Powered By Blogger

Minggu, 07 April 2013

Fiscal Stress berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD)


1. Pentingnya Otonomi Daerah
            Krisis ekonomi yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negative bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Disatu sisi, krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan, namun disisi yang lain, krisis tersebut dapat juga memberi ‘’berkah tersembunyi’’ bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan datang. Mengapa? Karena krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total bagi seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia.  Tema sentral reformasi tersebut adalah mewujudkan masarakat madani, terciptanya Good Governance. dan mengembangkan model pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibel sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi diberbagai bidang kehidupan.
            Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada Kabupaten dan Kota, tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar dimasa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah  (Mardiasmo, 1999 dalam Mardiasmo, 2002). Arah dan Statutory Requiremet (persyaratan hukum) yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
            Besarnya arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya manusia daerah yang dirasa masih relative lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyaratan untuk persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan ekonomi.         Pada awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang mantap (shalt, et.al., 1994 dalam Mardiasmo, 2002). Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, serta mamperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (bastin dan semoke, 1992 dalam Mardiasmo, 2002).
            Kedua, tuntutan pemberian otonomi daerah itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki Era New Game yang membawa New Rules (aturan baru) pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan datang. Di era seperti ini dimana Globalization Cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang di hadapi oleh masyarakat (shad, 1997 dalam Mardiasmo, 2002)
2. Desentralisasi Fiskal
            Dalam Tap MPR No.15/MPR/1998 tentang “ Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia’’ Tap MPR tersebut merupakan landasan hukum keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan segera membawa angin segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua Undang-Undang tersebut kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004. Kedua ketentuan perundang-undangan ini memberi kesempatan yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan potensi  yang dimiliki.
            Misi utama kedua Undang-Undang tersebut adalah Desentralisasi, Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah (daerah), tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintah ke pada pihak swasta dalam bentuk privatisasi.  Pada masa yang akan datang, pemerintah pada semua tingkatan harus fokus pada fungsi-fungsi dasarnya, yaitu : penciptaan dan modernisasi legal dan regulasi; pengembangan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya yang efisien; pengembangan kwalitas sumber daya manusia dan infrastruktur; melindungi orang-orang yang rentah fisik dan nonfisik; serta meningkatkan dan konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997 dalam Mardiasmo, 2002).
            Selanjutnya beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) juga sedang disiapkan. Semuanya dimaksudkan untuk memperjelas bahwa kita menginginkan pemerintahan daerah yang otonom yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsive secara berkesinambungan. Arah seperti itu adalah keharusan, karena dengan model pemerintahan tersebut pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuruh tanah air dapat dilaksanakan. Pada satu sisi, pembangunan dengan model pemerintahan di seluruh wilayah di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Disisi yang lain, kebijakan desentralisasi itu akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat dalam berpartisipasi bahkan berperan serta dalam menentukan prioritas dan preferensinya (pilihannya) sendiri dalam meningkatkan taraf hidup sesuai dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan nasional.
            Salah satu peraturan pemerintah yang telah disiapkan pemerintah pusat adalah peraturan pemerintah tentang keuangan daerah. Peraturan ini lebih konkrit dan lebih jelas dengan titik berat pada koreksi total semua kesalahan di masa yang lalu, dan keristalisasi semangat reformasi yaitu pemerintahan yang bersih, jujur,terbuka, akuntabel, dan responsive, serta berorientasi pada kepentingan publik dan kesejahteraan masyarakat.
            Secara teoritis, Desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
            Konsekuensi dari pelimpahan wewenang pemerintah dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, saran dan prasarana, serta Sumber Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk merealisasikan ketentuan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat-Daerah dan telah disempurnakan dalam UU Nomor 32 tahun 2004.
            Secara singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiscal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan. Jumlah bidang pemerintahan yang menjadi tanggung jawab di Indonesia adalah sama di antara level pemerintah Kabupaten atau Kota, serta di antara pemerintah Provinsi. Namun, dengan otonomi daerah, kewenangan daerah Kabupaten atau Kota kini menjadi lebih besar dibanding Provinsi ataupun Pusat. Bagaimana masing-masing daerah melaksanakan kewenangannya tergantung kepada daerah yang bersangkutan sesuai dengan kreativitas, kemampuan organisasi pemerintah daerah, serta kondisi setiap daerah.
            Dalam melaksanakan Desentralisasi Fiscal, prinsip (rules) Money Should Follow Function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah merupakan Derivative dari kebijakan otonomi daerah, pelimpahan wewenang pemerintah Pusat ke Daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas Desentralisasi, prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintah atau pelayanan publik sedapat mungkin dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang maksimal.
            Roy W. Bahl (1999 dalam Saragih 2003) mengemukakan dalam aturan yang kedua belas disebutkan bahwa Desentralisasi harus memacu adanya persaingan diantara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik, pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh masyarakat, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar, peningkatan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan dan lain-lain.
            Sistem hubungan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu mekanisme distribusi sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah. Konsep perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah adalah konsekuensi dari adanya tanggung jawab terhadap kewenangan masing-masing tingkatan pemerintah. Karena itu setiap tingkatan pemerintah berkepentingan terhadap kebijakan Desentralisai Fiscal. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pusat pun masih mempunyai kewenangan pemerintahan. Artinya, kewenangan pemerintah pusat bukan kewenangan yang tersisa seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ekonomi. 
3. Fiscal Stress
            Fiscal stress merupakan tekanan anggran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dimana tekanan fiscal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe, dalam Adi dan Setyawan, 2008), mengemukakan bahwa terjadinya kerisis keuangan disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang sama, dimana tekanan fiscal (fiscal stress) yang menjadi semakin tinggi.
            Salah satu aspek dari pemerintah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang diketahui, anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.  Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar  untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi proritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
            Dengan diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 pada tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010. Undang-Undang ini lahir dengan mempertimbangkan bahwa Undang-Undang No.18, tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 34, Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah.
            Hal-hal yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam Undang-Undang PDRD dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang  No. 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
            Pemberian kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula dalam perpajakan dan Retribusi Daerah.
            Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.
            (Shamsub & Akoto, 2004 dalam Adi dan Setyawan, 2008)  mengelompokkan penyebab timbulnya Fiscal Stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1.    Menekankan bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama terjadinya Fiscal Stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2.    Menekankan bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran Industri sebagai penyebab utama timbulnya Fiscal Stress. YU dan Korman (1987) dalam (shamsub & Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran Industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.
3.    Menerangkan Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub & Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidak efisienan biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.
            Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi. Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan (atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam era ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat Fiscal Stress tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004 dalam  Adi dan Setyawan, 2008). Oleh karena itu, tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Upaya pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki. Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
4. Pendapatan Asli Daerah
            Menurut (Abdul Halim, 2002) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sedangkan (Mardiasmo, 2002). Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
            Dari tahun ke tahun kebijakan mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota relative tidak banyak berubah. Artinya, sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) komponennya itu-itu juga yang terdiri atas pajak daerah, rertibusi daerah, dan bagian laba dari BUMN. Hali ini lebih dipengaruhi oleh kebijakan Fiscal (national Fiscal Policy) pemerintah pusat mengandalkan penerimaan jenis pajak yang “subur” untuk kepentingan nasional.
            Setelah Desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka Pemerintah Daerah (pemda) berlomba-lomba menciptakan “kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing daerah. Akan tetapi , pertanyaannya adalah apakah dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Daerah (pemda) mampu melaksanakan seluruh kewenangannya? Apakah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi atau Otonomi Daerah?
            Selama Pendapatan Asli Daerah (PAD) benar-benar tidak memberatkan atau membebani masyarakat lokal, Investor lokal, maupun Investor asing, tentu tidak masalah. Dan dapat dikatakan bahwa daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara mandiri tanpa tergantung dana pusat.
            Sebaliknya jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru berdampak terhadap perekonomian daerah yang tidak berkembang atau semakin buruk, maka belum dapat dikatakan keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
            Pemahaman kemana sebenarnya pergerakan Otonomi Daerah , masih kurang. Mereka berfikir Otonomi Daerah hanya untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar-besarnya. Itu presepsi yang salah. Tujuan dan sasaran pemberian Otonomi Daerah dalam artian wewenang yang luas kepada Kabupaten dan Kota adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan bahwa ini sangat memberatkan masyarakat lokal, investor lokal dan investor asing, justru menghambat perkembangan perekonomian daerah terutama dalam era kompetitif yang berlaku sekarang. Dimana pelayanan terbaik dan iklim usaha yang kondusif ikut menentukan investasi di daerah.
            Pendapat Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok pendapatan asli daerah (PAD) dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan yaitu:
a.    Pajak Daerah.
b.    Retribusi Daerah.
c.    Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang di Pisahkan.
d.    lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.
a. Pajak Daerah
            Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak secara umum adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara pemerintah berdasarkan Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapatkan prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung
            Berdasarkan UU No 34 Tahun 2000 yang dimaksud dengan “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah’’
            Dari defenisi diatas jelas bahwa pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan kepada setiap orang  (wajib pajak) tanpa terkecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.
            Pada Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui  dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di banding desentralisasi fiscal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010.
            UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.    Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggungjawab daerah dalam penyelengaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat
2.    Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3.    Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
            Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini yaitu :
1.    Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiscal nasional.
2.    Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang.
3.    Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
4.    Pemerintah daerah tidak dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang sesuai kebijakan pemerintah daerah.
5.    Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakuakn secara preventif dan korektif. Rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus dapat persetujuan pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi.
            Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2009 adalah sebagai berikut :
Penambahan pajak daerah.
            Pajak daerah yang diataur dalam Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai mana dibawa ini:
a.    Jenis Pajak Propinsi terdiri atas:
1)    Pajak Kendaraan Bermotor;
2)    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3)    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4)    Pajak Air Permukaan; dan
5)    Pajak Rokok.
b.    Jenis Pajak Kabupaten dan Kota terdiri atas:
1)    Pajak Hotel;
2)    Pajak Restoran;
3)    Pajak Hiburan;
4)    Pajak Reklame;
5)    Pajak Penerangan Jalan;
6)    Pajak Mineral Bukan logam dan Bebatuan;
7)    Pajak Parkir;
8)    Pajak Air Tanah;
9)    Pajak Sarang Burung Walet
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
            Ada empat jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya merupakan pajak pusat, dan Pajak Sarang burung Walet yang ditetapkan sebagai pajak Kabupaten dan Kota. Selain itu pajak rokok ditetapkan sebagai pajak provinsi. Berarti ada 4 jnis pajak daerah, yaitu 1 pajak provinsi dan 3 jenis pajak Kabupaten dan Kota. Dengan tambahan tersebut secara keseluruhan ada 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten dan kota.
a)    Pajak Rokok
Pajak rokok dikenakan atas cukai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil penerimaan pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten dan kota di propinsi yang bersangkutan.
Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (semoking area), kegiatan memasyrakatkan mengenai bahaya merokok, dan iklan layanan, masyarakat mengenai bahaya rokok.
b)    Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkantoran
Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor pedesaan dan perkotaan diahlikan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambagan masih merupakan pajak pusat. Dengan menjadikan PBB Pedesaan dan perkotaan manjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai Pendapatan Asli Daearah (PAD)
c)    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya di serahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan daerah BPHTB diahlikan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
d)    Pajak Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD).
b. Retribusi Daerah
            Disamping pajak daerah sebagai mana disebutkan sebelumnya, sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga meliputi rertibusi atau perizinan yang diperoleh dalam Undang-Undang. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang di berikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
            Yang dimaksud rertibusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk kepentingan orang atau badan.
            Perbedaan antara Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh karena itu, tarif rertibusi bersifat fleksibel sesuai dangan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya.
Penambahan Jenis retribusi Daerah
            Retribusi daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a.    Retribusi Jasa Umum, yang meliputi:
1)    Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2)    Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3)    Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4)    Retribusi Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5)    Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6)    Retribusi Pelayanan Pasar;
7)    Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8)    Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9)    Retribusi Penggantian biaya Cetak Peta;
10) Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan Kakus;
11) Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
12) Retribusi Tera/Tera ulang;
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14) Retribusi Pengendalian Menara telekomunikasi
b.    Retribusi Jasa Khusus, yang meliputi:
1)    Retribusi Pemakaiaan Kekayaan daerah;
2)    Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan;
3)    Retribusi Tempat Pelelangan;
4)    Retribusi Terminal;
5)    Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6)    Retribusi Tempat Penginapan/Pesangrahan/villa;
7)    Retriubusi Rumah Potong Hewan;
8)    Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
9)    Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjulan Produksi Usaha Daerah;
c.    Retribusi Perizinan Tertentu
1)    Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2)    Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3)    Retribusi Izin Gangguan;
4)    Retribusi Izin Trayek; dan
5)    Retribusi Izin Usaha Perikanan;
            Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang di kelompokkan kedalam 3 gologan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, rertibusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
a)    Retribusi Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengandalian tersebut, alat ukur, takaran, dan timbangan akan berfungsi dengan baik, sehingga pengunaannya tdk merugikan masyarakat.
b)    Retribusi Pengendalian Menara telekomunikasi
Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembagunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan, dan keselamatan, keindahan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari nilai jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c)    Retribusi Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menegah, separti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatian dimaksud.
d)    Retribusi Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah pemerintah daerah sesuai dengan kewenagannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi lainya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengandalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksanan secara terus menerus dengan kualitas yang lebih baik.
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.
            Hasil kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup :
1.    Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Daerah/BUMD
2.    Bagian laba atas penyertaan modal perusahaan Milik Negara/BUMN
3.    Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Swasta atau kelompok masyarakat.
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
            Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemerintah Daerah (Pemda). Rekening ini disediakan untuk mengakuntansi penerimaan daerah selain yang disebutkan diatas. Pendapatan Asli Daerah  lainnya yang disahkan seperti penjualan asset tetap daerah, pendapatan denda pajak dan jasa giro.