BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pengelolaan
(manajemen) pemerintah daerah mengalami perubahan yang sangat berarti sejalan
dengan diimpementasikannya otonomi daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah memberikan arti penting bagi
sistem pemerintahan Pusat dan Daerah,
serta sistem hubungan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah.
(Undang-Undang tersebut disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004). Kedua ketentuan perundangan ini memberikan kesempatan yang sangat luas
kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun optimalisasi pemanfaatan
berbagai potensi yang dimiliki.
Otonomi
daerah disatu sisi memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah,
namun disisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang lebih besar bagi
pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemandirian
untuk mengelola dan mengatur rumah tangga sendiri akan terwujud dengan baik
apabila dukungan (partisipasi) publik (Adi, 2007 dalam Adi dan Setyawan, 2008), hal ini relative
akan dapat terwujud bila terjadi proses distribusi, baik pada kebutuhan masyarakat
maupun perolehan serta pembagian pendapatan untuk daerah dan masyarakat secara
merata.
Sementara
itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai tingkat kesiapan
yang berbeda, baik dari segi sumber daya maupun kemampuan manajerian daerah. Di
mana beberapa daerah tergolong sebagai daerah yang beruntung karena memiliki
sumber-sumber penerimaan yang potensial, yang berasal dari pajak, retribusi
daerah, maupun ketersediaan sumber daya alam yang memadai yang dapat dijadikan
sebagai sumber penerimaan daerah. Namun disisi lain bagi beberapa daerah,
otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan
untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah yang mengalami peningkatan
tekanan fiscal (Fiscal Stress) yang lebih tinggi dimana daerah dituntut untuk
mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk
mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.
Adanya
kewenangan yang lebih luas yang diberikan pusat tidak hanya diindikasikan akan
mempengaruhi pendapatan daerah. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat tekanan
fiscal (Fiscal stress) dalam otonomi daerah dalam mampengaruhi pertumbuhan
pendapatan khususnya pada kabupaten Gowa. Di mana Kabupaten Gowa sebagai daerah
yang cukup potensial dikembangkan menjadi daerah yang berotonomi, bahkan pernah
menjadi daerah percontohan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi
Selatan. Terkait dengan hal itu, pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten
Gowa diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan
publik guna meningkatkan kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya
tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap
pemerintah daerah itu juga semakin tinggi (Adi,2007 dalam Adi dan Setyawan, 2008).
B.
Masalah Pokok
Berdasarkan
latar belakang yang di kemukakan, maka yang menjadi masalah pokok dalam
penelitian ini adalah apakah Fiscal Stress berpengaruh terhadap peningkatan
pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gowa,
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Fiscal Stress terhadap peningkatan pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
pada Kabupaten Gowa.
2.
Kegunaan
Penelitian
Sedangkan
manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a.
Sebagai
bahan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu akuntansi
sektor publik.
b.
Sebagai
referensi bagi peneliti selanjutnya terkait dengan permasalahan yang sama.
c.
Sebagai
bahan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan, terutama pemerintah Kabupaten
Gowa terkait dengan pemanfaatan dan peningkatan potensi penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
d.
Sebagai
referensi dan informasi bagi mahasiswa maupun masyarakat, untuk mengetahui
tentang kinerja Kabupaten Gowa, khususnya pengelolaan penerimaan Pendapatan
Asli Daerah (PAD).
I.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN
HIPOTESIS
A.
Tinjauan Pustaka
1.
Pentingnya Otonomi Daerah
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan dampak negative
bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Disatu sisi,
krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan,
namun disisi yang lain, krisis tersebut dapat juga memberi ‘’berkah tersembunyi’’
bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia dimasa yang akan
datang. Mengapa? Karena krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami telah
membuka jalan bagi munculnya reformasi total bagi seluruh aspek kehidupan bangsa
Indonesia. Tema sentral reformasi
tersebut adalah mewujudkan masarakat madani, terciptanya Good Governance. dan mengembangkan model pembangunan yang
berkeadilan. Di samping itu, reformasi ini telah juga memunculkan sikap
keterbukaan dan fleksibel sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga
mempermudah proses pengembangan dan modernisasi diberbagai bidang kehidupan.
Salah
satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas
kepada Kabupaten dan Kota, tuntutan seperti ini adalah wajar, paling tidak
untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar
dimasa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan
efektifitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan
demokrasi di daerah (Mardiasmo, 1999 dalam
Mardiasmo, 2002). Arah dan Statutory Requiremet
(persyaratan hukum) yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut
menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga pemerintah
daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan
sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Besarnya
arahan dari pemerintah pusat itu didasarkan pada dua alasan utama, yaitu untuk
menjamin stabilitas nasional, dan karena kondisi sumber daya manusia daerah
yang dirasa masih relative lemah. Karena dua alasan ini, sentralisasi otoritas
dipandang sebagai prasyaratan untuk persatuan dan kesatuan nasional serta
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada
awalnya pandangan ini terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an dan 80-an, misalnya,
Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang
mantap (shalt, et.al., 1994 dalam Mardiasmo, 2002). Namun dalam jangka panjang,
sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabilitas,
memperlambat pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian
proyek-proyek publik, serta mamperlambat pengembangan kelembagaan sosial
ekonomi di daerah (bastin dan semoke, 1992 dalam Mardiasmo, 2002).
Kedua,
tuntutan pemberian otonomi daerah itu juga muncul sebagai jawaban untuk
memasuki Era New Game yang membawa
New Rules (aturan baru) pada semua aspek kehidupan manusia di masa yang akan
datang. Di era seperti ini dimana Globalization
Cascade sudah semakin meluas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali
pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan internasional, informasi dan
ide, serta transaksi keuangan. Dimasa depan, pemerintah sudah terlalu besar
untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk
dapat menyelesaikan semua masalah yang di hadapi oleh masyarakat (shad, 1997
dalam Mardiasmo, 2002)
2.
Desentralisasi Fiskal
Dalam
Tap MPR No.15/MPR/1998 tentang “ Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia’’
Tap MPR tersebut merupakan landasan hukum keluarnya UU No. 22 Tahun 1999
tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang akan segera membawa angin
segar bagi pengembangan otonomi daerah. Kedua Undang-Undang tersebut kemudian
disempurnakan kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 33 tahun 2004. Kedua ketentuan perundang-undangan ini memberi kesempatan
yang sangat luas kepada pemerintah daerah, baik dalam penggalian maupun
optimalisasi pemanfaatan potensi yang
dimiliki.
Misi
utama kedua Undang-Undang tersebut adalah Desentralisasi, Desentralisasi tidak
hanya berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah yang
lebih rendah (daerah), tetapi juga pelimpahan beberapa wewenang pemerintah ke
pada pihak swasta dalam bentuk privatisasi.
Pada masa yang akan datang, pemerintah pada semua tingkatan harus fokus
pada fungsi-fungsi dasarnya, yaitu : penciptaan dan modernisasi legal dan
regulasi; pengembangan suasana yang kondusif bagi proses alokasi sumberdaya
yang efisien; pengembangan kwalitas sumber daya manusia dan infrastruktur;
melindungi orang-orang yang rentah fisik dan nonfisik; serta meningkatkan dan
konservasi daya dukung lingkungan hidup (World Bank, 1997 dalam Mardiasmo,
2002).
Selanjutnya
beberapa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) juga sedang disiapkan. Semuanya dimaksudkan
untuk memperjelas bahwa kita menginginkan pemerintahan daerah yang otonom yang
efisien, efektif, akuntabel, transparan dan responsive secara berkesinambungan.
Arah seperti itu adalah keharusan, karena dengan model pemerintahan tersebut
pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia di seluruh penjuruh tanah air dapat
dilaksanakan. Pada satu sisi, pembangunan dengan model pemerintahan di seluruh
wilayah di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Disisi yang lain, kebijakan
desentralisasi itu akan menghasilkan wadah bagi masyarakat setempat dalam
berpartisipasi bahkan berperan serta dalam menentukan prioritas dan
preferensinya (pilihannya) sendiri dalam meningkatkan taraf hidup sesuai dengan
peluang dan tantangan yang dihadapi dalam batas-batas kepentingan nasional.
Salah
satu peraturan pemerintah yang telah disiapkan pemerintah pusat adalah
peraturan pemerintah tentang keuangan daerah. Peraturan ini lebih konkrit dan
lebih jelas dengan titik berat pada koreksi total semua kesalahan di masa yang
lalu, dan keristalisasi semangat reformasi yaitu pemerintahan yang bersih,
jujur,terbuka, akuntabel, dan responsive, serta berorientasi pada kepentingan
publik dan kesejahteraan masyarakat.
Secara
teoritis, Desentralisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata,
yaitu: pertama, mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumberdaya dan potensi yang
tersedia di masing-masing daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya
produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat
pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Konsekuensi
dari pelimpahan wewenang pemerintah dari pusat ke daerah otonom, tidak lain
adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, saran dan prasarana, serta Sumber
Daya Manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Untuk
merealisasikan ketentuan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat-Daerah dan
telah disempurnakan dalam UU Nomor 32 tahun 2004.
Secara
singkat yang dimaksud dengan desentralisasi fiscal adalah suatu proses
distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah
yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan
publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintah yang dilimpahkan.
Jumlah bidang pemerintahan yang menjadi tanggung jawab di Indonesia adalah sama
di antara level pemerintah Kabupaten atau Kota, serta di antara pemerintah Provinsi.
Namun, dengan otonomi daerah, kewenangan daerah Kabupaten atau Kota kini menjadi
lebih besar dibanding Provinsi ataupun Pusat. Bagaimana masing-masing daerah
melaksanakan kewenangannya tergantung kepada daerah yang bersangkutan sesuai
dengan kreativitas, kemampuan organisasi pemerintah daerah, serta kondisi
setiap daerah.
Dalam
melaksanakan Desentralisasi Fiscal, prinsip (rules) Money Should Follow Function merupakan salah satu prinsip yang
harus diperhatikan dan dilaksanakan. Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan
wewenang pemerintah membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah merupakan Derivative dari
kebijakan otonomi daerah, pelimpahan wewenang pemerintah Pusat ke Daerah.
Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin
besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah. Namun, dalam pengelolaan pembiayaan
tugas Desentralisasi, prinsip efisiensi juga menjadi suatu ketentuan yang harus
dilaksanakan. Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintah atau pelayanan
publik sedapat mungkin dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang
maksimal.
Roy W. Bahl (1999 dalam Saragih 2003)
mengemukakan dalam aturan yang kedua belas disebutkan bahwa Desentralisasi harus
memacu adanya persaingan diantara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi
pemenang (there must be a champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat
dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik, pemerintah lokal berlomba-lomba
untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik dan yang dibutuhkan oleh
masyarakat, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang
semakin besar, peningkatan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat
dalam pemerintahan dan lain-lain.
Sistem
hubungan Keuangan Pusat dan Daerah merupakan suatu mekanisme distribusi
sejumlah dana anggaran dari pemerintah pusat kepada daerah dalam kerangka otonomi
daerah. Konsep perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah adalah konsekuensi
dari adanya tanggung jawab terhadap kewenangan masing-masing tingkatan
pemerintah. Karena itu setiap tingkatan pemerintah berkepentingan terhadap
kebijakan Desentralisai Fiscal. Sebagaimana diketahui bahwa pemerintah pusat
pun masih mempunyai kewenangan pemerintahan. Artinya, kewenangan pemerintah
pusat bukan kewenangan yang tersisa seperti diungkapkan oleh beberapa pakar
ekonomi.
3.
Fiscal Stress
Fiscal stress merupakan tekanan
anggran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dimana tekanan
fiscal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan
peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri
untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya
daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam
era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe, dalam Adi dan Setyawan, 2008),
mengemukakan bahwa terjadinya kerisis keuangan disebabkan tidak cukupnya
penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah
yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang sama,
dimana tekanan fiscal (fiscal stress) yang menjadi semakin tinggi.
Salah
satu aspek dari pemerintah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang diketahui,
anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang
(rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang
utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan
sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi
pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya
difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang
menjadi proritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Dengan
diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang
kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 pada
tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010.
Undang-Undang ini lahir dengan mempertimbangkan bahwa Undang-Undang No.18, tahun
1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 34, Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi
daerah.
Hal-hal
yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam Undang-Undang PDRD
dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang
No. 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah
Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan
efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian,
pungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Pemberian
kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan
yang besar pula dalam perpajakan dan Retribusi Daerah.
Basis
pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan
provinsi dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.
(Shamsub & Akoto, 2004 dalam Adi dan
Setyawan, 2008) mengelompokkan penyebab
timbulnya Fiscal Stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1.
Menekankan
bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama
terjadinya Fiscal Stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang
menurun dan resesi.
2.
Menekankan
bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran Industri sebagai penyebab
utama timbulnya Fiscal Stress. YU dan
Korman (1987) dalam (shamsub &
Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran Industri menjadikan berkurangnya hasil
pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.
3.
Menerangkan
Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak
terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub
& Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidak efisienan
biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja
untuk kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.
Ketergantungan
daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk
mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontrol
anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan
(atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam era
ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat Fiscal Stress
tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004 dalam Adi dan Setyawan, 2008). Oleh karena itu,
tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Upaya
pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui
pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan
pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki.
Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan
pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
4.
Pendapatan Asli Daerah
Menurut
(Abdul Halim, 2002) Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Sedangkan (Mardiasmo,
2002). Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dari
tahun ke tahun kebijakan mengenai Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap daerah
provinsi, kabupaten dan kota relative tidak banyak berubah. Artinya, sumber
utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) komponennya itu-itu juga yang terdiri atas
pajak daerah, rertibusi daerah, dan bagian laba dari BUMN. Hali ini lebih
dipengaruhi oleh kebijakan Fiscal (national Fiscal Policy) pemerintah pusat
mengandalkan penerimaan jenis pajak yang “subur” untuk kepentingan nasional.
Setelah
Desentralisasi digulirkan oleh pemerintah pusat, maka Pemerintah Daerah (pemda)
berlomba-lomba menciptakan “kreativitas baru” untuk mengembangkan dan meningkatkan
jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing daerah. Akan
tetapi , pertanyaannya adalah apakah dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Pemerintah Daerah (pemda) mampu melaksanakan seluruh kewenangannya?
Apakah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu tolak
ukur keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi atau Otonomi Daerah?
Selama
Pendapatan Asli Daerah (PAD) benar-benar tidak memberatkan atau membebani
masyarakat lokal, Investor lokal, maupun Investor asing, tentu tidak masalah.
Dan dapat dikatakan bahwa daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
meningkat setiap tahun mengindikasikan daerah tersebut mampu membangun secara
mandiri tanpa tergantung dana pusat.
Sebaliknya
jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) justru berdampak terhadap perekonomian daerah
yang tidak berkembang atau semakin buruk, maka belum dapat dikatakan
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Pemahaman
kemana sebenarnya pergerakan Otonomi Daerah , masih kurang. Mereka berfikir Otonomi
Daerah hanya untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar-besarnya.
Itu presepsi yang salah. Tujuan dan sasaran pemberian Otonomi Daerah dalam artian
wewenang yang luas kepada Kabupaten dan Kota adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan bahwa ini sangat
memberatkan masyarakat lokal, investor lokal dan investor asing, justru
menghambat perkembangan perekonomian daerah terutama dalam era kompetitif yang
berlaku sekarang. Dimana pelayanan terbaik dan iklim usaha yang kondusif ikut
menentukan investasi di daerah.
Pendapat
Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah. Kelompok pendapatan asli daerah (PAD) dipisahkan menjadi
empat jenis pendapatan yaitu:
a.
Pajak
Daerah.
b.
Retribusi
Daerah.
c.
Hasil
Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang di Pisahkan.
d.
lain-lain
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah.
a.
Pajak Daerah
Pajak
Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak secara umum
adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara pemerintah berdasarkan Undang-Undang
yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan
tidak mendapatkan prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung
Berdasarkan
UU No 34 Tahun 2000 yang dimaksud dengan “Pajak Daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah
dan pembangunan daerah’’
Dari
defenisi diatas jelas bahwa pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan
kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa
terkecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil pajak daerah ini diperuntukkan bagi
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah.
Pada
Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah
menyetujui dan mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi
Undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di banding
desentralisasi fiscal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup
fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Undang-undang yang baru ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010.
UU
PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1.
Memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi
sejalan dengan semakin besarnya tanggungjawab daerah dalam penyelengaraan
pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat
2.
Meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan
dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
3.
Memberikan
kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus
memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada
beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan
dalam penyusunan UU ini yaitu :
1.
Pemberian
kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak terlalu
membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiscal nasional.
2.
Jenis
pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam
undang-undang.
3.
Pemberian
kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak dalam batas tarif minimum
dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
4.
Pemerintah
daerah tidak dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang
sesuai kebijakan pemerintah daerah.
5.
Pengawasan
pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakuakn secara preventif dan
korektif. Rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus
dapat persetujuan pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran
terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi.
Materi
yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2009 adalah sebagai
berikut :
Penambahan
pajak daerah.
Pajak
daerah yang diataur dalam Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai mana
dibawa ini:
a.
Jenis
Pajak Propinsi terdiri atas:
1)
Pajak
Kendaraan Bermotor;
2)
Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3)
Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4)
Pajak
Air Permukaan; dan
5)
Pajak
Rokok.
b.
Jenis
Pajak Kabupaten dan Kota terdiri atas:
1)
Pajak
Hotel;
2)
Pajak
Restoran;
3)
Pajak
Hiburan;
4)
Pajak
Reklame;
5)
Pajak
Penerangan Jalan;
6)
Pajak
Mineral Bukan logam dan Bebatuan;
7)
Pajak
Parkir;
8)
Pajak
Air Tanah;
9)
Pajak
Sarang Burung Walet
10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan; dan
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan;
Ada
empat jenis pajak baru bagi daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya
merupakan pajak pusat, dan Pajak Sarang burung Walet yang ditetapkan sebagai
pajak Kabupaten dan Kota. Selain itu pajak rokok ditetapkan sebagai pajak
provinsi. Berarti ada 4 jnis pajak daerah, yaitu 1 pajak provinsi dan 3 jenis pajak
Kabupaten dan Kota. Dengan tambahan tersebut secara keseluruhan ada 16 jenis
pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten dan
kota.
a)
Pajak
Rokok
Pajak rokok dikenakan atas
cukai yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil penerimaan pajak Rokok tersebut
sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten dan kota di propinsi yang
bersangkutan.
Selain itu, penerimaan
Pajak Rokok dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan
(pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan
kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (semoking area),
kegiatan memasyrakatkan mengenai bahaya merokok, dan iklan layanan, masyarakat
mengenai bahaya rokok.
b)
Pajak
Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkantoran
Selama ini PBB merupakan
pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor
pedesaan dan perkotaan diahlikan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan,
perhutanan, dan pertambagan masih merupakan pajak pusat. Dengan menjadikan PBB
Pedesaan dan perkotaan manjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini
akan diperhitungkan sebagai Pendapatan Asli Daearah (PAD)
c)
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan bangunan (BPHTB)
Selama ini BPHTB merupakan
pajak pusat, namun seluruh hasilnya di serahkan kepada daerah. Untuk
meningkatkan akuntabilitas pengelolaan daerah BPHTB diahlikan menjadi pajak
daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD).
d)
Pajak
Sarang Burung Walet
Pajak sarang burung walet
merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk
memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet
di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar
akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD).
b.
Retribusi Daerah
Disamping
pajak daerah sebagai mana disebutkan sebelumnya, sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) juga meliputi rertibusi atau perizinan yang diperoleh dalam Undang-Undang.
Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut
sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang di berikan oleh
pemerintah daerah kepada masyarakat.
Yang
dimaksud rertibusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk kepentingan orang atau badan.
Perbedaan
antara Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya,
tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh karena itu, tarif rertibusi
bersifat fleksibel sesuai dangan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola
jenis pelayanan publik di daerahnya.
Penambahan
Jenis retribusi Daerah
Retribusi
daerah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai
berikut :
a.
Retribusi
Jasa Umum, yang meliputi:
1)
Retribusi
Pelayanan Kesehatan;
2)
Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
3)
Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil;
4)
Retribusi
Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5)
Retribusi
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6)
Retribusi
Pelayanan Pasar;
7)
Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor;
8)
Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9)
Retribusi
Penggantian biaya Cetak Peta;
10) Retribusi Penyediaan dan atau
Penyedotan Kakus;
11) Retribusi Pengelolaan Limbah Cair;
12) Retribusi Tera/Tera ulang;
13) Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14) Retribusi Pengendalian Menara
telekomunikasi
b.
Retribusi
Jasa Khusus, yang meliputi:
1)
Retribusi
Pemakaiaan Kekayaan daerah;
2)
Retribusi
Pasar Grosir dan atau Pertokoan;
3)
Retribusi
Tempat Pelelangan;
4)
Retribusi
Terminal;
5)
Retribusi
Tempat Khusus Parkir;
6)
Retribusi
Tempat Penginapan/Pesangrahan/villa;
7)
Retriubusi
Rumah Potong Hewan;
8)
Retribusi
Pelayanan Kepelabuhanan;
9)
Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga;
10) Retribusi Penyeberangan di Air; dan
11) Retribusi Penjulan Produksi Usaha
Daerah;
c.
Retribusi
Perizinan Tertentu
1)
Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan;
2)
Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3)
Retribusi
Izin Gangguan;
4)
Retribusi
Izin Trayek; dan
5)
Retribusi
Izin Usaha Perikanan;
Terdapat
penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi
Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha
Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis
retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang di kelompokkan kedalam 3 gologan
retribusi, yaitu retribusi jasa umum, rertibusi jasa usaha, dan retribusi
perizinan tertentu.
a)
Retribusi
Tera/Tera Ulang
Pengenaan Retribusi
Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap
penggunaan alat ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya oleh masyarakat.
Dengan pengandalian tersebut, alat ukur, takaran, dan timbangan akan berfungsi
dengan baik, sehingga pengunaannya tdk merugikan masyarakat.
b)
Retribusi
Pengendalian Menara telekomunikasi
Pengenaan Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan
pengendalian daerah terhadap pembagunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi.
Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek
tata ruang, keamanan, dan keselamatan, keindahan sekaligus memberikan kepastian
bagi pengusaha.
Untuk menjamin agar
pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2% dari
nilai jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi.
c)
Retribusi
Pelayanan Pendidikan
Pengenaan retribusi
pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan
dasar dan menegah, separti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah dapat dikenakan pungutan dan hasilnya
digunakan untuk membiayai kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan
pelatian dimaksud.
d)
Retribusi
Izin Usaha Perikanan
Pengenaan Retribusi Izin Usaha
Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena selama
ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah pemerintah daerah
sesuai dengan kewenagannya. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi lainya,
pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan
pengandalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksanan secara terus
menerus dengan kualitas yang lebih baik.
c.
Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan.
Hasil
kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal
dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci
menurut objek pendapatan yang mencakup :
1.
Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Daerah/BUMD
2.
Bagian
laba atas penyertaan modal perusahaan Milik Negara/BUMN
3.
Bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan Milik Swasta atau kelompok
masyarakat.
d.
Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan
ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemerintah
Daerah (Pemda). Rekening ini disediakan untuk mengakuntansi penerimaan daerah
selain yang disebutkan diatas. Pendapatan Asli Daerah lainnya yang disahkan seperti penjualan asset
tetap daerah, pendapatan denda pajak dan jasa giro.
B.
Kerangka Pikir
Untuk mewujudkan kemandirian daerah,
pemerintah daerah harus mampu menggali potensi daerah guna menunjang PAD, dan
mencari faktor–faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap PAD. Sebagai
upaya peningkatan PAD perlu diambil langkah kebijakan efisiensi didalam
pelaksanaan anggaran yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Dalam kondisi fiscal stress yang
kuat, daerah lebih termotifasi untuk
meningkatkan Pendapatan asli Daeranya
(PAD) guna menguruangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
Peningkatan pertumbuhan Pendapatan asli Daerah (PAD) yang dipengaruhi oleh
Fiscal stress selama otonomi daerah merupakan indikasi dari semakin besarnya
usaha yang dilakuan oleh pemerintah kabupaten dan kota dalam menggali potensi
sumber-sumber Pendapatan Asli Daerannya (PAD).
Selama otonomi daerah yang dimulai
pada awal 2001 dapat memberdayakan daerah untuk mengembangkan sumber daya yang
dimiliki, sehingga dapat berkembang dan mandiri dalam menentukan arah kebijakan
yang diambil oleh daerah tetapi tetap masih dalam koridor Negara Kesetuan
Republik Indonesia (NKRI), pemerintah
akan berupaya memenuhi kebutuhan pembiayaan rutin dengan Pendapatan Asli
Daerahnya (PAD). Sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungan terhadap
pemerintah pusat.
Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Abdul Halim (2001) dalam penelitiannya tentang
fiscal stress, disebutkan bahwa PAD masih berperan terhadap total penerimaan
daerah/provinsi. Retribusi sebagai komponen utama PAD, berpengaruh secara signifikan
dari pada pajak. Sedangkan proporsi pajak daerah relative tidak berpengaruh
terhadap PAD. Analisis berdasarkan data realisasi anggaran propinsi sebelum
fiskali stress (1996/1997) dan sesudah (1998/1999). Selanjutnya dilakukan pengujian
dangan paired sampel T Test, yaitu membandingkan dua sampel dengan subjek yang
sama namun mengalami dua perlakuan yang berbeda. Penelitian tersebut hanya
terfokus pada rata-rata seluruh propinsi di Indonesia. Penelitan lain yang
dilakukan oleh Purnaninthesa (2006) membuktikan bahawa fiscal stress
berpengaruh secara siknifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten
dan kota di jawa tengah. Purnaninthesa (2006) menyimpulkan bahwa fiscal stress
pada suatu daerah dapat menyebabkan suatu motivasi dari daerah untuk
meningkatkan pendaptan asli daerahnya guna mengurangi ketergantungan pada
pemerintah pusat.
Gambar 1. Bagan
Alur Kerangka Pikir
3. Hipotesis
Dengan
mengacu pada masalah pokok, tujuan penelitaian, landasan teori yang dikemukakan
dan penelitan terdahulu yang berkaitan dengan penelitain ini, maka hipotesis
yang di ajukan pada penelitian ini adalah: ‘’Diduga, bahwa Fiscal Stress
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah khususnya pada
Kabupaten Gowa’’
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Kabupaten Gowa, sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan
bahwa Kabupaten Gowa sebagai daerah yang cukup potensial dikembangkan manjadi
daerah yang berotonomi, bahkan perna menjadi daerah percontohan dalam pelaksanaan
otonomi daerah di Sulawesi Selatan.
Sedangkan
waktu yang digunakan dalam melakukan penelitian selama ± 2 (dua) bulan.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai
dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitan
Pustaka atau Library Research
Yaitu, melalui studi pustaka yang
merupakan teknik untuk mendapatkan informasi melalui catatan, literatur, dan
jurnal-jurnal penelitan serta dokumentasi yang masih relevan dalam penelitian
ini.
2. Penelitian
Lapangan atau Field Research
a. Wawancara dan survey, yaitu penulis
mengadakan wawancara dengan melakukan survey melalui Dokumentasi, yaitu
data-data yang berbentuk laporan-laporan periodik yang berhubungan dengan objek penelitian ini.
b. Dokumentasi, yaitu data-data yang
bentuk buku literatur yang ada hubungannya dengan penelitian.
C. Jenis dan Sumber Data
1.
Jenis
Data
a.
Data
kunalitatif, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk keterangan-keterangan, atau
informasi-informasi baik tertulis maupun lisan. Data-data ini dibutuhkan oleh
penulis untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada.
b.
Data
kuantitatif, yaitu data yang diperoleh dalam bentuk angka atau daftar, misalnya
dalam bentuk laporan keuangan.
2.
Sumber
Data
Penelitan ini mengguankan
jenis data sekunder (time series) selama
beberapa periode. Penggunaan data sekunder yaitu data yang tersedia pada Kantor Pemerintah Kabupaten Gowa berupa
data realisasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten
Gowa.
D. Defenisi Oprasional dan Pengukuran
Variabel
1.
Fiscal
Stress merupakan suatu kondisi dimana daerah mengalami tekanan anggran yang
terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dimana tekanan fiscal (fiscal
stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan peningkatan
kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri untuk
membiayai berbagai pengeluaran yang ada.
Variable ini diukur berdasarkan
indikator reaslisasi penerimaan dibandingkan dengan nilai potensi pendapatan.
Menurut (Sukatno R, 1999 dalam Adi dan Setyawan, 2008) dapat dirumuskan:
Keterangan:
UPPADj = Upaya Peningkatan sumber-sumber
PAD
Realisasi PAD = Realisasi penerimaan sumber-sumber
PAD
Potensi PAD = Terget penerimaan sumber-sumber
PAD
2.
Pendapatan
Asli Daerah (PAD) adalah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari
sumber ekonomi asli daerah atau penerimaan daerah dari sector pajak daerah,
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pendapatan Asli daerah (PAD) diukur
berdasarkan Pendapatan Asli Daerah periode
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dibagi dengan Pendapatan
Asli Daerah Periode APBD sebelumnya. Dapat dirumuskan:
Keterangan :
PPAD(t) =
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah periode t
PAD(t) =
Pendaptan Asli dareah periode t
PAD (t-1) =
Pendapatan Asli daerah Periode t-1
Untuk memperjelas oprasional
variable, maka dapat dibuat tabel oprasional variable sabagai barikut :
Table 1
Oprasional Variabel
No
|
Variabel
|
Konsep
|
Indikator
|
Skala
|
1
|
Fiscal
Stress (X)
|
Semakin tinggi tekanan fiscal
(fiscal stress) maka diharapkan semakin tinggi tingkat pertumbuhan Pendapatan
Asli Daerah
|
Upaya
peningkatan sumber-sumber diukur
berdasarkan Realisasi penerimaan dibandingkan dengan nilai Potensi
pendapatan.
|
Ratio
|
2
|
Pertumbuhan
PAD
(Y)
|
Semakin
tinggi tingkat pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah maka diharapkan semakin
tinggi pula tinggkat kemandirian Daerah
|
Pendapatan
Asli daerah Periode APBD dibagi dengan Pendapatan asli daerah Periode APBD
sebelumnya.
|
Ratio
|
E. Metode Analisi dan Pengujian
Hipotesis
1. Metode
Analisis
Untuk menjawab permasalahan yang ada
telah dikemukakan, maka teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi
sederhana, dengan rumus regersi :
Y= a +βX+e
Keterangan :
Y =
Pertumbuhan Pendaptan Asli daerah (variable terikat/dependen)
a =
Konstanta
β =
Koefisien Regresi
X =
Fiscal Stress (variable
bebas/independen)
Untuk
memudahkan pengolahan data pada penelitian ini akan menggunakan SPSS for
windows versi 17. Sebelum melakukan analisis regresi, maka terlebih dahulu
dilakukan pengujian asumsi klasik:
1.
Uji
normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau
tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang
terdistribusi normal.
2.
Uji
autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode
t dengan periode sebelumnya (t -1). Secara sederhana adalah bahwa analisis
regresi adalah untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel
terikat, jadi tidak boleh ada korelasi antara observasi dengan data observasi
sebelumnya.
3.
Uij Heteroskedastistas bertujuan menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual atau pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi
Heteroskedastisitas.
2. Uji
Hipotesis
Untuk menguji hipotesis statistik yang telah dibuat maka
digunakan uji statistik parsial (t) dimana uji t menunjukan seberapa jauh
variable independen secara individu menerangkan variansi. Pengujian ini
dilakukan dengan menggunakan tingkat singnifikan 5%. Jika nilai singnifikan α
< 0,05 artinya terdapat pengaruh yang singnifikan antara tingkat kelebihan
sebesar 5%.
BAB
IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran
Umum
1.
Sejarah Terbentuknya Gowa
Sebelum
Kerajaan Gowa Terbentuk, terdapat 9 (Sembilan) Negeri atau Daerah yang
masing-masing dikepalai oleh seorang penguasa yang merupakan raja kecil. Negeri
ini ialah Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei,
Kalling dan Sero. Pada suatu waktu Paccallayya bersama raja-raja kecil itu
masygul karena tidak mempunyai raja, sehingga mereka mengadakan perundingan dan
sepakat memohon kepada Dewata agar menurunkan seorang wakilnya untuk emerintah
Gowa.
Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1320 (Hasil Seminar Mencari Hari Jadi Gowa) dengan
diangkatnya Tumanurung menjadi Raja Gowa maka mereka dalam daerahnya
masing-masing dan berada di bawah pemerintahan “Tumanurung Bainea” selaku Raja Gowa Pertama yang bergelar Karaeng
Sombaya Ri Gowa.
Raja
kecil hanya merupakan Kasuwiyang Salapang (Sembilan Pengabdi), kemudian lembaga
ini merupakan Bate Salapang (Sembilan Pemengang Bendera).
Pada
tahun 1320 Kerajaan Gowa terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut
Kasuwiyang-Kasuwiyang dan merupakan kerajaan kecil yang terdiri dari 9
(sembian) Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang Tombolo, Lakiung, Samata,
Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei,
Kalling dan sero.
Pada
masa sebagai kerajaan, banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan
mengandung citra nasional antara lain Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng
Imannuntungi Karaeng Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas Kerajaan
Gowa melalui Perang dangan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang
(Pangkaje’ne), Sidenreng, Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil,
sehingga Kerajaan Gowa meliputi hampir seluruh dateran Sulawasi Selatan.
Di
masa kepemimpinan Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang merangkap sebagai
syhbandar, telah berhasil menciptkan aksara Makassar yang terdiri 18 huruf yang
disebut Lontara Turiolo.
Pada
tahun 1051 H atau 1605 M, Dato Ribandang
menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan Tepatnya pada tanggal 9 Jumaidil
Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan
masuk Islam dan Mendapatkan Gelar Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja
Tallo I Mallingkaang Daeng Nyori Karaeng Katangka dengan gelar Sultan
Awwalul Islam dan beliaulah yang mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertamakalinya.
Raja
I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan
Hasaniddin Raja
Gowa ke XVI dengan gelar Ayam Jnatan Dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa
sebagai kerajaan maritin yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan
terkuat di Kawasan Indonesia Timur.
Pada
tahun 1653 – 1670, kebebasan berdagang
di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa dibawah Pemerintahan
Sultan Hasanuddi. Hal inimendapat tentagan dari VOC yang menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai
puncaknya pada saat Sultan Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Button.
Akibat
peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan
jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui
pertimbangan kearifan dan kemanusiaan dengan rendah hati yang berat menerima
perintaan damai VOC.
Pada
tanggal 18 November 1667 dibuat perjanjiaan yang dikenal dengan perjanjiaan
bungaya (cappaya ri bungaya). Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada
tanggal 9 Maret 1668, pihak Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali
dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan
jatuhnya Benteng somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam
kenagan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membelah tanah airnya.
Sultan
Hasanuddin bersumpah tidak sudi bekerjasam dengan Belanda dan pada tanggal 1
juni 1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XIV setalah hampir 16 tahun
lamanya melwan penjajah. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni1670 Sultan Hasanuddin
mangkat dalam usih 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa
dan Negara, maka dengan Surat Keputusan Persiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973
tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai
Pahlawan Nasional.
Dalam
sejarah berdirinya Kerajaan Gowa, mulai dari Raja Tumanurung Bainea sampai
dengan era Raja Sultan Hasanuddin telah mengalami 36 kali pergantian Somba
(raja).
Pada
tahun 1950 berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1950 Daerah Gowa terbebtuk
sebagai Daerah Swapraja dari 30 daerah Swapraja lainnya dalam pembentukan 13
Daerah Indonesia Bagian Timur.
Sejarah
Pemerintahan Daerah Gowa berkembang sesuai dengan sisitem pemerintahan Negara.
Setelah Indonesia timur bubar dan Negara berubah manjadi system Pemerintahan
Parlementer berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 dan
Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah Makassar Bubar.
Pada
tanggal 17 Januari 1957 berdirinya kembali Daerah Gowa dalam wadah dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ditetapkan sebagai daerah Tingkat II.
Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 telah dibentuk
daerah-daerah Tingkat II.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 29 tahun 1957 sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1957 mencabut Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan Gowa
sabagai Daerah Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendri. Untuk
oprasionalnya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U.P/7/2/24
tanggal 6 Februari 1957 mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kapala
Daerah yang memimpin 12 (dua belas) Daerah Bawahan Distrik yang dibagi dalam 4
(empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut coordinator masing-masing :
a.
Koordinator
Gowa Utara, meliputi Distrik Mangasa, Tombolo, Pattalassang, Borongloe, Manuju,
dan Borisallo, Koordinatornya berkedudukan Di Sungguminasa.
b.
Koordinator
Gowa Timur, meliputi Distirk Parigi, Inklusif Malino Kota dan Tombolopao.
Koordinatornya berkedudukan di Malino.
c.
Koordinator
Gowa Selatan, meliputi Distrik Limbung dan Bontonompo. Koordinatornya
berkedudukan di Limbung.
d.
Koordinator
Gowa Tenggra, meliputi Distrik Malakaji. Koordinatornya di Malakaji.
Pada
tahuan 1960 berdasrkan kebijaksaan Pemerintah Pusat di seluruh Wilayah Repulik
Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. Untuk Kabupaten
Daerah Tinggkat II Gowa yang terdiri dari 12 Dsitrik diubah menjadi 8 (delapan)
Kecamatan masing-masing :
a.
Kecamatan
Tamalate Dari Distrik Mangasa dan Tombolo.
b.
Kecamatan
Panakukang dari Distrik Pattalassang.
c.
Kecamatan
Bajeng dari Distrik Limbung
d.
Kecamatan
Pallangga dari Distrik Limbung
e.
Kecamatan
Bontonompo dari Distrik Bontonompo
f.
Kecamatan
Tinggimoncong dari Distrik Parigi dan Tombolopao
g.
Kecamatan
Tompobulu dari Distrik Malakaji
h.
Kecamatan
Bontomarannu dari Distrik Borongloe, Manuju dan Borisallo.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1971 tentang perluasan Kotamdya Ujung
Pandang Sebagai Ibukota Propinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tinggkat II Gowa
Menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada diwlilayahnya, yaitu Kecamatan
Panakukang dan Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan Pallangga
(seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang.
Terjadinya
penyerahan sebagian Wilayah tersebut, mengakibatkan makna samarnya jejak
sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang berkaitan dengan aspek kelautan pada
daerah Barombong dan sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi
Kerajaan Maritin yang Pernah jaya di Indonesia Bagian Timur, bahkan sampai ke
Asia Tenggara.
Dengan
dilaksanakanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1971, maka praktis wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa mengalami perubahan yang sebelumnya terdiri
dari 8 (delapan) kecamatan dengan 56 desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46
Desa.
Sebagai
akibat dari perubahan itu pula, maka Pemerinyah Daerah Kabupaten Gowa berupaya
dan menempuh kebijaksanaan-kebijaksanaan yang didukung oleh Gubernur kepala
Daerah Tingkat I Sulawasi Selatan dengan membentuk 2 (dua) buah Kecamatan yaitu
Kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Parangloe.
Guna
memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Kecamatan
Tompobulu, maka berdasarkan surat
keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Sulawasi Selatan
No.574/XI/1975 dibentuklah kecamatan Bungaya hasil pemekaran Kecamatan
Tompobulu. Berdasarkan PP No.34 tahun 1984, Kecamatan Bungaya di defenitifkan
sehingga jumlah Kecamatan di Kabupaten Gowa manjadi 9 (Sembilan).
Selanjutnya
pada tahun 2006, jumlah Kecamatan di Kabupaten Gowa telah manjadi 18 kecamtan
akibat adanya pemekaran di beberapa kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan
definitive pada tahun 2006 sebanyak 167 dan 726 dusun/lingkungan.
Dalam
sejarah perkembangan pemerintahan dan pembagunan mualau dari zaman kerajaan
sampai dengan erah kemerdekan dan reformasi, wilayah pemerintah Kabupaten Gowa
telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Sebagi daerah agraris yang
berbatasan langsung dengan Kota Makassar Ibu Kota Profinsi Sulawasi Selatan
menjadikan Kabupaten Gowa sebagai daerah pengembagan perumahan dan permukiman
selain Kota Makassar.
Kondisi
ini sacra gradual menjadikan daerah Kabupaten Gowa yang dulunya sebagai daerah
agraris sentra pengenbangan pertanian dan tanaman pangan yang sangat potensial,
juga manjadi sentra pelayanan jasa dan perekonomian.
Dalam
sejarah keberadaan Pemerintahan Kabupaten Daerah Tinggakt II sejak tahun 1957
sampai sekarang telah mengalami 12 (dua belas) kali pergantian bupati. 11
(sebelas) kali diantaranya berdasarkan pengangkatan hasil pemilihan secara
langsung oleh Menteri Dalam Negeri.
Dua kali berdasarkan hasil pemilihan
sacara langsung oleh rakyat Kabupaten Gowa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada table berikut :
Tabel 2.
Nama-nama Bupati Kepala Daerah Tk.II Gowa
Nama-nama Bupati Kepala Daerah Tk.II Gowa
Dari Tahun 1957 sampai
Sekarang
No
|
Nama Bupati
|
Periode
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
|
Andi Idjo Karaeng Lalolang
Andi Tau
H. M. Yasin Limpo
Andi Bachtiar
K. S. Mas’ud
H. Muhammad Arif Sirajuddin
H. A. Kadir Dalle
H. A. Azis Umar
H. Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si
Drs. H. Hasbullah Djabar, M.Si
H. Andi Baso Machmud
H Ichsan Yasin Limpo, SH
|
1975-1960
1960-1967
Kareteker
Kareteker
1967-1976
1976-1984
1984-1989
1989-1994
1994-2002
2002-2004
Kareteker
2005-sampai sekarang
|
2.
Visi Dan Misi Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Pada
Kabupaten Gowa
a. VISI :
“Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan yang efektif dan berkeadilan dalam mendorong Pembangunan Daerah menuju
terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.”
b. MISI :
1.
Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Daerah dengan tetap
memperhatikan aspek keadilan kepada masyarakat.
2.
Penetapan Pendapatan Daerah yang rasional dan terukur.
3.
Melakukan Koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan
Propinsi.
4.
Meningkatkan mutu Pelayanan dan Pengawasan (Verifikasi).
5.
Meningkatkan kemampuan SDM dan kompetensi aparatur.
6.
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat melalui
penyediaan sarana dan prasarana pelayanan.
7.
Penyederhanaan birokrasi pencairan anggaran.
8. Penggalian
dan pengkajian potensi sumber-sumber Pendapatan Daerah.
3.
Struktur Organisasi Dan Uraian Tugas
Struktur
organisasi adalah gambaran yang menunjukan organisasi formal dari suatau
organisasi yang didalamnya terdapat susunan fungsi dalam suataui organisasi
mangenai tugas dan tanggung jawab serta hubungan antara operator/bagian sutu
sam lainnya sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan.
Penyususnan
struktur organisasi dimaksudkan untuk memperjelas tugas-tugas, pekerjaan, sarta
wewenang dan tanggung jawab dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi secara efisien dan efektif bagi pejabat-pejabat
structural lingkup daians, maka dipandang perlu mengatur Tugas Pokok, Fungsi
dan Rincian Tugas Jabatan Struktural pada Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah
(DPKD) pada kabupaten Gowa.
Untuk
lebih jelasnya Struktur Organiusasi dari
Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) pada Kabupaten Gowa dapat Dilihat pada
Skema Berikut ini:
Uraian Tugas Dari Dinas Pengelolaan
Keuangan Daerah (DPKD) Kabupaten Gowa.
1.
Kepala
dinas, mempunyai tugas merumuskan konsep sasaran, mengkoordinasikan,
menyelenggarakan, membina, mengarahkan,
mengevaluasi serta melaporkan
pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengelolaan keuangan
daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2.
Sekretariat, mempunyai tugas merencanakan
operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas kesekretariatan, meliputi
urusan umum dan kepegawaian, perencanaan dan pelaporan serta pengelolaan
keuangan.
Adapun
sekretariat di bagi menjadi tiga Sub Bagian yaitu:
a.
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, dipimpin oleh seorang
Kepala Sub Bagian, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk,
memberi tugas, membimbing, memeriksa/mengecek, menyelia, mengatur, mengevaluasi
dan melaporkan kegiatan administrasi umum dan kepegawaian.
b.
Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan, dipimpin oleh
seorang Kepala Sub Bagian, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi
petunjuk, memberi tugas, membimbing, memeriksa/mengecek, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas Sub Bagian Perencanaan dan
Pelaporan.
c.
Sub Bagian Keuangan, dipimpin
oleh seorang Kepala Sub Bagian, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi
petunjuk, memberi tugas, membimbing, memeriksa/ mengecek, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan urusan keuangan, kegiatan kebendaharawanan
dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
3.
Bidang Pendapatan Asli Daerah, dipimpin oleh seorang
Kepala Bidang, mempunyai tugas merencanakan operasionalisasi, memberi tugas,
memberi petunjuk, menyelia, mengatur, mengevaluasi dan melaporkan
penyelenggaraan tugas Bidang Pendapatan Asli Daerah.
Adapun Bidang
Pendapatan Asli Daerah di bagi menjadi tiga Seksi Yaitu:
- Seksi
Penetapan PAD, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi, mempunyai tugas
merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas, membimbing,
memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Penetapan PAD.
- Seksi
Pajak Daerah, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi, mempunyai tugas
merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas, membimbing,
memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Pajak Daerah.
- Seksi
Retribusi Daerah, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi, mempunyai tugas
merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas, membimbing,
memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Retribusi Daerah.
4.
Bidang Perimbangan
dan Lain-Lain Pendapatan yang Sah, dipimpin oleh seorang Kepala Bidang, mempunyai tugas merencanakan
operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas Bidang Perimbangan dan
Lain-Lain Pendapatan yang Sah.
Adapun Bidang
Pertimbangan dam Lain-Lain Pendapatan Sah di bagi menjadi tiga Seksi yaitu:
a.
Seksi Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah,
dipimpin oleh seorang Kepala Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan,
memberi petunjuk, memberi tugas, membimbing, memeriksa/mengecek dan membuat
laporan tugas Seksi Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan yang Sah.
b.
Seksi Pendataan dan Penyuluhan, dipimpin oleh seorang
Kepala Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi
tugas, membimbing, memeriksa/mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Pendataan
dan Penyuluhan.
c.
Seksi Penerimaan dan Penagihan, dipimpin oleh seorang
Kepala Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi
tugas, membimbing, memeriksa/mengecek dan membuat laporan tugas Seksi
Penerimaan dan Penagihan.
5.
Bidang Akuntansi, dipimpin oleh seorang Kepala Bidang, mempunyai
tugas merencanakan operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia,
mengatur, mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas Bidang Akuntansi.
Dalam menyelenggarakan tugas tersebut Bidang akuntansi memepunyai fungsi
sebagai berikut:
Adapun Bidang Akuntansi di bagi menjadi tiga Seksi yaitu:
a.
Seksi Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas, dipimpin oleh
seorang Kepala Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk,
memberi tugas, membimbing, memeriksa/mengecek dan membuat laporan tugas Seksi
Akuntansi Penerimaan dan Pengeluaran Kas.
b.
Seksi Akuntansi Aset, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi,
mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Akuntansi Aset.
c.
Seksi Penyuluhan Laporan Keuangan, dipimpin oleh seorang
Kepala Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi
tugas, membimbing, memeriksa/mengecek dan membuat laporan tugas Seksi
Penyusunan Laporan Keuangan.
6.
Bidang Anggaran, dipimpin oleh seorang Kepala Bidang,
mempunyai tugas merencanakan operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk,
menyelia, mengatur, mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas Bidang
Anggaran. Dalam menyelenggarakan tugas
tersebut Bidang anggran memepunyai fungsi sebagai berikut:
Adapun bidang
anggaran di bagi menjadi tiga Seksi yaitu:
a.
Seksi Penyusunan APBD, dipimpin oleh seorang Kepala
Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Penyusunan
APBD.
b.
Seksi Otoritas DPA-SKPD, dipimpin oleh seorang Kepala
Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Otoritas
DPA-SKPD.
c.
Seksi Perbendaharaan, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi,
mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Perbendaharaan.
7.
Bidang Aset Daerah, dipimpin oleh seorang Kepala Bidang,
mempunyai tugas merencanakan operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk,
menyelia, mengatur, mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas Bidang
Aset Daerah. Dalam penyelenggaraan tugas Bidang Aset Daerah mempunyai fungsi
sebagai berikut:
Adapun Bidang Aset Daerah di bagi menjadi tiga Seksi
yaitu:
a.
Seksi Perencanaan Kebutuhan, dipimpin oleh seorang Kepala
Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Perencanaan
Kebutuhan.
b.
Seksi Analisa Aset, dipimpin oleh seorang Kepala Seksi,
mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Analisa Aset.
c.
Seksi Penghapusan Aset, dipimpin oleh seorang Kepala
Seksi, mempunyai tugas merencanakan kegiatan, memberi petunjuk, memberi tugas,
membimbing, memeriksa/ mengecek dan membuat laporan tugas Seksi Penghapusan
Aset.
3. Ringkasan
Realisasi PAD Kabupaten Gowa
Sebagaimana yang
disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 mengenai klasifikasi
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten
Gowa terdiri atas :
1. Pajak
Daerah
2. Retribusi
Daerah
3. Hasil
Perusahaan Milik Daerah & Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4. Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah
Table 3.
Ringkasan Penerimaan
Pendapatan asli daerah Kabupaten Gowa
Periode 2006-2010
Jenis PAD
|
Tahun
|
|||||
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
|
Pajak Daerah
|
5.444.298.406,00
|
11.470.021.978.00
|
11.803.576.897
|
8.516.701.556.00
|
11.305.904.862,00
|
9.702.395.960
|
Retribusi Daerah
|
12.380.879.377,00
|
16.437.036.370.00
|
15.080.960.518
|
15.797.477.151.00
|
23.566.686.977,00
|
34.622.5257.80
|
Bagian Laba BUMN
|
372.526.097,83
|
555.562.746.65
|
694.427.231
|
1.348.051.957.36
|
2.750.380.196,54
|
2.489.026.223
|
Lain-lain PAD Yang Sah
|
2.958.440.065,00
|
7.238.896.566.02
|
5.787.677.127
|
6.505.557.312.28
|
5.659.878.461,99
|
5.912.278.182
|
B. Pembahasan
1. Perhitungan
Fiscal Sterss
Mengukur tinggakt fiscal berdasarkan
realisasi pemerimaan sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah PAD dibandingkan
dengan nilai target peneriaman sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah PAD.
Tabel 4.
Perhitungan
Periode
|
Terget
|
Realisasi
|
Fiscal Stress
|
2005
|
23.081.364.641,00
|
21.156.143.945,83
|
91,66
|
2006
|
27.998.779.493,00
|
35.703.517.660,67
|
127,52
|
2007
|
28.058.279.133
|
33.371.641.773
|
118,94
|
2008
|
31.875.403.248,00
|
32.167.778.276,64
|
100,92
|
2009
|
36.669.038.624
|
43.237.850.497,53
|
117,91
|
2010
|
44.413.644.208
|
52.726.225.145
|
118,72
|
Fiscal Stress
2. Perhitungan
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah PAD
Pertumbuhan pendapatan asli daerah diukur berdasarkan
pendapatan asli daerah periode APBD dibagi Dengan Pendapatan asli daerah
periode APBD sebelumnya.
Tabel 5.
Perhitungan
Pertumbuhan PAD.
Tahun
|
Periode
APBD
Berjalan
|
Periode
APBD
Sebelumnya
|
Pertumbuhan
PAD
|
2005
|
21.156.143.945,83
|
19.841.509.526,57
|
91,90
|
2006
|
35.703.517.660.67
|
21.156.143.945,83
|
168,78
|
2007
|
33.371.641.773
|
35.703.517.660,67
|
93,47
|
2008
|
32.167.788.276,64
|
33.371.641.773
|
96,39
|
2009
|
43.237.850.497,53
|
32.167.788.276,64
|
134,42
|
2010
|
52.726.225.145
|
43,237.850.479,53
|
121,95
|
3. Pengujian Asumsi Klasik
Agar model Struktural Equation Modeling yang diajukan
menunjukkan persamaan hubungan yang valid, model tersebut harus memenuhi asumsi
dasar klasik Ordinary Least Square (OLS). Oleh karena itu pengujian asumsi
klasik perlu dilakukan. Model yang digunakan menggunakan Structural Equation
Modeling (SEM), maka Uji Asumsi Klasik yang digunakan adalah uji normalitas,
uji autokorelasi, dan
uji heteroskedastisitas.
a.
Uji
Normalitas
Dalam
penelitian ini, normalitas diuji dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov (K-S). Data
residual berdistribusi normal jika probabilitas signifikansinya 5% (0,05), Hasil uji
Normalitas dapat dilihat pada tabel berikut ini
Tabel 6.
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
|
|||
FISCAL STRESS
|
PERTUMBUHAN PAD
|
||
N
|
6
|
6
|
|
Normal Parametersa,,b
|
Mean
|
117.8150
|
112.6117
|
Std. Deviation
|
30.36944
|
13.44141
|
|
Most Extreme Differences
|
Absolute
|
.260
|
.320
|
Positive
|
.260
|
.152
|
|
Negative
|
-.197
|
-.320
|
|
Kolmogorov-Smirnov Z
|
.636
|
.784
|
|
Asymp. Sig. (2-tailed)
|
.813
|
.571
|
|
a. Test distribution is Normal.
|
|||
b. Calculated from data.
|
Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan besarnya
nilai Kolmogorov-Smirnov untuk Fiscal Stress
adalah 0.636 dan untuk Pertumbuhan PAD adalah 0.784 dan tidak signifikan pada 0,05. Hal ini berarti bahwa
residual berdistribusi normal.
b. Uji Autokorelasi
Dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi adalah
dengan menggunakan uji Durbin-Watson, dengan ketentuan sebagai berikut:
1)
Terjadi autokorelasi positif, jika nilai DW < -2.
2)
Tidak terjadi autokorelasi, jika nilai DW berada di
antara -2 dan 2 (-2 ≤ DW ≤ 2).
3)
Terjadi autokorelasi negatif, jika nilai DW > 2.
Dari hasil analisis, diperoleh nilai DW sebesar 1.908 Karena nilai DWberada diantara -2 dan 2 (-2≤ DW ≤ 2), maka dapat
disimpulkan bahwa dalam model regresi linear ini tidak terdapat
autokorelasi. Hasil uji Autokorelasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7.
Hasil Uji Autokorelasi
Model Summaryb
|
|||||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
Durbin-Watson
|
||
1
|
.741a
|
.549
|
.436
|
10.09359
|
1.908
|
||
a. Predictors: (Constant), FISCAL STRESS
|
|||||||
b. Dependent Variable: PERTUMBUHAN PAD
|
C. Uji
Heteroskedastisitas.
Uij Heteroskedastistas bertujuan menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual atau pengamatan ke pengamatan
yang lain. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi
Heteroskedastisitas. Deteksi ada tdaknya Heteroskedastisitas dapat dilakuakan
dengan melihat ada tidaknya pola tertentu yang teratur pada grafik Scatterplot.
Hasi analisi uji Heteroskedastisitas ditunjukan dalam grafik 1 Scatterplot.
Dari grafik 1 Scatterplot terlihat bahwa tidak
ada pola yang teratur tertentu atau
tidak membentuk pola tertentu, dapat dilihat bahwa titk-titik data tampak
menyebar. Hal ini menunjukan tidak terjadi heteroskedastisitas pada model
regresi.
Grafik 1.
Hasil Uji Heteroskedastisitas
4. Perhitungan
Koefisien Regresi
Tabel 8.
Perhitungan Koefisien
Regresi
variabel
|
Koefisien regresi
|
Beta
|
T hitung
|
signifikan
|
R2
|
Konstanta
|
73.980
|
4.112
|
0.15
|
0.549
|
|
Fiscal stress
|
0.328
|
0.741
|
2.206
|
0.92
|
0.549
|
Berdasarkan
hasil pengolahan data di atas, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
Y= a +βX+
Y= 73,980+0,328X+
Adapun interpretasi hasil
persamaan di atas sebagai berikut :
1. Nilai
konstanta (a) sebesar 73,980. Nilai tersebut menyatakan bahawa jika Fiscal
Stress maka pertumbuhan PAD akan sebasar 73,980.
2. Nilai
Koefisien regresi X (β) = 0,328. Nilai
tersebaut menunjukkan bahwa Fiscal Sterss berpengaruh positif Terhadap pertumubuhan
Pendapatan Asli Daerah PAD (Y). hal ini berarti bahwa jika Variabel Fiscal
Sterss di tingkatkan 1%, maka Akan meningkatkan Pad Sebesar 0,328%
5. Perhitungan
Koefisien Determinasi
Table 9.
Analisis Koefisien Determinasi
Model Summaryb
|
|||||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
Durbin-Watson
|
||
1
|
.741a
|
.549
|
.436
|
10.09359
|
1.908
|
||
a. Predictors: (Constant), FISCAL STRESS
|
|||||||
b. Dependent Variable: PERTUMBUHAN PAD
|
Berdasarkan table analisis keofisien determinasi,
diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,549 atau 54,90%. Artinya bahwa
Fiscal Stress berperan dalam peningkatan Pertumbuhan PAD sebesar 54,90%
sedangkan sisanya sebesar 45,10% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak
diteliti.
6. Perhitungan
Keeratan Hubungan.
Perhitungan keeratan hubungan
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar keeratan hubungan antara variable
yang akan diteliti.
Dari
hasil perhitungan SPSS diketahui bahwa nilai R sebesar 0,741 (lihat pada table
9. Analisis koefisien Determinasi.). Ha ini menunjukan bahwa nilai koefisien
antara variable Fiscal Stress dan Variabel Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) sebesar 0,741 atau 74,1%. Artinya keeratan hubungan antara Fiscal Stress
dan Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukkan hubugan yang erat,
(kuat).
7. Pengujian
Hipotesis
Untuk
menguji hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini maka digunakan uji t (t-student). Kemudian untuk membuktikan apakah hipotesis penelitian
diterima atau ditolak maka hipotesis diuji dengancara membandingkan nilai t hitung dengan t Tabel.
Berdasarkan
hasil perhitungan statistic dengan mengunakan SPSS maka dapat diketahui nilai t hitung sebagai berikut:
Table 10.
Coefficientsa
|
|||||||
Model
|
Unstandardized Coefficients
|
Standardized Coefficients
|
t
|
Sig.
|
|||
B
|
Std. Error
|
Beta
|
|||||
1
|
(Constant)
|
73.980
|
17.990
|
4.112
|
.015
|
||
FISCAL STRESS
|
.328
|
.149
|
.741
|
2.206
|
.092
|
||
a. Dependent Variable: PERTUMBUHAN PAD
|
a.
Hipotesis
Adapun hipotesis yang
dikemukakan oleh peneliti yaitu:
Ho : β = 0 (tidak terdapat pengaruh yang
signifikan fiscal sterss terhadap pertumbuhan pendapatan asli daerah).
Ha1 : β ≠ 0 (terdapat pengaruh yang signifikan
fiscal stress terhadap pendapatan asli daerah).
b.
Kriteria Pengujian
Dasar pengambilan
keputusan dengan taraf signifikan (α) = 5%, adalah:
Jika : t hitung ≤ t tabel, maka Ho diterima
Jika : t hitung > t tabel, maka Ho ditolak
c. Hasil
pengujian untuk variable Fiscal stress
berdasarkan hasil
perhitungan nilai t di atas dimana nilai t hitung untuk variable Fiscal stress
sebesar 2.206 dan t table sebasar 2.015 ( 2.206 > 2.132 ) hal ini menunjukan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima berarti fiscal Stress memiliki pengaruh yang
singnifikan terhadap pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil uraian analisis data dan
pengujian disimpulkan sebagai berikut :
1. Dari masing-masing pengujian dan
perhitungan..
a. Perhitungan Koefisien Regresi.
Berdasarkan
nilai Koefisien regresi X (β) = 0,328.
Nilai tersebut menunjukkan bahwa Fiscal Sterss berpengaruh positif Terhadap
pertumubuhan Pendapatan Asli Daerah PAD (Y). hal ini berarti bahwa jika
Variabel Fiscal Sterss di tingkatkan 1%, maka akan meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Sebesar 0,328%.
b. Analisis Koefisien Determinasi.
Melihat nilai koefisien determinasi
sebesar 0,549 atau 54,90%. Artinya bahwa Fiscal Stress berperan dalam
peningkatan Pertumbuhan PAD sebesar 54,90% sedangkan sisanya sebesar 45,10%
dipengaruhi oleh factor-faktor lain yang tidak diteliti.
c. Perhitugan Keeratan Hubungan
Nilai koefisien antara variable Fiscal
Stress dan Variabel Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 0,741 atau
74,1%. Artinya keeratan hubungan antara Fiscal Stress dan Pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukkan hubugan yang erat, (kuat).
2. Berdasarkan
hasil perhitungan nilai t dimana nilai t hitung untuk variable Fiscal stress sebesar 2.206 dan t table sebasar 2.015 ( 2.206 > 2.132 ) hal ini menunjukan
bahwa Ho ditolak dan Ha diterima berarti fiscal Stress memiliki pengaruh yang
singnifikan terhadap Pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Fiscal Stress mempunyai pengaruh
yang positif terhadap pertumbuhan Peendapatan Asli Daerah (PAD). Hasil
penelitian ini didukung pula Putraninthesa (2006) yang menyatakan bahwa dalam
kondisi Fiscal Stress yang Tinggi daerah semakain termotivasi untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah-nya (PAD). Artinya semakin tinggi Fiscal
Stress maka semakintinggi pula tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas dapat
disarankan sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini memberikan
implikasi diperlukannya suatu upaya yang lebih insentif melalui penggalian
potensi sumber-sumber penerimaan khususnya Penerimaan Pajak dan Retribusi pada
Pemerintah Kabupaten Gowa agar mampu meningkatkan pertumbuhan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Dimana dala era otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah-nya (PAD). Seiring dengan peningkatan kemandirian,
daerah diharapkan mampu melepaskan tingkat (atau paling tidak mengurangi)
ketergantungan terhadap pemerintah pusat.
2. Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah
Kabupaten Gowa harus mengantisipasi
perubahan UU pajak daerah dan retribusi daerah akibat penerapan UU No. 28 Tahun
2009 dimasa yang akan datang sebaiknya memberikan informasi kepada masyarakat
tentang perubahan tersebut, dan lebih meningkatkan pelayanan publik sesuai
priorotas dan aspirasi masyrakat agar penerimaan Pajak dan Retribusi dapat
dioptimalkan yang tentu memberikan dampak positif terhadap Pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar