1.
Pentingnya Otonomi Daerah
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negative
bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Disatu sisi,
krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan,
namun disisi yang lain, krisis tersebut dapat juga memberi ‘’berkah tersembunyi’’
bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan
datang. Mengapa? Karena krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami telah
membuka jalan bagi munculnya reformasi total bagi seluruh aspek kehidupan
bangsa Indonesia. Tema sentral reformasi
tersebut adalah mewujudkan masarakat madani, terciptanya Good Governance. dan mengembangkan model pembangunan yang
berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap
keterbukaan dan fleksibel sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga
mempermudah proses pengembangan dan modernisasi diberbagai bidang kehidupan.
Salah
satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas
kepada Kabupaten dan Kota, tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak
untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar
dimasa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di
daerah (Mardiasmo, 1999 dalam Mardiasmo,
2002). Arah dan Statutory Requiremet
(persyaratan hukum) yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut
menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah
daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan
sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya
arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk
menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya manusia daerah
yang dirasa masih relative lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas
dipandang sebagai prasyaratan untuk persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong
pertumbuhan ekonomi. Pada awalnya
pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya,
Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang
mantap (shalt, et.al., 1994 dalam Mardiasmo, 2002). Namun dalam jangka panjang,
sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas,
memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian
proyek-proyek publik, serta mamperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi
di daerah (bastin dan semoke, 1992 dalam Mardiasmo, 2002).
Kedua,
tuntutan pemberian otonomi daerah itu juga muncul sebagai jawaban untuk
memasuki Era New Game yang membawa
New Rules (aturan baru) pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan
datang. Di era seperti ini dimana Globalization
Cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali
pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan
ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlalu besar
untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk
dapat menyelesaikan semua masalah yang di hadapi oleh masyarakat (shad, 1997
dalam Mardiasmo, 2002)
2.
Desentralisasi Fiskal
Dalam
Tap MPR No.15/MPR/1998 tentang “ Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia’’
Tap MPR tersebut merupakan landasan hukum keluarnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan segera membawa angin
segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua Undang-Undang tersebut kemudian
disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004. Kedua ketentuan perundang-undangan ini memberi kesempatan
yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun
optimalisasi pemanfaatan potensi yang
dimiliki.
Misi
utama kedua Undang-Undang tersebut adalah Desentralisasi, Desentralisasi tidak
hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang
lebih rendah (daerah), tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintah ke
pada pihak swasta dalam bentuk privatisasi.
Pada masa yang akan datang, pemerintah pada semua tingkatan harus fokus
pada fungsi-fungsi dasarnya, yaitu : penciptaan dan modernisasi legal dan
regulasi; pengembangan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya
yang efisien; pengembangan kwalitas sumber daya manusia dan infrastruktur;
melindungi orang-orang yang rentah fisik dan nonfisik; serta meningkatkan dan
konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997 dalam Mardiasmo,
2002).
Selanjutnya
beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) juga sedang disiapkan. Semuanya
dimaksudkan untuk memperjelas bahwa kita menginginkan pemerintahan daerah yang
otonom yang efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsive secara
berkesinambungan. Arah seperti itu adalah keharusan, karena dengan model
pemerintahan tersebut pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh
penjuruh tanah air dapat dilaksanakan. Pada satu sisi, pembangunan dengan model
pemerintahan di seluruh wilayah di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Disisi
yang lain, kebijakan desentralisasi itu akan menghasilkan wadah bagi masyarakat
setempat dalam berpartisipasi bahkan berperan serta dalam menentukan prioritas
dan preferensinya (pilihannya) sendiri dalam meningkatkan taraf hidup sesuai
dengan peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan
nasional.
Salah
satu peraturan pemerintah yang telah disiapkan pemerintah pusat adalah
peraturan pemerintah tentang keuangan daerah. Peraturan ini lebih konkrit dan
lebih jelas dengan titik berat pada koreksi total semua kesalahan di masa yang
lalu, dan keristalisasi semangat reformasi yaitu pemerintahan yang bersih,
jujur,terbuka, akuntabel, dan responsive, serta berorientasi pada kepentingan
publik dan kesejahteraan masyarakat.
Secara
teoritis, Desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata,
yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang
tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya
produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat
pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Konsekuensi
dari pelimpahan wewenang pemerintah dari pusat ke daerah otonom, tidak lain
adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, saran dan prasarana, serta Sumber
Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk
merealisasikan ketentuan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat-Daerah dan
telah disempurnakan dalam UU Nomor 32 tahun 2004.
Secara
singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiscal adalah suatu proses
distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah
yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan
publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan.
Jumlah bidang pemerintahan yang menjadi tanggung jawab di Indonesia adalah sama
di antara level pemerintah Kabupaten atau Kota, serta di antara pemerintah Provinsi.
Namun, dengan otonomi daerah, kewenangan daerah Kabupaten atau Kota kini menjadi
lebih besar dibanding Provinsi ataupun Pusat. Bagaimana masing-masing daerah
melaksanakan kewenangannya tergantung kepada daerah yang bersangkutan sesuai
dengan kreativitas, kemampuan organisasi pemerintah daerah, serta kondisi
setiap daerah.
Dalam
melaksanakan Desentralisasi Fiscal, prinsip (rules) Money Should Follow Function merupakan salah satu prinsip yang
harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan
wewenang pemerintah membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah merupakan Derivative dari
kebijakan otonomi daerah, pelimpahan wewenang pemerintah Pusat ke Daerah. Artinya,
semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar
biaya yang dibutuhkan oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas Desentralisasi,
prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Anggaran
untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintah atau pelayanan publik sedapat mungkin
dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang maksimal.
Roy W. Bahl (1999 dalam Saragih 2003)
mengemukakan dalam aturan yang kedua belas disebutkan bahwa Desentralisasi harus
memacu adanya persaingan diantara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi
pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat
dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik, pemerintah lokal berlomba-lomba
untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang
semakin besar, peningkatan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat
dalam pemerintahan dan lain-lain.
Sistem
hubungan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu mekanisme distribusi
sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka otonomi
daerah. Konsep perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah adalah konsekuensi
dari adanya tanggung jawab terhadap kewenangan masing-masing tingkatan
pemerintah. Karena itu setiap tingkatan pemerintah berkepentingan terhadap
kebijakan Desentralisai Fiscal. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pusat
pun masih mempunyai kewenangan pemerintahan. Artinya, kewenangan pemerintah
pusat bukan kewenangan yang tersisa seperti diungkapkan oleh beberapa pakar
ekonomi.
3.
Fiscal Stress
Fiscal stress merupakan tekanan
anggran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dimana tekanan
fiscal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan
peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri
untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya
daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam
era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe, dalam Adi dan Setyawan, 2008),
mengemukakan bahwa terjadinya kerisis keuangan disebabkan tidak cukupnya
penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah
yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang sama,
dimana tekanan fiscal (fiscal stress) yang menjadi semakin tinggi.
Salah
satu aspek dari pemerintah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang diketahui,
anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang
(rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang
utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan
sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi
pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya
difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang
menjadi proritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Dengan
diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang
kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 pada
tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010.
Undang-Undang ini lahir dengan mempertimbangkan bahwa Undang-Undang No.18, tahun
1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 34, Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi
daerah.
Hal-hal
yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam Undang-Undang PDRD
dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang
No. 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah
Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan
efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian,
pungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Pemberian
kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan
yang besar pula dalam perpajakan dan Retribusi Daerah.
Basis
pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan
provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.
(Shamsub & Akoto, 2004 dalam Adi dan
Setyawan, 2008) mengelompokkan penyebab
timbulnya Fiscal Stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1.
Menekankan
bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama
terjadinya Fiscal Stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang
menurun dan resesi.
2.
Menekankan
bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran Industri sebagai penyebab
utama timbulnya Fiscal Stress. YU dan
Korman (1987) dalam (shamsub &
Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran Industri menjadikan berkurangnya hasil
pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.
3.
Menerangkan
Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak
terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub
& Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidak efisienan
biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja
untuk kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.
Ketergantungan
daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang
mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk
mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontrol
anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan
(atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam era
ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat Fiscal Stress
tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004 dalam Adi dan Setyawan, 2008). Oleh karena itu,
tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Upaya
pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui
pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan
pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki.
Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan
pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
4.
Pendapatan Asli Daerah
Menurut
(Abdul Halim, 2002) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sedangkan (Mardiasmo,
2002). Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dari
tahun ke tahun kebijakan mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap daerah
provinsi, kabupaten dan kota relative tidak banyak berubah. Artinya, sumber
utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) komponennya itu-itu juga yang terdiri atas
pajak daerah, rertibusi daerah, dan bagian laba dari BUMN. Hali ini lebih
dipengaruhi oleh kebijakan Fiscal (national Fiscal Policy) pemerintah pusat
mengandalkan penerimaan jenis pajak yang “subur” untuk kepentingan nasional.
Setelah
Desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka Pemerintah Daerah (pemda)
berlomba-lomba menciptakan “kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan
jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing daerah. Akan
tetapi , pertanyaannya adalah apakah dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Pemerintah Daerah (pemda) mampu melaksanakan seluruh kewenangannya?
Apakah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu tolak
ukur keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi atau Otonomi Daerah?
Selama
Pendapatan Asli Daerah (PAD) benar-benar tidak memberatkan atau membebani
masyarakat lokal, Investor lokal, maupun Investor asing, tentu tidak masalah.
Dan dapat dikatakan bahwa daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara
mandiri tanpa tergantung dana pusat.
Sebaliknya
jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru berdampak terhadap perekonomian daerah
yang tidak berkembang atau semakin buruk, maka belum dapat dikatakan
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pemahaman
kemana sebenarnya pergerakan Otonomi Daerah , masih kurang. Mereka berfikir Otonomi
Daerah hanya untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar-besarnya.
Itu presepsi yang salah. Tujuan dan sasaran pemberian Otonomi Daerah dalam artian
wewenang yang luas kepada Kabupaten dan Kota adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan bahwa ini sangat
memberatkan masyarakat lokal, investor lokal dan investor asing, justru
menghambat perkembangan perekonomian daerah terutama dalam era kompetitif yang
berlaku sekarang. Dimana pelayanan terbaik dan iklim usaha yang kondusif ikut
menentukan investasi di daerah.
Pendapat
Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah. Kelompok pendapatan asli daerah (PAD) dipisahkan menjadi
empat jenis pendapatan yaitu:
a.
Pajak
Daerah.
b.
Retribusi
Daerah.
c.
Hasil
Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang di Pisahkan.
d.
lain-lain
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.
a.
Pajak Daerah
Pajak
Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak secara umum
adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara pemerintah berdasarkan Undang-Undang
yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan
tidak mendapatkan prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung
Berdasarkan
UU No 34 Tahun 2000 yang dimaksud dengan “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah’’
Dari
defenisi diatas jelas bahwa pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan
kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa
terkecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil pajak daerah ini diperuntukkan bagi
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.
Pada
Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah
menyetujui dan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi
Undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di banding desentralisasi fiscal,
karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan
kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang baru ini
mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010.
UU
PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.
Memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi
sejalan dengan semakin besarnya tanggungjawab daerah dalam penyelengaraan
pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat
2.
Meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan
dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3.
Memberikan
kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus
memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada
beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan
dalam penyusunan UU ini yaitu :
1.
Pemberian
kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak terlalu
membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiscal nasional.
2.
Jenis
pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
3.
Pemberian
kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak dalam batas tarif minimum
dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
4.
Pemerintah
daerah tidak dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang
sesuai kebijakan pemerintah daerah.
5.
Pengawasan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakuakn secara preventif dan
korektif. Rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus
dapat persetujuan pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran
terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi.
Materi
yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2009 adalah
sebagai berikut :
Penambahan
pajak daerah.
Pajak
daerah yang diataur dalam Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai mana
dibawa ini:
a.
Jenis
Pajak Propinsi terdiri atas:
1)
Pajak
Kendaraan Bermotor;
2)
Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3)
Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4)
Pajak
Air Permukaan; dan
5)
Pajak
Rokok.
b.
Jenis
Pajak Kabupaten dan Kota terdiri atas:
1)
Pajak
Hotel;
2)
Pajak
Restoran;
3)
Pajak
Hiburan;
4)
Pajak
Reklame;
5)
Pajak
Penerangan Jalan;
6)
Pajak
Mineral Bukan logam dan Bebatuan;
7)
Pajak
Parkir;
8)
Pajak
Air Tanah;
9)
Pajak
Sarang Burung Walet
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan; dan
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan;
Ada
empat jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya
merupakan pajak pusat, dan Pajak Sarang burung Walet yang ditetapkan sebagai
pajak Kabupaten dan Kota. Selain itu pajak rokok ditetapkan sebagai pajak
provinsi. Berarti ada 4 jnis pajak daerah, yaitu 1 pajak provinsi dan 3 jenis
pajak Kabupaten dan Kota. Dengan tambahan tersebut secara keseluruhan ada 16
jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten
dan kota.
a)
Pajak
Rokok
Pajak rokok dikenakan atas
cukai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil penerimaan pajak Rokok tersebut
sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten dan kota di propinsi yang
bersangkutan.
Selain itu, penerimaan
Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan
(pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (semoking area),
kegiatan memasyrakatkan mengenai bahaya merokok, dan iklan layanan, masyarakat
mengenai bahaya rokok.
b)
Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkantoran
Selama ini PBB merupakan
pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor
pedesaan dan perkotaan diahlikan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor
perkebunan, perhutanan, dan pertambagan masih merupakan pajak pusat. Dengan
menjadikan PBB Pedesaan dan perkotaan manjadi pajak daerah, maka penerimaan
jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai Pendapatan Asli Daearah (PAD)
c)
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan
pajak pusat, namun seluruh hasilnya di serahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan
akuntabilitas pengelolaan daerah BPHTB diahlikan menjadi pajak daerah.
Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
d)
Pajak
Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung walet
merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk
memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet
di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar
akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD).
b.
Retribusi Daerah
Disamping
pajak daerah sebagai mana disebutkan sebelumnya, sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) juga meliputi rertibusi atau perizinan yang diperoleh dalam Undang-Undang.
Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut
sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang di berikan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat.
Yang
dimaksud rertibusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk kepentingan orang atau badan.
Perbedaan
antara Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya,
tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh karena itu, tarif rertibusi
bersifat fleksibel sesuai dangan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau
mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya.
Penambahan
Jenis retribusi Daerah
Retribusi
daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai
berikut :
a.
Retribusi
Jasa Umum, yang meliputi:
1)
Retribusi
Pelayanan Kesehatan;
2)
Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3)
Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4)
Retribusi
Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5)
Retribusi
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6)
Retribusi
Pelayanan Pasar;
7)
Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor;
8)
Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9)
Retribusi
Penggantian biaya Cetak Peta;
10) Retribusi Penyediaan dan atau
Penyedotan Kakus;
11) Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
12) Retribusi Tera/Tera ulang;
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14) Retribusi Pengendalian Menara
telekomunikasi
b.
Retribusi
Jasa Khusus, yang meliputi:
1)
Retribusi
Pemakaiaan Kekayaan daerah;
2)
Retribusi
Pasar Grosir dan atau Pertokoan;
3)
Retribusi
Tempat Pelelangan;
4)
Retribusi
Terminal;
5)
Retribusi
Tempat Khusus Parkir;
6)
Retribusi
Tempat Penginapan/Pesangrahan/villa;
7)
Retriubusi
Rumah Potong Hewan;
8)
Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan;
9)
Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjulan Produksi Usaha
Daerah;
c.
Retribusi
Perizinan Tertentu
1)
Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan;
2)
Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3)
Retribusi
Izin Gangguan;
4)
Retribusi
Izin Trayek; dan
5)
Retribusi
Izin Usaha Perikanan;
Terdapat
penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi
Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis
retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang di kelompokkan kedalam 3 gologan
retribusi, yaitu retribusi jasa umum, rertibusi jasa usaha, dan retribusi
perizinan tertentu.
a)
Retribusi
Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi Tera/Tera
Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat
ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengandalian
tersebut, alat ukur, takaran, dan timbangan akan berfungsi dengan baik,
sehingga pengunaannya tdk merugikan masyarakat.
b)
Retribusi
Pengendalian Menara telekomunikasi
Pengenaan Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan
pengendalian daerah terhadap pembagunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi.
Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek
tata ruang, keamanan, dan keselamatan, keindahan sekaligus memberikan kepastian
bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar
pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari
nilai jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c)
Retribusi
Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi
pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan dasar
dan menegah, separti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya
digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatian dimaksud.
d)
Retribusi
Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin
Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena
selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah pemerintah
daerah sesuai dengan kewenagannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi
lainya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan
dan pengandalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksanan secara terus
menerus dengan kualitas yang lebih baik.
c.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.
Hasil
kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal
dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci
menurut objek pendapatan yang mencakup :
1.
Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Daerah/BUMD
2.
Bagian
laba atas penyertaan modal perusahaan Milik Negara/BUMN
3.
Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Swasta atau kelompok
masyarakat.
d.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan
ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemerintah
Daerah (Pemda). Rekening ini disediakan untuk mengakuntansi penerimaan daerah
selain yang disebutkan diatas. Pendapatan Asli Daerah lainnya yang disahkan seperti penjualan asset
tetap daerah, pendapatan denda pajak dan jasa giro.