PERANAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN
OTONOMI DAERAH
1.1 Latar Belakang
Memperhatikan
berbagai hasil kajian para ahli menunjukkan bahwa otonomi daerah selama ini
tergolong sangat kecil dilihat dari indikator kecilnya kewenangan, jumlah
bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki daerah
(Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran dari praktek pemerintahan masa
lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dengan berpegang
pada Undang-undang tersebut, maka praktek yang terjadi di lapangan berupa
sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga masyarakat di daerah tidak
memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan kepentingan dan
potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000 : 574).
Pada
masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah
pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan
yang begitu luas tentunya akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi
daerah untuk menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah
bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan
yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5)
menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk
menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung
kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar
dalam sistem pemerintahan negara.
Isyarat
bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi pelaksanaan
otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolok ukur terpenting bagi
kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di
samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana Santoso
(1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber penerimaan yang murni dari
daerah, yang merupakan modal utama bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat
membiayai total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total
penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu
pemerintah daerah.
Pendapatan
Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai.
Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana yang dialami Pemerintah Kota
Yogyakarta, selama kurun waktu tahun anggaran 1991/1992 – 2000 proporsi PAD
terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Proporsi sebesar ini sebenarnya
tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di seluruh
Indonesia. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM
bekerjasama dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan bahwa selama 5 tahun
(1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah Kabupaten/Kota atau sebanyak 173
Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh Indonesia) mempunyai angka
prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah di bawah 15 %.
Apabila
diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana sebenarnya letak kecilnya nilai
PAD suatu daerah. Untuk mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu
unsur-unsur yang termasuk dalam kelompok PAD. Dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 dinyatakan bahwa PAD terdiri dari :
1. hasil pajak daerah;
2. hasil retribusi daerah;
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah lainnya yang dipisahkannya;
4. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Menurut
Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya penerimaan PAD
antara lain adalah :
1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar,
tetapi digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan
bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);
2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan
kepada Pemerintah Daerah;
3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
retribusi, dan pungutan lainnya;
4. adanya kebocoran-kebocoran;
5. biaya pungut yang masih tinggi;
6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan
disempurnakan;
7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih
rendah.
Menurut
Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab utama rendahnya PAD
sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah
sebagai berikut :
1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber
pendapatan daerah;
2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan,
karena semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun
tidak langsung ditarik oleh pusat;
3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya
sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
4. alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila
daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya
disintegrasi dan separatisme;
5. kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada
Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.
Secara
umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah rendahnya PAD
disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan
dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo (1996 : 74-78),
yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi sistem pajak di daerah secara
keseluruhan, di antaranya adalah adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda
antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan
dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi.
Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang
tindih satu dengan yang lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak
dengan pungutan lainnya, dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.
Pada
akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh besarnya PAD
atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang
dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh
Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu :
1. faktor manusia;
2. faktor keuangan;
3. faktor peralatan;
4. faktor organisasi dan manajemen.
Salah
satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat
besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang
relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung
oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Propinsi). Padahal dalam
pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.
Sebagaimana
dikemukakan di atas, bahwa tingkat kemandirian atau DOF (Derajat Otonomi
Fiskal) Kota Yogyakarta yang tercermin dari nilai proporsi antara PAD dengan
TPD rata-rata sebesar 32,96 %. Angka ini menggambarkan bahwa peran PAD sebagai
sumber utama pelaksanaan otonomi masih rendah, karena sebagian besar penerimaan
daerah (sebesar 67,04 %) masih dari sumber lain di luar PAD.
Seiring
dengan besarnya tuntutan kepada daerah untuk dapat melaksanakan otonomi daerah,
maka tidak ada upaya lain kecuali mengoptimalkan peran PAD di dalamnya. Oleh
karena itu penelitian ini diharapkan dapat menjawab bagaimana peran PAD dalam
pelaksanaan otonomi daerah di Kota Yogyakarta.
1.2
Keaslian Penelitian
Disadari
bahwa penelitian mengenai peranan PAD dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
pada dasarnya sudah banyak dilakukan, namun demikian penelitian yang sama dan
secara khusus di Kota Yogyakarta belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian
terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Saragih (1996) mengatakan bahwa peran PAD sebagai sumber
pembiayaan pembangunan masih rendah meskipun perolehannya setiap tahun
mengalami peningkatan.
2. Lains (1995) meneliti tentang keuangan dan pembangunan
daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains kemampuan pembiayaan dengan PAD dalam
pelaksanaan pembangunan daerah sangat kecil atau dengan kata lain sebagian
besar pembiayaan dasar dibiayai oleh Pemerintah Pusat. Kecilnya proporsi PAD
terhadap total penerimaan daerah disebabkan antara lain karena jenis-jenis
pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains menyarankan perlu adanya
desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan serta sistem pajak dengan
pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah.
3. Lee dan Snow (1997) mengungkapkan bahwa apabila
Pemerintah Daerah akan menaikkan penerimaan pajak, maka sebaiknya Pemerintah
Daerah memperhitungkan kemampuan membayar dari masyarakat di daerah tersebut
dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan politik.
4. Radianto (1997 : 39) penelitian yang dilakukan di Daerah
Tingkat II Maluku mengatakan bahwa peranan PAD dalam membiayai pembangunan
Daerah Tingkat II Maluku masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari Indeks
Kemampuan Rutin (IKR) Daerah Tingkat II Maluku yang masih berada jauh di bawah
rata-rata IKR Daerah Tingkat II secara nasional. Misalnya selama kurun waktu
Pelita V (1991/1992-1993/1994) IKR Daerah Tingkat II Maluku berturut-turut adalah
sebesar 8,1 persen, 7,3 persen, dan 6,5 persen.
5. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya pada kenyataan
rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah Daerah sangat tinggi
kepada Pemerintah Pusat. Untuk mengurangi beban subsidi Pemerintah Pusat,
Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah yang relatif luas,
sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan
memanfaatkannya secara optimal.
6. Lebih lanjut Kuncoro (1995) mengungkapkan bahwa PAD
menunjukkan kontribusi yang sangat rendah terhadap total penerimaan daerah di
propinsi di Indonesia rata-rata hanya 15,4 % selama tahun 1984/1985 –
1990/1991. Artinya dibanding dengan PAD, subsidi dari Pemerintah Pusat lebih
banyak dalam membiayai pengeluaran daerah. PAD hanya 30 % mampu membiayai
pengeluaran rutin. Untuk Daerah Tingkat II, PAD hanya mampu membiayai
pengeluaran rutinnya sebesar kurang dari 22 %. Sebagian besar Daerah Tingkat II
di Indonesia prosentase PAD terhadap total belanja daerah kurang dari 15 %.
7. PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten
Magelang menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan
dari sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi
Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit
mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan
pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.
8. Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di
Amerika Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan
bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus dapat
mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara tepat untuk
membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada lokasi, waktu,
dan alat analisis yang digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, sejauh
pengamatan dan pengetahuan peneliti maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini
belum pernah dilakukan di KotaYogyakarta.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan penelitian
Berdasarkan
perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut :
1. menganalisis PAD, yaitu dengan menghitung kontribusi
sumber-sumber PAD terhadap total PAD;
2. mengukur laju pertumbuhan PAD dan sumber-sumber PAD;
3. mengukur Derajat Otonomi Fiskal (DOF) sebagai ukuran
tingkat kemandirian keuangan daerah;
4. mengukur tingkat Kemampuan Rutin Daerah (KRD) atau
kemampuan PAD dalam membiayai belanja rutin daerah;
5. mengukur kinerja administrasi penerimaan PAD dengan
menghitung nilai efektifitas dan efisiensi PAD.
1.3.2
Manfaat Penelitian
Melalui
penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau informasi bagi
Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai acuan dalam pengambilan keputusan atau
kebijakan pada masa yang akan datang. Kebijakan yang diambil tersebutpada
akhirnya ditujukan untuk peningkatan peranan PAD dalam rangka pelaksanaan
otonomi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar