Kontribusi dari Administrator
Monday, 17 December 2007
Terakhir kali diperbaharui Tuesday, 19
February 2008
KEMAMPUAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN
DESETRALISASI FISKAL (SEBUAH REVIEW TERHADAP
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI
DAERAH) Oleh : Sigit Sapto Wardono, S.T.[*]
I.
Pendahuluan
Mulai tahun 2001 pemerintah Indonesia
melaksanakan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan pusat dan daerah, yang kemudian direvisi dan dibuat undang-undang baru
yaitu UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33
Tahun 2004. Dengan dilaksanakannya kedua undang-undang tersebut maka
sebagian besar urusan daerah yang
sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat diserahkan kepada masing-masing
daerah. Kewenangan daerah tidak
mencakup kewenangan bidang politik, pertahanan kemananan, peradilan, moneter
dan fiskal, dan kewenangan agama ( UU
No.32 Th 2004, pasal 7). Tujuan utama dari pelaksanaan otonomi daerah
adalah untuk memacu pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
menggalakkan prakarsa dan peran serta
aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara
optimal dan terpadu, nyata, dinamis
dan bertanggungjawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
mengurangi beban pemerintah pusat dan
campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi
tingkat daerah. (Yulianti dalam Halim,
2001:23) Misi utama dari kedua undang-undang tersebut adalah bukan hanya
pada keinginan untuk melimpahkan
kewenangan dan pembiayaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
tetapi yang lebih penting adalah
keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya
keuangan daerah dalam rangka peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat (Bratakusumah dan
Solihin, 2002:206). Konsekuensi dari
pelaksanaan kedua undang-undang tersebut adalah bahwa maju tidaknya daerah
sangat bergantung pada kemampuan
daerah mengelola dan menggali potensi yang dimilikinya. Dearah dengan potensi
besar dan kemampuan manajemen yang
baik tentu akan berkembang dengan pesat demikian pula sebaliknya. Salah
satu aspek penting dalam perkembangan
daerah adalah kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Ciri utama yang
menunjukkan bahwa suatu daerah mampu
menjadi daerah otonom adalah kemampuan keuangan daerah untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya dengan tingkat ketergantungan pada bantuan pusat yang
semakin kecil. Dengan demikian sumber
pendapatan utama daerah bukan dari bantuan pemerintah pusat melainkan
berasal dari pendapatan daerah itu
sendiri. Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa
besar
daerah akan memperoleh dana
perimbangan tetapi harus diimbangi dengan sejauh mana instrumen atau sistem
pengelolaan keuangan daerah mampu
memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan,
partisipatif, dan bertanggung jawab
sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang tersebut (Yani,
2002:203). Dalam UU No. 33 Tahun 2004
dijelaskan bahwa pemberian kewenangan pemerintahan dari pusat ke daerah
diikuti dengan kewenangan pembiayaan
dan pengelolaan keuangan daerah. Hal tersebut bertujuan agar daerah mampu
memanfaatkan dan mengelola keuangan
daerah sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya. Daerah
diperbolehkan untuk memaksimalkan
semua sektor yang dianggap mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan
pendapatan daerah seperti pendapatan
asli daerah, retribusi, keuntungan dari perusahaan daerah. Pemerintah pusat
hanya memberikan insentif berupa Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Hal ini bertujuan agar
pemerintah daerah mampu membiayai
sendiri pembangunan daerahnya tanpa mengandalkan bantuan dari pemerintah
pusat. Dalam penyusunan, pengawasan,
maupun evaluasi anggaran pendapatan dan belanja daerahpun, pemerintah
pusat tidak lagi berperan hanya
sebatas mengetahui, sedangkan aktor utamanya adalah legislatif (DPRD) dan
eksekutif
(Gubernur/Bupati). Pengertian
desentralisasi fiskal sendiri menurut Bachrul Elmi adalah pelimpahan kewenangan
di
bidang penerimaan yang sebelumnya
tersentralisasi baik secara administratif maupun pemanfaatannya diatur atau
dilakukan oleh pemerintah pusat (Elmi,
2002:26). Dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi
perubahan paradigma dalam pengelolaan
keuangan daerah, antara lain : § Dari vertical accountability menjadi
horizontal accountibility, yang berarti
bahwa tanggung jawab pengelolaan keuangan yang semula sentralistik menjadi
pengelolaan yang terdesentralisasi dan
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama DPRD sepenuhnya; §
Dari traditional budget menjadi
performance budget, yang berarti terjadi perubahan sistem penyusunan anggaran
yeng
sebelumnya berupa “line
item” dan inkremental dengan penekanan pada pertanggungjawaban pada
setiap
input yang dialokasikan menjadi sistem
penganggaran yang bersifat kinerja yang berarti tidak hanya menekankan pada
input tetapi juga pada output atau
outcome; § Lebih menekankan konsep value of money, konsep ini lebih dikenal
dengan konsep 3E (ekonomis, efisien,
dan efektif), dengan demikian pemerintah daerah diharapkan lebih baik dan
teliti
dalam menggunakan dana anggaran dengan
menekankan ketiga prinsip tersebut.
II.
Permasalahan
Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan desentralisasi fiskal merupakan kesempatan
bagi daerah untuk
memaksimalkan penyelenggaraan keuangan
daerah sehingga pelaksanaan pembangunan benar-benar menyentuh akar
permasalahan serta mampu dinikmati
oleh semua lapisan masyarakat. Tetapi adanya undang-undang tersebut juga
merupakan tantangan bagi pemerintah
daerah. Daerah harus mampu menunjukkan kemampuannya dalam mengelola
keuangannya sendiri secara efektif dan
efisien. Dalam upaya peningkatan kapabilitas dan efektivitas pemerintah dalam
pelaksanaan desentralisasi, anggaran
keuangan daerah menduduki posisi yang sentral. Pengembangan kapabilitas
diartikan sebagai upaya untuk
memperbaiki kemampuan pemerintah daerah dalam menajalankan fungsi dan perannya
secara efisien, sedangkan peningkatan
efektivitas diartikan sebagai upaya untuk menyelaraskan kapabilitasnya dengan
tuntutan dan kebutuhan publik (World
Bank dalam Mardiasmo, 2002:177). Akan tetapi, pada pelaksanaannya dilapangan
tidaklah semudah yang dibayangkan.
Banyak permasalahan yang muncul dalam usaha meningkatkan pendapatan
daerah serta pengelolaannya.
Permasalahan yang paling sering dihadapai adalah tidak adanya kerjasama yang
baik
antara legislatif dan eksekutif dalam
pengelolaan dan penyusunan anggaran keuangan, kurangnya sumberdaya manusia yang menguasai manajemen keuangan dengan
baik, pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan apa yang
direncanakan, keterlibatan masyarakat
yang masih minim, daerah terlalu mengeksploitasi apa-apa yang kiranya bisa
dimanfaatkan untuk menambah pendapatan
asli daerah, dan buruknya manajemen pengelolaan yang menyebabkan
pembangunan daerah tidak berjalan
sesuai dengan yang direncanakan. Fenomena permasalahan pengelolaan
keuangan daerah yang terjadi di
Indonesia selama pelaksanaan desentralisasi diantaranya: § Ketidakcukupan
sumberdaya finansial § Minimnya jumlah
pegawai yang memiliki ketrampilan dan keahlian § Prosedur dan sistem
pengendalian manajemen yang tidak
memadai § Rendahnya produktivitas pegawai § Inefisiensi § Infrastruktur yang
kurang mendukung § Lemahnya perangkat
hukum (aparat penegak hukum dan peraturan hukum) serta kesadaran
masyarakat terhadap penegakan hukum §
Political will yang rendah § Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) §
Lemahnya akuntabilitas publik
Banyaknya permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi khususnya dibidang
keuangan daerah membutuhkan perhatian khusus dalam penanganannya.
Pemerintah dituntut untuk responsif
terhadap perubahan paradigma tersebut. Mampu atau tidaknya daerah dalam
melaksanakan desentralisasi fiskal
sangat tergantung pada kesiapan dan kemauan setiap elemen stakeholders daerah
yang didukung oleh adanya potensi
daerah yang dapat dikembangkan sebagai sumber pembiayaan daerah.
III.
Syarat
Keberhasilan Pelaksanaan
Desentralisasi Fiskal Dari pengalaman berbagai negara di dunia yang telah
melaksanakan
desentralisasi fiskal, terdapat
setidaknya dua syarat yang sangat penting untuk keberhasilan pelaksanaan
desentralisasi
fiskal (Bird, 2000:17). Pertama,
proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan
keputusan tentang manfaat dan biayanya
harus transparan dan pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk
mempengaruhi keputusan-keputusan
tersebut. Kedua, yang lebih sesuai dengan rancangan kebijakan-biaya-biaya dari
keputusan yang diambil sepenuhnya
harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Untuk itu sebenarnya tidak
diperlukan
ekspor pajak dan transfer dana dari
pemerintah pusat. Maksudnya adalah pemerintah daerah seharusnya memiliki
kontrol atas tarif dan mungkin
beberapa jenis pajak. Selain itu, yang diperlukan agar desentralisasi
memberikan hasilhasil
yang efisien adalah anggaran daerah
yang berimbang yang ketat dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi yang
didaerahkan agar akuntabilitas dapat
dijamin. Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat kompleks dan multidimensi.
Akuntabilitas politis membutuhkan
pimpinan politis dari berbagai jenjang agar dapat responsif dan bertanggung
jawab
terhadap masyarakatnya. Akuntabilitas
administratif membutuhkan kerangka kerja yang jelas dan bersandarkan pada
aturan-aturan serta perundang-undangan
yang berlaku khususnya berkaitan dengan kinerja sistem kelembagaan.
Akuntabilitas ekonomis membutuhkan
tanggung jawab masyarakat atas pembayaran pelayanan yang mereka nikmati
serta partisipasi mereka dalam proses
pembangunan. Pada prinsipnya sangat mungkin daerah bergantung 90 persen
pada transfer pusat dan sepenuhnya
dapat diakuntabilitas oleh masyarakat setempat dan pemerintah pusat. Dengan
alasan ini, format yang baik dari
transfer intrapemerintahan sudah ditentukan sebelumnya dan tidak dapat
diubah-ubah
(Ahmad dan Thomas dalam Bird,
2000:18). Transfer tetap yang dibuat atas dasar suatu formula akan memberikan
arti
bahwa upaya-upaya daerah untuk
meningkatkan atau menurunkan penerimaan atau pengeluaran akan secara langsung
mempengaruhi keluaran (outcomes) dan
hal inilah yang dibutuhkan agar akuntabilitas dapat dilaksanakan.
IV. Tuntutan
akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal Dimensi reformasi lembaga
sektor publik,
seperti
pemerintahan daerah dan
lembaga-lembaga dibawahnya dalam rangka pemberian pelayanan publik (public
service)
secara ekonomis, efisien, dan efektif
adalah dengan memberikan otonomi tanggung jawab dalam memberikan
pelayanan masyarakat kepada pemerintah
daerah. Pemberian otonomi tersebut mengharuskan lembega-lembaga
daerah harus dapat lebih profesional,
berorientasi pada kepentingan publik dan lebih transparan khususnya dalam
pemanfaatan sumber-sumber keuangan
daerah. Tuntutan yang lebih mengutamakan kepentingan publik/akuntabilitas
publik mengharuskan pemerintah daerah
tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu pelaporan kepada pemerintah
pusat tetapi juga dilakukannya
horizontal reporting, yaitu pelaporan kinerja pemerintah kepada DPRD dan
masyarakat
sebagai bentuk horizontal
accountability. Pada dasarnya akuntabilitas publik adalah pemberian informasi
dan
disclosure atas aktivitas dan kinerja
pemerintah daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan
tersebut (Mardiasmo,2002:226).
Pemerintah daerah harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka
pemeruhan hak-hak publik, yaitu hak
untuk diberi informasi, didengar aspirasinya, dan diberi penjelasan. Bentuk
pertanggungjawaban publik oleh
pemerintah daerah dapat bermacam-macam. Ellwood (dalam Mardiasmo,2002:226)
menjelaskan terdapat empat bentuk
akuntabilitas publik, yaitu: 1. Akuntabilitas hukum dan peraturan
(accountability for
probity and legality) Akuntabilitas
hukum dan pertauran terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan
peraturan lain yang disyaratkan dalam
pelaksanaan pemerintahannya; 2. Akuntabilitas proses (process accountability)
Akuntabilitas proses terkait dengan
apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik.
Akuntabilitas proses dapat diwujudkan
melalui pemberian layanan publik yang cepat, responsif, dan dengan biaya yang
murah. Audit terhadap akuntabilitas
proses pemerintahan daerah meliputi kecukupan sistem akuntansi, prosedur
administrasi, dan struktur organisasi
pemerintah daerah; 3. Akuntabilitas program (Program accountability)
Akuntabilitas program terkait dengan
apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai atau tidak, apakah pemerintah
daerah
telah mempertimbangkan alternatif
program yang memberikan hasil optimal dengan sumberdaya yang minimal; 4.
Akuntabilitas kebijakan (policy
accountability) Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban
pemerintah
daerah terhadap kebijakan-kebijakan
yang telah diambil dan dijalankan pemerintah daerah selaku eksekutif terhadap
DPRD sebagai legislatif dan kepada
masyarakat daerah. Saat ini masyarakat menuntut adanya transparansi dalam
pelaksanaan roda pemerintahan serta
ikut aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
V. Peran masyarakat
lokal dalam sistem keuangan daerah
Sebelum masa otonomi daerah digulirkan, paradigma pembangunan yang
berkembang dan dijalankan oleh
pemerintah Indonesia adalah pembangunan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah,
sedangkan masyarakat tinggal menikmati
hasilnya saja. Dengan bergulirnya otonomi daerah maka terjadi perubahan
pola pembangunan dengan lebih
melibatkan masyarakat. Dalam pelaksanaan desentralisasi fokus harus diarahkan
pada
pelayanan-pelayanan lokal bukan pada
pemerintahan lokal (Bird,2000:54). Dengan fokus pada pelayanan local diharapkan
seluruh masyarakat dapat menikmati hasil yang telah dicapai. Peranan penting
masyarakat yang lainnya
adalah adanya kesadaran masyarakat
untuk ikut membangun daerahnya dengan cara mengikuti semua aturan-aturan
yang telah ditetapkan pemerintah
daerah, khususnya dalam hal pembayaran pajak dan retribusi. Hal ini penting
mengingat sumber dana utama dalam
desentralisasi fiskal seharusnya adalah sumber anggaran yang berasal dari
daerahnya sendiri termasuk didalamnya
pajak dan retribusi. Dengan tingginya kesadaran masyarakat dalam membayar
pajak maka diharapkan ketergantungan
pemerintah daerah dari transfer dana pemerintah pusat (dana perimbangan)
akan semakin menurun, dengan demikian
tujuan dari desentralisasi akan terwujud. Pemerintah daerah juga harus
memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam setiap pengambilan keputusan
mengenai
kebijakan daerahnya. Demokratisasi
merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan. Oleh karenanya
dalam pelaksanaan desentralisasi sudah
bukan saatnya membentuk pemerintah yang otoriter. Masyarakat harus tahu
seberapa besar anggaran yang
dibutuhkan dan untuk apa saja anggaran tersebut serta mengetahui tingkat
kinerja
pemerintahannya. Masyarakat dapat
dijadikan eksternal control bagi pemerintah daerah khususnya dalam mengawasi
dan mengevaluasi kinerja keuangannya.
Jika masyarakat lokal tidak diberi tahu tentang apa yang dikerjakan, berapa
baik pengerjaannya, berapa besar
pembiayaannya, dan siapa yang membayarnya, maka tidak akan terbentuk
kesadaran dan partisipasi efektif dari
masyarakat lokal yang dibutuhkan dalam sebuah sistem pemerintahan yang efektif
dan efisien.
VI.
Kesimpulan
Desentralisasi fiskal di Indonesia diterjemahkan sebagai pemberian kewenangan dari
pusat kepada daerah untuk mengatur
sistem penerimaan daerahnya baik dalam mengumpulkan maupun
memanfaatkannya. Sistem desentralisasi
fiskal di Indonesia lebih menganut pada sistem top down dan lebih merupakan
federalisme fiskal yang lebih
menitikberatkan pencapaian tujuan-tujuan nasional dengan cara memberikan
sebagian
kewenangan pengelolaan keuangan daerah
kepada daerah itu sendiri. Sistem ini juga ditandai adanya transfer dana dari
pusat ke daerah sebagai bentuk block
grant dengan menggunakan formulasi perhitungan tertentu sehingga tiap daerah
memperoleh jumlah yang berbeda.
Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal sangat tergantung pada kesiapan
daerah dalam menerima pelimpahan
kewenangan dari pusat. Kesiapan daerah dapat ditunjukkan melalui kesiapan
semua unsur stakeholders (pemerintah,
swasta, masyarakat) serta kesiapan daerah dari sisi finansial. Selain itu,
diperlukan juga aturan yang jelas
untuk mengevaluasi kinerja masing-masing elemen baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat dalam pelaksanaan
desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tergolong sangat
terlambat dibanding negara-negara
berkembang lainnya di dunia. Desentralisasi muncul seiring arus reformasi yang
terus berhembus yang menuntut adanya
keterlibatan aktif masyarakat serta adanya transparansi pemerintahan.
Desentralisasi banyak disalahartikan
oleh beberapa pemerintah daerah dengan menganggap bahwa mereka berkuasa
penuh atas daerahnya sehingga banyak
kebijakan daerah yang kontra produktif terhadap pembangunan. Kemampuan
daerah dalam melaksanakan kebijakan
desentralisasi masih disangsikan. Untuk mengukur kemampuan lembaga
pengelola keuangan daerah digunakan
pendekatan kinerja yakni dengan mengevaluasi hasil-hasil yang telah dicapai
selama pelaksanaan desentralisasi,
apakah hasil yang didapat sudah sesuai dengan tujuan, seberapa besar manfaatnya
bagi masyarakat luas, persepsi
masyarakat terhadap kinerja lembaga serta melihat track record pelaksanaan
tugas dan
wewenang lembaga pengelola keuangan.
Kemampuan masyarakat dapat dilihat dari kecenderungan rasio antara target
dan realisasi pungutan pajak dan
retribusi, serta apakah pajak dan retribusi tersebut memberatkan sebagain besar
masyarakat ataukah tidak. Potensi
keuangan dapat diketahui dari rasio pinjaman daerah terhadap pendapatan,
upayaupaya
optimalisasi pemanfaatan potensi
daerah, dan dapat dilihat dari kecenderungan derajat desentralisasi fiskal.
Daftar Kepustakaan Bird, Richard. M
dan Vaillancourt, Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-Negara
Berkembang. Jakarta. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Elmi, Bachrul. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di
Indonesia. Jakarta. Penerbit
Universitas Indonesia. Halim, Abdul. 2001. Bunga Rampai Manajemen Daerah.
Yogyakarta. UPP AMP YKPN. Mardiasmo.
2002. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Wardono, Sigit Sapto. 2005. Kemampuan
Kabupaten Purbalingga Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal. Tugas
Akhir (tidak diterbitkan).Semarang.
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.
[*] Staf Bidang Pendataan, Penelitian dan Pelaporan
Bappeda Kab. Brebes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar