Mardiasmo
OTONOMI DAERAH SEBAGAI UPAYA MEMPERKOKOH BASIS PEREKONOMIAN
DAERAH
PENDAHULUAN
Krisis
multidimensional yang tengah melanda bangsa Indonesia telah menyadarkan kepada
kita semua akan pentingnya menggagas kembali konsep otonomi daerah dalam arti
yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari
pemikiran untuk menjamin terjadinya efisiensi, efektivitas, transparansi,
akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Selama
masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun
daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke
tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan
fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud
ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja Daerah.
Kritik
yang muncul selama ini adalah Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap Daerah.
Pola pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan
Pemerintah Pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah. Pemerintah
Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation) untuk menentukan
kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang selama ini diberikan kepada Daerah
tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang memadai, penyiapan sumber
daya manusia yang profesional, dan pembiayaan yang adil. Akibatnya, yang
terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah, tetapi justru ketergantungan
Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Dampak
dari sistem yang selama ini kita anut menyebabkan Pemerintah Daerah tidak
responsif dan kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek
pembangunan daerah yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat,
karena beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan
arahan dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah
Pusat melakukan campur tangan terhadap Daerah dengan alasan untuk menjamin
stabilitas nasional dan masih lemahnya sumber daya manusia yang ada di Daerah.
Karena dua alasan tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat
untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan
ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun 70-an
dan 80-an, misalnya, Indonesia mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan
stabilitas politik yang mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi
seperti itu telah menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya
akuntabilitas, lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat
pengembalian proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan
sosial ekonomi di daerah.
ARAH DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Era
reformasi saat ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan
nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan
secara lebih adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan
melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan
pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama,
otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal
bangsa Indonesia berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan,
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah
pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk
menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perokonomian
daerah.
Otonomi
yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah
secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh
pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal
yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong
pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan
peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini
memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten dan kota untuk
membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh
untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini,
desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan
lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command
and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik.
Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran
pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur
(wirausaha) dalam proses pembangunan.
Arahan
yang diberikan oleh UU No 22 Tahun 1999 sudah sangat baik. Tetapi benarkah ia
dapat mewujudkan pemerintah daerah otonom yang efisien, efektif, transparan,
dan akuntabel secara berkesinambungan? Jawabannya tergantung pada formula atau
rumusan yang diberikan oleh peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksanaan lainnya. Apabila semua peraturan pelaksanaan tersebut sudah searah
dengan undang-undang tersebut maka kemungkinan untuk mencapai tujuan tersebut
akan semakin besar.
OTONOMI
DAERAH SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT BASIS PEREKONOMIAN DAERAH
Saat
ini, hampir tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era
perdagangan bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara
berupaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu
menciptakan iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk
bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah
adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap efisiensi, dan
efektivitas sektor publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar tidak
akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien.
Pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, Daerah dituntut untuk
mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih
adanya bantuan dan bagian (sharing) dari Pemerintah Pusat dan
menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Dengan
kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah
sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik
investor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier
yang besar.
Pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama
sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
1.
Menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2.
Meningkatkan kualitas pelayanan umum
dan kesejahteraan masyarakat
3.
Memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Globalisasi
ekonomi telah meningkatkan persaingan antar negara-negara dalam suatu sistem
ekonomi internasional. Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan perdagangan
internasional adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktural untuk memperkuat kedudukan
dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Perubahan
struktural adalah perubahan dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju
ekonomi modern yang berorientasi pada pasar. Untuk mendukung perubahan
struktural dari ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi moderen
diperlukan pengalokasian sumber daya, penguatan kelembagaan, penguatan
teknologi dan pembangunan sumber daya manusia. Langkah-langkah yang perlu
diambil dalam mewujudkan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut
(Sumodiningrat, 1999):
a.
Pemberian peluang atau akses yang
lebih besar kepada aset produksi, yang paling mendasar adalah akses pada dana.
b.
Memperkuat posisi transaksi dan
kemitraan usaha ekonomi rakyat.
c.
Meningkatkan pelayanan pendidikan
dan kesehatan dalam rangka kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya
peningkatan gizi.
d.
Kebijakan pengembangan industri
harus mengarah pada penguatan industri rakyat yang terkait dengan industri
besar. Industri rakyat yang berkembang menjadi industri-industri kecil dan
menengah yang kuat harus menjadi tulang punggung industri nasional.
e.
Kebijakan ketenagakerjaan yang
mendorong tumbuhnya tenaga kerja mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru
yang nantinya berkembang menjadi wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan
saling menunjang.
f.
Pemerataan pembangunan antar daerah.
Ekonomi rakyat tersebut tersebar di seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu
pemerataan pembangunan daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan
ekonomi rakyat.
Sejalan
dengan upaya untuk memantapkan kemandirian Pemerintah Daerah yang dinamis dan
bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam
lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan
efisiensi, efektivitas, dan profesionalisme sumber daya manusia dan
lembaga-lembaga publik di daerah dalam mengelola sumber daya daerah.
Upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya daerah harus
dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari
aspek perencanaan, Daerah sangat membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif
maupun legislatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategik dan mampu
berpikir strategik, serta memiliki moral yang baik sehingga dapat mengelola
pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di
daerah sangat dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar
mencerminkan kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalahan yang
dihadapi daerah.
Dari
aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah dituntut mampu menciptakan sistem
manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu
aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah
masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrumen kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Sebagai
instrumen kebijakan, APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan
kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat
untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang
akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja,
alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas
dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan
APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan
aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar
pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan mempermudah
pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility
centers) sebagai unit pelaksana.
Untuk
memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan
sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu dilakukan
evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat dilakukan oleh
pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh
eksternal auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi
dan akuntabilitas publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang
disampaikan kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan
khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar otonomi yang diberikan kepada daerah
tidak “kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya.
PERENCANAAN STRATEGIK UNTUK
MENENTUKAN ARAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN YANG BERORIENTASI PUBLIK
Aspek
perencanaan memiliki peranan yang penting bagi suatu daerah. Aktivitas
pemerintah akan terlaksana dengan lebih baik jika seluruh tahapan proses
perencanaan dilaksanakan secara konsekuen. Perencanaan strategik mendorong
pemikiran ke depan dan menjelaskan arah yang dikehendaki di masa yang akan
datang. Barry (1986) meyakini bahwa kinerja organisasi yang menggunakan
perencanaan strategik, baik organisasi besar maupun kecil, jauh melampaui
organisasi lainnya yang tidak menggunakan perencanaan strategik. Hal ini antara
lain karena perencanaan itu didasarkan atas visi dan misi strategik yang jelas.
Visi dan misi strategik itu sendiri mampu mengendalikan arah perencanaan yang
baik.
Perencanaan
strategik memiliki peranan yang penting bagi Pemda, karena di sanalah terlihat
dengan jelas peranan Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan semua unit kerjanya.
Bagi kebanyakan pemerintah daerah, perencanaan strategik akan membantu dalam
menentukan arah masa depan daerahnya, kecamatannya dan desanya (Mercer, 1991).
Dengan melaksanakan perencanaan strategik secara benar, para eksekutif daerah
dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat terasnya dalam mengevaluasi,
memilih, dan mengimplementasikan berbagai pendekatan alternatif untuk membiayai
dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Secara
lebih spesifik, dengan konsep perencanaan strategik berarti kita membicarakan
hubungan antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Konsep ini
memberi petunjuk bagaimana menghadapi dan menanggulangi perubahan yang terjadi
di lingkungan eksternal melalui serangkaian tindakan di lingkungan internal.
Lebih dari itu, perencanaan strategik bahkan mampu memberikan petunjuk bagi
para eksekutif dalam upaya mempengaruhi dan mengendalikan lingkungan itu dan
tidak hanya sekedar memberi reaksi atas perubahan di tingkat eksternal
tersebut. Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan tetap mampu
mengendalikan arah perjalanannya menuju sasaran yang dikehendaki.
Di
tingkat internal, perencanaan strategik mampu menciptakan sinergi dan l’esprit
de corps, yaitu semangat korp yang penuh integritas, sehingga dapat
melicinkan jalan menuju sasaran yang diinginkan. Semangat itu diharapkan akan
meningkatkan produktivitas kerja, sehingga daerah akan mampu memanfaatkan
peluang dan mengantisipasi tantangan seoptimal mungkin. Hal ini pada akhirnya
akan berdampak pada semakin baiknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
dan dunia usaha.
PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH YANG BERORIENTASI PADA KEPENTINGAN PUBLIK
Secara
garis besar, pengelolaan (manajemen) keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah.
Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan
otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999
menyebabkan perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut
antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi
anggaran.
Reformasi
anggaran meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974, proses
penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran daerah
menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah tidak diperlukannya lagi pengesahan dari
Menteri Dalam Negeri untuk APBD Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD
Kabupaten/Kota, melainkan cukup pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) melalui Peraturan Daerah (Perda).
Aspek
utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke
performance budget. Secara garis
besar terdapat dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua
pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran
konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New
Public Management.
Anggaran Tradisional
Anggaran
tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a)
cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism dan
(b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain
yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c)
cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan
ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan
untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak
tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang
dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan
tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi,
efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam
penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value
for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan
anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas
yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran
tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):
a.
Hubungan yang
tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan
jangka panjang.
b.
Pendekatan incremental
menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
c.
Lebih
berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran
tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan
pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk
apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
d.
Sekat-sekat
antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit
dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping,
kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
e.
Proses anggaran
terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
f.
Anggaran
tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu
pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong
praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
g.
Sentralisasi
penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan
lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget
padding atau budgetary slack.
h.
Persetujuan
anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk
pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan
’manipulasi anggaran.’
i.
Aliran
informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi
dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas
sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk
anggaran tradisional.
Era New Public Management (NPM)
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai
dengan munculnya era New Public Management telah mendorong usaha untuk
mengembangkan pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran
sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik
penganggaran sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance
budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut
cenderung memiliki karak-teristik umum sebagai berikut:
-
Komprehensif/komparatif
-
Terintegrasi
dan lintas departemen
-
Proses
pengambilan keputusan yang rasional
-
Berjangka
panjang
-
Spesifikasi
tujuan dan perangkingan prioritas
-
Analisis total cost
dan benefit (termasuk opportunity cost)
-
Berorientasi
input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.
-
Adanya
pengawasan kinerja.
Tabel 1. Menyajikan perbedaan mendasar antara anggaran
tradisional dengan anggaran era new public management.
Tabel 1 Perbandingan Anggaran Tradisional vs Anggaran
Dengan Pendekatan NPM
ANGGARAN TRADISIONAL
|
NEW PUBLIC MANAGEMENT
|
Sentralistis
|
Desentralisasi & devolved
management
|
Berorientasi pada input
|
Berorientasi pada input, output, dan
outcome (value for money)
|
Tidak terkait dengan perencanaan
jangka panjang
|
Utuh dan komprehensif dengan
perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan sasaran dan target
kinerja
|
Batasan departemen yang kaku (rigid
department)
|
Lintas departemen
(cross department)
|
Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning
Programming Budgeting System
|
Prinsip anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Traditional
budget didominasi oleh penyusunan anggaran
yang bersifat line-item dan incrementalism, yaitu proses
penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran
tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran
baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan
masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan,
batasan, serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal
tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap
pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan inisiatif dan
prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Performance
budget pada dasarnya adalah sistem
penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian
hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientsi pada kepentingan
publik. Merupakan kebutuhan masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi
secara luas, nyata dan bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami
sebagai hak atau kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur
urusannya sendiri. Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat
kepentingan pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan daerah.
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap
berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang
baik. Prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol
kebijakan keuangan daerah tersebut meliputi:
·
Akuntabilitas;
·
Value for Money;
·
Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);
·
Transparansi; dan
·
Pengendalian.
Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran
mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat
dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa
pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk
ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut
harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal
dengan baik.
Value for Money
Value
for money berarti diterapkannya tiga prinsip
dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi
berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas
tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana
masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang
maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut
harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.
Indikasi keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi
adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social
welfare) yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju,
keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor
publik dikelola dengan memperhatikan konsep value for money.
Dalam konteks otonomi daerah, value for money
merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance.
Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan
dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money,
maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang
baik. Hal tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem
akuntansi yang baik.
Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada
staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan
untuk korupsi dapat diminimalkan.
Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat
kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD
dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan
menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan
masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif,
efisien, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu
dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai.
Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan
pengeluaran daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya
varians dan tindakan antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip
yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang
teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak
dasar terhadap pemerintah, yaitu:
1.
Hak untuk
mengetahui (right to know), yaitu:
- Mengetahui kebijakan
pemerintah.
- Mengetahui keputusan yang
diambil pemerintah.
- Mengetahui alasan dilakukannya
suatu kebijakan dan keputusan tertentu.
2.
Hak untuk
diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk diberi
penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi
perdebatan publik.
3.
Hak untuk
didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka
perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah adalah sebagai berikut:
1.
Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada
kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada
besarnya porsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga
terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
2.
Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya dan anggaran daerah pada khususnya.
3.
Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran
para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH,
Sekda dan perangkat daerah lainnya.
4.
Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan,
investasi, dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value
for money, transparansi dan akuntabilitas.
5.
Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan
PNS-Daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya.
6.
Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran
kinerja, dan anggaran multi-tahunan.
7.
Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang
lebih profesional.
8.
Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan
keuangan, peran akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan
rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9.
Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan
pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan
profesionalisme aparat pemerintah daerah.
10.
Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk
menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah
daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan
pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.
Secara
lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era otonomi daerah
adalah sebagai berikut:
1.
Anggaran Daerah harus bertumpu pada
kepentingan publik.
2.
Anggaran Daerah harus dikelola
dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less).
3.
Anggaran Daerah harus mampu
memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan
siklus anggaran.
4.
Anggaran Daerah harus dikelola
dengan pendekatan kinerja (performance oriented) untuk seluruh jenis
pengeluaran maupun pendapatan.
5.
Anggaran Daerah harus mampu
menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang terkait.
6.
Anggaran Daerah harus dapat
memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan
dananya dengan memperhatikan prinsip value for money.
PUSAT PERTANGGUNGJAWABAN SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN
MANAJEMEN
Untuk mendukung kelancaran
operasional pemerintahan, perlu didisain sistem pengendalian manajemen yang
baik. Sistem pengendalian manajemen harus didukung dengan struktur organisasi
yang baik. Pusat pertanggungjawaban (responsibility centers) merupakan
salah satu bentuk struktur organisasi yang dapat diterapkan di pemerintah
daerah. Pusat pertanggungjawaban adalah unit organisasi yang dipimpin oleh
manajer (pimpinan) yang bertanggungjawab terhadap aktivitas pusat
pertanggungjawaban yang dipimpinnya. Suatu organisasi merupakan kumpulan dari
berbagai pusat pertanggungjawaban. Secara umum, tujuan dibuatnya pusat-pusat
pertanggungjawaban adalah (Mardiasmo, 2002):
1.
Sebagai basis perencanaan, pengendalian,
dan penilaian kinerja manajer dan unit organisasi yang dipimpinnya;
2.
Untuk memudahkan mencapai tujuan
organisasi;
3.
Memfasilitasi terbentuknya goal
congruence;
4.
Mendelegasikan tugas dan wewenang ke
unit-unit yang memiliki kompetensi sehingga mengurangi beban tugas manajer
pusat;
5.
Mendorong kreativitas dan daya
inovasi bawahan;
6.
Sebagai alat untuk melaksanakan
strategi organisasi secara efektif dan efisien;
7.
Sebagai alat pengendalian anggaran.
Tanggung jawab manajer pusat
pertanggungjawaban adalah untuk menciptakan hubungan yang optimal antara sumber
daya input yang digunakan dengan output yang dihasilkan dikaitkan dengan target
kinerja. Input diukur dengan jumlah sumber daya yang digunakan, sedangkan
output diukur dengan jumlah produk/output yang dihasilkan.
Pada dasarnya terdapat empat jenis pusat
pertanggungjawaban, yaitu: Pusat biaya (expense center), pusat
pendapatan (revenue center), pusat laba (profit center), dan
pusat investasi (investment center).
Pemerintah daerah dapat dianggap
sebagai suatu pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban besar tersebut
dapat dipecah-pecah lagi menjadi pusat-pusat pertanggungjawaban yang lebih
kecil hingga pada level pelayanan atau program, misalnya dinas dan subdinas.
Pusat-pusat pertanggungjawaban tersebut kemudian menjadi dasar untuk
perencanaan dan pengendalian anggaran serta penilaian kinerja pada unit yang
bersangkutan.
Manajer pusat pertanggungjawaban, sebagai
budget holder, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan anggaran.
Pusat pertanggungjawaban memperoleh sumber daya input berupa tenaga kerja,
material, dan sebagainya yang dengan input tersebut diharapkan dapat
menghasilkan output dalam bentuk barang atau pelayanan pada tingkat kuantitas
dan kualitas tertentu. Anggaran mencerminkan nilai rupiah dari input yang
dialokasikan ke pusat-pusat pertanggungjawaban dan output yang diharapkan atau
level aktivitas yang dihasilkan. Pengendalian anggaran meliputi pengukuran
terhadap output dan belanja yang riil dilakukan dibandingkan dengan anggaran.
Adanya perbedaan atau varians antara hasil yang dicapai dengan yang dianggarkan
kemudian dianalisis untuk diketahui penyebabnya dan dicari siapa yang
bertanggungjawab atas terjadinya varians tersebut, sehingga dapat segera
dilakukan tindakan korektif.
Idealnya, struktur pusat
pertanggungjawaban sebagai alat pengendalian anggaran sejalan dengan program
atau struktur aktivitas organisasi. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pusat
pertanggungjawaban bertugas untuk melaksanakan program atau aktivitas tertentu,
dan penggabungan program-program dari tiap-tiap pusat pertanggungjawaban
tersebut seharusnya mendukung program pusat pertanggungjawaban pada level yang
lebih tinggi, sehingga pada akhirnya tujuan umum organisasi dapat tercapai.
PENYAJIAN
INFORMASI AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH UNTUK MENINGKATKAN TRANSPARANSI DAN
AKUNTABILITAS PUBLIK
Salah
satu alat untuk memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik
adalah melalui penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang komprehensif.
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah
diharapkan dapat menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan
Perhitungan APBD (Laporan Realisasi Anggaran), Nota Perhitungan APBD, Laporan
Aliran Kas, dan Neraca. Laporan keuangan tersebut merupakan komponen penting
untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik dan merupakan salah satu alat
ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak eksternal, Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah yang berisi informasi keuangan daerah akan digunakan
sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik.
Sedangkan bagi pihak intern pemerintah daerah, laporan keuangan tersebut dapat
digunakan sebagai alat untuk penilaian kinerja.
Sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang
dihadapi akuntansi sektor publik adalah menyediakan informasi yang dapat
digunakan untuk memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi
akuntabilitas finansial (financial accountability), akuntabilitas
manajerial (managerial accountability), akuntabilitas hukum (legal
accountability), akuntabilitas politik (political accountability),
dan akuntabilitas kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor
publik memiliki peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah
satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas publik.
Secara
garis besar, tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah
adalah:
1.
Untuk memberikan informasi yang
digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai
bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship);
2.
Untuk memberikan informasi yang
digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional.
Secara
khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:
1.
Memberikan informasi keuangan untuk
menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya
finansial jangka pendek unit pemerintah;
2.
Memberikan informasi keuangan untuk
menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya;
3.
Memberikan informasi keuangan untuk
memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan, kontrak
yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan;
4.
Memberikan informasi untuk
perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan
pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional;
5.
Memberikan informasi untuk
mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional:
a.
untuk menentukan biaya program,
fungsi, dan aktivitas sehingga memudahkan analisis dan melakukan perbandingan
dengan kriteria yang telah ditetapkan, membandingkan dengan kinerja
periode-periode sebelumnya, dan dengan kinerja unit pemerintah lain;
b.
untuk mengevaluasi tingkat ekonomi
dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi tertentu di unit
pemerintah;
c.
untuk mengevaluasi hasil suatu
program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap pencapaian tujuan dan
target;
d.
untuk mengevaluasi tingkat
pemerataan (equity).
REINVENTING GOVERNMENT: Model
Pemerintah Daerah Masa Depan
Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku
pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah
daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini
dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat
ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi
gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari
internal masyarakatnya.
Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi
globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi,
investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan
mengahadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan
masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika
globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk
pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan,
seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi
keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan
semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda
juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi
publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing
government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler
tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan
bukan produksi pelayanan publik
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat:
memberdayakan masyarakat daripada melayani
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Pemerintah yang kompetitif:
menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik
Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi:
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang
digerakkan oleh misi
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5. Pemerintah yang berorientasi pada
hasil: membiayai
hasil bukan masukan
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan:
memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha: mampu
menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif: berupaya
mencegah daripada mengobati
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
9. Pemerintah desentralisasi: dari
hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja
Pemerintah
wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan,
dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
10. Pemerintah berorientasi pada
(mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem
insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan
pemaksaan)
Pemerintah wirausaha
menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumberdaya yang
dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang
monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti
dilakukannya bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan
mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak
akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing
government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat
dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah
adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah
itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan
mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep
tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apa-apa.
OPTIMALISASI PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN UNTUK MENDORONG TERCAPAINYA TUJUAN OTONOMI DAERAH
Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian
kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan
dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus
diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance
of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di
daerah (social control).
Pengawasan oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak
tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja
sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi,
DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila
DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD),
maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan.
Akan tetapi harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap
eksekutif daerah hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy)
yang digariskan bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan
kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional,
misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Dewan dapat meminta
BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kinerja keuangan eksekutif.
Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk
badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi
jalannya suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap harus
dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal
tersebut agar DPRD tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga
Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan yang bersifat
kebijakan.
PENUTUP
Salah
satu kunci keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dalam menghadapi era
global adalah dengan mengembangkan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif
terhadap aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi
daerah akan lebih bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan
kepada masyarakat.
Sejalan
dengan itu, Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya
daerah secara optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan
Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan
profesionalisme aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi
keuangan daerah dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan
strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang
nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis
perekonomian daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam
menyongsong era perekonomian global.
Drs.
Mardiasmo MBA Akt.: Dosen Fakultas Ekonomi Universitas
Gadjah Mada (FE - UGM)
Makalah disampaikan dalam Seminar Pendalaman
Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter Indonesia, Jakarta, 7 Mei 2002
DAFTAR
PUSTAKA
Coe,
Charles K. (l989) Public Financial
Management, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Juoro,
Umar (1990) “Persaingan Global dan
Ekonomi Indonesia dekade 1990-an”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Kuncoro,
Mudrajat dan Abimanyu, Anggito
(1995) “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan
Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV.
Kuncoro,
Mudrajat (1997) “Otonomi Daerah dalam
Transisi”, pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global,
12 April, Yogyakarta.
Mardiasmo
dan Kirana Jaya, Wihana (1999)
“Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”, KOMPAK
STIE YO, Yogyakarta, Oktober.
Mardiasmo (2002) “Akuntansi Sektor Publik”, Penerbit Andi Yogyakarta.
Nasution,
Anwar (l990) “Globalisasi Produksi,
Pengusaha Nasional dan Deregulasi Ekonomi”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Ohmae,
Kenichi (1991) The borderless
World, Power and Strategy in the Interlinked Economic, Harper
Collins, London.
Osborne,
David and Ted Gaebler (1993) Reinventing Government:
How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector.
Penguins Books, New York.
Shah,
Anwar (l997) Balance, Accountability
and Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank, Washington
D.C.
Sumodiningrat,
Gunawan (l999) Pemberdayaan Rakyat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarsono,
Juwono (l990) “Globalisasi Ekonomi dan
Demokrasi Indonesia”, Prisma, No. 8 tahun XIX.
Republik
Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
_________________, Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Umar,
Asri (l999) “Kerangka Strategis
Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI No. 22 tahun 1999
dan UU RI No. 25 tahun 1999”, PSPP, Jakarta, Juli-Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar