatan basis pajak daerah dan diskresi dalam penetapan tarif. Di 
pihak lain, dengan tidak memberikan kewenangan kepada Daerah untuk 
menetapkan jenis pajak dan retribusi baru akan memberikan kepastian 
bagi masyarakat dan dunia usaha yang pada gilirannya diharapkan dapat 
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban 
perpajakannya. 

II. PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1 
Cukup jelas. 


Pasal 2 
Cukup jelas. 


Pasal 3 
Cukup jelas. 


Pasal 4 . . . 

-6-6-

Pasal 4 
Cukup jelas. 

Pasal 5 
Cukup jelas. 

Pasal 6 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 

Huruf b 
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya 
dibedakan menjadi kendaraan roda kurang dari 4 (empat) dan 
kendaraan roda 4 (empat) atau lebih. 

Contoh: 
Orang pribadi atau badan yang memiliki satu kendaraan 
bermotor roda 2 (dua), satu kendaraan roda 3 (tiga), dan satu 
kendaraan bermotor roda 4 (empat) masing-masing 
diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak 
dikenakan pajak progresif. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Ayat (5) 
Cukup jelas. 


Pasal 7 
Cukup jelas. 

Pasal 8 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) . . . 

-7-7-

Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan ”keadaan kahar (force 
majeure)” adalah 
suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan 
Wajib Pajak, misalnya Kendaraan Bermotor tidak dapat digunakan 
lagi karena bencana alam. 

Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Ayat (5) 
Cukup jelas. 


Pasal 9 
Cukup jelas. 

Pasal 10 
Cukup jelas. 

Pasal 11 
Cukup jelas. 

Pasal 12 
Cukup jelas. 

Pasal 13 
Cukup jelas. 

Pasal 14 
Cukup jelas. 

Pasal 15 
Cukup jelas. 

Pasal 16 
Cukup jelas. 

Pasal 17 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) . . . 

-8-8-

Ayat (3) 
Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan 
oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas 
bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada: 

1. 
Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar 
untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk 
TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium 
Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar 
Bunker (SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), 
yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen 
langsung); 
2. 
Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan 
bermotor. 
Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka 
produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib 
menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang 
digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya. 

Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak 
mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas 
penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri. 

Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan 
antarpenyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk 
dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen 
langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan 
Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau 
konsumen langsung. 

Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Pasal 18 
Cukup jelas. 

Pasal 19 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) . . . 

-9-9-

Ayat (2) 
Pemberlakuan ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan 
kesiapan Daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar 
untuk kendaraan umum dengan kendaraan pribadi. 

Ayat (3) 
Penetapan tarif dan mekanisme penentuan harga Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka 
waktu paling lama 3 (tiga) tahun, mengingat Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor merupakan barang strategis yang 
menyangkut hajat hidup orang banyak. 

Kenaikan harga minyak akan menambah dana bagi hasil yang 
berasal dari penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan 
gas bumi dalam bentuk dana alokasi umum tambahan. 

Ayat (4) 
Huruf a 
Cukup jelas. 


Huruf b 
Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial 
akibat adanya kemungkinan perbedaan harga Bahan Bakar 
Kendaraan Bermotor antardaerah. 

Ayat (5) 
Cukup jelas. 


Ayat (6) 
Cukup jelas. 


Pasal 20 
Cukup jelas. 

Pasal 21 
Cukup jelas. 

Pasal 22 
Cukup jelas. 

Pasal 23 
Cukup jelas. 

Pasal 24 . . . 

-10 -10 -

Pasal 24 
Cukup jelas. 

Pasal 25 
Cukup jelas. 

Pasal 26 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang 
dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan 

cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan 
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam 
pembuatannya. 

Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret 
kelembak kemenyan. 

Sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur 
dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa 
memperhatikan jumlahnya. 

Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa 
dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. 

Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat 
dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin. 

Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang 
dibuat dengan mesin” adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang 
dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, 
pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai 
dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian 
menggunakan mesin. 

Yang dimaksud dengan “sigaret putih dan sigaret kretek yang 
dibuat dengan cara lain daripada mesin” adalah sigaret putih dan 
sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari 
pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk 
penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa 
menggunakan mesin. 

Sigaret . . . 

-11 -11 -

Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam 
pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan 
asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. 

Yang dimaksud dengan “cerutu” adalah hasil tembakau yang 
dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, 
dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, 
untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan 
pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. 

Yang dimaksud dengan “rokok daun” adalah hasil tembakau yang 
dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, 
dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan 
pengganti. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 

Pasal 27 
Cukup jelas. 

Pasal 28 

Yang dimaksud dengan “cukai” adalah pungutan negara yang 

dikenakan terhadap hasil tembakau berupa sigaret, cerutu, dan rokok 

daun sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang cukai, 

yang dapat berupa persentase dari harga dasar (advalorum) atau 
jumlah dalam rupiah untuk setiap batang rokok (spesifik) atau 
penggabungan dari keduanya. 

Contoh: 
Tarif cukai spesifik : Rp200/batang 
Tarif advalorum 
: 40% dari Harga Jual Eceran (HJE) yang 

ditetapkan Pemerintah. 

Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan 
pajak adalah Rp200/batang. 

Jika Pemerintah hanya mengenakan tarif advalorum, dasar pengenaan 
pajak adalah 40% x HJE. 

Jika Pemerintah mengenakan tarif spesifik dan advalorum, dasar 
pengenaan pajak adalah (Rp200/batang + 40% HJE). 

Pasal 29 . . . 

-12 -12 -

Pasal 29 
Pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, 
pengenaan Pajak Rokok sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok 
diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional. Hal ini 
dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban cukai yang 
harus dipikul oleh industri rokok dengan kebutuhan fiskal nasional 
dan Daerah 

Contoh: 
Dalam tahun 2011 penerimaan cukai nasional sebesar 100, dan 
diproyeksikan meningkat 10% setiap tahunnya sesuai dengan peta 
jalur industri rokok nasional. Tanpa adanya pengenaan Pajak Rokok 
oleh Daerah, penerimaan cukai nasional tahun 2012 menjadi 110, 
kemudian meningkat menjadi 121 di tahun 2013. 


Pada tahun 2014, saat mulai diberlakukannya Pajak Rokok, 
penerimaan cukai nasional diproyeksikan sebesar 133, yang terdiri dari 
121 sebagai penerimaan cukai Pemerintah dan 12 sebagai Pajak Rokok 
untuk Daerah. Pola ini berlanjut untuk tahun 2015 dan seterusnya. 


Ilustrasi dalam bentuk tabel dapat dilihat berikut ini: 


Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 
Cukai 
(Pusat) 
Pajak Rokok 
(Daerah) 
Total Pungutan Cukai 
(Pusat + Daerah) 
.% 
Rp. 
100 
-
100 
110 
-
110 
10% 
10 
121 
-
121 
10% 
11 
121 
12 
133 
10% 
12 
133 
13 
146 
10% 
13 

Pasal 30 
Cukup jelas. 

Pasal 31 
Pelayanan kesehatan masyarakat, antara lain, 
pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana 
unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai 
bagi perokok (smoking 
area), kegiatan memasyarakatkan tentang 
bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya 
merokok. 

Penegakan . . . 

-13 -13 -

Penegakan hukum sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah 
yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain, antara lain, 
pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai 
larangan merokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan 

Pasal 32 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Huruf a 
Cukup jelas. 


Huruf b 
Pengecualian apartemen, kondominium, dan sejenisnya 
didasarkan atas izin usahanya. 

Huruf c 
Cukup jelas. 


Huruf d 
Cukup jelas. 


Huruf e 
Cukup jelas. 


Pasal 33 
Cukup jelas. 

Pasal 34 
Cukup jelas. 

Pasal 35 
Cukup jelas. 

Pasal 36 
Cukup jelas. 

Pasal 37 
Cukup jelas. 

Pasal 38 . . . 

-14 -14 -

Pasal 38 
Cukup jelas. 

Pasal 39 
Cukup jelas. 

Pasal 40 
Cukup jelas. 

Pasal 41 
Cukup jelas. 

Pasal 42 
Cukup jelas. 

Pasal 43 
Cukup jelas. 

Pasal 44 
Cukup jelas. 

Pasal 45 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Yang dimaksud dengan “hiburan berupa kesenian 
rakyat/tradisional” adalah hiburan kesenian rakyat/tradisional 
yang dipandang perlu untuk dilestarikan dan diselenggarakan di 
tempat yang dapat dikunjungi oleh semua lapisan masyarakat. 

Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Pasal 46 
Cukup jelas. 

Pasal 47 
Cukup jelas. 

Pasal 48 . . . 

Pasal 48 
Cukup jelas. 

Pasal 49 
Cukup jelas. 

Pasal 50 
Cukup jelas. 

Pasal 51 
Cukup jelas. 

Pasal 52 
Cukup jelas. 

Pasal 53 
Cukup jelas. 

Pasal 54 
Cukup jelas. 

Pasal 55 
Cukup jelas. 

Pasal 56 
Cukup jelas. 

Pasal 57 
Cukup jelas. 

Pasal 58 
Cukup jelas. 

Pasal 59 
Cukup jelas. 

Pasal 60 
Cukup jelas. 

Pasal 61 
Cukup jelas. 

Pasal 62 
Cukup jelas. 

Pasal 63 
Cukup jelas. 

-15 -

Pasal 64 . . . 

-16 -16 -

Pasal 64 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Sewa/tarif parkir sebagai dasar pengenaan Pajak Parkir yang 
dikelola secara monopoli dapat diatur dengan Peraturan Daerah. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Pasal 65 
Cukup jelas. 

Pasal 66 
Cukup jelas. 

Pasal 67 
Cukup jelas. 

Pasal 68 
Cukup jelas. 

Pasal 69 
Cukup jelas. 

Pasal 70 
Cukup jelas. 

Pasal 71 
Cukup jelas. 

Pasal 72 
Cukup jelas. 

Pasal 73 
Cukup jelas. 

Pasal 74 
Cukup jelas. 

Pasal 75 
Cukup jelas. 

Pasal 76 . . . 

-17 -17 -

Pasal 76 
Cukup jelas. 

Pasal 77 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan ”kawasan” adalah semua tanah dan 
bangunan yang digunakan oleh perusahaan perkebunan, 
perhutanan, dan pertambangan di tanah yang diberi hak guna 
usaha perkebunan, tanah yang diberi hak pengusahaan hutan dan 
tanah yang menjadi wilayah usaha pertambangan. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Huruf a 
Cukup jelas. 


Huruf b 
Yang dimaksud dengan ”tidak dimaksudkan untuk 
memperoleh keuntungan” adalah bahwa objek pajak itu 
diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-
nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini 
dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran 
rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam 
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan 
kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini 
adalah hutan wisata milik negara sesuai dengan ketentuan 
peraturan perundang-undangan. 

Huruf c 
Cukup jelas. 


Huruf d 
Cukup jelas. 


Huruf e 
Cukup jelas. 


Huruf f 
Cukup jelas. 


Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Ayat (5) . . . 

-18 -18 -

Ayat (5) 
Cukup jelas. 


Pasal 78 
Cukup jelas. 

Pasal 79 
Ayat (1) 
Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan: 

a. 
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah 
suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek 
pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain 
yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan 
telah diketahui harga jualnya. 
b. 
nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode 
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung 
seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek 
tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan 
penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut. 
c. 
nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode 
penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada 
hasil produksi objek pajak tersebut. 
Ayat (2) 
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. 
Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya 
mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka 
penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Pasal 80 
Cukup jelas. 

Pasal 81 
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi 
terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). 

Contoh . . . 

-19 -19 -

Contoh: 
Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa: 
-Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp300.000,00/m2; 
-Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp350.000,00/m2; 
-Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp50.000,00/m2; 
-Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai 


jual Rp175.000,00/m2. 
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut: 

1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00 
2. NJOP Bangunan 
a. Rumah dan garasi 
400 x Rp350.000,00 
b. Taman 
200 x Rp50.000,00 
c. Pagar 
(120 x 1,5) x Rp175.000,00 
Rp240.000.000,00 
Rp140.000.000,00 
Rp10.000.000,00 
Rp 31.500.000,00 + 
Total NJOP Bangunan Rp181.500.000,00 
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp10.000.000,00 -
Nilai Jual bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000,00 + 
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000,00 
4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam 
Peraturan Daerah 0,2%. 
5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00 = Rp823.000,00 

Pasal 82 
Cukup jelas. 

Pasal 83 
Cukup jelas. 

Pasal 84 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Penetapan SKPD ini hanya untuk Pajak Bumi dan Bangunan 
Perdesaan dan Perkotaan. 

Pasal 85 
Cukup jelas. 

Pasal 86 . . . 

-20 -20 -

Pasal 86 
Cukup jelas. 

Pasal 87 
Cukup jelas. 

Pasal 88 
Cukup jelas. 

Pasal 89 
Contoh: 
Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan 

Nilai Perolehan Objek Pajak 
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak 
Rp65.000.000,00 
Rp60.000.000,00 (-) 
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak = 
Pajak Yang Terutang = 5% x Rp5.000.000,00 = 
Rp5.000.000,00 
Rp250.000,00 
Pasal 90 
Cukup jelas. 
Pasal 91 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 

Yang dimaksud dengan “risalah lelang” adalah kutipan risalah 
lelang yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang membidangi 
pelayanan lelang Negara. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 

Pasal 92 
Cukup jelas. 

Pasal 93 
Cukup jelas. 

Pasal 94 
Cukup jelas. 

Pasal 95 
Cukup jelas. 

Pasal 96 . . . 

-21 -21 -

Pasal 96 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Ketentuan ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu 
ditetapkan oleh Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib 
Pajak. 

Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih 
dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui SKPD atau 
dokumen lain yang dipersamakan. 

Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang 
memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, 
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang 
terutang dengan menggunakan SPTPD. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Ayat (5) 
Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar 
sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan 
menggunakan SPTPD. 

Jika Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, 
memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang 
terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, 
dapat diterbitkan SKPDKB dan/atau SKPDKBT yang menjadi 
sarana penagihan. 

Pasal 97 
Ketentuan ini mengatur penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak 
yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan 
kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran 
dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal tidak 
dilaporkan oleh Wajib Pajak. 

Ayat (1) . . . 

-22 -22 -

Ayat (1) 
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk 
dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya 
terhadap kasus-kasus tertentu, dengan perkataan lain hanya 
terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan 
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau 
kewajiban material. 

Contoh: 

1. 
Seorang Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun 
pajak 2009. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu juga 
belum menyampaikan SPTPD, maka dalam jangka waktu paling 
lama 5 (lima) tahun Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB 
atas pajak yang terutang. 
2. 
Seorang Wajib Pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 
2009. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, ternyata 
dari hasil pemeriksaan SPTPD yang disampaikan tidak benar. 
Atas pajak yang terutang yang kurang bayar tersebut, Kepala 
Daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi 
administratif. 
3. 
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam contoh yang telah 
diterbitkan SKPDKB, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 
(lima) tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru 
dan/atau data yang semula belum terungkap yang 
menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, Kepala 
Daerah dapat menerbitkan SKPDKBT. 
4. 
Wajib Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan Kepala Daerah 
ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan 
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada 
kredit pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDN. 
Huruf a 
Angka 1) 
Cukup jelas. 
Angka 2) 
Cukup jelas. 


Angka 3) 
Yang dimaksud dengan ”penetapan pajak secara jabatan” 
adalah penetapan besarnya pajak terutang yang 
dilakukan oleh Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk 
berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang 
dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. 

Huruf b . . . 

-23 -23 -

Huruf b 
Cukup jelas 


Huruf c 

Cukup jelas 

Ayat (2) 
Ketentuan ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak 
memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi 
administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari 
pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu 
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak 
atau terlambat dibayar. Sanksi administratif berupa bunga 
dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan 
diterbitkannya SKPDKB. 

Ayat (3) 
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan 
ditemukannya data baru dan/atau data yang semula belum 
terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak 
yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan 
sanksi administratif berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari 
jumlah kekurangan pajak. Sanksi administratif ini tidak 
dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan 
tindakan pemeriksaan. 

Ayat (4) 
Cukup jelas 

Ayat (5) 
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya 
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib 
Pajak tidak mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya, 
dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pajak sebesar 
25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. 

Dalam kasus ini, Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang 
secara jabatan melalui penerbitan SKPDKB. 

Selain sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua 
puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan 
sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) 
sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar 
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. 
Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya 
pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. 

Pasal 98 . . . 

Pasal 98 
Cukup jelas. 

Pasal 99 
Cukup jelas. 

Pasal 100 
Cukup jelas. 

Pasal 101 
Cukup jelas. 

Pasal 102 
Cukup jelas. 

Pasal 103 
Cukup jelas. 

Pasal 104 
Cukup jelas. 

Pasal 105 
Cukup jelas. 

Pasal 106 
Cukup jelas. 

Pasal 107 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Huruf a 
Cukup jelas. 

Huruf b 
Cukup jelas. 

Huruf c 
Cukup jelas. 

Huruf d 
Cukup jelas. 

-24 -

Huruf e . . . 

-25 -25 -

Huruf e 
Yang dimaksud dengan ”kondisi tertentu objek pajak”, antara 
lain, lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan 
ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan 
Wajib Pajak tertentu. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Pasal 108 
Cukup jelas. 

Pasal 109 
Cukup jelas. 

Pasal 110 
Cukup jelas. 

Pasal 111 
Cukup jelas. 

Pasal 112 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Yang dimaksud dengan “tempat umum lainnya” adalah tempat 
yang dapat digunakan oleh masyarakat umum dan dikelola oleh 
Pemerintah Daerah. 

Pasal 113 
Cukup jelas. 

Pasal 114 
Cukup jelas. 

Pasal 115 
Cukup jelas. 

Pasal 116 
Cukup jelas. 

Pasal 117 
Cukup jelas. 

Pasal 118 . . . 

-26 -26 -

Pasal 118 
Cukup jelas. 

Pasal 119 
Yang dimaksud dengan “peta” adalah peta yang dibuat oleh Pemerintah 
Daerah, seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, 
dan peta teknis (struktur). 

Pasal 120 
Cukup jelas. 

Pasal 121 
Cukup jelas. 

Pasal 122 
Cukup jelas. 

Pasal 123 
Cukup jelas. 

Pasal 124 
Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat 
pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk 
kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% 
(dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar 
penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang 
besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan 
pengendalian menara telekomunikasi tersebut. 

Pasal 125 
Cukup jelas. 

Pasal 126 
Cukup jelas. 

Pasal 127 
Cukup jelas. 

Pasal 128 
Ayat (1) 
Pemakaian kekayaan Daerah, antara lain, penyewaan tanah dan 
bangunan, laboratorium, ruangan, dan kendaraan bermotor. 

Ayat (2) . . . 

-27 -27 -

Ayat (2) 
Penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah, 
antara lain, pemancangan tiang listrik/telepon atau 
penanaman/pembentangan kabel listrik/telepon di tepi jalan 
umum. 

Pasal 129 
Cukup jelas. 

Pasal 130 
Cukup jelas. 

Pasal 131 
Cukup jelas. 

Pasal 132 
Cukup jelas. 

Pasal 133 
Cukup jelas. 

Pasal 134 
Cukup jelas. 

Pasal 135 
Cukup jelas. 

Pasal 136 
Cukup jelas. 

Pasal 137 
Cukup jelas. 

Pasal 138 
Ayat (1) 
Hasil produksi usaha Pemerintah Daerah, antara lain, bibit atau 
benih tanaman, bibit ternak, dan bibit atau benih ikan. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Pasal 139 
Cukup jelas. 

Pasal 140 . . . 

-28 -28 -

Pasal 140 
Cukup jelas. 

Pasal 141 
Cukup jelas. 

Pasal 142 
Cukup jelas. 

Pasal 143 
Cukup jelas. 

Pasal 144 
Ayat (1) 
Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat 
pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan, tarif retribusi 
dapat ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari nilai 
investasi usaha di luar tanah dan bangunan, atau penjualan kotor, 
atau biaya operasional, yang nilainya dikaitkan dengan frekuensi 
pengawasan dan pengendalian usaha/kegiatan tersebut. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Pasal 145 
Cukup jelas. 

Pasal 146 
Cukup jelas. 

Pasal 147 
Cukup jelas. 

Pasal 148 
Cukup jelas. 

Pasal 149 
Cukup jelas. 

Pasal 150 
Cukup jelas. 

Pasal 151 
Cukup jelas. 

Pasal 152 . . . 

-29 -29 -

Pasal 152 
Cukup jelas. 

Pasal 153 
Cukup jelas 

Pasal 154 
Cukup jelas 

Pasal 155 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam 
Peraturan Daerah perlu disesuaikan karena biaya penyediaan 
layanan cukup besar dan/atau besarnya tarif tidak efektif lagi 
untuk mengendalikan permintaan layanan tersebut, Kepala 
Daerah dapat menyesuaikan tarif retribusi. 

Pasal 156 
Cukup jelas. 

Pasal 157 

Ayat (1) 
Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah kepada Menteri 
Keuangan dimaksudkan dalam rangka mempermudah dan 
mempercepat proses koordinasi. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Ayat (5) 
Cukup jelas. 


Ayat (6) . . . 

Ayat (6) 
Cukup jelas. 

Ayat (7) 
Cukup jelas. 

Ayat (8) 
Cukup jelas. 

Ayat (9) 
Cukup jelas. 

Ayat (10) 
Cukup jelas. 

Pasal 158 
Cukup jelas. 

Pasal 159 
Cukup jelas. 

Pasal 160 
Cukup jelas. 

Pasal 161 
Cukup jelas. 

Pasal 162 
Cukup jelas. 

Pasal 163 
Cukup jelas. 

Pasal 164 
Cukup jelas. 

Pasal 165 
Cukup jelas. 

Pasal 166 
Cukup jelas. 

Pasal 167 
Cukup jelas. 

-30 -

Pasal 168 . . . 

-31 -31 -

Pasal 168 
Cukup jelas. 

Pasal 169 
Cukup jelas. 

Pasal 170 
Cukup jelas. 

Pasal 171 

Ayat (1) 
Yang dimaksud dengan “instansi yang melaksanakan 
pemungutan” adalah dinas/badan/lembaga yang tugas pokok dan 
fungsinya melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi. 

Ayat (2) 
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang 
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan alat kelengkapan 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang membidangi masalah 
keuangan. 

Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Pasal 172 
Cukup jelas. 

Pasal 173 
Cukup jelas. 

Pasal 174 
Cukup jelas. 

Pasal 175 
Cukup jelas. 

Pasal 176 
Cukup jelas. 

Pasal 177 . . . 

-32 -32 -

Pasal 177 
Ayat (1) 
Pengenaan pidana kurungan dan pidana denda kepada pejabat 
tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dimaksudkan untuk 
menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak 
akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar Wajib Pajak 
dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai 
perpajakan daerah tidak ragu-ragu. 

Ayat (2) 
Cukup jelas. 


Ayat (3) 
Cukup jelas. 


Ayat (4) 
Cukup jelas. 


Pasal 178 
Cukup jelas. 

Pasal 179 
Cukup jelas. 

Pasal 180 
Cukup jelas. 

Pasal 181 
Cukup jelas. 

Pasal 182 
Cukup jelas. 

Pasal 183 
Cukup jelas. 

Pasal 184 
Cukup jelas. 

Pasal 185 
Cukup jelas. 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5049