Sistem
penganggaran sektor publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika
perkembangan manajemen sektor publik dan tuntutan yang muncul di masyarakat.
Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis penganggaran sektor publik, yaitu Line-Item
Budgeting yang banyak digunakan pada negara berkembang, Planning Programing
Budgeting System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun 1960-an, Zero-Based
Budgeting (ZBB) yang mulai dikembangkan tahun 1970-an dan terakhir Performance-Based
Budgeting (PBB) yang mulai dikembangkan tahun 1990-an.
Traditional
line-item budgeting muncul
karena adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang
berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang dapat meningkatkan korupsi.
Anggaran line item tradisional menyajikan pengeluaran-pengeluaran
berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Ciri yang utama dari sistem line
item budget adalah menetapkan batas atas line item pada proses
alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak dapat melakukan
pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya (Shah and Shen, 2007). Asumsi
yang mendasari input model budgeting adalah sumber daya yang terbatas
dan kontrol terhadap tingkat pengeluaran sumber daya dan distribusinya akan
dapat meningkatkan efisiensi (Rubin, 2007). Karena itu, kekuatan line item
budgeting adalah kontrol yang ketat tehadap pengeluaran publik melalui
spesifikasi input yang detail atau rinci (Shah and Shen, 2007). Ciri lain dari traditional
budget adalah incrementalism. Dengan pendekatan incrementalism,
jumlah item-item anggaran suatu tahun anggaran ditentukan dengan menambah atau
mengurangi jumlah anggaran tahun sebelumnya dengan suatu marjin tertentu.
Sistem
penganggaran tradisional berdasarkan line-item membawa beberapa
permasalahan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada
negara-negara yang telah meninggalkam sistem penganggaran ini. Permasalahan
utama yang ditimbulkan oleh sistem anggaran line-item di Indonesia
adalah (Rasul, 2003, 45-48):
−
Orientasi
pada pengendalian pengeluaran (expenditure control oriented) yang
mengakibatkan akuntabilitas yang sangat terbatas, yaitu hanya pada besar dan
cara pengeluaran sesuai dengan yang dialokasikan, bukan pada hasil yang dicapai
(overseeing result).
−
Dikotomi
rutin dan pembangunan yang tidak jelas (ambiguity on distinction between
capital and revenue expenditure) yang menimbulkan praktek pergeseran
anggaran (budgetary sifting) yang dikenal dengan “rutin yang
diproyekkan” dan masalah kesinambungan pembiayaan (sustainable financing)
−
Basis alokasi yang tidak jelas (allocation
base is not clear) dimana target kenaikan anggaran didasarkan pada
persentase realisasi anggaran tahun sebelumnya atau, dengan kata lain, hanya
berdasarkan kemampuan masing-masing instansi pemerintah untuk menyerap
anggaran, bukan berdasarkan tingkat kinerja yang dicapai.
−
Cenderung
tidak fleksible (rigid) dimana pada jenis-jenis pengeluaran tertentu
terdapat kewenangan yang terbatas pada pimpinan instansi untuk melakukan
pergeseran mata anggaran tertentu yang menunjukkan adanya kelemahan dalam
penerapan akuntabilitas yaitu pimpinan instansi hanya berakuntabilitas untuk
sejumlah uang yang dibelanjakan sesuai anggaran yang tersedia, bukan terhadap
hasil yang dicapai.
−
Orientasi
hanya satu tahun anggaran (short-term perspective) sehingga rencana
pembiayaan tahunan yang dituangkan dalam Repelita (dokumen perencanaan lima
tahunan) tidak dihubungkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan.
Planning
Programming Budgeting System (PPBS)
muncul sebagai koreksi terhadap kelemahan sistem Line-Item Budgeting terutama
dalam hal tidak adanya hubungan yang rasional antara besaran anggaran yang
ditetapkan dengan hasil atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran
anggaran tersebut (Diamond, 2003, 6). Planning-Programming-Budgeting System mencoba
memperkenalkan kerangka pengambilan keputusan yang jelas untuk proses formulasi
anggaran unit-unit eksekutif (McNab, 2001, 9). PPBS, sebagai suatu sistem yang
lengkap dari pembuatan anggaran pertama kali diterapkan oleh Departemen
Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1961, kemudian diterapkan pada semua
instansi pemerintah federal dan menyebar dengan cepat pada pemerintahan negara
bagian dan lokal (Diamond, 2003, 6).
Proses
PPBS, sesuai dengan namanya, mempunyai tiga tahapan pokok yang menghubungan
perencanaan dengan penganggaran melalui program-program. Tahap perencanaan (planning
phase) mengidentifikasi tujuan sekarang dan masa datang serta berbagai cara
yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tahap pemrograman (programming
phase) menggunakan usulan hasil tahap perencanaan untuk menetapkan program-program berdasarkan
skala prioritas sesuai tingkatan hirarki pengambil keputusan. Tahap
penganggaran (budgeting phase) menerjemahkan masing-masing program ke
dalam rencana tahunan dengan menentukan siapa melakukan apa dan menetapkan
sumberdaya yang dibutuhkan (Diamond, 2003, 6). Dari ketiga tahap tersebut,
tahap pemrogramanlah untuk pertama kali mencoba untuk membuat hubungan yang
jelas antara komponen-komponen perencanaan dan penganggaran pada proses
anggaran (McNab, 2001, 10).
Sama
halnya dengan PPBS, konsep zero-based budgeting (ZBB) dimaksudkan untuk
mengatasi kelemahan incremental budgeting yang ada pada sistem anggaran
tradisional (line item budgeting). Sistem zero-based budgeting mencoba
menciptakan lingkungan kelembagaan dimana unit-unit kerja diminta untuk membuat
prioritas-prioritas berdasarkan hasil-hasil program yang dapat dicapai pada
berbagai tingkat pengeluaran. Dalam membuat proposal anggaran, berbagai
alternatif dirangking tanpa melihat pengeluaran-pengeluaran yang telah
dilakukan sebelumnya dan dengan memberi perhatian pada total pengeluaran yang
diajukan, bukan penambahannya (McNab, 2001, 11-12). Dengan demikian, penyusunan
anggaran dengan menggunakan konsep zero-based budgeting dapat
menghilangkan incrementalisms dan line-item karena anggaran
diasumsikan mulai dari nol (zero-base) (Mardiasmo, 2005, 84).
Jenis
yang terakhir, performance-based budgeting, berkembang sejalan dengan
bergesernya paradigma manajemen sektor publik dari model tradisional administrati
publik (traditional model of public administration) ke pendekatan new
public management. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pendekatan new
public management, seperti dinyatakan Hughes (1998), adalah adanya
perubahan yang mendasar administrasi publik tradisional dengan memberikan
perhatian yang besar pada pencapaian hasil; pergeseran dari birokrasi klasik
untuk membuat organisasi, pegawai dan persyaratan kepegawaian lebih fleksibel;
penetapan sasaran organisasi dan personal secara jelas dan indikator kinerja
untuk mengukur pencapaiannya; pejabat pemerintah secara politis lebih
bertanggung jawab pada pemerintah yang sedang berkuasa; fungsi-fungsi
pemerintah bisa dicoba dilaksanakan oleh pasar; serta adanya kecendrungan
mengurangi peran pemerintah melalui privatisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar