Powered By Blogger

Kamis, 22 September 2016

PUSAT PENGELOLAAN RISIKO FISKAL

Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) sebagai suborganisasi Badan Kebijakan Fiskalyang didirikan dalam Kementerian Keuangan pada tahun 2006, pada intinya adalahuntuk mengelola risiko ekonomi makro, risiko utang pemerintah pusat, risiko kewajiban kontinjensi pemerintah, risiko pengeluaran negara bersifat wajib yang berpotensi menyebabkan (1) risiko tujuan negara tak tercapai akibat kelemahan manajemen fiskal dan (2) anggaran defisit. Sesuai Pasal 1706 Kepmenkeu 466/KMK.01/2006, PPRF sebagai risk management unit bertugas membuat analisis, evaluasi, rekomendasi, melakukan pengelolaan risiko ekonomi global, BUMN dan memberi dukungan kepada pemerintah. Manajemen fiskal daerah dimulai dengan terbitnya UU 18/1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, namun tak berjalan efektif pada masa orde baru. Manajemen risiko fiskal mengalami perubahan mendasar tatkala NKRI sampai pada awal era reformasi, demokratisasi & otonomi daerah, bermuara pada desentralisasi fiskal versi UU 25/1999 dan UU 33/2004. Karena desentralisasi fiskal tersebut, maka tanggungjawab fiskal dan hubungan fiskal pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mengalami perubahan mendasar. Apabila risiko fiskal pada orde baru dibangun berdasar trilogi pembangunan – yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas – menghasilkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 %, berbagai kabinet setelah orde baru seharusnya berkinerja pertumbuhan ekonomi lebih baik. UU 25 Tahun 1999 mengatur bahwa perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mencakupi sistem pembiayaan NKRI sebagai sebuah negara kesatuan berbentuk pembagian keuangan pusat dan daerah, pemerataan proporsional antar daerah berbasis potensi daerah, kondisi daerah dan kebutuhan daerah, secara demokratis, adil dan transparan. Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah otonom berbasis APBD, bersumber dari PAD, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan sah, serta dana perimbangan. Dana perimbangan adalah bagian daerah atas PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan, Penerimaan dari Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Pemerintah Daerah dapat memperoleh Dana Darurat dari APBN, dapat menggunakan dana pinjaman dalam negeri secara langsung melalui persetujuan DPRD, serta dapat memperoleh pinjaman LN melalui pemerintah pusat. Risiko fiskal tiap negara berbeda-beda, demikian pula risiko fiskal tiap pemerintah daerah. Tingkat risiko adalah kombinasi antara dampak fiskal dengan probabilitas terjadi jenis risiko fiskal tersebut. Dampak fiskal dapat masif, besar, signifikan, strategis, berpengaruh dalam jangka yang panjang Pemerintah Daerah dan/atau bagi NKRI, atau sebaliknya. RISIKO FISKAL PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Risiko fiskal pemerintah pusat dan daerah adalah 1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak bermaksud menggunakan wewenang merencanakan defisit fiskal, secara nasional selalu diupayakan agar (1) anggaran selalu berimbang, defisit anggaran APBN & APBD tidak lebih besar dari 3 % PDB NKRI, dan (2) nisbah utang pemerintah pusat dan daerah tidak lebih besar dari 60 % PDB NKRI. 2. Risiko defisit anggaran daerah melebihi batas defisit direncanakan, misalnya rencana defisit APBD dibatasi sebesar 6 % dari perkiraan pendapatan daerah. Risiko defisit berbagai APBD melebihi batas rencana defisit akan berisiko menular menjadi defisit APBN. Risiko defisit anggaran pusat dan daerah menimbulkan risiko kewajiban mencari pinjaman penutup defisit, risiko penerbitan surat utang negara, obligasi pemerintah pusat dan obligasi daerah. 3. Risiko pertumbuhan DAK karena pertambahan bidang baru aloksasi DAK dan risiko kesalahan atau ketidakadilan alokasi. Pada tahun 2005, alokasi DAK bertujuan mendanai 8 bidang pembangunan yaitu pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan & perikanan, air bersih dan pertanian. Tahun 2006 menjadi 9 bidang karena tambahan bidang lingkungan hidup, tahun 2008 ditambah bidang keluarga berencana dan kehutanan, tahun 2009 ditambah bidang perdagangan dan sarana & prasarana pedesaan, tahun 2010 bertambah dengan bidang sanitasi, tahun 2011 ditambah lima bidang yaitu listrik pedesaan, perumahan dan pemukiman, keselamatan transportasi pedesaan, sarana dan prasarana perbatasan. Alokasi DAK terbesar pada Provinsi Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera Utara, sedang alokasi DAK terendah pada DKI, Kepulauan Riau, Yogyakarta, Gorontalo, dan Bali. Dengan demikian alokasi DAK mencakupi o Bidang pendidikan o Bidang kesehatan o Bidang jalan o Bidang irigasi o Bidang prasarana pemerintahan o Bidang kelautan & perikanan o Bidang air bersih o Bidang pertanian o Bidang lingkungan hidup o Bidang keluarga berencana o Bidang kehutanan o Bidang perdagangan o Bidang sarana & prasarana pedesaan o Bidang sanitasi o Bidang listrik pedesaan o Bidang perumahan dan pemukiman o Bidang keselamatan transportasi pedesaan o Bidang sarana dan prasarana perbatasan Dibutuhkan pemetaan berkala berbagai sarana dan prasarana minimum seluruh pemerintah daerah agar diketahui senjang sarana dan prasarana, sebagai dasar alokasi DAK selanjutnya. Pemetaan, pendataan, perbandingan, analisis senjang (gap analyisis)berkala dilakukan oleh provinsi, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, BPKP, dan BPK. 4. Risiko tata kelola pemerintah daerah berupa kepemimpinan daerah – baik DPRD maupun kepala daerah – yang tidak berorientasi kepada pembangunan sektor produktif daerah tersebut, kecenderungan memperbesar alokasi belanja rutin, menambah pegawai, menambah jumlah dinas/kantor, memperbesar anggaran rapat koordinasi, biaya perjalanan dinas dan biaya pemeliharaan sarana & prasarana pemda, penyisihan dana untuk berpolitik dan KKN. 5. Risiko pertumbuhan DAU menuju 75% atau lebih, dari seluruh jumlah transfer ke daerah, risiko pertumbuhan nisbah (rasio, perbandingan) belanja pegawai dalam DAU menuju 100 % dan risiko alokasi DAU yang melanggar azas keadilan distributif kepada 17.504 pulau. Risiko fiskal berbentuk menguatnya mental ketergantungan pemerintah daerah kepada DAU, tak ada pertanggungjawaban peningkatan kualitas layanan publik berdasar peningkatan DAU, dan risiko DAU meningkat karena perubahan nisbah (rasio) DAU terhadap Penerimaan Dalam negeri. Alokasi DAU tertinggi tepat sama dengan pola DAK, yaitu kepada Provinsi Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, sementara alokasi DAU terkecil adalah kepada DKI, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Risiko fiskal bahwa anggaran & realisasi DAU terpasung dan tidak boleh lebih rendah dari tahun lalu, oleh karena itu menimbulkan risiko defisit APBN. 6. Risiko transfer ke daerah berbentuk (1) alokasi transfer kurang adil dan bijaksana, misalnya daerah dengan senjang fiskal (fiscal gap) kapasitas fiskal tidak memeroleh dana transfer memadai, (2) transfer salah sasaran karena (1) kesalahan formula alokasi, (2) data tentang daerah tidak valid atau kurang tepat. 7. Dua aspek pemberdayaan terpenting bagi setiap daerah otonom adalah prasarana dan SDM daerah tersebut. Risiko kesalahan alokasi APBN kepada pemerintah daerah cq daerah, yang bukan berbasis perencanaan strategis pembangunan daerah, tidak merealisasi aspirasi daerah. Alokasi ideal APBN seharusnya berbasis kebutuhan strategis tiap daerah, berbasis pulastrategi dalam negeri dan provinsi dalam membuat cetak biru atau perencanaan pembangunan lintas daerah yang berdampak domino, berdampak biliar,berdampak getok tular dan berdampak bola salju. Sepanjang sejarah NKRI, APBN teralokasi hampir 100 % untuk pembangunan pulau Jawa, Sumatera dan Bali, praktis mengabaikan kebutuhan listrik, air bersih dan jalan raya pada tujuh belas ribu pulau lain, diduga menjadi penyebab utama ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar daerah. Masih banyak masalah dan beda pendapat disekitar sinkronisasi fiskal. Walau Propenas berupaya mengurangi disinkronisasi APBN dan APBD, prioritas pada pemerintah pusat untuk pembangunan infrastruktur tak selalu menjadi prioritas pula bagi sebagian pemerintah daerah. Skema pembangunan infrastruktur terhambat keterbatasan anggaran pada tataran APBN dan APBD, pembangunan berbasisPublic-Private Partnership (PPP) yang dibentuk pemerintah pusat, sebagian besar kurang menarik bagi pihak swasta dan pemda itu sendiri. Terdapat risiko disinkronisasi Peraturan Perundang-undangan pemerintah pusat dan Peraturan Daerah & Peraturan Kepala daerah, karena (1) peraturan daerah atau kepala daerah bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat, misalnya berbagai Perda tak sejalan dengan UU Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (2) salah rancang UU & peraturan pusat, kesulitan pemerintah daerah melaksanakan suatu peraturan pemerintah pusat. Perda bertentangan dengan aturan hukum di atasnya, otomatis batal demi hukum. Karena itulah kegiatan legal audit APIP, BPKP, dan BPK makin terasa penting. 8. Pemekaran daerah lebih bersifat politis ketimbang kemaslahatan. Tujuan utama pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan manajemen daerah lebih berkualitas, pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat paska pemekaran. Tertengarai tujuan tersembunyi dari permohonan pemekaran daerah, yaitu sebagai cara memperoleh kedudukan sebagai kepala daerah yang baru dan sebagai modus oprandi menarik dana Pusat bagi daerah. Desentralisasi fiskal mengandung implikasi kemandirian fiskal pemerintah daerah pada umumnya, risiko pembengkakan dana transfer APBN ke daerah khususnya. Pada tahun 2005 transfer ke daerah baru sebesar Rp.150, 5 Triliun atau 5,4 PDB. Transfer ke daerah APBN-P 2011 mencapai Rp.412,5 Triliun atau 5,7% PDB. 9. Motif desentralisasi pemerintahan adalah uang. Desentralisasi fiskal berisiko memperbesar keinginan pemekaran daerah, sehingga pemerintah harus membatasi pemekaran yang tidak sehat. Pemekaran tidak sehat berciri o Melanggar skala keekonomian(economies of scale), sebuah daerah berskala keekonomian ideal dimekarkan menjadi beberapa daerah yang demikian kecil sehingga melanggar azas efektivitas dan efisiensi. o Daerah yang dimekarkan ibarat memecah sebuah kursi, menjadi beberapa kursi berkaki dua, menjadi daerah yang tidak ideal untuk mandiri. Misalnya, sebuah kabupaten pesisir dibelah menjadi dua kabupaten, yaitu kabupaten pedalaman penghasil hasil bumi, dan kabupaten pesisir berpelabuhan dan beraktivitas perdagangan, setelah pemekaran tetap saja dalam posisi saling membutuhkan. o Daerah hasil pemekaran tidak memenuhi kaidah skala keekonomian (economics of scale), ibarat menjadi sebuah kursi lengkap namun berukuran terlampau kecil untuk digunakan. o Bila jumlah anak dalam keluarga menjadi dua kali lipat, kerepotan dan biaya rumah tangga jauh diatas dua kali lipat. Melahirkan seorang anak berbeda dengan melahirkan dua kembar, karena meningkatkan kerepotan bunda jauh di atas dua kali lipat. o Dalam keluarga berencana, penerapan dua anak cukup adalah perencanaan cerdas. Dalam NKRI, pemetaan jumlah daerah otonom ideal dan propenas cetak biru pemekaran atau penggabungan daerah adalah insiatif kabinet, bukan insiatif daerah. o Menambah biaya pengelolaan negara, misalnya biaya pemilukada, biaya koordinasi pusat dan daerah, biaya fasilitasi, pembengkakan transfer APBN bagi daerah, tambahan tugas, kenaikan biaya operasi dan biaya karena pembengkakan organisasi kementerian dalam negeri, BPKP, BPK, Kepolisian dan lain-lain, kenaikan alokasi APBN kementerian dalam negeri. o Gelombang pemekaran – bila direstui DPRD &DPR- berisiko mendorong hasrat selanjutnya, yaitu keinginan daerah otonom menjadi sebuah negara. o Pemekaran sebagai disintegrasi semu, mati akal DPR dan ketidak mampuan pemerintah pusat mendamaikan berbagai isu sara diatasi dengan izin pemekaran, menyuburkan eksklusivisme berbasis sara, menyulitkan penerapandasar negara “ bhineka tunggal ika”, danNKRI berisiko sebagai guci antik “retak-seribu”. o Pemekaran dilakukan karena ambisi seseorang untuk menjadi pemimpin DOB, dan pemerintah daerah makin menjadi semacam kerajaan otonom. Sejarah mencatat sepanjang 10 tahun pertama era reformasi (Oktober 1999- Januari 2008) terbentuk 164 daerah otonom baru (DOB), berupa 7 provinsi, 134 kabupaten dan 23 kota. Sebaliknya, pertambahan DOB yang praktis tidak ber PAD menyebabkan dana transfer daerah meningkat seribu seratus persen sepanjang 10 tahun, untuk periode 1999- tahun 2010. Pertumbuhan pendidikan di daerah menyebabkan kebutuhan akan pekerjaan dan jabatan publik meningkat, sebagian ambisi disalurkan dengan aspirasi pemekaran daerah. 10. Terdapat risiko KKN dan salah sasaran Dana Penyesuaian, risiko karena tidak ada kesepakatan kriteria distribusi antara pemerintah pusat cq Departemen Keuangan dan DPR cq Banggar DPR, dan tidak ada audit kepatuhan BPK terhadap transparansi proses seleksi daerah nir KKN dan Daftar Nominasi Daerah Layak Menerima Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah berdasar kriteria tersepakati. Sejarah mencatat bahwa seorang anggota Banggar ditetapkan KPK sebagai tersangka penyalahgunaan kekuasaan distribusi DPID. ksap.org KSAP Email: sekretariat.ksap@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar