A.
Pengertian
Kinerja
Kinerja berasal dari pengertian
performance. Ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil
kerja atau prestasi kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih
luas, bukan hanya hasil kerja tetapi termasuk bagaimana proses pengerjaannya
berlangsung.
Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang
mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategi organisasi, kepuasan konsumen
dan memberikan kontribusi pada ekonomi (Armstrong dan Barun dalam Wibowo, 2007:
7).
Kinerja adalah gambaran mengenai
tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dan
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tentang dalam
perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. Secara umum
dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh
organisasi dalam periode tertentu (Bastian, 2001: 330).
B. Pengertian
Keuangan Daerah
5
|
Keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala sesuatu, baik berupa uang
maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerahyang lebih tinggi serta pihak-pihak
lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku (Mamesah dalam Halim,
2007:23-25). Dari defenisi tersebut dapat diperoleh kesimpulan, yaitu:
1. Yang dimaksud dengan semua hak adalah
hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah, seperti pajak daerah,
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan atau hak
untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperi dana alokasi umum dan dana
alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut dapat menaikkan
kekayaan daerah.
2. Yang dimaksud dengan semua kewajiban
adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan pada
daerah dalam rangka menyelenggarakan fungsi pemerintahan, infrastruktur,
pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut dapat menurunkan
kekayaan daerah.
Dari pernyataan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian
dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja
daerah dengan menggunakan sistem keuangan yang ditetapkan melalui suatu
kebijakan atau ketentuan perundang- undangan selama satu periode anggaran.
C. Pengukuran Kinerja
Larry D Stout (1993) dalam Performance Measurement Guide menyatakan bahwa:
”Pengukuran/penilaian kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur
pecapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mision
accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa,
ataupun suatu proses.”
Maksudnya, setiap kegiatan otganisasi harus dapat diukur dan dinyatakan
keterkaitannya dengan pencapaian arah organisasi di masa yang akan datang yang
dinyatakan dalam visi dan misi organisasi. Produk dan jasa yang dihasilkan
diukur berdasarkan kontribusinya terhadap pencapaian visi dan misi organisasi.
Menurut James B. Whittaker (1993) dalam Goverment Performance and Result
Act, A Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement sebagai
berikut:
”Pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan
pengambilan keputusan dan akuntabilitas.”
(Bastian, 2001:329-330).
Pengukuran ialah suatu proses atau sistem yang digunakan untuk menentukan
nilai kuantitatif sesuatu benda/objek, perkara, atau keadaan. Nilai kuantitatif
ini biasanya dinyatakan dalam suatu unit angka yang tetap dengan menggunakan
alat pengukuran yang berkaitan.
Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud.
Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu
memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksud untuk dapat membantu
pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada
akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi sektor publik
dalam pemberian pelayanan publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan
untuk pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan. Ketiga, ukuran kinerja
sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan
memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo, 2009: 121).
D. Tujuan Pengukuran Kinerja
Tujuan pokok pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam
mencapai tujuan organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah
ditetapkan sebelumnya agar dapat mencapai hasil yang diinginkan.
Secara umum, tujuan pengukuran kinerja adalah :
a.
Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik
b.
Untuk mengukur kinerja finansial dan non finansial secara
tertimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strateginya.
c.
Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan
individual dan kemampuan kolektif yang rasional (Mardiasmo, 2009:122).
Pada dasarnya pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi
tiga tujuan yaitu:
1)
Untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah.
2)
Untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan.
3)
Untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki
komunikasi kelembagaan.
E. Manfaat Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja mempunyai manfaat yang banyak bagi organisasi, secara
umum manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
a.
Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan
menilai kinerja manajemen.
b.
Menunjukkan arah pencapaian target kinerja yang telah
ditetapkan
c.
Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan membandingkan
skema kerja dan pelaksanaannya.
d.
Membantu mengungkap dan memecahklan masalah yang ada
e.
Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah
f.
Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara
objektif (Mardiasmo, 2009:122).
F. Informasi Yang Digunakan Dalam Pengukuran Kinerja
Penilaian laporan kinerja finansial
dilihat/diukur berdasarkan anggaran yang telah dibuat, dimana pengukuranya
dilakukan dengan menganalisis varian antara kinerja aktual dengan yang
dianggarkan.
Analisis varian secara garis besar berfokus pada:
1. Varian Pendapatan
Varian pendapatan adalah semua penerimaan daerah dalam
bentuk peningkatan aktiva atau penurunan utang dari berbagai sumber dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan. Berdasarkan UU No.32 tahun 2004,
sumber pendapatan daerah ada tiga, yaitu:
1)
Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari :
a)
Pajak daerah
pajak
daerah adalah semua pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli
daerah atau pajak. Jenis pajak
kabupaten / kota terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir.
b)
Restribusi daerah
Restribusi daerah adalah pendapatan yang berasal dari
restribusi dari daerah, yang meliputi restribusi pelayanan kesehatan,
restribusi air, restribusi pertokoan, restribusi kelebihan muatan dan sebagainya.
c)
Bagian laba usaha daerah
Bagian laba usaha daerah adalah pendapatan daerah yang
berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
d)
Lain-lain pendapatan asli daerah
Lain-lain pendapatan asli daerah
adalah pendapatan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah.
Pendapatan ini berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan dan penerimaan jasa giro, selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing, komisi, potongan atau bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
oleh daerah.
2)
Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang berasal dari penerimaan
anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah. Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran
dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dana perimbangan terdiri atas:
a)
Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil, dibagi menjadi dua
yaitu dana bagi hasil yang bersumber dari pajak, contohnya pajak bumi dan
bangunan, bea hak atas tanah dan bangunan dan dana bagi hasil yang bersumber
dari sumber daya alam manusia yaitu pemberian hak atas tanah negara.
b)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum adalah dana yang
berasal dari anggaran pendapatan negara yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum untuk
suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal, (kebutuhan fiskal kapasitas
fiskal daerah) dari alokasi dasar. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam
APBN. Porsi DAU antara propinsi dan daerah kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan imbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten /kota.
c)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus adalah dana yang
berasal dari anggaran pendapatan belanja negara yang dialokasikan kepada daerah
untuk membiayai kebutuhan tertentu. Besarnya dana alokasi khusus
ditetapkan setiap tahun dalam APBD berdasarkan masing-masing bidang kegiatan
disesuaikan dengan ketersediaan dana dalam APBD. Dana alokasi khusus
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khususnya yang
merupakan unsur daerah.
3)
Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah
(bantuan yang tidak menguat dan pendapatan dana darurat).
2. Varian
pengeluaran
Varian pengeluaran dalam anggaran pendapatan dan belanja
daerah terdiri dari :
a)
Varian belanja rutin
Anggaran belanja
rutin adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang
sifatnya lancar dan terus menerus yang
dimaksudkan untuk menjaga kelemahan roda pemerintahan dan memelihara
hasil-hasil pembangunan. Dengan telah diberikannya kewenangan untuk
mengelolah daerah, maka belanja
rutin diprioritaskan pada optimalisasi
fungsi dan tugas rutin perangkat daerah. Peningkatan belanja rutin yang
diusulkan oleh setiap pengganggaran harus diikuti dengan penigkatan mutu
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Perencanaan belanja rutin sedapat
mungkin menerapkan pendekatan anggaran kinerja, hal tersebut bertujuan untuk
memudahkan analisis dan evaluasi hubungan antara kebutuhan dan hasil serta
manfaat yang diperoleh, anggaran belanja rutin meliputi belanja APBD, belanja
kepala daerah dan wakil kepala daerah, belanja sekretaris daerah dan perangkat lainnya.
b)
Varian belanja pembangunan.
Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang
disediakan untuk membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan dan
pembangunan menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang dianggarkan
dalam pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektor industri,
pertanian dan kehutanan, hukum, transportasi, dan lain sebagainya.
G. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD)
1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan pasal 64 ayat (2) UU no 5 tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintah Daerah, APBD adalah rencana operasional keuangan
pemerintah daerah, dimana pada satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran
setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah
dalam satu tahun anggaran tertentu dan sumber-sumber penerimaan daerah guna
menutupi pengeluaran-pengeluaran. Definisi tersebut merupakan pengertian APBD
pada era orde baru (Mamesah dalam Halim, 1995:20). Pengertian APBD pada masa
orde lama adalah perencanaan pekerjaan keuangan yang dibuat untuk suatu jangka
waktu tertentu, dalam waktu mana badan legislatif (DPRD) memberikan kredit
kepada badan eksekutif (Kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna
kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar
penetapan anggaran dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk menutup tadi
(Wajong dalam Halim, 2007:20). Berdasarkan peraturan perundangan no.17 tahun
2000 tentang pinjaman daerah, APBD dapat
diartikan sebagai rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah tentang APBD.
APBD adalah suatu anggaran daerah (Halim, 2007:20). Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
APBD merupakan program pemerintah daerah dalam bentuk angka.Unsur-unsur
anggaran pendapatan dan belanja daerah yaitu :
a.
Rencana kegiatan suatu daerah dan uraian secara rinci.
b.
Terdapat sumber penerimaan yang merupakan target minimal
untukmenutupi biaya-biaya dan aktifitas serta biaya-biaya yang merupakanbatas
maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan.
c.
Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk
angka.
d.
Periode anggaran yaitu biasanya satu tahun (Halim, 2007:20).
2.
Perkembangan susunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)
Diera pra reformasi bentuk dan susunan APBD mula-mula
berdasarkan UU no.6 tahun 1975 terdiri atas anggaran rutin dan anggaran
pembangunan. Anggaran rutin dibagi menjadi pendapatan rutin dan belanja
sendiri, demikian pula dengan anggaran pembangunan dibagi menjadi pendapatan
pembangunan dan belanja pembangunan. Susunan tersebut mengalami perubahan
dengan dikeluarkannya beberapa peraturan pada tahun 1984-1988, dimana APBD
tidak lagi dibagi atas anggaran rutin dan anggaran pembangunan, tapi dibagi
atas pendapatan dan belanja dengan rincian:
1.) Pendapatan
dibagi menjadi:
a.
Pendapatan dari daerah
b.
Penerimaan pembangunan
c.
Unsur kas dan perhitungan (UKP) (Halim, 2007:21).
2.) Belanja
dibagi menjadi:
a.
Belanja rutin diklasifikasikan menjadi:
1)
Belanja Pegawai
2)
Belanja Barang
3)
Belanja Pemeliharaan
4)
Belanja Perjalanan dinas
5)
Belanja tidak tersangka
b. Belanja
pembangunan diklasifikasikan menjadi 21 sektor, yaitu meliputi sektor industri,
sektor kehutanan dan pertanian, sektor sumber daya dan migrasi, sektor tenaga
kerja, sektor perdagangan, pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi, sektor transportasi,
sektor pembangunan dan energi, sektor pariwisata dan komunikasi daerah, sektor
pembangunan daerah dan pemukiman, sektor lingkungan hidup dan tata ruang,
sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, pemerintah daerah olah raga, sektor kependudukan dan keluarga sejahtera,
sektor kesehatan, kesejahteraan sosial, peranan wanita, sektor perumahan dan
pemukiman, sektor agama, sektor ilmu pengetahuan dan teknologi, sektor hukum,
sektor aparatur pemerintah dan pengawasan, sektor politik, penerangan
komunikasi dan media massa, sektor keamanan dan ketertiban umum dan sektor
pembayaran kembali pinjaman (Halim, 2007:21).
Perubahan kedua di era pra reformasi terjadi pada tahun
1998 yaitu pada bagian pendapatan dari daerah perubahan yang terjadi pada
klasifikasinya. Jika pada bentuk sebelumnya pendapatan daerah terbagi menjadi
empat yaitu Sisa Lebih Perhitungan Tahun Lalu, Pendapatan Asli Daerah, Bagi
Hasil Pajak / Bukan Pajak dan Sumbangan / Bantuan menjadi satu bagian. Bagian
tersebut bernama Pendapatan yang Berasal dari Pemberian Pemerintah atau
Instansi yang Lebih Tinggi (Halim, 2007:21).
Bentuk APBD terbaru didasari pada Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendegri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah adalah:
1.)
Pendapatan, yang dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a.
Pendapatan asli daerah, merupakan semua penerimaan yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
b.
Dana perimbangan, merupakan dana yang bersumber dari
penerimaan anggaran pendapatan belanja negara yang di alokasikan pada daerah
untuk membiyai kebutuhan dananya.
c.
Pendapatan lain-lain daerah yang sah, meliputi pendapatan
daerah, belanja daerah, pinjaman, ekuitas dana dan cadangan, aset, dan sisa anggaran.
2.)
Belanja, yang digolongkan menjadi empat, yaitu :
a.
Belanja aparatur daerah, merupakan belanja yang
manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat tetapi dirasakan
secara langsung oleh aparatur, contohnya pembelian kendaraan dinas, pembelian
bangunan gedung dan lain sebagainya.
b.
Belanja pelayanan publik, merupakan belanja yang
manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum, contohnya
pembangunan jembatan dan jalan raya dan sebagainya.
c.
Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan.
d.
Belanja tidak terduga.
3.)
Pembiayaan
Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada
APBD di era pra reformasi, dimana pembiayaan berfungsi sebagai pemisah pimpinan
dari pendapatan daerah. Pembiayaan adalah sumber penerimaan dan pengeluaran
daerah yang dimaksudkan untuk menutupi defisit anggaran atau sebagai alokasi
siklus anggaran, pembiayaan dikelompokkan menjadi :
a.
Sumber
penerimaan daerah yaitu :
1)
Sisa lebih anggaran penerimaan tahun lalu.
2)
Penerimaan pinjaman dan obligasi.
3)
Hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan.
4)
Transfer dari dana cadangan.
b.
Sumber
pengeluaran daerah yaitu :
1)
Pembayaran hutang pokok yang telah jatuh tempo.
2)
Penyertaan modal.
3)
Transfer ke dana cadangan.
4)
Sisa lebih anggaran tahun yang sedang berlangsung.
H. Analisis Rasio Keuangan Berdasarkan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah
Alat rasio keuangan yang digunakan adalah analisis rasio yang dikembangkan
berdasarkan data keuangan yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja
daerah ( Halim, 2007:232) yaitu :
1.
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal)
menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintah, pembangunan dan sesuai target yang ditetapkan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restribusi
sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah
ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah
pusat ataupun dari pinjaman. Semakin tinggi rasio kemandirian maka tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal semakin rendah, dan
demikian pula sebaliknya.
Rasio Kemandirian =
2. Rasio
efektivitas dan efisiensi pendapatan asli daerah
a. Rasio Efektivitas =
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah
daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Kemampuan daerah dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai
minimal sebesar satu atau 100 persen.
Pencapaian kinerja efektivitas dapat ditransformasikan ke
dalam pemeringkatan sebagai berikut:
Kinerja
efektivitas
|
Makna
|
80 hingga 100
|
Sangat Efektif
|
70 higga 79
|
Efektif
|
60 hingga 69
|
Cukup Efektif
|
50 hingga 59
|
Kurang Efektif
|
Kurang dari 50
|
Tidak Efektif
|
b. Rasio Efisiensi =
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
dengan realisasi pendapatan yang diterima. Untuk itu pemerintah daerah perlu
menghitung secara cermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk
merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui
apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efesien atau tidak. Hal itu
perlu dilakukan karena meskipun pemerintah daerah berhasil merealisasikan
penerimaan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan
itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk
merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar daripada
realisasi pendapatan yang diterimanya. Kinerja pemerintah daerah dalam
melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang
dicapai kurang dari 1 satu atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio
efisiensi berarti kinerja pemerintah daerah semakin baik.
3.
Rasio
Aktivitas
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah
memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin (belanja operasi) dan
belanja pembangunan (modal) secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin (belanja operasi) berarti persentase belanja pembangunan
(belanja modal) yang digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi
masyarakat cenderung semakin kecil. Secara sederhana, rasio keserasian itu
dapat di formulasikan sebagai berikut:
a)
Rasio Belanja Operasi terhadap APBD
=
b)
Rasio Belanja Modal
terhadap APBD
=
4. Rasio
Pertumbuhan
Rasio
pertumbuhan (growth ratio) mengukur
seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan
meningkatkan keberhasilannya yang dicapai dari periode ke periode berikutnya. Rasio
pertumbuhan dikatakan baik, jika setiap tahunnya mengalami pertumbuhan positif atau mengalami
peningkatan.
Rasio Pertumbuhan =
x100%
Keterangan :
Rp Xn-Xn-1 = Realisasi penerimaan/pengeluaran tahun yang
dikurangi tahun sebelumnya.
Rp Xn-1 = Realisasi penerimaan/pengeluaran tahun sebelumnya.