2.3
Tidak ada definisi Fiscal Stress yang diterima secara universal. Sehingga para
peneliti membuat definisi sendiri yang mampu menjawab tujuan penelitian mereka
dengan mempertimbangkan ketersediaan data (Arnett, 2011). Banyak definisi dan indikator Fiscal Stress yang diajukan oleh berbagai penelitian di luar
negeri. Arnet (2011) menyebutkan bahwa Fiscal
Stress merupakan tekanan anggaran (fiskal) yang terjadi sebagai akibat
keterbatasan penerimaan daerah yang dapat memberikan pengaruh yang cukup besar
terhadap penyelenggaran pelayanan publik. Dimana tekanan keuangan (Fiscal Stress) menjadi semakin tinggi
dikarenakan adanya tuntutan peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan
meningkatnya penerimaan sendiri untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber- sumber daya
daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam
era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe,
dalam Adi dan Setyawan (2008), mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan
disebabkan tidak cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan
pengeluaran. Daerah-daerah yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa
mengalami hal yang sama, dimana
tekanan keuangan (Fiscal Stress) yang menjadi semakin tinggi.
Menurut Arnett
(2011) literatur tentang
kondisi keuangan dan pengukuran
fiscal tress menekankan beberapa
isu yang perlu dipertimbangkan dalam
pengukuran
Fiscal Stress dalam spektrum kondisi keuangan publik. Terdapat 5 kategori besar pengukuran
Fiscal Stress di tingkat daerah
(state) yang dikaji oleh Arnett
(2011), antara lain: defisit
anggaran (budget deficits), saldo
anggaran akhir tahun yang tidak dicadangkan (year-end unreserved budget balance), penurunan atas kinerja
penerimaan pemerintah daerah (decline in states’s
revenues performance), peningkatan pajak relatif terhadap trend pengeluaran
(tax increases relative to spending
trends) dan rasio keuangan (financial
ratios). Hasil kajian Arnett (2011) menekankan bahwa Fund Balance (Saldo Dana = selisih penerimaan dan pengeluaran) adalah penting dalam
penentuan indikator (ukuran) Fiscal
Stress karena dianggap mewakili kemampuan pemerintah untuk terus bertahan
beroperasi meskipun dalam kondisi ekonomi yang mengalami permasalahan finansial
sekalipun. Pemerintah daerah yang memiliki Saldo Dana (fund balance) masih
mampu bertahan beroperasi untuk menyerap dampak negatif dari permasalahan
finansial tersebut. Dalam spektrum kondisi keuangan publik, Fiscal Stress dapat dikategorikan
sebagai kondisi keuangan publik yang lemah
(weak financial condition).
Gambar 2.5 Spektrum Kondisi
keuangan publik (Arnett, 2011)
Dongori (2006) menyatakan bahwa dampak
diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan dikeluarkannya undang-undang
No. 34 tahun 2000 yang membatasi pungutan pajak daerah dapat memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Ketersediaan sumber-sumber
daya potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan daerah
dalam era otonomi ini. Keuangan daerah, terutama pada sisi penerimaan bisa
menjadi tidak stabil dalam memasuki era otonomi ini. Sobel dan Holcombe dalam
Andayani (2004) mengemukakan bahwa terjadinya krisis keuangan disebabkan tidak
cukupnya penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran.
Shamsub dan Akoto (2004) mengelompokkan
penyebab timbulnya Fiscal Stress ke
dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Menekankan bahwa
peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress.
Penyebab
utama terjadinya Fiscal Stress adalah
kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi.
2.
Menekankan bahwa ketiadaan
perangsang bisnis dan kemunduran industri sebagai penyebab utama timbulnya Fiscal Stress. Yu dan Korman (1987)
dalam Shamsub dan Akoto (2004)
menemukan bahwa kemunduran industri menjadikan berkurangnya hasil pajak tetapi
pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.
3.
Menerangkan bahwa Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan
faktor-faktor keuangan yang tidak terkontrol. Ginsberg dalam Shamsub dan Akoto
(2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidakefisienan birokrasi,
korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja untuk
kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.
2.6.1
Pengaruh Pendapatan
Asli Daerah terhadap Fiscal Stress
Iskandar Muda (2012) menunjukkan bahwa
Pertumbuhan PAD memiliki dampak atas Fiscal
Stress suatu daerah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan
penerimaan daerah (dalam hal ini PAD) mempengaruhi tingkat Fiscal Stress pada suatu daerah. Adanya perubahan
(kenaikan/penurunan) dari komponen penerimaan daerah akan menyebabkan perubahan
tingkat Fiscal Stress yang dialami
oleh daerah tersebut. Terkait dengan hal itu, penelitian Iskandar Muda (2012)
merinci bahwa komponen dari sektor penerimaan dalam Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah (APBD) yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi Fiscal Stress adalah proporsi retribusi
daerah, sedangkan proporsi pajak daerah relatif tidak terpengaruh, bahkan
proporsinya sedikit naik dalam komposisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Purnaninthesa (2006) juga mendukung temuan
yang menyatakan bahwa Fiscal Stress berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa Fiscal
Stress di suatu daerah mendorong dan memotivasi daerah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat.
Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara pertumbuhan penerimaan daerah
(PAD) dengan fenomena Fiscal Stress.
2.6.2
Pengaruh Belanja
Modal terhadap Fiscal Stress
Dalam menghadapi otonomi daerah,
pemerintah daerah harus lebih meningkatkan pelayanan publiknya. Upaya ini akan
terus mengalami perbaikan sepanjang didukung oleh tingkat pembiayaan daerah
yang memadai. Alokasi belanja yang memadai untuk peningkatan pelayanan publik
diharapkan memberikan timbal balik berupa peningkatan penerimaan pendapatan
asli daerah, baik yang berasal dari retribusi, pajak daerah maupun penerimaan
lainnya.
Dongori (2006) memberikan gambaran empirik
bahwa terjadi perbedaan tingkat pembiayaan sesudah era otonomi daerah lebih
besar dibandingkan dengan sebelumnya. Perubahan pembiayaan ini lebih banyak
disebabkan adanya tuntutan peningkatan pelayanan publik yang ditunjukkan dengan
peningkatan alokasi ataupun terjadi pergeseran belanja untuk
kepentingan-kepentingan pelayanan publik secara langsung, dalam hal ini belanja
pembangunan.
Belanja pembangunan seperti pembangunan
infrastruktur pada jangka pendek akan memperbesar anggaran belanja daerah. Hal
ini jika tidak diimbangi dengan
penerimaan yang cukup signifikan (besar) maka dapat
menimbulkan Fiscal Stress yang cukup
serius, mengingat Fiscal Stress di
sini dicerminkan adanya ketidakseimbangan anggaran penerimaan dengan
pengeluaran. Pada jangka panjang dengan peningkatan kualitas infrastruktur
suatu daerah pada gilirannya mempunyai harapan untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah di masa yang akan datang. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan
belanja daerah dapat mempengaruhi Fiscal
Stress.
2.6.3
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi (PDRB) terhadap Fiscal Stress
Tujuan utama dari desentralisasi fiskal
adalah terciptanya kemandirian daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu
menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui PAD (Sidik, 2002).
Daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan
untuk memiliki tingkat pendapatan per kapita yang lebih baik. PAD berkorelasi
positif dengan petumbuhan ekonomi (diukur dengan PDRB) di daerah (Brata, 2004).
PAD merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Jika PAD meningkat maka dana
yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk membiayai aktifitasnya dalam
penyelenggaraan pelayanan publik juga akan lebih tinggi. Pada gilirannya,
tingkat kemandirian daerah akan meningkat pula. Pemerintah daerah akan
berinisiatif untuk lebih menggali potensi-potensi daerah dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB. Pertumbuhan PAD
secara
berkelanjutan akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah itu.
Peningkatan PAD harus berdampak pada
perekonomian daerah (Saragih, 2003). Oleh karena itu, daerah tidak akan
berhasil bila daerah tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang berarti meskipun
terjadi peningkatan penerimaan PAD. Bila yang terjadi sebaliknya, maka bisa
diindikasikan adanya eksploitasi PAD terhadap masyarakat secara berlebihan
tanpa memperhatikan peningkatan produktifitas masyarakat itu sendiri. Sidik
(2002) menegaskan bahwa keberhasilan peningkatan PAD hendaknya tidak hanya
diukur dari jumlah yang diterima, tetapi juga diukur dengan perannya untuk mengatur
perekonomian masyarakat agar dapat lebih berkembang, yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Pada gilirannya harapan untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah dapat terpenuhi. Dalam hal ini melalui
peningkatan PAD maka pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan PDRB memberikan
pengaruh terhadap Fiscal Stress.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar