Powered By Blogger

Sabtu, 16 Februari 2013

Interaksi Strategi Bersaing pada Pengelolaan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Organisasional


Pengelolaan SDM yang berorientasi strategis diprediksi akan lebih meningkatkan kinerja yang tinggi. Pengelolaan SDM yang berorientasi strategik memiliki dimensi berbeda dengan pengelolaan SDM tradisional. Secara vertikal membutuhkan keterkaitan pengelolaan SDM dengan proses manajemen strategik organisasi.  Sedangkan secara horizontal menekankan pada  koordinasi dan kesesuaian diantara berbagai pengelolaan SDM.
Keterkaitan pengelolaan SDM dengan strategi bersaing organisasi menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan-tujuan organisasi.  Huselid (1995) mengemukakan  bahwa organisasi-organisasi yang menghubungkan pengelolaan SDM dengan strategi memiliki prestasi atau hasil kerja yang tinggi. Sementara itu, Youndt et al. (1996) menunjukkan bukti empiris yang positif dalam pengaruhnya terhadap kinerja operasional, serta strategi kualitas mempunyai pengaruh moderasi pada hubungan sistem pengelolaan SDM dan startgi manufaktur.
Penelitian Guest (1997) menunjukkan bahwa pencapaian kinerja yang tinggi  dihasilkan dari interaksi antara strategi bersaing dengan pengelolaan SDM. Penerapan strategi  inovasi, peningkatan kualitas, dan pengurangan biaya yang diinteraksikan dengan pengelolaan SDM (ketujuh dimensi tersebut) memberikan hasil kinerja tinggi dalam hal produktivitas, kualitas dan inovasi. Di samping itu, hasil penelitian Huang (1999) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengintegrasikan pengelolaan SDM dengan strategi bisnis secara lebih efektif akan menghasilkan laba lebih besar serta menjadikan hasil kerja lebih baik dari sebelumnya.
Hubungan erat antar metode pengelolaan SDM dan strategi bersaing pada tingkat bisnis sebagai upaya membantu mempertahankan dan memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja. Kesesuaian tersebut dapat membantu organisasi untuk mengelola sumber daya manusia dengan lebih efisien sehingga dapat mengurangi biaya operasional dan merespon lebih efektif terhadap pengaruh lingkungan dan nkesempatan peluangn baru (Huang, 1999). Huang (1999) menyatakan bahwa secara konsekuensi hubungan yang efektif  antara strategi bisnis dan pelaksanaan serangkaian pelatihan pengelolaan SDM melalui pendekatan konsekuensi mampu meningkatkan kinerja perusahaan.

Hubungan Pengelolaan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Organisasional


Pengelolaan SDM yang dilaksanakan secara efektif akan menghasilkan SDM sebagai  aset berharga yang harus dipertahankan dan dikembangkan.  Peningkatan kinerja sangat tergantung pada pelaksanaan pekerjaan karyawan secara baik. Pekerjaan yang dilaksanakan secara baik ditunjukkan oleh motivasi para karyawan untuk memiliki komitmen, loyalitas, dan dedikasi tinggi. 
Pengelolaan sumber daya mempunyai pengaruh yang kuat pada peningkatan perilaku pekerja untuk dapat bekerja lebih baik, sehingga dapat meningkatkan keefektivan organisasional dan memberikan keunggulan kompetitif. Schuler dan Jackson (1987) meunjukkan bahwa pelaksanaan pengelolaan SDM yang tepat dapat menjadi faktor pendorong meningkatnya  penyebaran persepsi baik di dalam maupun di luar organisasi. Pengelolaan  SDM dapat digunakan untuk meningkatkan penyebaran persepsi diantara karyawan sehingga persepsi yang baik dalam pelayanan karyawan dapat digunakan untuk membentuk persepsi konsumen terhadap produk yang dihasilkan perusahaan.
Penelitian Guest (1997) menunjukkan bahwa pelaksanaan pengelolaan SDM diaplikasikan dengan harapan  untuk mencapai tujuan normatif dari komitmen yang tinggi terhadap organisasi serta kualitas tinggi dan fleksibilitas, sehingga akan menghasilkan kinerja tinggi. Di  samping itu, diungkapkan bahwa  pengelolaan SDM lebih menekankan pada integritas terhadap kebijakan dan pelaksanaan pengelolaan SDM serta memilki pengaruh positif terhadap kinerja organisasional.
Hasil penelitian Becker dan Gerhat (1996) menunjukkan bahwa  terdapat pengaruh penting dan unik atas keputusan-keputusan pengelolaan SDM terhadap kinerja. Kebijakan dan kepatuhan yang diambil oleh manajemen puncak dalam melaksanakan  kebijakan pengelolaan SDM dapat mendorong kinerja ke arah lebih baik. Hal tersebut mendukung penelitian Gues dan Hoqure (1994) dalam Guest (1997) yang menemukan adanya pengaruh dari keberadaan pelaksanaan pengelolaan SDM terhadap hasil kerja pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang sedang berkembang. Perusahaan-perusahaan tersebut mengadopsi praktik manajemen SDM dengan menggunakan pendekatan strategis, memberikan hasil positif yang lebih tinggi pada kinerja yang berhubungan dengan pekerja, tetapi tidak ada korelasi dengan kinerja yang berkaitan dengan produktivitas dan kualitas.
Berdasarkan berbagai kajian empiris tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem atau pelaksanaan serangkaian pengelolaan SDM mempunyai pengaruh yang lebih besar pada peningkatan produktivitas dari yang diharapkan dibandingkan  dengan pengaruh sejumlah pelaksanaan pengelolaan SDM secara terpisah-pisah. Semantara itu, Huselid (1995) menunjukkan bahwa proses adaptasi dari serangkaian pengelolaan SDM memiliki pengaruh yang positif terhadap kinerja.

Pengukuran Kinerja Organisasional


Kinerja organisasional mengacu pada produktivitas anggota-anggota berupa produk maupun jasa yang menjadi tujuan fungsi-fungsi  perusahaan. Banyak faktor yang memberi kontribusi terhadap organisasi, namun faktor utamanya adalah perilaku individu pekerja. Hal ini berarti kinerja dapat menjadi indikator keberhasilan upaya-upaya organisasi mengembangkan SDM-nya melalui pelaksanaan pengelolaan manajemen SDM yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap pekerja.
Penekanan kinerja organisasional pada satu atau dua aspek dinilai oleh Provost dan Leddick (1993) kurang mewakili kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan di dalam organisasi (stakeholder). Untuk itu dimensi kinerja organisasional  perlu diperluas agar diperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh. Concept of a family of measures of a systems yang dikembangkan oleh Provost dan Leddick tersebut merupakan penggunaan serangkaian pengukuran kinerja organisasional.
Konsep tersebut di atas, memungkinkan untuk mempelajari pengaruh perubahan-perubahan di organisasi secara menyeluruh dari berbagai sudut pandang pihak-pihak yang berkepentinagn, seperti kepentingan konsumen, kepentingan produksi atau operasi, kepentingan bisnis, kepentingan tenaga kerja, hingga kepentingan komunitas untuk mnenilai kinerja organisasional.
Mengingat ukuran kinerja organisasional sangat beragam, maka di dalam pembahasan berikutnya akan digunakan ukuran kinerja yang dipersepsikan oleh manajer departemen SDM, baik kinerja organisasional maupun kinerja pasar.  Pemakaian ukuran kinerja membuka peluang untuk penerapan lebih luas tidak hanya organisasi yang berorientasi laba, namun juga untuk organisasi nirlaba. Pengukuran kinerja dibentuk  oleh dua ukuran kinerja yaitu: kinerja organisasi menarik kualitas yang dimiliki, pengembangan produk atau jasa dan program kepuasan konsumen, hubungan manajemen dengan tenaga kerja dan antar tenaga kerja, serta kinerja pemasaran mengenai kemampuan menghasilkan laba dan pangsa pasar yang dimiliki.

Strategi Pengurangan Biaya


Suatu organisasi yang menjalankan strategi pengurangan biaya, memiliki karakteristik yang nampak dalam aktivitas pengawasan pengeluaran yang ketat, minimalisasi biaya overhead serta pencapaian skala ekonomis. Fokus utama dalam pengukuran ini adalah bagaimana meningkatkan produktivitas. Kebijakan seperti ini seringkali diartikan sebagai suatu pembenahan (turn a round) sebagai hasil implementasi strategi pengurangan biaya, banyak perusahan memiliki struktur biaya yang lebih efisien.
Strategi pengurangan biaya melalui pengurangan jumlah pegawai seringkali diikuti oleh penuruan tingkat upah. Hasilnya beberapa perusahaan memperoleh kemampuan labanya pada tingkat yang diinginkan. Strategi pengurangan biaya dapat juga dilakukan melalui penggunaan yang lebih intensif para pekerja paruh waktu, subkontrak, penyederhanaan pekerjaan dan pengukuran prosedur, otomisasi, perubahan aturan kerja dan penugasan pekerjaan yang lebih fleksibel. Ada banyak metode  yang bila mungkin sangat berbeda, namun tujuannya adalah sama yaitu mengurangi biaya output perpegawai.  Perusahaan pada gilirannya akan meraih keunggulan bersaing dengan menghasilkan produsen barang atau jasa yang berharga paling murah (Schuler dan Jackson, 1987).
Organisasi yang menghadapi cost reduction strategy harus benar-benar teliti mengontrol dan meminimalkan biaya, serta bekerja keras untuk mencapai skala ekonomis. Perusahaan harus merekrut pekerja dari pasar eksternal, seleksi bagi pekerja difokuskan pada kemampuan untuk mulai bekerja dengan cepat dan meminimalkan biaya training. Job content telah ditentukan, pengembangan karir difokuskan pada spesialisasi, evaluasi kinerja ditekankan pada jangka panjang dan individual, pembayaran berdasarkan pada keadilan eksternal dengan pekerja lainnya dan bonus serta pemberian insentif dalam bentuk uang jarang dilakukan, rekruitmen pekerja lebih ditentukan pada kemajuan teknologikal dan kebutuhan organisasional maka jaminan pekerjaan (job security) rendah (Porter, 1986).
Penerapan strategi pengurangan biaya dalam perusahaan dilakukan dengan metode standar atau penyederhanaan kerja (Schuler dan Jackson, 1987). Metode ini merupakan kunci dari efisiensi dan peningkatan produktivitas. Penentua standar kerja sangat efektif, tidak hanya menghasilkan efisiensi dan penguruangan biaya yang berhasil, namun juga membuat para karyawan terikat dalam perilaku peran repetitif yang tinggi dan berjangka pendek yang melibatkan pengambilan risiko. Para spesialis mengidentifikasi cara terbaik untuk merampungkan pekerjaan maka partisipasi karyawan di dalam keputusan pekerjaan sangat diperlukan.
Pencapaian keunggulan bersaing dapat menggunakan strategi pengurangan biaya dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan SDM sehingga  memaksimalkan efesiensi melalui penyediaan alat-alat manajemen untuk mengawasi dan mengendalikan secara lenbih ketat berbagai kegiatan para pegawainya.  Hal ini berarti pelaksanaan pengelolaan SDM konsisten dengan kebutuhan dari  penerapan strategi pengurangan biaya yang difokuskan pada proses standarisasi, pengurangan kesalahan, dan meminimalkan efisiensi produk.

Strategi Inovasi


Strategi inovasi merupakan faktor yang penting, lazimnya menjadikan organisasi yang unik dan berbeda terhadap persaingan. Hal ini berarti keunikan yang dimiliki perusahaan pada sesuatu, dinilai sangat penting oleh konsumen. Inovasi akan memungkinkan perusahaan meraih prestasi unggul, jika penentuan keunikan (drivers of uniqueness) tersebut memiliki daya tahan (sustainability) yang tinggi ditunjukkan oleh tiadanya peniruan oleh para pesaing (rare of immintability).
Strategi inovasi menekankan pada pengembangan produk atau jasa yang mempunyai keunikan atau perbedaan dari para pesaing. Organisasi yang mengadopsi dengan perubahan pasar yang sangat cepat dan kemajuan teknologi. Strategi ini juga mensyaratkan bahwa pekerja harus kreatif, mampu dan dapat bekerja sama satu dengan lainnya, melaksanakan tujuan jangka panjang, mempunyai perhatian dan tanggung jawab  atas kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang diproduksi, dan dapat membatasi ambigius.
Kebijakan organisasional secara formal perlu dipertimbangkan agar dapat mendukung terciptanya kondisi inovasi. Perusahaan yang berhasil dengan baik adalah perusahaan yang memiliki komitmen untuk mendukung keputusan manajer puncak untuk melaksanakan suatu pengembangan usaha kreatif secara spontan. Secara keseluruhan suatu perusahaan yang melaksanakan strategi inovasi, profil peran perilaku karyawannya memiliki tingkat perilaku kreativitas yang tinggi serta tingkat pengembalian risiko yang tinggi pula.
Implikasi strategi inovasi dalam pengelolaan karyawan  (managing people), meliputi pemilihan individu yang memiliki keterampilan tinggi, pemberian lebih banyak ruang gerak atau keleluasaan kepada karyawan untuk bekerja, penggunaan sistem pengawasan yang minimal, pemberian porsi investasi yang lebih tinggi, penyediaan lebih banyak sumber eksperimentasi, dan penelitian kinerja untuk jangka panjang. Konsekuensi perusahaan yang melaksanakan strategi inovasi menghasilkan perasaan kontrol dan moral pribadi yang tinggi dan komitmen yang lebih besar kepada diri sendiri dan profesi, bukan hanya kepada organisasi yang mempekerjakannya. Hal ini berarti organisasi dan karyawan akan mendapatkan keuntungan tambahan dari keberhasilan penerapan strategi inovasi (Yuandt et al., 1996; Huang, 1999; dan Schuler dan Jackson, 1987).

Strategi Peningkatan Kualitas


Strategi peningkatan kualitas berfokus pada perbaikan proses produk dan pelayanan secara terus menerus dalam meningkatkan reliabilitas produk dan kepuasan pelanggan (Yound et al., 1996). Dalam konteks strategi seperti ini, penentuan keunggulan bersaing adalah modal intelektual organisasi. Keberhasilan  pelayanan yang baik lebih mentah daripada usaha fisik. Secara spesifik pekerjaan dalam lingkungan ini  diperlukan untuk membuat perubahan dari touch labour, di mana tanggung jawab  mereka hanya terbatas lebih luas terhadap aktivitas seperti perencanaan, trouble shooting, pemecahan masalah, jaminan kualitas, penjadwalan pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Perbaikan kualitas  melibatkan  banyak pegawai yang memiliki komitmen dalam kualitas dan sistem perbaikan berkelanjutan (continuous improvement). Apabila pernyataan kebijakan lebih menekankan pada pendekatan kualitas total (total quality approach), umumnya diikuti oleh pengelolaan SDM secara khusus yang memerlukan keterlibatan dan fleksibilitas karyawan yang tinggi. Dalam hal banyak karyawan diharapkan mempunyai perilaku prediktif dan tanggap secara terus-menerus dapat bekerja sama dengan pekerja lainnya, menekankan pada kualitas produk atau pelayanan dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap organisasional.
Dalam upaya memperoleh keunggulan kompetitif melalui strategi peningkatan kualitas maka kunci utama pengelolaan SDM adalah deskripsi pekerjaan yang relatif tetap dan dijabarkan secara eksplisit, tingkat partisipasi karyawan dalam keputusan yang relevan dengan kondisi kerja dan pekerjaan itu sendiri, bauran antara kriteria individu dan kelompok untuk penilaian kinerja haruslah berjangka pendek dan berorientasi hasil, keseragaman perlakuan terhadap karyawan dan jaminan keselamatan kerja karyawan, dan pelatihan pengembangan karyawan yang ekstensif dan berkesinambungan. Praktik-praktik ini memungkinkan peningkatan kualitas dengan membantu menyakinkan tujuan-tujuan yang sangat diandalkan dari individu yang dapat menentukan tujuan-tujuan organisasi, dan jika diperlukan akan bersifat luwes dan adaptif terhadap tugas-tugas baru dan kemajuan teknologi (Simamora, 2001).

Strategi Bersaing


Strategi tingkat  korporasi (corporate strategy) merupakan strategi perusahaan untuk mengidentifikasi fortofolio dari bisnis yang akan dimasuki perusahaan dan cara-cara di mana bisnis-bisnis ini akan berhubungan  satu dengan lainnya. Strategi bersaing atau tingkat bisnis yang merupakan level di bawah strategi korporasi bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana membangun dan memperkuat posisi bersaing jangka panjang dilingkungan pasar.  Setiap bisnis memiliki strategi fungsional (fungstional strategy) yang terdiri dari departemen-departemen seperti manufakturing, penjualan, dan manajemen SDM. Strategi fungsional  mengidentifikasi jalur dasar dari tindakan yang akan dikejar oleh masing-masing departemen binsis untuk membentuk bisnis dapat mencapai tujuan persaingan perusahaan.
Keunggulan bersaing didefinisikan  sebagai faktor yang memungkinkan organisasi mencapai keberhasilan organisasi melalui strategi bersaing atau tingkat bisnis. Porter (1985) menggambarkan strategi bersaing sebagai kontribusi antara tujuan akhir yang diperjuangkan perusahaan dengan alat (kebijakan) di mana perusahaan berusaha sampai ke sana. Dasar pemikiran mengenai strategi bersaing tercakup dalam perbedaan sasaran akhir. 
Porter (1985) mengemukakan bahwa tingkat terluas dari perumusan strategi bersaing harus mempertimbangkan dua faktor utama yang  menentukan batas-batas yang dapat dicapai dengan berhasil oleh perusahaan.  Faktor-faktor tersebut adalah kekuatan dan kelemahan perusahaan yang merupakan profil dari kekayaan dan keterampilannya yang relatif terhadap pesaing, meliputi sumber daya keuangan, posisi teknologi, identifikasi merek-merek lain, serta nilai-nilai pribadi dari organisasi yang merupakan motivasi dan kebutuhan para eksekutif kunci.
Kekuatan dan kelemahan yang dikombinasikan dengan nilai-nilai tersebut menentukan batas intern (bagi perusahaann) terhadap strategi bersaing yang dapat diterapkan perusahaan dengan berhasil. Batas-batas ekstern ditentukan oleh industri dan lingkungannya yang lebih luas. Peluang dan ancaman industri menentukan lingkungan persaingan dengan risiko serta imbalan potensial yang menyertainya. 

Schuler dan Jackson  (1987) mengemukakan bahwa  hal yang sangat penting bagi  pertumbuhan dan kesejahteraan perusahaan adalah kemampuannya meraih dan mempertahankan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah melalui inisiatif strategik. Inisiatif strategik adalah kemampuan melakukan pengendalian atas perilaku strategik di dalam industri di mana perusahaan mendapatkan inisiatif, pesaingnya akan memberikan tanggapan sehingga berorientasi memainkan peran reaktif dibandingkan proaktif. Perusahaan yang menggunakan keunggulan strategik akan mengendalikan tujuan mereka sendiri. Pada tingkat di mana perusahaan meraih keuntungan, sulit bagi pesaing untuk menggesernya. Perusahaan tersebut akan tetap memegang kendali lebih lama dan lebih efektif.
Strategi bersaing sebagai usaha yang digunakan perusahaan untuk bersaing di pasar dan meraih keunggulan kompetitif (Simamora, 2001). Strategi bersaing dapat berbeda dalam banyak cara termasuk tingkat di mana perusahaan menentukan peningkatan kualitas inovasi dan pengurangan  biaya. Tipe strategi yang berbeda pada umumnya membutuhkan jenis pengelolaan SDM yang berbeda. Manajer perlu memahami bahwa pengelolaan SDM mewakili suatu keunggulan kompetitif yang dapat mendongkrak keuntungan apabila dikelola secara bijaksana. 


Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM)


Kebijakan dan pengelolaan SDM nerupakan aktivitas-aktivitas atau kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi secara efektif untuk mencapai tujuan.  Dalam berbagai kajian teoritis telah dikembangkan tiga perspekstif teoritis tentang pengelolaan dan kebijakan pengelolaan SDM, yaitu perspektif fungsional struktural yang menyatakan bahwa pertumbuhan organisasi dan atau kebutuhan untuk mengerjakan aktivitas yang dilakukan seorang spesialis,  perspektif strategi kontijensi yang memandang pengelolaan SDM sebagai wujud relatif terhadap tekanan eksternal yang semakin kritis, dan dalam perspektif strategi pengelolaan SDM di mana aktivitas pengelolaan SDM di desain untuk mendukung tujuan strategis perusahaan yang bersangkutan secara integral.
Simamora (2001) menyatakan bahwa hal yang esensial dari pengelolaan SDM adalah menghasilkan pendayagunaan penuh SDM perusahaan sehingga karyawan bekerja secara efektif dalam mencapai tujuan perusahaan.  Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan SDM, yaitu penekanan  yang lebih dari biasanya pada pengintegrasian berbagai kebijakan SDM dengan perencanaan bisnis, tanggung jawab mengelola SDM tidak lagi terletak hanya pada manajer departemen fungsional semata tetapi sekarang dianggap terletak pada manajemen puncak, perubahan fokus dari hubungan serikat pekerja-manajemen menjadi hubungan manajemen-karyawan, dari kolektivitas menjadi individulisme, dan  terdapat eksentuasi pada komitmen dan melatih inisiatif di mana manajer berperan sebagai penggerak dan fasilitator.
Perubahan organisasi  ke arah datar, ramping dan tanggap, serta tuntutan memiliki karyawan yang sangat terlatih dan berkemampuan tinggi mendorong manajer untuk  melakukan perubahan dalam aktivitas dan kebijakan pengelolaan SDM ke arah strategik.  Beeker dan Gerhat (1996) mengemukakan bahwa perkembangan manajemen SDM sekarang meliputi proses refocusing fungsi pengelolaan SDM yaitu fungsi administrasi personalia tradisional berubah menjadi manajemen kontemporer. Proses refocusing tersebut seperti pergeseran orientasi kerja dimana pada administrasi personalia tradisonal menekankan pada orientasi  administrasi (personal issue) sedangkan pengelolaan SDM kontemporer lebih berorientasi strategik yang menekankan pada people related business issues dan orientasi pengembangan.
Peran pengelolaan SDM strategik mampu menghasilkan daya saing organisasi yang tinggi. Ulrich (1997) mengemukakan bahwa pelaku peran pengelolaan SDM bukanlah peran tunggal yang fokusnya operasional dan jangka pendek melainkan peran  yang jamak yaitu fokusnya strategik jangka panjang. Perkembangan tersebut memungkinkan pengelolaan SDM bukanlagi pada proses melainkan pada SDM-nya.  Perubahan peran pengelolaan SDM digunakan untuk membangun organisasi yang kokoh di dalam menghadapi persaingan. Peran pengelolaan SDM dalam meningkatkan daya saing organisasi dapat digambarkan sebagai berikut:
Merujuk pada penelitian Delaney dan Huselid (1996), mendefinsikan pengelolaan SDM menjadi  tujuh dimensi sebagai berikut:
1.       Dimensi keefektivan penempatan (staffing selectivity) merupakan proses selektif dalam penempatan karyawan yang akan memotivasi karyawan untuk bekerja lebih baik. Seleksi penempatan diperuntukkan bagi seluruh karyawan dalam setiap posisi atau perkerjaan yang ada dalam perusahaan. Kesempatan untuk dipekerjakan secara luas tercermin dari jumlah pelamar yang ada untuk setiap posisi pekerjaan dalam perusahaan yang secara formal ada selama dua tahun terakhir. Posisi yang dimaksud adalah posisi manajerial, posisi penyeliaan, dan posisi  karyawan operasional.
2.       Dimensi keefektivan pelatihan (training effectiveness) berperan membentuk keterampilan tenaga kerja. Organisasi dapat melakukan pelatihan yang efektif jika memang memiliki program pelatihan yang memadai dan dilakukan terhadap setiap proses pelatihan yang telah dilakukan secara formal selama dua tahun terakhir.
3.       Dimensi kompensasi insnetif (incentive compensation) merupakan salah satu faktor dari motivasi yang dapat mempengaruihi kinerja karyawan sehingga akan mempengaruhi kinerja organisasional (Ulrich et al. 1991). Sistem kompensasi yang baik dan adil merupakan pendorong utama motivasi karyawan.
4.       Dimensi prosedur penyelesaian perselisihan (grievance procedure) di organisasi akan memberikan rasa tenang, aman dan adil bagi semua pihak dalam bekerja apalagi dilakukan secara terbuka dan adil bagi semua pihak.
5.       Dimensi  pengambilan keputusan terdesentralisasi (decentralized decision making) akan membentuk struktur pekerjaan dan kerja yang mampu meningkatkan hasil kerja perusahaan dengan memberikan peluang bagi karyawan yang memiliki keahlian dan memiliki motivasi tinggi untuk keterlibatan diri dalam menentukan metode dan cara menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga mendorong kinerja  organisasi ke arah lebih baik.
6.       Dimensi pasar tenaga kerja internal (internal labour market) merupakan kebijakan dalam organisasi melakukan promosi. Kesempatan  yang sama dalam memperoleh promosi dapat memberikan rasa aman atas pekerjaan yang dimilikinya dengan demikian karyawan dapat bekerja dengan baik sehingga mempengaruhi kinerja organisasional.
7.       Dimensi hirarki vertikal (vertical hierarchy) merupakan suatu tingkatan dalam  organisasi yang memberikan peluang kenaikan jabatan bagi seluruh karyawan. Hal ini dapat memberikan rasa aman terhadap pekerjaan.
Pelaksanaan pengelolaan SDM dalam suatu organisasi harus di desain untuk dapat mengarah pada tujuan-tujuan organisasi seperti tingkat produktivitas, kualitas dan inovasi yang tinggi, serta rendahnya tingkat absensi, turnover karyawan konflik dan kompleksitas pelanggan, proses pendesainan dan kebijakan serta praktik secara internal yang  konsisiten dan mampu memastikan bahwa SDM yang dimiliki dapat memberikan sumbangan bagi pencapain kinerja perusahaan (Jackson dan Schuler, 1995).