2.1
Teori Keagenan
Konsep
Agency Theory (teori keagenan)
menurut Anthony dan Govindarajan (1995:569) dalam Widyaningdyah (2001) adalah
hubungan atau kontrak antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal). Prinsipal
mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk
pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen. Pada
perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai
prinsipal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agen mereka. Pemegang
saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai kepentingan prinsipal.
Teori
keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi
oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan
antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal termotivasi mengadakan kontrak untuk
mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Agen
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya,
antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak
kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena prinsipal
tidak dapat memonitor aktivitas CEO sehari-hari untuk memastikan bahwa CEO
bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham.
Prinsipal
tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen mempunyai lebih
banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan
secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen. Ketidakseimbangan informasi
inilah yang disebut dengan asimetri informasi. Adanya asumsi bahwa
individu-individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri,
mengakibatkan agen memanfaatkan adanya asimetri informasi yang dimilikinya
untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal.
Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prinsipal dan
agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada
prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja
agen.
Berdasarkan
penelitian sebelumnya Watts dan Zimmerman (1986) dalam Rahmawati dkk. (2006)
secara empiris membuktikan bahwa hubungan
prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi. Hal ini
memicu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat digunakan
sebagai sarana untuk memaksimalkan kepentingannya. Salah satu bentuk tindakan
agen tersebut dengan melakukan suatu tindakan yang disebut sebagai manajemen
laba.
2.2
Tinjauan Tentang Manajemen Laba
2.2.1
Pengertian Manajemen Laba
Copeland (1968 :10) dalam Utami (2005)
mendefinisikan manajemen laba sebagai, “some
ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini berarti
bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan atau
meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan keinginan manajer.
Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006)
membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama, melihatnya sebagai
perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi
kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic
earnings management). Kedua, dengan memandang manajemen laba dari
perspektif efficient contracting (efficient earnings management), dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka
dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk
keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Dengan demikian, manajer
dapat mempengaruhi nilai pasar perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya
dengan membuat perataan laba (income smoothing) dan pertumbuhan laba
sepanjang waktu.
Definisi manajemen laba yang hampir sama juga
diungkapkan oleh Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang menyatakan
bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan tertentu dalam
proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa keuntungan
privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses
tersebut). Menurut Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu proses
yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting
Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
Menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen
laba adalah tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan
dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan
kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Menurut Healy dan Wallen (1999) manajemen laba
terjadi ketika manajer menggunakan judgement
dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan
keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders
tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang
berhubungan dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses
pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri.
Manajemen laba adalah salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas
laporan keuangan, manajemen laba menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat
mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa
tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam
Rahmawati dkk, 2006).
Manajemen laba merupakan area yang
kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan. Manajemen laba tidak selalu
diartikan sebagai suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya
manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba. Manajemen laba tidak selalu
dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi
lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi yang secara sengaja
dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak
yang kontra terhadap manajemen laba, menganggap bahwa manajemen laba merupakan
pengurangan dalam keandalan informasi yang cukup akurat mengenai laba untuk
mengevaluasi return dan resiko portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih, 2004).
2.2.2
Faktor-faktor pendorong manajemen laba
Dalam Positif Accounting Theory terdapat
tiga hipotesis yang melatarbelakangi terjadinya manajemen laba (Watt dan
Zimmerman, 1986), yaitu:
1.
Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan
memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang
tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih banyak menggunakan metode
akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2.
Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan
yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih metode akuntansi
yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam Rahmawati dkk,
(2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3.
Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan,
semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi
yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi
pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan
perusahaan, dan lain-lain.
2.2.3
Motivasi Manajemen Laba
Scott (2000: 302) dalam Rahmawati dkk. (2006)
mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba, yaitu:
1. Bonus
Purposes
Manajer yang
memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara
oportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini
(Healy, 1985 dalam Rahmawati dkk, (2006).
2. Political
Motivation
Manajemen laba
digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik.
Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan
publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
3. Taxation
Motivation
Motivasi
penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai
metode akuntansi digunakan dengan tujuan untuk penghematan pajak pendapatan.
4. Pergantian CEO
CEO yang mendekati
masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus
mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan
agar tidak diberhentikan.
5. Initial
Public Offering (IPO)
Perusahaan yang
akan go public belum memiliki nilai
pasar, dan menyebabkan manajer perusahaan yang akan go public melakukan manajemen laba dengan harapan dapat menaikkan
harga saham perusahaan.
6. Pentingnya Memberi Informasi Kepada
Investor
Informasi mengenai
kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba
perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam
kinerja yang baik.
Sedangkan Healy dan Wahlen (1999) dalam
Firdaus (2007) membagi motivasi
manajemen laba ke dalam tiga kelompok yaitu :
1.
Motivasi
Pasar Modal (capital market motivation)
Motivasi manajemen
laba karena alasan pasar modal lebih banyak disebabkan oleh adanya anggapan
umum bahwa angka-angka akuntansi, khususnya laba merupakan salah satu sumber
informasi penting yang digunakan oleh investor dalam menilai harga saham.
Sehingga tidak mengherankan kalau ada sebagian manajer yang berusaha membuat
laporan keuangannya tampak baik dengan maksud untuk mempengaruhi kinerja saham
dalam jangka pendek. Manajemen cenderung melaporkan laba bersih lebih rendah (understate) ketika melakukan buy out
dan melaporkan laba lebih tinggi (overstate)
ketika melakukan penawaran saham ke publik.
2.
Motivasi
Kontrak (contracting motivation)
Motivasi kontrak
atas terjadinya manajemen laba dikaitkan dengan penggunaan data akuntansi dalam
memonitor dan meregulasi kontrak atas perusahaan dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan (stakeholders). Secara
eksplisit maupun implisit, kontrak-kontrak yang berjenis kompensasi manajemen
banyak dikaitkan dengan kinerja keuangan perusahaan. Ada alasan khusus yang
menyebabkan mengapa manajemen laba terjadi dalam konteks kontrak yaitu baik
kreditor maupun komite kompensasi yaitu komite yang menyiapkan berkas kontrak
antara manajer perusahaan, merasa bahwa upaya mengungkapkan ada tidaknya
manajemen laba adalah upaya yang mahal dan membutuhkan waktu. Kondisi ini
seakan menjadi pendorong bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.
3. Motivasi Peraturan (regulation motivation)
Bagi para penetap standar (standar settere), perhatian terhadap
manajemen laba menjadi penting karena manajemen laba apapun alasannya dapat
mengarah kepada penyajian pelaporan keuangan yang tidak benar (misleadin) dan akhirnya dapat
mempengaruhi alokasi sumber daya yang ada. Manajer dapat memanipulasi laba
dengan berbagai cara, baik yang secara langsung berpengaruh terhadap keputusan
operasi , pembiayaan, investasi maupun dalam bentuk pemilihan prosedur
akuntansi yang diperbolehkan dalam prinsip akuntansi berterima umum. Secara
umum manajer melakukan manajemen laba dengan menggunakan dua cara yaitu :
1.
Variabel
Artifisial
Merupakan teknik
manajemen laba yang dilakukan melalui pemilihan metode akuntansi. Manajemen
laba dengan menggunakan metode artifisial
misalnya dengan pemilihan teknik
akuntansi yang bisa menaikkan atau menurunkan laba tahun berjalan. Contoh :
pemilihan metode depresiasi, tahun amortisasi, metode pencatatan persediaan,
pengakuan gain dan loss dan sebagainya.
2.
Variabel
Riil
Manajemen laba dengan
variabel riil atau transaksional
dilakukan dengan cara melakukan manipulasi penjualan dan biaya-biaya, misalnya
dengan mempercepat atau menunda penjualan akhir tahun dan atau mempercepat
pencatatan biaya.
Menurut Ayres (1994) dalam Firdaus (2007), ada tiga
faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktik-praktik manajemen laba
yaitu :
1. Manajemen Akrual
Manajemen akrual yang biasanya
dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan
yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer. Contoh manajemen
akrual antara lain adalah dengan mempercepat pengakuan atau menunda pengakuan
pendapatan (revenue).
2. Penerapan suatu kebijakan akuntansi yang
wajib (adoption of management accounting
changes)
Terkait dengan keputusan manajer
untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi yang wajib diterapkan oleh
perusahaan, manajemen perusahaan mempunyai dua pilihan, yaitu apakah perusahaan
akan menetapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai
saat berlakunya kebijakan akuntansi baru yang wajib (mandatory accounting policy) badan akuntansi yang ada memberikan
kesempatan kepada perusahaan untuk dapat menerapkannya lebih awal dari waktu
berlakunya. Para manajer tentu saja akan memilih untuk menerapkan suatu
kebijakan akuntansi yang baru bila dengan penerapan tersebut akan dapat
mempengaruhi baik aliran kas maupun keuntungan perusahaan.
3. Perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes)
Perubahan metode akuntansi secara
sukarela, biasanya berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah
suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat
dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada. Walaupun
manajer tidak dapat melakukan perubahan metode akuntansi secara sering, namun
mereka dapat melakukan dalam bentuk perubahan akuntansi lain yang berbeda baik
secara individu maupun bersama-sama untuk beberapa periode. Nampak jelas bahwa
banyak cara yang bisa dilakukan untuk oleh manajer atau pembuat laporan
keuangan untuk mempengaruhi prestasi keuangan atau keuntungan.
2.2.4
Teknik Manajemen Laba
Teknik dan pola manajemen laba menurut Setiawati
dan Na’im (2000)dalam Rahmawati dkk. (2006) dapat dilakukan dengan tiga teknik,
yaitu :
1. Memanfaatkan peluang untuk membuat
estimasi akuntansi
Cara manajemen
mempengaruhi laba melalui judgement
(perkiraan) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang
tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi
aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi
Perubahan metode
akuntansi yang digunakan untuk mencatat suatu transaksi, Contoh: merubah metode
depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka tahun ke metode
depresiasi garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan
Contohnya yaitu
rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda
pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi
berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode
berikutnya, mempercepat atau menunda pengiriman produk ke pelanggan, mengatur
saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai.
2.2.5
Kondisi Untuk Praktik Manajemen Laba
Trueman dan Titman
(1988) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa hanya manajer yang
dapat mengobservasi laba ekonomi perusahaan untuk setiap perioda. Sebaliknya,
pihak lain mungkin dapat menarik kesimpulan sesuatu mengenai laba ekonomi dari
laba yang dilaporkan oleh perusahaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
manajer. Dalam menyiapkan laporan mungkin manajer dapat memindah, antarperioda,
pada saat sebagian laba ekonomi diketahui sebagai laba akuntansi dalam laporan
keuangan.
Perpindahan tersebut dapat dicapai, sebagai
contoh, melalui pengakuan biaya pensiun, penyesuaian penaksiran umur ekonomis,
dan penyesuaian penghapusan piutang. Jika manajer tidak dapat memindah laba
antarperioda maka laba yang dilaporkan oleh perusahaan akan sama dengan laba
ekonomi perusahaan pada setiap perioda. Fleksibilitas untuk menunda laba
antarperioda hanya tersedia bagi beberapa perusahaan, dan hanya manajer yang
mengetahui apakah mereka mempunyai fleksibilitas tersebut atau tidak.
2.2.6
Pola Manajemen Laba
Pola manajemen laba menurut Scott (2000) dalam Rahmawati
dkk, (2006) dapat dilakukan dengan cara:
1. Taking a Bath
Pola ini terjadi pada saat
reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam
jumlah besar. Teknik ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan
datang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak
menguntungkan tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya
manajemen “menghapus” beberapa aktiva, membebankan perkiraan-perkiraan
mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari
seharusnya.
2. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan
memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat
perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas
barang modal dan aktiva berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset dan
pengembangan yang cepat, memilih metode succesfull-effort
untuk biaya eksplorasi gas dan minyak bumi dan sebagainya.
3. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba
menurun. Tindakan atas income maximization ini bertujuan untuk
melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar.
Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian
hutang.
4. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan
cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba
yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang
relatif stabil
Foster (1986) dalam Firdaus (2007)
mengklasifikasikan unsur-unsur laporan keuangan yang sering dijadikan sasaran
perekayasaan atau manipulasi oleh manajemen yaitu :
·
Unsur
Penjualan
1.
Saat
penjualan faktur. Misalnya, penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan
datang, fakturnya dibuat pada periode ini akan dilaporkan sebagai penjualan
periode ini.
2.
Pembuatan
pesanan atau penjualan fiktif
3.
Penurunan
produk, misalnya dengan cara mengklasifikasikan produk yang belum rusak ke
dalam kelompok produk rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan
harga yang lebih rendah
·
Unsur
Biaya
1. Memecah-mecah faktur, misalnya faktur
untuk suatu pembelian atau pesanan dipecah menjadi beberapa pembelian atau
pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dan tanggal yang berbeda dan
kemudian melaporkannya ke dalam beberapa periode akuntansi yang berbeda
2. Mencatat prepayment (biaya dibayar di muka) sebagai biaya. Misalnya
melaporkan biaya iklan dibayar di muka untuk tahun depan sebagai biaya iklan
tahun ini.
Moses (1987) dalam Firdaus (2007) dalam
penelitiannya mengklasifikasikan berbagai perubahan kebijakan akuntansi yang
sering dijadikan alat perekayasaan laba antara lain :
1. Perubahan metode pencatatan persediaan ke
metode LIFO
2. Perubahan metode pencatatan biaya jaminan
hari tua
3. Perubahan metode depresiasi aktiva tetap,
amortisasi aktiva tidak berwujud dan konsolidasi
4. Perubahan dalam penaksiran atau estimasi
masa manfaat aktiva tetap maupun aktiva tidak berwujud
5. Perubahan kebijakan terhadap pembebanan
atau pengkapitalisasian
2.3
Tinjauan tentang Asimetri Informasi dan
Teori Bid-ask spreads
2.3.1
Asimetri Informasi
Asimetri informasi merupakan suatu keadaan dimana
manajer memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki
oleh pihak luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya
asimetri informasi antara manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal).
Jensen dan Meckling (1976) dalam Rahmawati dkk.
(2006) menambahkan bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut
adalah orang-orang yang berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat
alasan yang kuat untuk meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang
terbaik untuk kepentingan prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan
menetapkan insentif yang tepat bagi agen dan melakukan monitor yang didesain
untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang.
Laporan
keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada
pihak-pihak di luar korporasi. Laporan keuangan memiliki kelemahan tertentu,
sekalipun pembuatan laporan keuangan diatur oleh suatu standar yang telah
ditetapkan, namun perlu disadari bahwa laporan keuangan mengandung banyak
asumsi, penilaian, serta pemilihan metode perhitungan yang dapat digunakan oleh
pembuatnya.
Adanya
pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut
membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan
keuangan tersebut. pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh
manajemen untuk tujuan tertentu dikenal
dengan sebutan manajemen laba. Asimetri informasi dapat diantisipasi dengan
melakukan pengungkapan informasi yang lebih berkualitas.
Ada dua tipe asimetri informasi : adverse selection
dan moral hazard.
1.
Adverse
Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana
satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu
transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas
pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang
seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih
mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para
investor luar.
2.
Moral
Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana
satu pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha
atau transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam
penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral
hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan pengendalian
yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
2.3.2
Teori Bid-Ask
Spread
Eisenhardt (1989) dalam Syahroni (2005) menyatakan
bahwa teori keagenan menggunakan tiga asumsi manusia yaitu: 1) manusia pada
umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest); 2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
datang (bounded-rationality); dan 3)
manusia selalu menghindari resiko (risk
averse). Masalah keagenan pula dihadapi oleh partisipan pasar modal. Salah
satu partisipan pasar modal adalah dealer
dan market makers. Ketidakpastian
yang dihadapi oleh dealer disebabkan
oleh adanya ketidakseimbangan informasi (information
asymmetry). Untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dealer membutuhkan informasi, dan untuk mendapatkan informasi
tersebut diperlukan cost. Besarnya
ketidakseimbangan informasi yang dihadapi oleh dealer tersebut akan tercermin pada spread yang ditentukannya. Dealer
selalu berusaha untuk menentukan spread
secara wajar dengan memperhatikan kejadian tertentu,, kondisi atau
informasi apa saja yang memberikan sinyal mengenai surat berharga yang
dimilikinya.
Bid-ask spread merupakan selisih harga beli tertinggi
dengan harga jual terendah saham trader (Greinstein dan Sami, 1994 dalam Ardi,
2006).
Stoll
(1989) dalam Syahroni (2005) menyatakan bahwa bid-ask spread merupakan fungsi dari tiga komponen biaya yang
berasal dari:
1. Pemilikan saham (inventory holding)
2. Pemrosesan pesanan (order processing)
3. Asimetri informasi (information asymmetry)
Biaya pemilikan menunjukkan trade-off antara memiliki terlalu banyak saham dan terlalu sedikit
saham. Atas biaya pemilikan saham tersebut akan menimbulkan opportunity cost. Biaya pemrosesan
pesanan meliputi biaya administrasi, pelaporan, proses komputer, telepon, dan
lainnya. Sedangkan biaya asimetri informasi lahir karena adanya dua pihak trader yang tidak sama dalam memiliki
dan mengakses fungsi. Pihak pertama adalah informed
trader yang memiliki informasi superior dan pihak lain yaitu uninformed trader yang tidak memiliki
informasi. Jika kedua belah pihak bertransaksi maka uninformed trader menghadapi resiko rugi juga jika bertransaksi
dengan informed trader, upaya
mengurangi resiko tersebut tercermin dalam bid-ask
spread.
Literatur mikrostruktur mengenai bid-ask spread
menyatakan bahwa terdapat suatu komponen spread yang turut
memberikan kontribusi terhadap kerugian yang dialami dealer ketika
bertransaksi dengan pedagang terinformasi tersebut, yaitu:
o
Kos
pemrosesan pesanan (order processing cost), terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas
kesiapannya mempertemukan pesanan pembelian dan penjualan, dan kompensasi untuk
waktu yang diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi.
o
Kos
penyimpanan persediaan (inventory holding cost), yaitu kos yang ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa
persediaan saham agar dapat diperdagangkan sesuai dengan permintaan.
o
Adverse
selection component, menggambarkan suatu upah (reward) yang
diberikan kepada pedagang sekuritas untuk mengambil suatu resiko ketika
berhadapan dengan investor yang memiliki informasi superior. Komponen ini
terkait erat dengan arus informasi di pasar modal.
Berkaitan dengan bid-ask spread, fokus
perhatian akuntan adalah pada komponen adverse selection karena
berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal.
Pembahasan lebih lanjut mengenai spreads
dikemukakan oleh Cohen dkk. (1986) dan Hamilton (1991) dalam Rahmawati dkk.
(2006). Cohen dkk. (1986) menekankan bahwa riset mengenai kos transaksi/kos
kesegeraan (immediacy cost) harus
membedakan antara spread dealer dan spread pasar. ia menjelaskan
bahwa spread dealer untuk suatu saham merupakan perbedaan harga bid
dan ask yang ditentukan oleh dealer secara individual ketika
hendak memperdagangkan saham tersebut, sedangkan spread pasar untuk
suatu saham merupakan perbedaan harga bid tertinggi dan ask
terendah diantara beberapa dealer yang sama-sama melakukan transaksi
untuk saham tersebut. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka spread pasar
dapat lebih kecil dibandingkan dengan spread
dealer.
Model ini
menyatakan bahwa pedagang sekuritas menetapkan bid-ask spread sedemikian
rupa sehingga keuntungan yang diharapkan dari pedagang tidak terinformasi dapat
menutupi kerugian dari pedagang terinformasi. Oleh karena itu, komponen adverse
selection dari spread ini akan lebih besar ketika pedagang sekurutas
merasakan bahwa kecenderungan untuk berdagang dengan pedagang terinformasi
lebih besar, atau ketika ia meyakini bahwa pedagang terinformasi memiliki
informasi yang lebih akurat. Dalam kondisi ini maka komponen adverse
selection dari bid-ask spread merefleksikan tingkat resiko asimetri
informasi yang dirasakan oleh pedagang sekuritas. Jadi, ketika pedagang
sekuritas berdagang dengan pedagang terinformasi maka biaya transaksi
meningkat, dan adanya asimetri informasi ini akan membawa pada bid-ask
spread yang lebih besar.
2.3.3
Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap
Manajemen Laba
Keberadaan asimetri informasi dianggap sebagai penyebab
manajemen laba. Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) meneliti hubungan
asimetri informasi dan manajemen laba pada semua perusahaan yang terdaftar di
NYSE pada periode akhir juni selama 1988-1992. Hasil penelitiannya, bahwa
terdapat hubungan yang sistematis antara magnitut asimetri informasi dan
tingkat manajemen laba. Fleksibilitas manajemen untuk memanajemeni laba dapat
dikurangi dengan menyediakan informasi yang lebih berkualitas bagi pihak luar.
Kualitas laporan keuangan akan mencerminkan tingkat manajemen laba.
Bhattacharya dan Spiegel (1991) dalam Richardson
(1998) melakukan penelitian, bahwa asimetri informasi menyebabkan
ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan cost of capital sebagai “pelindung harga” investor itu sendiri
melawan kerugian potensial dari perdagangan dengan partisipan pasar yang
diinformasikan dengan baik. Lev (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat
bahwa ukuran pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tingkat penerimaan asimetri informasi yang dihadapi partisipan
dalam pasar modal. Bid-ask spreads adalah
salah satu pengukuran dari likuiditas pasar yang telah digunakan secara luas
dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri informasi antara manajemen
dan pemegang saham perusahaan. Sebagai bukti dari kemampuan bid-ask spreads dalam menangkap bukti
seputar perusahaan ditunjukkan oleh Healy, Palepu dan Sweeney (1995) dan Welker (1995) dalam
Rahmawati dkk. (2006) yaitu orang yang melaporkan bukti dari hubungan yang
negatif antara bid-ask spreads dan kebijakan pengungkapan perusahaan.
Penelitian Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk.
(2006) menunjukkan adanya hubungan antara asimetri informasi dengan manajemen
laba. Ketika asimetri informasi tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya
yang cukup, insentif, atau akses atas informasi yang relevan untuk memonitor
tindakan manajer, dan hal ini memberikan kesempatan atas praktek manajemen
laba. Adanya asimetri informasi akan mendorong manajer untuk menyajikan
informasi yang tidak sebenarnya terutama jika informasi tersebut berkaitan
dengan pengukuran kinerja manajer.
Glosten dan Milgrow (1985) dalam Lobo dan Zhou
(2001) menyatakan bahwa peningkatan informasi dalam laporan keuangan akan
menurunkan asimetri informasi. Dengan demikian, peningkatan pengungkapan akan
menyebabkan fleksibilitas manajer untuk melakukan manajemen laba akan berkurang
karena berkurangnya asimetri informasi antara manajemen dengan pemegang saham
dan pengguna laporan keuangan lainnya.
Halim dkk. (2005) yang melakukan penelitian
tentang “pengaruh manajemen laba pada tingkat pengungkapan laporan keuangan
pada perusahaan manufaktur yang termasuk dalam indeks LQ-45”, hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur yang termasuk dalam
indeks LQ-45 terlihat melakukan tindakan manajemen laba. Asimetri informasi,
kinerja masa kini dan masa depan, faktor leverage,
dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati dkk.
(2006) juga menunjukkan bahwa variabel independen asimetri informasi
berpengaruh secara positif signifikan dan mampu menjelaskan variabel dependen
manajemen laba.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis
yang dapat dikembangkan adalah:
Ha1 : Asimetri informasi berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba
2.4
Ukuran Perusahaan
2.4.1
Pengertian Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan secara umum dapat diartikan
sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu objek. Menurut
Poerwadarminta (1983;13) ukuran perusahaan diartikan sebagai berikut:
“(1)
alat-alat untuk mengukur (seperti menjengkal dan sebagainya), (2) sesuatu yang
dipakai untuk menentukan (menilai dan sebagainya), (3) pendapatan mengukur
panjangnya (lebarnya, luasnya, besarnya) sesuatu”.
Jika pengertian ini dihubungkan dengan perusahaan
atau organisasi, maka ukuran perusahaan (organization
size) dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya usaha
dari suatu perusahaan atau organisasi. Dengan demikian ukuran perusahaan
merupakan sesuatu yang dapat mengukur atau menentukan nilai dari besar atau
kecilnya perusahaan.
Pandangan lain mengenai ukuran perusahaan (organization size) juga di utarakan oleh
Saffold (1988;132) seperti yang dikutip oleh Rasyid (1992;20) yaitu:
“The
view that the contribution of strong culture to performance is conditioned by
the nature of the industry, organisation size and the gain of the environment”
Saffold (1998;132) menyatakan bahwa kultur
perusahaan yang kuat dapat mempengaruhi kinerja karyawan, dimana kultur
perusahaan yang kuat tersebut akan terbentuk dari berbagai faktor seperti jenis
industri, ukuran perusahaan, dan lingkungan yang mempengaruhi perusahaan itu
sendiri. Berarti unsur ukuran perusahaan menjadi salah satu faktor yang secara
tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja perusahaan.
Ukuran perusahaan adalah suatu skala dimana dapat
diklasifikasikan besar kecilnya perusahaan menurut berbagai cara, antara lain:
total aktiva, log size nilai pasar
saham, jumlah karyawan, dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya
terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm).
Berdasarkan uraian tentang ukuran perusahaan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan merupakan suatu indikator
yang dapat menunjukkan suatu kondisi atau karakteristik suatu organisasi atau
perusahaan dimana terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan untuk
menentukan ukuran (besar/kecilnya) suatu perusahaan, seperti banyaknya jumlah
karyawan yang digunakan dalam perusahaan untuk melakukan aktivitas operasional
perusahaan, jumlah aktiva yang dimiliki perusahaan, total penjualan yang
dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode, serta jumlah saham yang beredar.
2.4.2
Konsep Dasar Aktiva
Menurut
SAK No. 16 tahun 2004 yang dimaksud dengan aktiva adalah sumber daya yang
dikuasai oleh perusahaan sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomis di masa depan diharapkan akan diperoleh perusahaan.
Selanjutnya
dijelaskan dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan
paragraf 56 bahwa banyak aktiva, modal, aktiva tetap memiliki bentuk fisik.
Namun demikian bentuk fisik tersebut tidak esensial untuk menentukan eksistensi
aktiva; karena itu, paten dan hak cipta, misalnya, merupakan aktiva kalau manfaat
yang diperoleh perusahaan di masa depan dan kalau masing-masing aktiva tersebut
dikuasai perusahaan.
Dalam menentukan eksistensi aktiva, hak milik
tidak esensial jadi misalnya property yang diperoleh melalui sewa guna usaha
adalah aktiva jika perusahaan mengendalikan manfaat yang diharapkan dari
property tersebut. Sedangkan menurut Scanning (1992; 22):
“Aktiva adalah jasa yang akan datang dalam
bentuk uang atau jasa mendatang yang dapat ditukarkan menjadi uang (kecuali
jasa yang timbul dari kontrak yang belum dijalankan kedua pihak secara
sebanding) yang di dalamnya terkandung kepentingan yang bermanfaat yang dijamin
menurut hukum atau keadilan bagi orang atau kelompok tertentu tersebut”.
Menurut FASB Statement of Financial
accounting Concepts No. 3 (SFAC No. 3) sebagai berikut:
“Aktiva adalah manfaat ekonomis mendatang
yang mungkin akan diperoleh atau dikendalikan oleh kesatuan ekonomi tertentu
sebagai akibat transaksi atau peristiwa yang lalu”.
Pengertian aktiva yang dikemukakan oleh
pakar ekonomi sangat beragam, namun pada dasarnya pengertiannya sama yaitu
aktiva merupakan sumber daya ekonomi suatu perusahaan yang diukur berdasarkan
prinsip akuntansi.
Pada dasarnya aktiva dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian utama yaitu aktiva lancar dan aktiva tidak
lancar. Yang termasuk kelompok aktiva lancar adalah:
a. Kas atau uang tunai yang dapat digunakan
untuk membiayai operasi perusahaan.
b. Investasi jangka pendek (surat berharga
atau marketable securities) adalah
investasi yang sifatnya sementara dengan maksud untuk memanfaatkan uang kas
yang untuk sementara belum dibutuhkan dalam operasi
c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan
kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur
dalam undang-undang, karena itu, wesel mempunyai kekuatan hukum dan lebih
terjamin perluasannya dan dapat diperjualbelikan atau didiskontokan.
d. Piutang dagang, adalah tagihan kepada
pihak lain (kepada kreditur atau langganan) sebagai akibat dari adanya
penjualan dagang secara kredit.
e. Persediaan, adalah semua barang yang
diperdagangkan yang sampai tanggal neraca masih di gudang atau belum laku di
jual.
f. Piutang penghasilan atau penghasilan yang
masih harus diterima adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan
karena perusahaan telah memberikan jasa atau prestasinya tetapi belum diterima
pembayarannya.
g. Persekot atau biaya dibayar di muka,
adalah pengeluaran untuk memperoleh jasa atau prestasi dari pihak lain tetapi
pengeluaran itu belum jadi biaya atau jasa/prestasi pihak lain belum dinikmati
oleh perusahaan pada periode ini melainkan pada periode berikutnya.
Aktiva tidak lancar adalah aktiva yang
mempunyai umur kegunaan relatif permanen atau jangka panjang (mempunyai umur
ekonomis lebih dari satu tahun atau tidak habis dalam satu kali perputaran
operasi perusahaan). Yang termasuk aktiva tidak lancar adalah:
a.
Investasi
jangka panjang, bagi perusahaan yang cukup besar dalam arti mempunyai kekayaan
atau modal yang cukup atau sering melebihi dari yang dibutuhkan, maka
perusahaan ini dapat menanamkan modalnya dalam investasi jangka panjangnya di
luar usaha pokoknya. Investasi ini dapat berupa saham dari perusahaan, aktiva
tetap yang tidak ada hubungannya dengan perusahaan. Tujuannya adalah:
1.
Untuk
dapat mengadakan pengawasan terhadap kebijaksanaan atau kegiatan perusahaan
ini.
2.
Untuk
memperoleh pendapatan yang tetap secara terus menerus
3.
Untuk
membina hubungan baik dengan perusahaan lain
4.
Dan
lain-lain.
b.
Aktiva
tetap adalah kekayaan yang dimiliki perusahaan yang fisiknya merupakan syarat
lain untuk dapat diklasifikasikan sebagai aktiva tetap selain aktiva itu
dimiliki perusahaan, juga harus digunakan dalam operasi yang bersifat permanen
(aktiva tersebut mempunyai umur kegunaan jangka panjang atau tidak akan habis
dalam satu periode kegiatan perusahaan.
c.
Aktiva
tetap tidak berwujud adalah kekayaan perusahaan yang secara fisik tidak tampak,
tetapi merupakan suatu hak yang mempunyai nilai dan dimiliki oleh perusahaan
untuk digunakan dalam perusahaan.
2.4.3
Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap
Manajemen Laba
Ukuran perusahaan (size) memiliki
korelasi dengan manajemen laba karena telah banyak digunakan sebagai variabel
dalam penelitian oleh peneliti di bidang akuntansi untuk dapat membuktikan
beberapa hipotesa yang mereka buat seperti penelitian yang dilakukan oleh
Defond (1993) dalam Veronica dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa ukuran
perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Perusahaan yang
besar memiliki insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena
salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi
ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Selain itu semakin besar
perusahaan maka semakin banyak estimasi dan penilaian yang perlu diterapkan
untuk tiap jenis aktivitas perusahaan yang semakin banyak.
Penelitian yang dilakukan oleh Long dan Lundholm
(1993) dalam Welhendra (2006) membuktikan bahwa tingkat keluasan informasi
kebijakan pengungkapan perusahaan akan meningkat seiring dengan meningkatnya
ukuran kinerja perusahaan. Perusahaan yang besar cenderung akan mengungkapkan
lebih banyak informasi karena lebih banyaknya permintaan akan informasi
perusahaan biaya pengungkapan rata-rata akan menurun seiring dengan bertambah
besarnya perusahaan, sehingga mereka lebih berhati-hati dalam melakukan
manajemen laba. Dengan demikian ukuran perusahaan mempunyai hubungan yang
positif dengan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Veronica dan
Bachtiar (2003) menemukan bukti ukuran perusahaan sesuai dengan hipotesa
berkorelasi positif dan signifikan terhadap discretionary
accruals. Hal ini menggambarkan bahwa semakin besar perusahaan, maka
semakin kompleks aktivitas operasionalnya dan semakin banyak kesempatan bagi
manajer untuk melakukan manajemen laba melalui dasar akrual.
Penelitian yang dilakukan oleh Albrecth (1990) serta
Lee dan Choi (2002) menemukan bahwa perusahaan yang lebih besar kurang memiliki
dorongan untuk melakukan perataan laba dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil
karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar. Karena itu,
diduga bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi besaran pengelolaan laba
perusahaan, dimana jika pengelolaan laba tersebut oportunis maka semakin besar
perusahaan akan semakin kecil pengelolaan laba (berhubungan negatif) tapi jika
pengelolaan laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan maka semakin
tinggi pengelolaan labanya (berhubungan positif).
Penelitian Ashari et al. (1994) menghasilkan bahwa
ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap tindakan perataan laba. Jin dan Machfoedz (1998) juga tidak berhasil
membuktikan bahwa ukuran perusahaan merupakan faktor pendorong dilakukannya
praktek perataan laba. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian Suwito dan
Herawati (2005) yang juga tidak menemukan pengaruh ukuran perusahaan terhadap
praktik perataan laba.
Valensiya (2005) menyatakan bahwa perataan laba
mempunyai hubungan yang kuat dan signifikan dengan ukuran perusahaan. Karena
perataan laba mempunyai kaitan yang erat dengan manajemen laba, maka secara
otomatis manajemen laba juga mempunyai hubungan dengan ukuran perusahaan.
Jadi berdasarkan uraian di atas, maka
hipotesis yang dapat dikembangkan adalah :
Ha2 : ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
praktik manajemen laba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar