Powered By Blogger

Rabu, 14 November 2018

Penganggaran Sektor Publik



Sistem penganggaran sektor publik berkembang dan berubah sesuai dengan dinamika perkembangan manajemen sektor publik dan tuntutan yang muncul di masyarakat. Sampai saat ini, terdapat beberapa jenis penganggaran sektor publik, yaitu Line-Item Budgeting yang banyak digunakan pada negara berkembang, Planning Programing Budgeting System (PPBS) yang mulai dikembangkan tahun 1960-an, Zero-Based Budgeting (ZBB) yang mulai dikembangkan tahun 1970-an dan terakhir Performance-Based Budgeting (PBB) yang mulai dikembangkan tahun 1990-an.
Traditional line-item budgeting muncul karena adanya kepedulian terhadap kurangnya kontrol terhadap pengeluaran yang berkontribusi pada terciptanya lingkungan yang dapat meningkatkan korupsi. Anggaran line item tradisional menyajikan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan input atau sumber daya yang digunakan. Ciri yang utama dari sistem line item budget adalah menetapkan batas atas line item pada proses alokasi anggaran dan menjamin bahwa unit kerja tidak dapat melakukan pengeluaran melebihi plafon atau batas atasnya (Shah and Shen, 2007). Asumsi yang mendasari input model budgeting adalah sumber daya yang terbatas dan kontrol terhadap tingkat pengeluaran sumber daya dan distribusinya akan dapat meningkatkan efisiensi (Rubin, 2007). Karena itu, kekuatan line item budgeting adalah kontrol yang ketat tehadap pengeluaran publik melalui spesifikasi input yang detail atau rinci (Shah and Shen, 2007). Ciri lain dari traditional budget adalah incrementalism. Dengan pendekatan incrementalism, jumlah item-item anggaran suatu tahun anggaran ditentukan dengan menambah atau mengurangi jumlah anggaran tahun sebelumnya dengan suatu marjin tertentu.
Sistem penganggaran tradisional berdasarkan line-item membawa beberapa permasalahan yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga pada negara-negara yang telah meninggalkam sistem penganggaran ini. Permasalahan utama yang ditimbulkan oleh sistem anggaran line-item di Indonesia adalah (Rasul, 2003, 45-48):
     Orientasi pada pengendalian pengeluaran (expenditure control oriented) yang mengakibatkan akuntabilitas yang sangat terbatas, yaitu hanya pada besar dan cara pengeluaran sesuai dengan yang dialokasikan, bukan pada hasil yang dicapai (overseeing result).
     Dikotomi rutin dan pembangunan yang tidak jelas (ambiguity on distinction between capital and revenue expenditure) yang menimbulkan praktek pergeseran anggaran (budgetary sifting) yang dikenal dengan “rutin yang diproyekkan” dan masalah kesinambungan pembiayaan (sustainable financing)
      Basis alokasi yang tidak jelas (allocation base is not clear) dimana target kenaikan anggaran didasarkan pada persentase realisasi anggaran tahun sebelumnya atau, dengan kata lain, hanya berdasarkan kemampuan masing-masing instansi pemerintah untuk menyerap anggaran, bukan berdasarkan tingkat kinerja yang dicapai.
     Cenderung tidak fleksible (rigid) dimana pada jenis-jenis pengeluaran tertentu terdapat kewenangan yang terbatas pada pimpinan instansi untuk melakukan pergeseran mata anggaran tertentu yang menunjukkan adanya kelemahan dalam penerapan akuntabilitas yaitu pimpinan instansi hanya berakuntabilitas untuk sejumlah uang yang dibelanjakan sesuai anggaran yang tersedia, bukan terhadap hasil yang dicapai.
     Orientasi hanya satu tahun anggaran (short-term perspective) sehingga rencana pembiayaan tahunan yang dituangkan dalam Repelita (dokumen perencanaan lima tahunan) tidak dihubungkan dengan sistem penganggaran yang diterapkan.
Planning Programming Budgeting System (PPBS) muncul sebagai koreksi terhadap kelemahan sistem Line-Item Budgeting terutama dalam hal tidak adanya hubungan yang rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan dengan hasil atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran anggaran tersebut (Diamond, 2003, 6). Planning-Programming-Budgeting System mencoba memperkenalkan kerangka pengambilan keputusan yang jelas untuk proses formulasi anggaran unit-unit eksekutif (McNab, 2001, 9). PPBS, sebagai suatu sistem yang lengkap dari pembuatan anggaran pertama kali diterapkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1961, kemudian diterapkan pada semua instansi pemerintah federal dan menyebar dengan cepat pada pemerintahan negara bagian dan lokal (Diamond, 2003, 6).
Proses PPBS, sesuai dengan namanya, mempunyai tiga tahapan pokok yang menghubungan perencanaan dengan penganggaran melalui program-program. Tahap perencanaan (planning phase) mengidentifikasi tujuan sekarang dan masa datang serta berbagai cara yang mungkin untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Tahap pemrograman (programming phase) menggunakan usulan hasil tahap perencanaan  untuk menetapkan program-program berdasarkan skala prioritas sesuai tingkatan hirarki pengambil keputusan. Tahap penganggaran (budgeting phase) menerjemahkan masing-masing program ke dalam rencana tahunan dengan menentukan siapa melakukan apa dan menetapkan sumberdaya yang dibutuhkan (Diamond, 2003, 6). Dari ketiga tahap tersebut, tahap pemrogramanlah untuk pertama kali mencoba untuk membuat hubungan yang jelas antara komponen-komponen perencanaan dan penganggaran pada proses anggaran (McNab, 2001, 10).
Sama halnya dengan PPBS, konsep zero-based budgeting (ZBB) dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan incremental budgeting yang ada pada sistem anggaran tradisional (line item budgeting). Sistem zero-based budgeting mencoba menciptakan lingkungan kelembagaan dimana unit-unit kerja diminta untuk membuat prioritas-prioritas berdasarkan hasil-hasil program yang dapat dicapai pada berbagai tingkat pengeluaran. Dalam membuat proposal anggaran, berbagai alternatif dirangking tanpa melihat pengeluaran-pengeluaran yang telah dilakukan sebelumnya dan dengan memberi perhatian pada total pengeluaran yang diajukan, bukan penambahannya (McNab, 2001, 11-12). Dengan demikian, penyusunan anggaran dengan menggunakan konsep zero-based budgeting dapat menghilangkan incrementalisms dan line-item karena anggaran diasumsikan mulai dari nol (zero-base) (Mardiasmo, 2005, 84).
Jenis yang terakhir, performance-based budgeting, berkembang sejalan dengan bergesernya paradigma manajemen sektor publik dari model tradisional administrati publik (traditional model of public administration) ke pendekatan new public management. Beberapa pokok pikiran yang terkandung dalam pendekatan new public management, seperti dinyatakan Hughes (1998), adalah adanya perubahan yang mendasar administrasi publik tradisional dengan memberikan perhatian yang besar pada pencapaian hasil; pergeseran dari birokrasi klasik untuk membuat organisasi, pegawai dan persyaratan kepegawaian lebih fleksibel; penetapan sasaran organisasi dan personal secara jelas dan indikator kinerja untuk mengukur pencapaiannya; pejabat pemerintah secara politis lebih bertanggung jawab pada pemerintah yang sedang berkuasa; fungsi-fungsi pemerintah bisa dicoba dilaksanakan oleh pasar; serta adanya kecendrungan mengurangi peran pemerintah melalui privatisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar