Robinson dan Brumby (2005)
mendefinikan performance budgeting sebagai prosedur dan mekanisme yang
dimaksudkan untuk memperkuat kaitan antara dana yang disediakan untuk entitas
sektor publik dengan outcome dan/atau output entitas tersebut melalui
penggunaan informasi kinerja formal dalam pengambilan keputusan alokasi
sumberdaya. Pengertian yang tidak jauh berbeda diberikan oleh Shah dan Shen
(2007), yaitu suatu sistem penganggaran yang menyajikan tujuan dan sasaran
untuk apa dana dibutuhkan, biaya dari program yang diusulkan dan kegiatan yang
terkait untuk mencapai tujuan tersebut, serta output yang dihasilkan atau jasa
yang diberikan pada setiap program.
Sementara itu, Robinson and Last
(2009) menyatakan performance-based budgeting bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan
organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai dengan penggunaan informasi
kinerja secara sistematik. Carter (1994), seperti dikutip Young (2003),
menyatakan performance budget menggunakan pernyataan misi, tujuan dan sasaran
untuk menjelaskan mengapa uang dikeluarkan. Penetapan misi, tujuan dan sasaran
ini merupakan cara untuk mengalokasikan sumber daya untuk mencapai sasaran-sasaran
tertentu berdasarkan tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang terukur.
Performance budgeting dibedakan dari pendekatan tradisional karena berfokus
pada hasil dari pengeluaran yang dilakukan, bukannya jumlah uang yang
dikeluarkan.
Dari pengertian-pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa penganggaran berbasis kinerja (performance-based
budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang
mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja
yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Performance budgeting
mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit organisasi semata, dan
memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi. Pengkaitan
biaya dengan output organisasi merupakan bagian integral dalam berkas atau
dokumen anggaran.
Sejalan dengan pengertian dan
tujuannya, Robinson dan Last (2009) menyatakan persyaratan mendasar dalam
penerapan bentuk sederhana penganggaran berbasis kinerja (performance-based
budgeting), adalah:
−
Informasi
mengenai sasaran dan hasil dari pengeluaran pemerintah dalam bentuk indikator
kinerja dan evaluasi program sederhana, dan
−
Proses
penyusunan anggaran yang dirangcang untuk menfasilitasi penggunaan informasi
tersebut.
Hal ini, seperti yang dinyatakan Hou
(2010), menunjukkan bahwa desain dari performance-based budgeting didasarkan
pada pemikiran bahwa memasukan ukuran kinerja dalam anggaran akan mempermudah
pemantauan terhadap program untuk melihat seberapa baik pemerintah telah
mencapai outcome yang dijanjikan dan diinginkan.
Sejalan dengan Robinson dan Last,
Young (2003) menyatakan 4 (empat) karakteristik performance-based budgeting.
Pertama, performance-based budgeting menetapkan tujuan atau sekumpulan tujuan
yang akan dikaitkan dengan atau yang digunakan untuk mengalokasikan pengeluaran
uang. Kedua, performance-based budgeting menyediakan informasi dan data
mengenai kinerja dan hasil yang telah dicapai sehingga memungkinkan dilakukan
perbandingan antara kemajuan yang aktual dengan yang direncanakan. Ketiga,
dalam penyusunan anggaran penyesuaian terhadap program dilakukan untuk menutup
setiap perbedaan yang terjadi antara target kinerja dan kinerja aktual.
Keempat, performance-based budgeting memberi peluang untuk dilakukannya
evaluasi kinerja secara regular atau ad hoc yang akan digunakan untuk
pengambilan keputusan.
Lebih lanjut Robinson dan Last (2009)
menyatakan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) hanya
dapat berhasil jika setiap satuan kerja yang melakukan pengeluaran anggaran
(spending agency) diharuskan untuk:
−
secara
eksplisit mendefinisikan outcome yang pelayanannya diberikan kepada masyarakat,
dan
−
menyediakan
indikator kinerja kunci untuk mengukur efektifitas dan efisiensi pelayanannya
untuk menteri keuangan dan pembuat keputusan politik kunci selama proses
penyusunan anggaran.
Di Indonesia, persyaratan di atas
tergambar dalam dokumen-dokumen yang digunakan atau dihasilkan dalam proses
penyusunan anggaran pemerintah. Untuk pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota),
dokumen-dokumen tersebut meliputi Rencana Pembangunan Jangkan Menengah Daerah
(RPJMD), Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Sedangkan, pada tingkat
satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), dokumen-dokumen tersebut meliputi
Rencana Stratejik (Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan Rencana Kerja
dan Anggaran (RKA) SKPD. Untuk dapat dikatakan telah menerapkan penganggaran
berbasis kinerja tidak hanya dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen
tersebut, melainkan juga dengan adanya keselarasan substansi antar
dokumen-dokumen tersebut yang dapat dilihat dari ada tidaknya indikator kinerja
yang selaras dalam dokumen-dokumen tersebut. Pada SKPD, indikator-indikator
kinerja yang dimuat dalam Renja SKPD haruslah mendukung pencapaian indikator
kinerja yang termuat dalam Renstra SKPD. Dan selanjutnya, indikator kinerja
Renja SKPD harus didukung oleh indikator-indikator kinerja yang dimuat dalam
RKA SKPD. Adanya keselarasan indikator kinerja ini secara logis akan dapat
mengaitkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai yang dicantumkan dalam dokumen
perencanaan strategis (Renstra SKPD) dengan kegiatan-kegiatan operasional yang
dilaksanakan SKPD.
Di samping persyaratan adanya
indikator kinerja dan proses penyusunan anggaran yang memfasilitasi penggunaan
inkator kinerja, persyaratan lainnya dalam penerapan penganggaran berbasis
kinerja yang dikemukakan Robinson dan Last (2009) adalah klasifikasi
pengeluaran berdasarkan program (program budget) dan fleksibilitas yang lebih
besar bagi manajer atau pejabat pelaksana anggaran.
Program budget mengklasifikasikan
pengeluaran anggaran berdasarkan jenis pelayanan dan tujuan, bukan berdasarkan
jenis input (gaji, bahan, perjalanan dinas dan sebagainya) sebagaimana pada
traditional line-item budgeting. Robinson dan Last (2009) menyatakan pada
program budget proses penyusunan anggaran harus berdasarkan pada program
(program based) yaitu satuan kerja harus mengajukan dan menyajikan anggarannya
dalam bentuk program dengan didukung biaya dan informasi kinerja. Senada dengan
Robinson dan Last, Shah dan Shen (2007) menyatakan bahwa bertentangan dengan
line-item budgeting, performance budgeting menerapkan alokasi lumpsum untuk
program-program bukan klasifikasi line item secara rinci (detailed line item
clasification). Terkait dengan ini, Rubin (2007) mengemukakan bahwa output
model budgeting mengasumsikan bahwa manajer atau pelaksana anggaran akan
menggunakan sumber daya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya untuk mencapai
target dengan alasan bahwa mereka akan diminta bertanggung jawab bukan atas
pelaksanaan anggaran sesuai dengan item-item pengeluaran yang dilakukan (line
item), melainkan atas kuantitas dan kualitas hasil yang dijanjikan dari paket
sumber daya yang dialokasikan bagi mereka dalam anggaran.
Pelaksanaan anggaran membutuhkan
adanya fleksibilitas input dimana pejabat pelaksana anggaran harus diberi
fleksibilitas yang lebih besar untuk memilih belanja-belanja yang dilakukannya
untuk menghasilkan pelayanan dengan cara yang paling efisien. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengurangi sejumlah batasan yang harus diikuti pada
pengeluaran anggaran berdasarkan klasifikasi ekonomi (line item) pada
traditional budgeting. Dibandingkan dengan traditional line-item budgeting,
performance budgeting membenarkan untuk melakukan penggunaan sumber daya fiskal
secara lebih fleksibel dan meningkatkan akuntabilitas terhadap hasil. Shah dan
Shen (2007) menyatakan performance budgeting meningkatkan fleksibilitas
manajerial dengan memberi manajer departemen atau program alokasi lumpsum tetap
(fixed lumpsum allocation) yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan untuk
mencapai hasil yang sudah disetujui dalam pemberian pelayanan. Manajer publik
menikmati peningkatan diskresi manajerial tapi diwajibkan bertanggung jawab
atas apa yang mereka capai dalam kinerja pemberian pelayanan.
Namun, kedua persyaratan ini belum
diakomodir oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia, terutama untuk
penyusunan anggaran pemerintah daerah. Struktur anggaran yang digunakan dalam
penyusunan APBD masih menggunakan struktur line-item budgeting di mana anggaran
disusun menurut klasifikasi belanja sampai dengan rincian objek belanja. Hal
ini berimplikasi pada control yang ketat terhadap input yang mengakibatkan
kurangnya fleksibilitas bagi manajer (pengguna anggaran) dalam menggunakan
anggarannya. Dengan demikian, ketentuan mengenai pengeluran anggaran yang
diatur dalam peraturan perundangan yang ada belum mendukung fleksibilitas
pengeluaran anggaran oleh pengguna anggaran sebagai pejabat yang mempunyai
otoritas dalam melaksanakan pengeluaran anggaran.
Seperti telah diuraikan di atas,
penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu
pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran
yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya
dengan menggunakan informasi kinerja. Dengan demikian, dalam penganggaran
berbasis kinerja (performance-based budgeting) informasi kinerja merupakan
media atau sarana dalam mengaitkan pengeluaran yang akan dilakukan organisasi
sektor publik dengan kinerjanya. Informasi kinerja dimaksud dinyatakan dalam
bentuk indikator kinerja dan target capaiannya. Karena itu, salah satu unsur
penting dalam penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting)
adalah penetapan ukuran atau indikator kinerja.
Menurut Bastian (2006), indikator
kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat
pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Carlin (2004)
menyatakan indikator kinerja output memegang peranan kunci dalam ketentuan
mengenai akuntabilitas pemerintah yang baik dan pengambilan keputusan mengenai
alokasi sumberdaya, perencanaan dan prektek manajemen yang lebih baik. Stewart
(1984), seperti dikutip Carlin (2004), menyatakan pada sektor publik indikator
kinerja seharusnya membantu pengguna laporan dalam memahami input, output,
outcome dan kebijakan yang berkaitan dengan suatu periode tertentu. Indikator
kinerja yang digunakan pada setiap kegiatan mencakup:
1)
Indikator
Masukan (Input)
Masukan (input) merupakan segala
sesuatu yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu kegiatan untuk menghasilkan
keluaran atau memberikan pelayanan. Indikator ini dapat berupa dana, sumber
daya manusia, sarana, informasi, dan sebagainya.
2)
Indikator
Keluaran (Output)
Keluaran (Output) merupakan produk
atau keluaran langsung dari suatu aktivitas/kegiatan yang dilaksanakan.
Indikator keluaran dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan
apabila target kinerjanya dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang
terdefinisi dengan baik dan terukur. Karenanya, indikator keluaran harus sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi unit organisasi yang bersangkutan. Indikator
keluaran (ouput) digunakan untuk memonitor seberapa banyak produk yang dapat
dihasilkan atau disediakan.
3)
Hasil
(Outcome)
Hasil (Outcome) menggambarkan hasil
nyata dari keluaran (output) suatu kegiatan dan mencerminkan berfungsinya
output tersebut. Indikator hasil (outcome) merupakan ukuran kinerja dari
program dalam memenuhi sasarannya. Pencapaian sasaran dapat ditentukan dalam
satu tahun anggaran, beberapa tahun anggaran, atau periode pemerintahan.
Sasaran itu sendiri dituangkan dalam fungsi/bidang pemerintahan, seperti
keamanan, kesehatan, atau peningkatan pendidikan. Indikator hasil (outcome)
digunakan untuk menentukan seberapa jauh tujuan dari setiap fungsi pemerintah
yang dicapai dari output suatu aktivitas (produk atau jasa pelayanan) telah
memenuhi keinginan masyarakat yang dituju.
4)
Manfaat
(Benefit)
Manfaat (Benefit) adalah sesuatu yang
terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
5.
Dampak
(Impact)
Dampak (Impact) adalah pengaruh yang
ditimbulkan baik positif maupun negatif terhadap setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Kualitas dari
suatu indikator kinerja dapat dilihat dari pemenuhan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh suatu indikator kinerja yang baik. Syarat-syarat tersebut menurut
Bastian (2006) adalah:
1.
Spesifik,
jelas, dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.
2.
Dapat
diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, yaitu
dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja tersebut mempunyai kesimpulanyan
sama.
3.
Relevan,
yaitu indikator kinerja harus menangani aspek objektif yang relevan.
4.
Dapat
dicapai, penting dan harus berguna untuk menunjukkan keberhasilan.
5.
Harus
cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan / penyesuaian pelaksanaan dan
hasil pelaksanaan kegiatan
6.
Efektif,
yaitu data/informasi yang berkaitan dengan indikator kinerja yang bersangkutan
dapat dikumpulkan, diolah, dan dianalisis dengan biaya yang tersedia.
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan performance budgeting
adalah mendefinisikan kinerja (performance). Agar bisa mengukur kinerja
organisasi harus mengartikulasikan dengan jelas sasaran-sasarannya yang menjadi
dasar dalam pengukuran kinerja. Kinerja tidak dapat diukur sebelum
sasaran-sasaran tersebut dinyatakan dalam hasil-hasil yang diinginkan yang
dapat diukur (measurable desired results) yang dinyatakan dalam bentuk output
atau outcome. Diamond (2005) menyatakan ciri-ciri yang harus dimiliki oleh
output adalah merupakan barang atau jasa yang disediakan bagi individu atau
organisasi di luar instansi yang bersangkutan, dapat diidentifikasi dengan
jelas, berkontribusi untuk pencapaian outcome yang direncanakan, berada dalam
kendali (controlable) instansi yang bersangkutan, serta menjadi dasar untuk
perbandingan kinerja antar periode atau dengan kinerja aktual instansi lainnya.
Sedangkan, ciri-ciri yang harus dimiliki oleh outcome menurut Diamond (2005)
adalah harus mencerminkan sasaran dan prioritas pemerintah, ditandai dengan
dampak terhadap masyarakat, menjelaskan strategi instansi, mengidentifikasikan
target grup dengan jelas, dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu, dapat
dipantau dan dinilai pencapaiannya, memperlihatkan hubungan sebab akibat dengan
output, serta mempunyai definisi dan deskripsi yang jelas sehingga mudah
dilaporkan.
Sementara itu,
terkait dengan kualitas indikator kinerja, Carlin (2004) menyatakan indikator
kinerja yang digunakan dan dilaporkan instansi harus:
a.
Correlative
Sekumpulan
indikator yang dipilih suatu instansi harus sangat terkait dengan aktifitas dan
fungsi utama instansi yang bersangkutan.
b.
Controllable
Untuk
menganalisis sampai sejauh mana pencapaian kinerja didorong oleh upaya yang
dilakukan instansi, informasi kinerja yang digunakan sebaiknya terkait dengan
faktor-faktor yang berada dalam kendali instansi yang bersangkutan.
c.
Comprehensible
Agar
berguna, pembaca laporan harus dapat mengerti indikator yang dilaporkan yang
dimulai dengan memastikan bahwa unit pengukuran yang relevan digunakan untuk
setiap indikator kinerja.
d.
Timely
Untuk
memaksimalkan penggunaannya, indikator yang digunakan berhubungan dengan
keadaan sekarang.
e.
Consistent
Konsistensi
antar waktu merupakan dimensi utama dari kualitas dalam pelaporan kinerja.
f.
Constrainted
Indikator
yang digunakan sebaiknya dibatasi pada hal-hal yang memberikan gambaran yang
jelas dan akurat mengenai operasi instansi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar