Anggaran Pro Poor dapat dipahami sebagai anggaran
yang memihak orang miskin. Proses anggaran mulai dari perencanaan sampai
pelaksanaan didesain untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin.
Keberpihakan ini tercermin dalam kebijakan program serta proyek-proyek yang disusun
dan dilaksanakan. Dengan demikian anggaran pro
poor adalah kebijakan anggaran yang dampaknya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat miskin, sehingga hak-hak dasarnya dapat dipenuhi
melalui program-program yang dirancang dalam kebijakan anggaran. Untuk
menentukan kebijakan anggaran yang pro
poor dapat diidentifikasi melalui dua hal, yaitu: proses dan isi atau
alokasi dana.
Melalui
proses dapat dilihat keterlibatan kelompok miskin dalam memformulasikan
kebijakan anggaran. Oleh karena itu partisipasi masyarakat miskin untuk
terlibat dalam tahap-tahap penggangaran menjadi penting untuk diamati. Selain
aspek partisipasi, juga perlu dilihat aspek transparansi dan akuntabilitasnya.
Di dalamnya termasuk akses terhadap semua data tentang anggaran, artinya informasi
tersebut disediakan..
Di dalam
Permendagri No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008,
sudah diatur secara jelas, bahwa prinsip penyusunan APBD mensyaratkan 6 hal
yang harus dipenuhi, yaitu: partisipasi masyarakat, transparansi dan
akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran, keadilan anggaran, efisiensi dan
efektivitas anggaran, serta taat azas (Sony Yuwono, dkk;2008; 126 - 128)
Partisipasi
masyarakat tersebut tercermin dalam Musyawarah perencanaan dan pembangunan (Musrenbang)
yang dimulai dari tingkat desa. Hasil Musrenbang ini sebagai dasar bagi
pemerintah daerah utuk menyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Plafon dan
Prioritas Anggaran (PPA) yang kemudian akan dijadikan dasar oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menyusun
Rencana Kerja Anggaran (RKA) SKPD. Dan RKA-SKPD ini kemudian akan dibahas oleh
TAPD dengan Tim anggaran DPRD untuk menyusun Rencana Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (RAPBD). Namun, pada umumnya dalam menyusun KUA dan PPAS itu aspirasi
masyarakat yang tercermin dalam hasil musrenbang tidak dihiraukan. Karena
pemerintah daerah melalui Bappeda telah mempunyai perencanaan yang tertuang
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini menjadi salah
satu faktor tidak relevansinya program-program kerja pemerintah dengan
kebutuhan masyarakat. Sebenarnya kalau kita lihat bahwa regulasi tentang
musrenbang itu masih membatasi ruang partisipasi masyarakat, karena masyarakat dilibatkan
hanya pada konteks perencanaan dan pembangunan, sedangkan pada fase penyusunan
anggaran masyarakat tidak dilibatkan, fase penyusunan anggaran menjadi
kewenangan pemerintah.
Persoalan
transparansi, pengaturannya juga masih belum mantap. Permendagri No 59/2007
“Untuk memenuhi asas transparansi, kepala daerah wajib menginformasikan
substansi Perda APBD kepada masyarakat yang telah diundangkan dalam lembaran
daerah.” Karena tak secara eksplisit menyatakan dokumen apa yang harus
diinformasikan, maka hal ini berpotensi tidak mampu menjamin warga, untuk
mengakses dokumen tertentu yang justeru merupakan kunci dalam mempraktikkan penganggaran
yang baik. Persepsi antara pemerintah daerah dan masyarakat bisa berbeda
terhadap peraturan tersebut. Bagi
pemerintah daerah, pengumuman ringkasan APBD bisa saja dianggap telah memenuhi
amanat Permendagri tersebut. Seperti yang terjadi selama ini. Untuk memasang
“iklan APBD” di media cetak dalam bentuk ringkasan yang kurang informatif,
Pemda harus membayar mahal. Sementara dokumen kunci seperti KUA-PPA, RKA SKPD
yang sangat informatif, malah tidak diperlihatkan atau tidak bisa diakses oleh
publik.
Pengamatan
terhadap isi APBN/APBD merupakan tahap berikutnya untuk memastikan apakah
sebuah kebijakan alokasi anggaran pro
poor atau tidak. Ada dua sisi yang
harus diperhatikan berkenaan dengan isi APBN/APBD yaitu sisi pendapatan dan
sisi belanja. Dari sisi belanja
pengalokasian anggaran untuk mendesain program dan kegiatan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin perlu diperiksa dengan teliti.
Beberapa alokasi anggaran yang berkait erat perubahan hak-hak dasar seperti
kesehatan, pendidikan, dan perumahan untuk mendapatkan gambaran bagaimana kebijakan serta prioritas pemerintah terhadap
pelayanan dasar tersebut. Untuk membuktikan adanya kebijakan anggaran pro poor dari sisi pendapatan, dilihat dari mekanisme pajak atau
retribusi yang dikenakan bagi masyarakat miskin. Perlu dilihat kelompok yang
paling diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan pendapatan tersebut.
Berkaitan
dengan itu, kita mencoba untuk mencermati sejauhmana keberpihakan pemerintah
terhadap rakyat miskin melalui pengalokasian anggaran pada program atau
kegiatan yang tercermin dalam APBN.
Menurut
Abdur Rozaki, dkk (2008 : 7 – 12) bahwa, kemiskinan, ketimpangan dan ketertinggalan
sebenarnya berakar pada struktur ekonomi politik anggaran yang timpang, yaitu
tidak berorientasi pada kesejahteraan.
Ada tiga masalah dalam struktur ekonomi politik anggaran.
Pertama, desentralisasi politik sudah dijalankan, namun di sisi lain, potret
kemiskinan sangat berakar di bawah dan beragam antardaerah.
Kondisi itu
diperparah oleh rezim anggaran yang masih jauh dari skema desentralisasi fiskal
(jika tidak bisa dikatakan, uang digenggam secara terpusat oleh Jakarta). APBN
2007, misalnya, dari total anggaran sebesar Rp 752 triliun, sebesar Rp 498
triliun (66%) dialokasikan untuk belanja pemerintah pusat, dan sebesar Rp 254 triliun (34%) yang ditransfer ke
daerah dalam bentuk dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Angka Rp 498
triliun yang dibelanjakan pemerintah pusat, terdiri dari Rp 97,9 triliun untuk
belanja pegawai, Rp 61,8 triliun untuk belanja barang, Rp 69,2 triliun untuk
belanja modal, Rp 83,5 triliun untuk pembayaran bunga utang, Rp 105 triliun
untuk subsidi, Rp 47,5 triliun untuk bantuan sosial dan Rp 24,1 triliun untuk
belanja lain-lain. Jika dana sebesar 34% “didaerahkan” melalui skema
desentralisasi (block grant), sebagian besar belanja pemerintah pusat
yang dibawa ke daerah dan desa, menggunakan skema dana alokasi khusus,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sudah ditentukan dan dikendalikan
secara terpusat (spesific grant). Termasuk dalam hal ini adalah anggaran
untuk penanggulangan kemiskinan yang dikabarkan terus meningkat dari tahun ke
tahun (Rp 23 triliun tahun 2005, Rp 42 triliun tahun 2006, Rp 51 triliun tahun
2007 dan Rp 58 triliun tahun 2008). Proyek dan anggaran anti kemiskinan yang
terpusat itu, kontradiktif dengan gambaran kemiskinan yang beragam antar daerah.
Keragaman terjadi dalam bentuk data potret kemiskinan. Pemerintah pusat
menggunakan data kemiskinan berdasarkan kriteria dan temuan agregat Badan Pusat
Statistik. Sementara itu daerah cenderung resisten dengan data yang dikeluarkan
BPS. Kondisi ini menyebabkan angka kemiskinan versi pusat berbeda dengan versi
daerah. Sejumlah daerah mengklaim telah membuat data dan peta kemiskinan lokal
sendiri per rumah tangga dan bahkan per individu (by name). Perbedaan
pendataan inilah yang membuat kesulitan dalam membuat program
antikemiskinan dari pusat ke daerah dan desa.
Kedua, negara mempunyai formasi dan karakter pemangsa (predatory state)
terhadap anggaran. Sudah lama kita mendengar, bahwa gaji pegawai negeri dan
TNI/Polri sangat kecil. Tetapi secara makro, gaji mereka memakan mayoritas anggaran
negara dan daerah (sekitar 60%). Di daerah, belanja aparatur jauh lebih besar
daripada belanja publik, bahkan belanja publik sekalipun masih ada yang
dikonsumsi untuk biaya administrasi dan belanja aparatur. Pemerintah selalu
mengatakan, bahwa sangat wajar kalau gaji perangkat negara memakan porsi yang
besar dalam anggaran negara/daerah, karena keberadaan mereka bertugas
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Di dalam komponen gaji pegawai juga
melekat biaya pelayanan yang sangat besar. Tetapi argument ini bisa dibilang
rapuh, karena ketersediaan pangan maupun akses rakyat terhadap pelayanan dasar,
yang tentu membutuhkan biaya besar, tidak bisa serta-merta ditukar dengan
keberadaan pegawai negara. Ketimpangan distribusi anggaran juga terjadi
antarsektor dalam tubuh negara. Sebagai
contoh Presiden yang mengurus 200 juta lebih penduduk Indonesia, bergaji
sekitar 60 juta rupiah. Sementara gaji direktur utama BUMN sekitar 200 juta
rupiah. Gaji pegawai Departemen Keuangan, berlipat ganda, bila dibandingkan dengan
gaji pegawai departemen dan lembaga negara lainnya maupun pegawai daerah. Negara bukan hanya berkarakter predatory,
tetapi juga soft, karena institusi negara digerogoti oleh penyerobotan
elite (elite capture), Elite capture hadir dalam bentuk; korupsi
(mencuri uang negara), aktor-aktor dalam Negara yang membuat kebijakan dan
kegiatan yang menguntungkan mereka, maupun, kebijakan yang kontradiktif dengan
hak-hak kepentingan kaum miskin dan kelompok-kelompok marginal. Capture,
sebaliknya, bisa juga hadir dalam bentuk tindakan invidividu maupun kelompok,
baik aktor informal maupun formal, yang mempengaruhi peraturan maupun kebijakan
pemerintah untuk kepentingan mereka. Dalam praktik pemerintahan sehari-hari,
korupsi merupakan bentuk capture yang bisa dilihat secara terbuka oleh
publik. Korupsi merajalela dimana-mana, mulai dari skala kecil hingga skala
besar: SPPD yang berjalan-jalan, fee proyek,
mark up pembelian perlengkapan kantor, jalan-jalan dengan alasan studi
banding, pungutan liar, menyunat dana bantuan, hingga skandal mega proyek dan
perbankan. Capture yang lain, hadir dalam kinerja pemerintah yang
membagi-bagi uang secara populis, kepada berbagai lapisan masyarakat untuk
mendongkrak popularitasnya menjelang pemilikan kepala daerah.
Ketiga, alokasi-distribusi anggaran untuk rakyat, bersifat residual atau
“sisanya-sisa”. Menurut Muh.
Kholid AS (2008), kebijakan
negara yang berbentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D),
yang sebagian besar telah diratifikasi bersama oleh eksekutif dan legislatif,
belum sepenuhnya berpihak pada kaum miskin.Contoh mudah dari ketidakpekaan
anggaran tersebut bisa dilihat dari alokasi anggaran pendidikan yang hanya Rp.
48 triliun (12 persen) dari kekuatan APBN 2008 yang berjumlah Rp781,354
triliun. Sangat mungkin kebijakan tidak populis ini juga semarak di berbagai
daerah lainnya, baik di tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Selanjutnya ia mengatakan dalam kehidupan
bernegara, sumber utama perubahan dalam masyarakat itu, khususnya dalam
mengentaskan kemiskinan, terletak pada seberapa besar anggaran yang
dialokasikan oleh negara untuk kaum lemah. Bisa dikatakan, anggaran adalah refleksi keputusan
politik antara pemerintah dan legislatif dalam menetapkan prioritas
pembangunaan. Keputusan “politik” ini tentu akan berdampak sangat luas terhadap
taraf kehidupan masyarakat, terutama seberapa besar alokasi anggaran
pembangunan yang bermanfaat sebagai penyedia layanan dasar, seperti pendidikan,
kesehatan, infrastruktur, dan pengembangan ekonomi lokal. (Suara Muhammmadiyah, 28 Januari
2008). Selanjutnya Prof. Mubyarto dalam Abdur Rozaki, dkk,
(2008 : 7), beliau menyoroti ketimpangan itu, dengan menunjukkan anggaran
penanggulangan kemiskinan hanya 40 triliun rupiah, sementara untuk
rekapitalisasi perbankan sebesar 600 triliun rupiah. Bantuan Langsung Tunai
(BLT) yang diterapkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM akhir
2005, dan kemudian diterapkan pada tahun
2008, merupakan bentuk ekstrem
pendekatan distribusi yang keliru, bermasalah, menciptakan konflik dan dikecam
berbagai pihak. Dan suatu hal sangat menarik bahwa pada tahun 2009 pemerintah
berjanji akan memikirkan rakyat miskin sebagai prioritas ketika harga BBM
dinaikkan. Ada beberapa opsi yang
ditawarkan oleh pemerintah SBY-JK sebagai kompensasi kepada rakyat miskin atas
naiknya BBM, antara lain melalui bantuan langsung tunai plus (BLT Plus) dan
program nasional pembangunan mandiri (PNPM), dimana tidak kurang sejumlah dana
akan digelontorkan oleh World Bank, 19, 7 Trilyun rupiah pada tahun 2008, dan 58 trilyun
rupiah pada tahun 2009. (sumber www.sarekathijauindonesia.org). Kompensasi atas kenaikan BBM untuk
rakyat miskin melalui uang tunai yang sarat dengan berbagai dampak, terutama
dampak sosial dengan meningkatnya konflik horizontal. Telah banyak dampak yang
terjadi akibat adanya BLT, seperti
pertikaian warga dengan aparat, muncul salah urus, banyak keluarga mampu yang
serakah, dengan menyatakan dirinya sebagai keluarga miskin. Kenaikan BBM,
justru akan semakin meningkatkan angka kemiskinan dan semakin menjerumuskan
rakyat kedalam krisis turunannya, seperi krisis pangan yang dari tahun ke tahun
angkanya terus meningkat. Tercatat tidak kurang dari 4456 kali peristiwa rawan
pangan terjadi di Indonesia (sumber : www.sarekathijauindonesia.org).
Berkaitan
dengan berbagai fenomena tersebut di atas, maka reformasi anggaran, bukan hanya
dilihat dari kecanggihan teknik penganggaran, tetapi kita juga harus lihat dari
sisi yang lain yang memang mempunyai potensi mendorong terciptanya anggaran
yang pro
poor.
Referensi :
Abdul Rozaki, dkk, 2008, Menabur Benih di Lahan Tandus : Pelajaran Berharga dari Advokasi
Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen, Yogyakarta, Penerbit IRE
Bastian, Indra, 2006, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia,
Jakarta, Penerbit Salemba Empat
Mardiasmo, 2004, Otonomi
dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta, Penerbit Andi
Muhammad Kholis, 2008, Urgensi Dakwah Anggaran,
Majalah Suara Muhammadiyah, 28
Januari 2008.
www.pbet.org/publikasi/modul,
Pengantar Analisis Anggaran Pro Poor
www.sarekathijauindonesia.org, Kenaikan BBM, Agenda Liberalisasi
Sumber Daya Alam, 19 Mei 2008
Sony Yuwono,
dkk, 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya : Panduan Pengelolaan Keuangan
Daerah, Malang, Penerbit Bayumedia Publishing.
Permendagri
No. 30 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2008
Permendagri
No. 59 Tahun 2007, tentang Pedoman Pengelolaan Keungan Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar