DARWANTO
YULIA YUSTIKASARI
Magister Sains Ilmu-ilmu Ekonomi, Manajemen, Akuntansi
Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
ABSTRACT
This research aims to give empirical evidence and examines the effect of
economic growth, pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum / general budget
(DAU) on capital expenditure (belanja modal) by considering pooled data. The
research objects are Regency / Municipality of Java Island. The data used in this
research taken from 2004-2005 and Regency / Munificipality Governments recorded in
table of General Budget Calucalation (perhitungan Dana Alokasi Umum) issued by
Bapekki Departemen Keuangan.
The analysis found that PAD and DAU have effect on capital expenditure
(belanja modal). It means local government was able to to predict capital expenditure
based on PAD and DAU. Next analysis showed show that economic growth has no
effect on capital expenditure (belanja modal).
Keywords: APBD, capital expenditure, agency theory
I. PENDAHULUAN
Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi menjadi
UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah memisahkan dengan tegas antara fungsi
Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, menunjukkan bahwa antara
legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim & Abdullah,
2006). Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan
bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam
pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk propinsi maupun
kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004)
melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau
panitia anggaran. Adapun eksekutif sebagai pelaksana operasionalisasi daerah
berkewajiban membuat draft/rancangan APBD, yang hanya bisa diimplementasikan
kalau sudah disahkan oleh DPRD dalam proses ratifikasi anggaran.
Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan
legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang akan
menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja.
Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan Umum APBD dan
Prioritas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk
dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah
(Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete
contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh
eksekutif.
Lingkup anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah
daerah. Hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah,
sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Selanjutnya, DPRD akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran.
Bentuk pengawasan ini sesuai dengan agency theory yang mana pemerintah daerah
sebagai agen dan DPRD sebagai prinsipal. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang
anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting.
Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan
output pengalokasian sumberdaya. Adapun pengalokasian sumberdaya merupakan
permasalahan dasar dalam penganggaran sektor publik (Key 1940 dalam Fozzard,
2001). Keterbatasan sumberdaya sebagai pangkal masalah utama dalam pengalokasian
anggaran sektor publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai
teori tentang teknik dan prinsip seperti yang dikenal dalam public expenditure
management (Fozzard, 2001). Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi
semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal rendah
(Halim, 2001).
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan
pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik.
Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap,
yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat
investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset
tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama
dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal
dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada
kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas
pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya
meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah
komposisi belanjanya. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja
rutin yang relatif kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan
belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan
aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine (1994) menyatakan
bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program
layanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengaloksikan belanja
untuk berbagai kepentingan publik.
Perumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: pertama, apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap anggaran belanja
modal. Kedua, apakah pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal? dan ketiga, apakah dana alokasi umum (DAU) berpengaruh terhadap
anggaran belanja modal ?
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris pada: pertama,
pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap anggaran belanja modal. Kedua, pengaruh
pendapatan asli daerah (PAD) terhadap anggaran belanja modal. Ketiga, pengaruh dana
alokasi umum (DAU) terhadap anggaran Belanja Modal.
II. LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Anggaran Daerah Sektor Publik
Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan
masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah.
APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (UU Keuangan Negara, 2002).
Tujuan utama proses perumusan anggaran adalah menterjemahkan perencanaan
ekonomi pemerintah, yang terdiri dari perencanaan input dan output dalam satuan
keuangan. Oleh karena itu, proses perumusan anggaran harus dapat menggali dan
mengendalikan sumber-sumber dana publik. Proses pembuatan satu tahun anggaran
tersebut dikenal dengan istilah penganggaran.
Lebih dari enam puluh tahun lalu, V.O. Key sudah mengisyaratkan bahwa
penganggaran memiliki satu masalah paling mendasar, yakni keterbatasan sumber daya.
Key (1940) mengajukan pertanyaan berikut: “on what basis shall it be decided to
allocate x dollars to activity A instead of activity B?” Keterbatasan sumber daya yang
dimiliki menyebabkan proses pembuatan keputusan pengalokasian menjadi sangat
dinamis, terlebih lagi dalam kondisi di mana terdapat banyak pihak dengan kepentingan
dan preferensi yang berbeda (Rubin, 1993).
Penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan , yakni (1) perumusan
proposal anggaran, (2) pengesahan proposal anggaran, (3) pengimplementasian
anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum (Samuels, 2000). Sedangkan
menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan, yakni
excecutive planning, legislative approval, excecutive implementation, dan ex post
accountability. Pada kedua tahapan pertama terjadi interaksi antara eksekutif dan
legislatif dan politik anggaran paling mendominasi, sementara pada dua tahap terakhir
hanya melibatkan birokrasi sebagai agent.
2.2 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia
Penerapan otonomi daerah di Indonesia tak terlepas dari perubahan paradigma
dalam pengelolaan dan penganggaran daerah. Penganggaran kinerja (performance
budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan
antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur.
Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan-
kesepakatan yang dicapai melalui bargaining (dengan acuan Kebijakan Umum APBD
dan Prioritas & Plafon Anggaran) sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan
daerah. Anggaran yang telah ditetapkan menjadi dasar bagi eksekutif untuk
melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan acuan bagi legislatif
untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja eksekutif dalam hal
pertanggungjawaban kepala daerah.
2.3 Hubungan Keagenan dalam Penganggaran Sektor Publik
Teori keagenan yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen berakar pada
teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori keagenan
menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau
organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit
maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan
bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal. Lupia &
McCubbins (2000) menyatakan: delegation occurs when one person or group, a
principal, select another person or group, an agent, to act on the principal’s behalf.
Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan keagenan sangat universal.
2.3.1 Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif
Dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen
dan legislatif adalah prinsipal (Halim & Abdullah, 2006; Fozzard, 2001; Moe, 1984;
Strom, 2000). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa
terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang timbul diantara eksekutif dan
legislatif juga merupakan persoalan keagenan.
Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang
memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen, yang menerima
pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh
legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen
seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan
keagenan disini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah
usulan tersebut diterima atau ditolak.
2.3.2 Hubungan Keagenan Antara Legislatif dan Publik (Voters)
Dalam hubungan keagenan antara legislatif dan publik (voters), legislatif adalah
agen dan publik adalah prinsipal (Fozzard, 2001; Lane, 2000;13; Moe, 1984). Dalam
hal pembuatan kebijakan, Von Hagen (2003) berpendapat bahwa hubungan prinsipal-
agen yang terjadi antara pemilih (voters) dan legislatif pada dasarnya menunjukkan
bagaimana voters memilih politisi untuk membuat keputusan-keputusan tentang belanja
publik untuk mereka dan mereka memberikan dana dengan membayar pajak. Ketika
legislatif kemudian terlibat dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja
dalam anggaran, maka mereka diharapkan mewakili kepentingan atau preferensi
prinsipal atau pemilihnya, pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak
selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik.
Lupia & McCubbins (2000) mengingatkan bahwa pendelegasian memiliki
konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan
legislatif-publik. Mereka menyebutkan abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi
dimana agen tidak dipagari dengan aturan bagaimana tindakan mereka berpengaruh
terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih (voters) dicirikan sebagai pihak
yang tidak peduli atau tidak berkeinginan untuk mempengaruhi perwakilan (anggota
legislatif) yang mereka pilih.
Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya dengan
publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena akan berusaha
untuk memaksimalkan utilitasnya (self-interest) dalam pembuatan keputusan yang
terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi semakin nyata ketika publik tidak
memiliki sarana atau institusi formal untuk mengawasi kinerja legislatif, sehingga
perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi dengan mudah.
2.4 Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah di Indonesia
Penyusunan APBD dilakukan terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara
eksekutif dan legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon
Anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan
anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan
Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada
legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai
Peraturan Daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk
kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi
pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
2.5 Hipotesis Penelitian
Kebijakan otonomi daerah merupakan pendelegasian kewenangan yang disertai
dengan penyerahan dan pengalihan pendanaan, sarana dan prasarana serta sumber daya
manusia (SDM) dalam kerangka desentralisasi fiskal. Dalam menghadapi desentralisasi
fiskal menunjukkan bahwa potensi fiskal pemerintah daerah antara satu dengan daerah
yang lain bisa jadi sangat beragam. Perbedaan ini pada gilirannnya dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang beragam pula.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita (Boediono,
1985). Secara tradisional, pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk peningkatan yang
berkelanjutan Produk Domestik Regional Daerah / PDRB (Saragih, 2003 ; Kuncoro,
2004). Hasil penelitian yang dilakukan Lin & Liu (2000) menunjukkan desentralisasi
memberikan dampak yang sangat berarti bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Oates
(1995), Lin dan Liu (2000) yang membuktikan adanya hubungan yang positif dan
signifikan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil ini
mendukung sintesa yang menyatakan bahwa, pemberian otonomi yang lebih besar akan
memberikan dampak yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, hal inilah yang
mendorong daerah untuk mengalokasikan secara lebih efisien berbagai potensi lokal
untuk kepentingan pelayanan publik (Lin dan Liu, 2000; Mardiasmo, 2002; Wong,
2004).
Pada pasal 26 PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
bagian keempat tentang Belanja Daerah ayat 1 berbunyi “Belanja Daerah digunakan
dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi
atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan
dengan ketentuan perundang-undangan”. Selanjutnya di ayat 2 disebutkan bahwa
“Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diprioritaskan untuk melindungi masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah
yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan,
fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan
sosial”, tetapi dalam praktiknya dalam penyusunan anggaran, usulan yang diajukan oleh
eksekutif memiliki muatan mengutamakan kepentingan eksekutif (Smith dan Bertozzi,
1998). Eksekutif mengajukan anggaran yang dapat memperbesar agency-nya, baik dari
segi finansial maupun nonfinansial. Sementara Keefer dan Khemani, 2003; Mauro,
1998; Von Hagen, 2002, secara implisit menyatakan bahwa anggaran juga digunakan
oleh legislatif untuk memenuhi self-interestnya. Landasan teoretis dan temuan-temuan
empiris di atas menghasilkan hipotesis berikut:
H1 : Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran
Belanja Modal
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah,
pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat
(UU 32/2004). Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari
daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut
menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana
untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Besarnya kewenangan legislatif dalam proses penyusunan anggaran (UU
32/2004) membuka ruang bagi legislatif untuk “memaksakan” kepentingan pribadinya.
Posisi legislatif sebagai pengawas bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah, dapat
digunakan untuk memprioritaskan preferensinya dalam penganggaran. Untuk
merealisasikan kepentingan pribadinya, politisi memiliki preferensi atas alokasi yang
mengandung lucrative opportunities dan memiliki dampak politik jangka panjang. Oleh
karena itu, legislatif akan merekomendasi eksekutif untuk menaikkan alokasi pada
sektor-sektor yang mendukung kepentingannya. Legislatif cenderung mengusulkan
pengurangan atas alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja publik lainnya yang
tidak bersifat job programs dan targetable.
Studi Abdullah (2004) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif
dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi
untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk pendidikan dan
kesehatan justru mengalami penurunan. Abdullah (2004) menduga power legislatif yang
sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan
preferensi publik. Temuan ini mengkonfirmasi pendapat Colombatto (2001).
Berdasarkan landasan teoretis dan temuan-temuan empiris di atas, hipotesis dapat
dinyatakan sebagai berikut:
H2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian
anggaran Belanja Modal.
Untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah telah
diterbitkan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah didalam rangka perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan
pembantuan. Adapun sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain
penerimaan yang sah.
Dana Alokasi Umum (DAU), adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya didalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan
dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut
merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam
APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara
leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting.
Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et. al. (1985)
menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat
dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-
variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted)
dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-
linier dan asymmetric. Landasan teoretis dan temuan-temuan empiris di atas
menghasilkan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran
Belanja Modal.
III. METODA PENELITIAN
3.1 Sampel dan Data Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemerintah daerah se Jawa-
Bali baik kabupaten dan kota dari tahun 2004 – 2005 dengan alasan ketersediaan data.
Data yang dianalisis dalam penulisan ini adalah data sekunder, yang bersumber dari
dokumen Laporan Realisasi APBD yang diperoleh dari situs Dirjen Perimbangan
Keuangan Pemerintah Daerah melalui internet. Dari laporan Realisasi APBD ini
diperoleh data mengenai jumlah realisasi anggaran Belanja Modal, Pendapatan Asli
Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU). Data Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) Per Kapita diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS).
3.2 Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan variabel dan definisi operasional sebagai berikut:
Belanja modal adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan
investasi (menambah aset). Pertumbuhan Ekonomi adalah proses kenaikan output per
kapita diproksi dengan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita. PAD adalah
Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain Pendapatan Yang Sah. DAU
adalah transfer yang bersifat umum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
keuangan antar daerah.
3.3 Kerangka Pikir dan Model Penelitian
Gambar 1
Kerangka Pikir Penelitan
Pertumbuhan Ekonomi
Pendapatan Asli Daerah
Belanja Modal
Dana Alokasi Umum
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi
berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan pengaruh seberapa variabel
independen terhadap variabel dependen (Sekaran, 1992). Persamaan regresi adalah :
Y = + ß1PDRB + ß2PAD + ß3DAU + e (1)
dimana :
Y = Belanja Modal (BM)
a = Konstanta
b = Slope atau koefisien regresi atau intersep
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)
DAU = Dana Alokasi Umum (DAU)
e = error
Daftar Pustaka
Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah:
Pendekatan principal-agent theory. Makalah disajikan pada Seminar
Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu, 4-5 Oktober 2004.
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener & Tina
Søreide. 2001. Corruption: A review of contemporary research. Chr. Michelsen
Institute Development Studies and Human Rights Report R 2001: 7. Web:
http//www.cmi.no.
Brodjonegoro, Bambang dan Nurkholis, 2003. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Perekonomian Antar Daerah: Analisa Model IRIO, Indonesia, Journal of
Economic and Development, Vol 3 No.2. Jan 2003, KANOPI (Kajian Ekonomi
dan Pembangunan Indonesia) Universitas Indonesia.
Dobell, Peter & Martin Ulrich. 2002. Parliament’s performance in the budget process:
A case study. Policy Matters 3(2): 1-24. http://www.irpp.org.
Dougherty M.J., K.A. Klase & S.G. Song.2000. The Relationship Between Public
Finance Issue, Financial Management Issue, And Conditions of Fiscal Stress in
Small and Rural Government : The Case ofWest Virginia. Journal of Public
Budgeting, Accounting, and Financial Management. Vol. 12. Number 4. Winter.
545-565.
Eisenhardt, Kathleen M. 1989. Agency theory: An assessment and review. Academy of
Management Review 14(1): 57-74.
Fozzard, Adrian. 2001. The basic budgeting problem: Approaches to resource allocation
in the public sector and their implications for pro-poor budgeting. Center for Aid
and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI). Working paper
147.
Freeman, Robert J. & Craig D. Shoulders. 2003. Governmental and Nonprofit
Accounting–Theory and Practice. Seventh edition. Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall.
Ghozali, Imam, 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Edisi III,
1-52, 79-134, 251-258, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to Europe: Independent regulatory
agencies as ultimate step of delegation. Paper presented at the ECPR General
Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.
Hagen, Terje P., Rune J. Sorensen, & Oyvind Norly. 1996. Bargaining strength in
budgetary process: The impact of institutional procedures. Journal of Theoretical
Politics 8(1): 41-63.
Halim, Abdul. 2001. Analisis Varian Atas Anggaran Pendapatan Asli Daerah Pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia.
Disertasi S3. Tidak Dipublikasikan. Msi – FE UGM.
Halim, Abdul. 2001. Analisis Deskriptif Pengaruh Fiscal Stress pada APBD
Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. KOMPAK STIE YO.
Yogyakarta. Hal : 127-146.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan
Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan
Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. 2006. Hubungan dan masalah keagenan di
pemerintahan daerah: sebuah peluang penelitian anggaran dan akuntansi. Jurnal
Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.
Hyde, Albert C. & Jay M. Shafritz. (Eds.) 1978. Government Budgeting: Theory,
Process, and Politics. Oak Park, Illinois: Moore Publishing Company, Inc.
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict between Bureaucrats and
Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe.
Key, V.O. 1940. The lack of budgetary theory. American Political Science Review 34
(December), dalam Shafritz, Jay M. & Albert C. Hyde. 1997. Classics of Public
Administration. Fourth edition. Fort Worth: Harcourt Brace College Publisher.
Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi,
Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga.
Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic
Growth in China, Economic Development and Cultural Change Chicago. Vol
49. Hal : 1-21.
Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Moe, T. M. 1984. The new economics of organization. American Journal of Political
Science 28(5): 739-777.
Oates, Wallace E. 1995. Comment on “Conflict and Dillemas of Decentralization” by
Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer. Hal : 351-353
Prawirosetoto, F.X. Yuwono, 2002. Desentralisasi Fiskal di Indonesia, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, No. 2, Vol 2, FE Universitas Atmajaya, Jakarta.
Republik Indonesia. 1999a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
Ross, Stephen A. 1973. The Economic Theory of Agency : The Principal’s Problem.
American Economic Review. Vol 3. No. 2. Hal : 134-139.
Rubin, Irene S. 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending,
Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House
Publishers, Inc.
Samuels, David. 2000. Fiscal horizontal accountability? Toward theory of budgetary
“checks and balances” in presidential systems. University of Minnesota, working
paper presented at the Conference on Horizontal Accountability in New
Democracies, University of Notre Dame, May.
Saragih, Juli Panglima. 2003. desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi.Penerbit Ghalia Indonesia.
Schiavo-Campo, Salvatore (Editor). 1999. Governance, Corruption, and Public
Management. Manila: Asian Development Bank.
Schick, Allen. 2001. Can national legislatures regain an effective voice in budgetary
policy? OECD Journal on Budgeting 1(3): 15-42.
Sekaran, Uma, 1992. Research Methods for Business )A Skill Building Approach),
Second Edition, John Wiley & Sons, New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar