2.1
Pengertian kegagalan pasar secara
sederhana identik dengan kegagalan pasar dalam mencapai efisiensi alokasi
sumber daya pada masyarakat. Namun pengertian ini tidak mutlak, tergantung
dengan tujuan bagaimana suatu sistem yang diterapkan.
Sebagaimana Jepang mengartikan kegagalan pasar sebagai kondisi dimana mekanisme
pasar tidak mampu mencapai tujuan yang ditetapkan pemerintah, sehingga pasar
menjadi tidak memadai dalam penyediaan infrastruktur dasar, pemenuhan kebutuhan
dasar, dan pengiriman layanan penting bagi masyarakat.
Teori tradisional kegagalan pasar
menggambarkan kegagalan pasar sebagai kondisi dimana terjadi kerugian atau
kehilangan alokasi atau efisiensi. Hasil dari pasar tidak optimal atau kurang
efisien sehingga menyebabkan eksternalitas. Stiglitz (1997a. p. 64) mencatat
adanya tiga tipe pasar yang tidak efisien, yaitu: (1) product mix inefficiency, dimana pasar memproduksi sangat banyak satu barang dan sedikit barang yang lain, (2) exchange inefficiency, dimana beberapa barang yang diproduksi di pasar
tidak mampu mencapai keinginan dari individu,
dan (3) production inefficiency,
ketika produksi suatu barang menjauhi dari batas kemungkinan produksi.
10
Gambar 2.1
Inefisiensi Alokasi
Sumber Daya Sebagai Wujud Kegagalan Pasar
Gambar di atas menunjukkan salah satu
inefisiensi alokasi sumber daya akibat perilaku monopolis di pasar monopoli.
Keberadaan monopoli mendistorsi alokasi sumber daya. Monopoli secara sengaja
membatasi produksi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan keuntungan. Dari
grafik tersebut dapat dilihat, bahwa monopoli memproduksi barang jauh lebih
kecil seperti yang terjadi pada pasar persaingan sempurna yaitu sebesar Q**.
Selisih (Q**- Q*) mencerminkan ketidak efisienan atau munculnya deadweight loss, yaitu hilangnya bagian
surplus konsumen.
Selisih antara harga dan biaya marginal menunjukkan bahwa
pada tingkat output yang memaksimalkan keuntungan, konsumen mau untuk membayar lebih mahal untuk unit tambahan dari pada biaya untuk memproduksi output tersebut.
Dewasa ini boleh dikatakan tidak ada satu
negarapun yang aktivitas ekonominya bebas dari campur tangan pemerintah.
Kecenderungan tersebut juga terjadi
di negara yang perekonomiannya
paling liberal atau kapitalis sekalipun. Bila dilihat sejarah ke belakang hal
ini merupakan siklus yang terus berputar, pada masa Merkantilisme dimana peran pemerintah cukup dominan dalam
perekonomian mengalami kegagalan yang ditandai dengan lahirnya teori Klasik
Adam Smith. Kemudian diganti dengan peran swasta yang begitu dominan dalam perekonomian suatu negara. Namun peran
swasta tersebut juga menemui
kegagalan yang dikenal sebagai kegagalan pasar (market failure). Hal ini ditandai dengan adanya depresi besar
akibat mekanisme pasar yang tidak berjalan sebagai mestinya, yang pada akhirnya
pemerintah diharapkan untuk memainkan peran dalam perekonomian. Dengan kata
lain peran pemerintah tetap diperlukan, bukan dihapuskan. Peran pemerintah yang
semakin besar dalam perekonomian tidak dapat dilepaskan dari kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar inilah
yang pada mulanya menjadi latar belakang dirasa perlunya campur tangan
pemerintah. Mekanisme pasar melalui invisible
hand dinilai tidak mampu secara efisien dan efektif dalam menjalankan
fungsinya yang menuurut Weimer dan
Vining (1992) adalah merupakan kegagalan pasar tradisional. Namun kegagalan
pasar hanyalah salah satu sebab mengapa
pemerintah harus turun tangan dalam perekonomian agar
kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara optimal (Mangkusoebroto, 1999).
Kegagalan pasar barulah merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi campur tangan pemerintah. Barton (2000)
menyebutkan pula bahwa dalam ekonomi pasar yang dikendalikan oleh pemerintahan
yang dipilih secara demokratis, hanya ada dua alasan bagi pemerintah untuk masuk ke dalam aktivitas masyarakat,
yaitu: social equity dan kegagalan
pasar. Berdasarkan alasan-alasan itu, secara garis besar peran pemerintah dengan
public policies-nya adalah
mengkoreksi kegagalan pasar untuk memperbaiki efisiensi produksi.dan alokasi
sumber daya dan barang, serta merelokasi oportunitas dan barang untuk mencapai
nilai-nilai distribusional dan nilai-nilai lainnya (Weimer dan Vining, 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar