A. Tinjauan Tentang Akuntansi Pemerintahan
1. Pengertian Akuntansi
Pemerintahan
Pada hakekatnya akuntansi pemerintahan adalah aplikasi
akuntansi di bidang keuangan Negara (public
finance), khususnya pada tahapan pelaksanaan anggaran (budget execution),
termasuk segala pengaruh yang ditimbulkannya, baik yang bersifat seketika
maupun yang lebih permanen pada semua tingkatan dan unit pemerintahan. (Kustadi Arinta )
Menurut Revrisond Baswir
(2000:7), Akuntansi Pemerintahan (termasuk akuntansi untuk lembaga non profit
pada umumnya) merupakan bidang akuntansi yang berkaitan dengan lembaga
pemerintahan dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk tidak mencari laba.
Walaupun lembaga pemerintah senantiasa berukuran besar, namun sebagaimana dalam
perusahaan ia tergolong sebagai lembaga mikro.
Bachtiar Arif dkk
(2002:3) mendefinisikan akuntansi pemerintahan sebagai suatu aktivitas
pemberian jasa untuk menyediakan informasi keuangan pemerintah berdasarkan
proses pencatatan, pengklaifikasian, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan
pemerintah serta penafsiran atas informasi keuangan tersebut.
Sedangkan menurut Abdul
Halim (2002:143) menyebutkan bahwa Akuntansi Pemerintahan adalah sebuah
kegiatan jasa dalam rangka menyediakan informasi kuantitatif terutama yang
bersifat keuangan dari entitas pemerintah guna pengambilan keputusan ekonomi
yang nalar dari pihak-pihak yang berkepentingan atas berbagai alternatif arah
tindakan.
2.
Tujuan Akuntansi Pemerintahan
Menurut Bachtiar arif,
Muchlis, Iskandar dalam Akuntansi Pemerintahan, tujuan akuntansi pemerintahan
dan akuntansi bisnis pada umumnya adalah sama yaitu :
a. Akuntabilitas
b.
Manajerial
Akuntansi pemerintahan memungkinkan pemerintah untuk melakukan
perencanaan berupa penyusunan APBN dan strategi pembangunan lain, untuk
melakukan pelaksanaan kegiatan pembangunan dan pengendalian atas kegiatan
tersebut dalam rangka pencapaian ketaatan kepada peraturan perundang-undangan,
efisiensi, efektivitas, dan ekonomis.
c.
Pengawasan
Pemeriksaan
keuangan di Indonesia terdiri dari
pemeriksaan keuangan secara umum, pemeriksaan ketaatan , dan pemeriksaan
operasional atau manajerial.
3.
Karakteristik Akuntansi Pemerintahan
Akuntansi Pemerintahan
memiliki karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan akuntansi bisnis. Berdasarkan tujuan pemerintah diatas, Bachtiar Arif, Muclis, Iskandar
(2002:7) menyebutkan beberapa karaktristik akuntansi pemerintahan yaitu sebagai
berikut:
a.
Pemerintah tidak berorientasi pada laba sehingga dalam
akuntansi pemerintah tidak ada laporan laba (income statement) dan treatment
akuntansi yang berkaitan dengannya.
b.
Pemerintah membukukan anggaran ketika anggaran tersebut
dibukukan.
c.
Dalam akuntansi pemerintahan dimungkinkan mempergunakan
lebih dari satu jenis dana.
d.
Akuntansi pemerintahan akan membukukan pengeluaran modal.
e.
Akuntansi pemerintahanan bersifat kaku karena sangat
bergantung pada peraturan perundang-undangan.
f.
Akuntansi pemerintahan tidak mengenal perkiraan modal dan
laba yang ditahan dalam neraca.
4.
Syarat Akuntansi Pemerintahan
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintahan sesuai dengan
karakteristik dan betujuan untuk memenuhi akuntabilitas keuangan negara yang
memadai. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan suatu pedoman untuk
akuntansi pemerintahan (A Manual Governmental Accounting) yang dapat diringkas
sebagai berikut (dalam Bahctiar
Arif dkk, 2002:9):
a.
Dapat memenuhi persyaratan UUD, UU, dan Peraturan lain.
Akuntansi pemerintahan dirancang
untuk persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh UUD, UU, dan Peraturan lain. Apabila terdapat dua pilihan yaitu untuk
kepentingan efisiensi dan ekonomis di satu sisi, sedangkan disisi lain hal
tersebut bertentangan dengan UUD, UU atau Peraturan lainnya, maka akuntansi
tersebut harus disesuaikan dengan UUD, UU dan Peraturan lainnya.
b.
Dikaitkan dengan klasifikasi anggaran
Sistem Akuntansi Pemerintah harus
dikembangkan sesuai dengan klasifikasi anggaran yang telah disetujui pemerintah
dan lembaga legislatif. Fungsi anggaran dan akuntansi harus saling melengkapi
di dalam pengelolaan keuangan negara serta harus diintegrasikan.
c.
Perkiraan-perkiraan yang harus diselenggarakan
Sistem Akuntansi Pemerintah harus
mengembangkan perkiraan-perkiraan untuk mencatat transaksi uang terjadi.
Perkiraan-perkiraan yang dibuat harus dapat menunjukkan akuntabilitas keuangan
negara yang andal dari sisi obyek dan tujuan pengguanaan dana serta pejabat atau
organisasi yang mengelolanya.
d.
Memudahkan pemeriksaan oleh aparatur negara
Sistem akuntansi pemerintah yang
dikembangkan harus memungkinkan aparat pemeriksaan untuk melakukan tugasnya.
e.
Sistem akuntansi harus terus dikembangkan
Dengan adanya perubahan lingkungan
dan sifat transaksi, sistem akuntansi pemerintahan harus terus disesuaikan dan
dikembangkan sehingga tercapai
efisiensi, efektivitas dan relevansi.
f.
Perkiraan-perkiraan yang harus dikembangkan secara
efektif
Sistem akuntansi pemerintahan
harus mengembangkan perkiraan-perkiraan secara efektif sehubungan dengan sifat
dan perubahan lingkungan sehingga dapat mengungkapkan hasil ekonomi dan
keuangan dari pelaksanaan suatu program.
g.
Sistem harus dapat melayani kebutuhan dasar informasi
keuangan guna pengembangan rencana dan program.
Sistem akuntansi pemerintahan
harus dikembangkan untuk para pengguna informasi keuangan, yaitu pemerintah,
rakyat (lembaga legislatif), lembaga dodnor, Bank Dunia, dan lain sebagainya.
h.
Pengadaan suatu perkiraan
Perkiraan-perkiraan yang dibuat
harus memungkinkan analisis ekonomi atas data keuangan dan mereklasifikasi
transaksi-transaksi pemerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka
pengembangan perkiraan-perkiraan nasional.
B. Otonomi Daerah
1.
Pengertian Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang No.
32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Sesuai dengan penjelasan
Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan
kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.
a.
Kewenangan Otonomi Luas
Yang
dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal
agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
b. Otonomi Nyata
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh
hidup dan berkembang di daerah.
c.
Otonomi Yang Bertanggung
Jawab
Otonomi yang bertanggung jawab adalah
berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa
peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang
sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9
tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah
yaitu :
1)
Desentralisasi yaitu
penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia .
2)
Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu
3)
Tugas perbantuan
adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain
dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada
yang menugaskan.
2.
Daerah Otonom
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6
menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan
masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Profesor
Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah
bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri
yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan.
Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
3.
Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
a.
Hakekat Otonomi Daerah
Pelaksanaan
otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan
kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah
tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan
kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan
daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan
daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan
keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah
yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik
penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang
penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
b.
Tujuan Otonomi Daerah
Menurut
Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan
pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama
pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:
a.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan
kesejahteraan masyarakat.
b.
Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber
daya daerah.
c.
Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat
(publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Selanjutnya
tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada
dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan
prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan
bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang
untuk koordinasi tingkat lokal.
c.
Prinsip Otonomi Daerah
Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah adalah :
1)
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.
2)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.
3)
pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan
pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang
terbatas.
4)
Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara
sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
5)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi.
Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.
6)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif,
fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi
daerah.
7)
Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi
dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8)
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak
hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan,
sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan
pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.
C.
Tinjauan Keuangan Daerah
1.
Kemampuan Keuangan Daerah
Kriteria penting yang
lain untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus
rumah tangganya adalah kemampuan daerah dalam bidang keuangan. Dengan perkataan
lain, faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengatur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Dalam Peraturan
Pemerintah No. 105 tahun 2000, menyebutkan bahwa keuangan daerah adalah semua
hak dan kewjiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang
dapat dinilai dengan uang temasuk didalamnya segala bentuk kekayaan lain yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD.
Sehubungan dengan
pentingnya posisi keuangan tersebut, keuangan daerah sebagai salah satu
indikator untuk mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Dengan dikeluarkannya undang-undang tentang Otonomi Daerah,
membawa konsekuensi bagi daerah yang akan menimbulkan perbedaan antar daerah
yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam hal kemampuan keuangan daerah,
antara lain (Nataluddin, 2001:167):
a.
Daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah.
b.
Daerah yang mendekati mampu melaksanakan otonomi daerah.
c.
Daerah yang sedikit mampu melaksanakan otonomi daerah dan
d.
Daerah yang kurang mampu melaksanakan urusan otonomi
daerah
Selain itu ciri utama
yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai
berikut (Nataluddin, 2001:167):
a.
Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahannya.
b.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal
mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah,
sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.
Berkaitan dengan hakekat
otonomi daerah yaitu berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan
kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam
penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, maka peranan data keuangan
daerah sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah
serta jenis dan besar balanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan
dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang
memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik
penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang
penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah
untuk melihat kemampuan / kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)
Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan
daerah harus dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan
keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Hersey dan Kenneth
Blanchard memperkenalkan “Hubungan Situasional” dalam pelaksanaan otonomi daerah
(dalam Nataluddin, 2001:168-169) :
a.
Pola Hubungan Instruktif, peranan pemerintah puasat lebih
dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu
melaksanakan otonomi daerah)
b.
Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat
sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan
otonomi.
c.
Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat
semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya
mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi.
d.
Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat
sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah.
Bertolak dari teori
tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian
antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan
daerah (dari sisi keuangan) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :
Tabel II.I
Pola Hubungan Tingkat
Kemampuan Daerah
|
Kemandirian (%)
|
Pola hubungan
|
Rendah sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
|
0%-25%
25%-50%
50%-75%
75%-100%
|
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
|
Sumber
: Abdul Halim (2002:169)
2.
Pengelolaan Penerimaan Daerah
Menurut UU No. 32 tahun
2004 pasal 157 dan UU No. 33 tahun 2004 pasal 6, serta PP No. 105 tahun 2000
dan PP No 64 tahun 2000, sumber-sumber penerimaan dapat diperinci sebagai
berikut:
a.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber keuangan yang digali dari dalam wilayah
yang bersangkutan. Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari :
1)
Pajak Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 65
tahun 2001 tentang pajak daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah yang
selanjutnya disebut dengan pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang
pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang
dapat dilaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.
2)
Retribusi Daerah, menurut Peraturan Pemerintah No. 66
tahun 2001 tentang retribusi daerah, yang dimaksud dengan retribisi daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian ijin tertentu
yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
3)
Hasil Perusahaan Milik Daerah, merupakan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Jenis penerimaan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden dan penjualan saham
milik daerah.
4)
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain
hasil penjualan asset negara dan jasa giro.
b.
Dana Perimbangan
Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan tersebut
saling mengisisi dan melengkapi. Adapun pos-pos dana perimbangan tersebut
terdiri dari :
1)
Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari Sumber Daya Alam
seperti : kehutanan, perikanan, pertambangan, minyak dan gas.
2)
Dana
Alokasi Umum
Dana
Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. (UU No. 33 pasal 1 ayat 2)
3)
Dana
Alokasi Khusus
Langkah-langkah yang dapat
dilaksanakan agar pendapatan daerah dapat ditingkatkan antara lain sebagai
berikut (dalam Nirzawan, 2001:75):
a. Intensifikasi, dilaksanakan antara lain dengan cara sebagai berikut :
1) Melaksanakan tertib penetapan pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak, tertib dalam pemungutan kepada wajib pajak, tertib dalam
administrasi serta tertib dalam administrasi serta tertib dalam penyetoran.
2) Melaksanakan secara optimal pemungutan pajak dan
retribusi daerah sesuai dengan potensi yang obyektif berdasarkan peraturan yang
berlaku.
3) Melakukan pengawasan dan pengendalian secara
sistematis dan kontinyu (berkelanjutan) untuk mengantisipasi terjadinya
penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan di lapangan oleh petugas.
4) Membentuk tim satuan tugas (satgas) pada dinas
terkait yng bertugas mengawasi pemungutan di lapangan oleh petugas.
5) Memberikan insentif (rangsangan)secara khusus kepada
aparat pengelola PAD yang dapat melampui penerimaan dari target yang telah
ditetapkan.
6) Mengadakan pendekatan persuasif kepada wajib pajak
agar memenuhi kewajibannya melalui kegiatan penyuluhan.
7) Melakukan langkah-langkah pengendalian lain guna
menghindari timbulnya penyimpangan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
mengenai pengelolaan maupun penetapan pajak dan retribusi daerah.
b. Ekstensifikasi, dilaksanakan dengan cara antara lain sebagai berikut:
1) Menyusun program kebijakan dan strategi pengembangan
dan menggali obyek pungutan baru yang potensial dengan lebih memprioritaskan
kepada retribusi daerah untuk ditetapkan dan dijabarkan dalam peraturan daerah.
2) Meninjau kembali ketentuan tarif dan pengembangan
sasaran sesuai dengan peraturan daerah yang ada dan mengkaji ulang peraturan
daerah untuk diajukan perubahan.
3) Mengadakan studi banding ke daerah lain guna mendapat
informasi terhadap jenis-jenis penerimaan pajak dan retribusi lain yang
memungkinkan untuk dikembangkan.
3. Pengelolaan Pengeluaran Daerah
Dalam Peraturan pemerintah No. 105 tahun 2000,
menyebutkan bahwa Pengeluaran Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
periode tahun anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin
(operasional), belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak
disangka.
a. Belanja Rutin
Belanja rutin adalah pengeluaran yang
manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan menambah asset / kekayaan bagi
daerah. Belanja rutin terdiri dari :
1) Belanja administrasi dan umum :
·
Belanja pegawai
·
Belanja barang
·
Belanja perjalanan dinas
·
Belanja pemeliharaan
2) Belanja operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana
b. Belanja Investivasi / Pembangunan
Belanja investasi adalah pengeluaran
yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah asset
/ kekayaan daerah, dan selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya
rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya. Belanja investasi terdiri
dari :
1)
Belanja publik. Belanja yang
manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Belanja publik
merupakan belanja modal (capital expenditure) yang berupa investasi fisik
(pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun
dan mengakibatkan terjadinya penambahan asset daerah.
2)
Balanja aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak
secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung
oleh aparatur. Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap
dan aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan
manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
3)
Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari
pemerintah daerah dengan kriteria :
· Tidak menerima secara
langsung imbalan barang dan jasa seperti layaknya terjadi transaksi pembelian
dan penjualan.
· Tidak mengharapkan
dibayar kembali dimasa yang akan datang, seperti yang diharapkan pada suatu
pinjaman.
· Tidak mengharapkan adanya
hasil pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
Pengeluaran transfer ini terdiri dari atas : angsuran pinjaman, dana bantuan
dana cadangan.
c.
Pengeluaran Tidak
Tersangka
Pengeluaran
tidak tersangka adalah yang disediakan untuk pembiayaan :
1)
Kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam,
kejadian yang dapat membahayakan daerah.
2)
Tagihan tahun lalu yang belum diselesaikan dan atau tidak
tersedia anggarannya pada tahun yang bersangkutan.
3)
Pengambilan penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang
dibebaskan (dibatalkan) dan atau kelebihan penerimaan.
Pengeluaran daerah
tersebut harus dikelola dengan memperhatikan beberapa prinsip yang harus
dipertimbangkan antara lain (Nirzawan,2001:77):
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas pengeluaran daerah adalah kewajiban pemerinta daerah untuk
memberikan pertanggung jawaban, menyajikan dan melaporkan segala aktivitas dan
kegiatan yang terkait dengan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki
hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban tersebut (DPRD dan masyarakat luas). Aspek penting
yang harus dipertimbangkan oleh para manajer daerah adalah :
1) Aspek legalitas pengeluaran daerah yaitu setiap
transaksi pengeluaran yang dilakukan harus dapat dilacak otoritas legalnya.
2) Pengelolaan (stewardship) atas pengeluaran daerah yang
baik, perlindungan asset fisik dan financial, mencegah terjadinya pemborosan
dan salah urus.
Prinsip-prinsip
akuntabilitas pengeluaran daerah :
1)
Adanya sistem akuntansi dan sistem anggaran yang dapat
menjamin bahwa pengeluaran daerah dilakukan secara konsistensi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat menunjukkan
tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
3)
Pengeluaran daerah yang dilakukan dapat berorientasi pada
pencapaian visi, misi, hasil dan manfaat yang akan diperoleh.
b. Value of Money
Pengeluaran daerah harus mendasarkan
konsep value of money, yaitu :
1) Ekonomi, adalah hubungan antara pasar (nilai uang) dan
masukan (input). Ekonomi adalah pembelian barang dan jasa pada kualitas yang
diinginkan dan pada harga terbaik yang memungkinkan. Pengertian ekonomi
sebaiknya mencakup juga pengeluaran daerah yang berhati-hati atau cermat dan
penggunaan keuangan daerah secara optimal tanpa pemborosan (tepat guna). Suatu
kegiatan operasional dikatakan ekonomis apabila dapat menghilangkan atau
mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. Dengan demikian pada hakekatnya ada
pengertian yang serupa antara efisiensi dan ekonomi, karena kedua-keduanya
menghendaki penghapusan dan penurunan biaya.
2) Efisiensi, berhubungan erat dengan konsep efektivitas,
yaitu rasio yang membandingkan antara output yang dihasilkan terhadap input
yang digunakan. Proses kegiatan operasional dapat dikatakan dilakukan secara
efisiensi apabila suatu target kinerja tertentu dapat dicapai dengan
menggunakan sumber daya dan biaya yang serendah-rendahnya.
3) Efektivitas, merupakan kaitan atau hubungan antara
keluaran suatu pusat pertanggung jawaban dengan tujuan atau sasaran yang harus
dicapainya. Efektivitas dalam Pemerintah
Daerah dapat diartikan
penyelesaian kegiatan tepat pada waktunya dan didalam batas anggaran yang
tersedia, dapat berarti pula mencapai tujuan dan sasaran seperti apa yang telah
direncanakan. Namun demikian, walaupun ada yang dilaksanakan menyimpang dari
rencana semula, tetapi mempunyai dampak yang menguntungkan pada kelompok
penerima sasaran manfaat, maka dapat dikatakan efektif. Semakin besar
kontribusi pengeluaran yang dilakukan terhadap nilai pencapaian tujuan atau
sasaran yang ditentukan dapat dikatakan efektif proses kerja dari unit kerja
dimaksud.
D.
Anggaran Pendapatan
Dan Belanja Daerah
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah berlaku untuk daerah-daerah tingkat I dan II. Pembentukan dan pengelolaannya disesuaikan dengan tata cara yang berlaku pada pemerintahan pusat.
Pendapatan
Daerah tingkat I antara lain terdiri dari pajak daerah tingkat I (pajak izin
penangkapan ikan , pajak sekolah), pajak pusat diserahkan kepada daerah tingkat
I, antara lain : Pajak Rumah Tangga, Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, opsen (opsen atas Pajak Kekayaan, opsen atas cukai bensin),
retribusi (antara lain Retribusi izin pengambilan pasir, batu, kerikil, kapur,
gamping, batu karang), subsidi daerah otonomi. Daerah tingkat II mendapatkan
penghasilan dari berbagai pajak daerah (antara lain Pajak Tontonan, pajak
reklame, pajak anjing dan lain-lain), pajak pusat (antara lain pajak radio, pajak bangsa asing, pajak
pembangunan I dan sebagainya), sumbangan daerah otonom, Ipeda. Belanjanya adalah sesuai dengan ruang lingkup kegiatan
yang menjadi tugas di daerahnya.
Dalam UU No 33 pasal 1 ayat 17,
menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang
dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. APBD merupakan rencana keuangan tahunan daerah, dimana
disatu sisi menggambarkan anggaran pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan
dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran dan disisi lain
menggambarkan penerimaan daerah guna membiayai pengeluaran yang telah
dianggarkan.
APBD merupakan dokumen anggaran
tahunan, maka seluruh rencana penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah yang
akan dilaksanakan pada satu tahun anggaran dicatat dalam APBD. Dengan demikian
APBD dapat menjadi cerminan kinerja dan kemampuan Pemerintah Daerah
dalam membiayai dan mengelola penyelenggaraan pemerintah dan pelaksanaan
pembangunan di daerah masing-masing pada satu tahun anggaran.
(Kiflimansyah,2001: 319)
Anggaran daerah pada hakekatnya
merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan
otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka
APBD harus benar-benar dapat mencerminkan kebutuhan masyarakat dengan
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Atas dasar tersebut,
penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma-norma
dan prinsip anggaran sebagai berikut (Nirzawan, 2001:79) :
a. Transparansi dan
Akuntabilitas Anggaran
Transparansi tentang
anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan untuk mewujudkan pemerintahan
yang baik, bersih dan bertanggungjawab. Mengingat anggaran daerah merupakan
salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah
mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang
jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari
suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Selain itu setiap dana yang
diperoleh, penggunaannya harus dapat dipertanggung jawabkan.
b. Disiplin Anggaran
Anggaran yang disusun
harus dilakukan berlandaskan azas efisiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat
dipertanggung jawabkan. Pemilihan antara belanja yang bersifat rutin dengan
belanja yang bersifat pembangunan / modal harus diklasifikasikan secara jelas
agar tidak terjadi pencampuradukan kedua sifat anggaran yang dapat menimbulkan
pemborosan dan kebocoran dana. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan,
sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos / pasal merupakan batas
tertinggi pengeluaran belanja.
c.
Keadilan Anggaran
Pembiayaan pemerintah
dapat dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap
lapisan masyarakat, untuk itu pemeintah daerah wajib mengalokasikan
penggunannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
d. Efisiensi dan Efektivitas
Anggaran
Dana yang tersedia harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Oleh
karena itu untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektivitas
anggaran, maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran,
hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau
proyek yang diprogramkan.
e.
Format Anggaraan
Pada dasarnya APBD
disusun berdasarkan format anggaran defisit (defisit budget format). Selisih
antara pendapatan dan belanja mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit
anggaran. Apabila terjadi surplus, daerah dapat membentuk dana cadangan,
sedangkan bila terjadi defisit, dapat ditutupi melalui sumber pembiayaan
pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) disusun dengan pendekatan kinerja dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah paling lambat 1 (satu) bulan setelah APBN
ditetapkan, demikian juga halnya dengan perubahan APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya tahun
anggaran. Sedangkan perhitungan APBD ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. APBD yang disusun dengan
pendekatan kinerja tersebut memuat hal-hal sebagai berikut (Nirzawan, 2001:81)
:
1)
Sasaran yang ditetapkan menurut fungsi belanja.
2)
Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya
satuan komponen kegiatan yang bersangkutan.
3)
Bagian pendapatan APBD yang membiayai belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal /
pembangunan.
E.
Analisis Rasio Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Analisis
keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan
keuangan yang tersedia. Dalam mengadakan analisis keuangan memerlukan ukuran
tertentu. Ukuran yang sering digunakan adalah rasio. Erich Helfert (2000,49)
mengartikan rasio adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan suatu unsur
dengan unsur lainnya dalam laporan keuangan sedangkan Slamet Munawir (1995:64)
menjelaskan rasio sebagai hubungan atau perimbangan antara satu jumlah tertentu
dengan jumlah yang lain.
Penggunaan
analisa rasio pada sektor publik khususunya terhadap APBD belum banyak
dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai
nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan
keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan
akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah
perakuntasian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki
perusahaan swasta.
Analisis
rasio pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu
periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui
bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan
cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah
tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi
daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio keuangan Pemerintah
Daerah tersebut terhadap Pemerintah Daerah lainnya. Adapun pihak-pihaknya yang
berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah (widodo, 2001: 261):
1.
DPRD sebagai wakil dari pemilik daerah (masyarakat).
2.
Pemerintah eksekutif sebagai landasan dalam menyusun APBD
berikutnya.
3. Pemerintah pusat /
provinsi sebagai bahan masukan dalam pembinaan pelaksanaan pengelolaan keuangan
daerah.
4. Masyarakat dan kreditur,
sebagai pihak yang akan turut memiliki saham pemerintah daerah, bersedia
memberi pinjaman ataupun membeli obligasi.
Beberapa rasio yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan data keuangan yang bersumber dari APBD diukur dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
1.
Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
Rumus yang
digunakan adalah:

Rasio kemandirian menggambarkan
ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung arti bahwa
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan
demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio
kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan
retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin
tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa
timgkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi.
2.
Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal
adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli
daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal, khususnya
komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penelitian Tim Fisipol UGM
menggunakan skala interval sebagaimana terlihat dalam tabel III.I adalah
sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22):
Tabel 11.2
Skala Interval Derajat Desentralisasi
Fiskal
%
|
|
0,00-10,00
|
|
10,01-20,00
|
Kurang
|
20,01-30,00
|
Cukup
|
30,01-40,00
|
Sedang
|
40,01-50,00
|
Baik
|
>50,00
|
Sangat baik
|
Sumber : Anita Wulandari
(2001: 22)
Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
DDF :
x 100 %

Keteragan :
DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal
PADt: Total PAD tahun t
TPDt : Total Penerimaan Daerah Tahun t
3.
Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Indeks Kemampuan Rutin yaitu :
Proporsi antara PAD dengan pengeluaran rutin tanpa transfer dari pemerintah
pusat (kuncoro,1997). Sedangkan dalam menilai Indeks Kemampuan Rutin daerah
(IKR) dengan menggunakan skala menurut Tumilar (1997:15) sebagaimana yang
terlihat dalam table III, 2 sebagai berikut (Anita W, 2001 : 22)
Tabel
11.3
Skala Interval Indeks
Kemampuan Rutin
%
|
|
0,00-20,00
|
|
20,01-40,00
|
Kurang
|
40,01-60,00
|
Cukup
|
60,01-80,00
|
Baik
|
80,01-100
|
Sangat baik
|
Rumus :
IKR : 

Keterangan :
IKR : Indeks Kemampuan Rutin
PAD
: Pendapatan
Asli Daerah
4.
Rasio Keserasian
Keserasian ini menggambarkan
bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin
dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi presentase dana yang
dialokasikan untuk belanja rutin berarti presentase belanja pembangunan yang
digunakan untuk menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung
semakin kecil. Secara sederhana rasio keserasian ini dapat diformulasikan
sebagai berikut (Widodo, 2001 : 262) :


5.
Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan menggambarkan seberapa besar
kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan
yang dicapai dari periode ke periode lainnya. Pertumbuhan APBD dilihat dari
berbagai komponen penyusun APBD yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, total
pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan (Widodo, 2001 : 270):
Rumus
yang digunakan adalah :
r :


Keterangan :
Pn :
Data yang dihitung pada tahun ke-n
r :
Pertumbuhan
Apabila semakin tinggi nilai
PAD, TPD dan Belanja Pembangunan yang diikuti oleh semakin rendahnya Belanja
Rutin, maka pertumbuhannya adalah positif.
Artinya bahwa daerah yang bersangkutan telah mampu mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhannya dari periode satu ke periode yang berikutnya.
Selanjutnya jika semakin tinggi nilai PAD, TPD, dan Belanja Rutin yang diikuti
oleh semakin rendahnya Belanja Pembangunan, maka pertumbuhannya adalah negatif.
Artinya bahwa daerah yang bersangkutan belum mampu mempertahankan dan
meningkatkan pertumbuhannya dari periode yang satu ke periode yang berikutnya.
F.
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Anita. W (2001 ), melakukan penelitian tentang
Kemampuan Keuangan Daerah di kota Jambi dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, kota Jambi
dihadapkan pada kendala rendahnya kemampuan keuangan daerah, yang dilihat dari
rendahnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah.
Widodo
(2001), melakukan penelitian tentang Analisis Rasio Keuangan APBD kabupaten
Boyolali. Hasilnya menunjukkan bahwa kemandirian pemerintah daerah Boyolali
dalam memenuhi kebutuhan dana untuk penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial kemasyarakatan masih relatif rendah dan
cenderung turun.
G.
Hipotesis
H 0 = Tidak terdapat perkembangan kemampuan
keuangan daerah di Kabupaten Sukoharjo dalam rangka mendukung otonomi daerah