APBD adalah
suatu anggaran daerah. Definisi ini menunjukkan bahwa suatu anggaran daerah,
termasuk APBD, memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Rencana kegiatan suatu daerah,
beserta uraiannya secara rinci;
2. Adanya sumber penerimaan yang
merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan
adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksanakan;
3. Jenis kegiatan dan proyek yang
dituangkan dalam bentuk angka;
4. Periode anggaran, biasanya satu
tahun.
Penganggaran
sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk
tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran
organisasi sektor publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan
strategik telah selesai dilakukan. Anggaran merupakan artikulasi dari hasil
perumusan strategi dan perencanaan strategik yang telah dibuat. Tahap
penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan
tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang sudah
disusun. Anggaran merupakan managerial plan for action untuk
memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.
Pembuatan
anggaran dalam organisasi sektor publik, terutama pemerintahan, merupakan
sebuah proses yang rumit dan mengandung muatan politis yang cukup signifikan.
Berbeda dengan penyusunan anggaran di perusahaan swasta yang muatan politisnya
relatif lebih kecil. Bagi organisasi sektor publik seperti pemerintah, anggaran
tidak hanya sebuah rencana tahunan tetapi juga merupakan bentuk akuntabilitas
atas pengelolaan dana publik yang dibebankan kepadanya. Suatu organisasi sektor
publik dikatakan mempunyai kinerja atau performa yang baik jika segala
aktivitasnya berada dalam kerangka anggaran dan tujuan yang ditetapkan.
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat
dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak
adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian
tujuan dan sasaran pelayanan publik.
Melalui
proses anggaran kinerja, pemerintah kota/kabupaten menetapkan keluaran dan hasil
dari masing-masing program dan pelayanan. Kemudian pemerintah daerah membuat
target pencapaiannya. Secara umum prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja
didasarkan pada konsep Value for Money (Ekonomis, Efisiensi, dan
Efektifitas) dan prinsip tata pemerintahan yang baik termasuk adanya
pertanggungjawaban para pengambil keputusan atas penggunaan uang yang
dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran, dan indikator yang telah
ditetapkan.
Pemerintah
daerah diharuskan menetapkan anggaran kinerja karena memudahkan pengambilan
keputusan dalam menentukan prioritas tujuan, sasaran, program, kegiatan dan
belanja, memudahkan dalam mengkomunikasikan prioritas Pemerintah Daerah kepada
masyarakat, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses
pengambilan keputusan anggaran, dan mematuhi peraturan perundangan yang
disyaratkan pemerintah pusat.
Berdasarkan
pasal 64 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah, maka pada era orde baru, APBD dapat didefinisikan sebagai rencana
operasional keuangan pemerintah daerah, dimana pada satu pihak menggambarkan
perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan
proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain
menggambarkan perkiraan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi
pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.
Sebelumnya pada
era orde lama, terdapat pula definisi APBD sebagai rencana pekerjaan keuangan (financial
workplan) yang dibuat untuk suatu jangka waktu ketika badan legislatif (DPRD)
memberikan kredit kepada badan eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan
pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang
menjadi dasar (grondslag) penetapan anggaran, dan yang menunjukkan semua
penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi.
Pada era
reformasi, bentuk dan susunan APBD telah mengalami dua kali perubahan. Pada
awalnya, susunan APBD (berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1975) terdiri atas anggaran
rutin dan anggaran pembangunan. Anggaran Rutin dibagi lebih lanjut menjadi pendapatan
dan belanja rutin, demikian pula anggaran pembangunan dibagi lebih lanjut
menjadi pendapatan dan belanja pembangunan. Susunan demikian kemudian mengalami
perubahan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan pada kurun waktu tahun
1984-1988.
Karakteristik
APBD pada era reformasi adalah :
1. APBD disusun oleh DPRD
bersama-sama dengan kepala daerah.
2. Pendekatan yang dipakai dalam
menyusun anggaran adalah pendekatan line item atau pendekatan
tradisional. Dalam pendekatan ini, anggaran disusun berdasarkan jenis
penerimaan dan pengeluaran. Jadi, setiap baris dalam APBD menunjukkan jenis
penerimaan dan pengeluaran. Penggunaan pendekatan bertujuan mengendalikan
setiap pengeluaran yang dilakukan. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang
paling tradisional (tertua) di antara berbagai pendekatan anggaran. Beberapa
jenis pendekatan yang lebih maju adalah :
a) Program budgeting
b) Performance budgeting
c) Planning, programming, and
budgeting system (PPBS)
d) Zero based budgeting
3. Siklus APBD terdiri atas perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan pemeriksaan, serta penyusunan dan penetapan
perhitungan APBD. Penyusunan dan penetapan perhitungan APBD merupakan
pertanggungjawaban APBD. Pertanggungjawaban tersebut dilakukan dengan
menyampaikan perhitungan APBD kepada menteri dalam negeri untuk pemda tingkat I
dan kepada gubernur untuk pemda tingkat II, jadi, pertanggungjawaban ini
bersifat vertikal.
4.
Dalam tahap pengawasan dan pemeriksaan serta penyusunan dan penetapan
perhitungan APBD, pengendalian dan pemeriksaan/audit terhadap APBD bersifat
keuangan. Hal ini tampak pada pengawasan APBD berdasarkan objek yang meliputi
pengawasan pendapatan dan pengeluaran daerah. Pengawasan tersebut tidak
memperhitungkan pertanggungjawaban dari aspek lain seperti aspek kinerja.
5.
Pengawasan terhadap pengeluaran daerah dilakukan berdasarkan ketaatan terhadap
tiga unsur utama, yaitu unsur ketaatan pada peraturan perundangan yang berlaku,
unsur kehematan dan efisiensi, dan hasil program (untuk proyek-proyek daerah).
6.
Sistem akuntansi keuangan daerah menggunakan stelsel kameral (tata buku
anggaran). Menurut sistem buku ini, penyusunan anggaran dan pembukuan saling
berhubungan dan mempengaruhi. Dasar pemilihan tata buku, yaitu stelsel
kameral dan bukannya stelsel komersiil (tata buku kembar/berpasangan),
merupakan tujuan pembukuan.
APBD sekarang didasari pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan-peraturan di era reformasi
keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin informatif. Untuk
itu, dalam bentuk yang baru, APBD terdiri atas tiga bagian yaitu pendapatan,
belanja, dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada
APBD di era prareformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD
semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini
sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemda, sedangkan pinjaman belum
tentu menjadi hak pemda. Selain itu, dalam APBD mungkin terdapat surplus
atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau
sumber penutupan defisit anggaran.
Dalam
bentuk APBD yang baru, pendapatan juga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah
yang sah. Selanjutnya, belanja dibagi kedalam empat bagian, yaitu belanja
aparatur negara, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan
keuangan, dan belanja tidak terduga. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan
menjadi tiga kategori, yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan. Belanja pelayanan publik
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi
dan pemeliharaan, dan belanja modal. Pembiayaan adalah sumber-sumber penerimaan
dan pengeluaran daerah yang dimaksudkan untuk menutup defisit anggaran
atau alokasi surplus anggaran. Pembiayaan dikelompokkan menurut
sumber-sumber pembiayaan, yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah.
Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah merupakan sisa lebih anggaran tahun
sebelumnya, penerimaan pinjaman dan obligasi, hasil penjualan asset daerah yang
dipisahkan, dan transfer dari dana cadangan. Sedangkan sumber pembiayaan berupa
pengeluaran daerah terdiri atas pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo,
penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun yang
sedang berlangsung. (Abdul Halim, 2007)
Setiap
perangkat daerah yang mempunyai tugas memungut atau menerima pendapatan daerah
wajib melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan tersebut. Dalam
pelaksanaan APBD, semua manfaat yang bernilai uang berupa komisi, rabat,
potongan, bunga atau nama lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan
barang dan atau jasa dan dari penyimpanan dan atau penempatan uang daerah
merupakan pendapatan daerah dan dianggarkan dalam APBD.
Pendapatan
daerah disetor sepenuhnya tepat pada waktunya ke kas daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum
ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD dan ditempatkan dalam lembaran
daerah. Tindakan dimaksud tidak termasuk penerbitan surat keputusan yang
berkaitan dengan kepegawaian yang formasinya sudah ditetapkan sebelumnya dan
pelaksanaan anggaran apabila rancangan APBD tidak atau belum disetujui oleh
DPRD.
Untuk
setiap pengeluaran atas beban APBD diterbitkan Surat Keputusan Otorisasi atau
surat keputusan lainnya yang disamakan dengan itu oleh pejabat yang berwenang.
Surat Keputusan Otorisasi merupakan dokumen APBD yang menjadi dasar pengeluaran
atas beban APBD. Pembebanan APBD tersebut harus didukung oleh bukti-bukti yang
lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih. Bukti
dimaksud antara lain kuitansi, faktur, surat penerimaan barang, perjanjian
pengadaan barang dan jasa.
Dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994, pada buku Cara Penyusunan
APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD
tentang pelaksanaan APBD yang berbunyi :
“Tahap
mengurangi wewenang atau tanggung jawab Atasan langsung/Pemimpin Proyek,
selambat-lambatnya tanggal 10 tiap bulan. Bendaharawan mengirimkan Surat
Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Rutin (SPJR) dan Surat
Pertanggungjawaban Pembangunan (SPJP) tentang pengurusan uang untuk
dipertanggungjawabkan (UUDP) yang lalu kepada Kepala Daerah”
Menurut
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, menerangkan bahwa Pelaksanaan APBD yaitu :
1. Semua penerimaan daerah wajib
disetor seluruhnya ke Rekening Kas Umum Daerah.
2. Pengeluaran atas beban APBD dalam
satu tahun anggaran hanya dapat dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang
bersangkutan ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
3. Dalam hal peraturan daerah
sebagaimana dimaksud dalam poin 2 tidak disetujui DPRD, untuk membiayai
keperluan setiap bulan pemerintah daerah dapat melaksanakan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya.
4. Kepala SKPD menyusun dokumen
pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang dipimpin berdasarkan alokasi anggaran yang
ditetapkan oleh kepala daerah.
5. Pengguna anggaran melaksanakan
kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran yang telah
disahkan.
6. Pengguna anggaran berhak menguji,
membebankan pada mata anggaran yang disediakan dan memerintahkan pembayaran
tagihan atas beban APBD.
7. Pembayaran atas tagihan yang
dibebankan APBD dilakukan oleh bendahara umum daerah.
8. Pembayaran atas tagihan yang
dibebankan APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima.
9. Daerah dapat membentuk dana
cadangan guna mendanai kebutuhan yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun
anggaran yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
10. Dana cadangan sebagaimana
dimaksud pada poin 8 dapat bersumber dari penyisihan atau penerimaan APBD
kecuali dari DAK, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya
dibatasi untuk pengeluaran tertentu.
11. Penggunaan dana cadangan dalam
satu tahun anggaran menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran
yang bersangkutan.
12. Dana cadangan ditempatkan dalam
rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum Daerah.
13. Dalam hal dana cadangan yang
belum digunakan sesuai dengan peruntukkannya, dana tersebut dapat ditempatkan
dalam fortopolio yang memberikan hasil tetap dengan resiko rendah.
14. Pemerintah Daerah dapat
melakukan kerjasama dengan pihak lain atas dasar prinsip saling menguntungkan.
15. Kerjasama dengan pihak lain
tersebut ditetapkan dengan peraturan daerah.
16. Anggaran yang timbul akibat dari
kerjasama tersebut dicantumkan dalam APBD.
17. Dalam keadaan darurat,
pemerintah daerah dapat melakukan belanja dari APBD yang belum tersedia
anggarannya.
18. Belanja tersebut selanjutnya
diusulkan dalam rencana perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan
Realisasi Anggaran.
19. Perubahan APBD ditetapkan
selambat-lambatnya tiga bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran.
20. Perubahan APBD hanya dapat dilakukan
satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
Menurut Widjaja
(2002:396) dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Daerah dan Daerah Otonom”
menyebutkan bahwa untuk tercapainya sasaran, target, tujuan dan disiplin
pelaksanaan APBD, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Semua penerimaan dan pengeluaran
daerah dalam rangka desentralisasi dicantumkan dalam APBD dan dikelola sesuai
dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah yang berlaku;
b. Semua transaksi keuangan daerah
baik penerimaan daerah maupun pengeluaran daerah harus disertai dengan
bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan dilaksanakan
melalui Kas Daerah;
c.
Setiap orang yang diberi wewenang menandatangani dan atau mengesahkan surat
bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD, bertanggung jawab atas
kebenaran dan akibat dari penggunaan bukti tersebut;
d. Walaupun anggaran belanja yang
disediakan merupakan batas tertinggi pengeluaran, tanpa mengurangi pencapaian
target dan sasaran yang ditetapkan, didalam realisasi keuangannya diupayakan
agar tidak seluruhnya dihabiskan;
e. Tindakan yang mengakibatkan
pengeluaran atas beban APBD, tidak dapat dilakukan sebelum APBD ditetapkan
dalam Peraturan Daerah dan ditempatkan dalam Lembaga Daerah. Tindakan tersebut
dikecualikan terhadap biaya-biaya tetap seperti gaji pegawai, tunjangan, ongkos
listrik, telepon, gas dan air minum;
f. Pemerintah Daerah dapat menunjuk
LSM/Badan Non-Pemerintah Daerah untuk melakukan monitoring dan evaluasi
pelaksanaan kegiatan dan proyek tertentu.
Setiap pengeluaran belanja atas
beban APBD harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah. Bukti tersebut
harus mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud. Pengeluaran
kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat dilakukan sebelum rancangan
peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan ditempatkan dalam lembaran daerah.
Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk untuk belanja yang bersifat mengikat
dan belanja yang bersifat wajib yang ditetapkan dalam peraturan kepala daerah.
Dasar pengeluaran anggaran belanja
tidak terduga yang dianggarkan dalam APBD untuk mendanai tanggap darurat,
penanggulangan bencana alam dan/atau bencana sosial, termasuk pengembalian atas
kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup
ditetapkan dengan keputusan kepala daerah dan diberitahukan kepada DPRD paling
lama 1 (satu) bulan terhitung sejak keputusan dimaksud ditetapkan. Pengeluaran
belanja untuk tanggap darurat berdasarkan kebutuhan yang diusulkan dari
instansi/lembaga berkenaan setelah mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas
serta menghindari adanya tumpang tindih pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan
yang telah didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pimpinan
instansi/lembaga penerima dana tanggap darurat harus bertanggung jawab atas
penggunaan dana tersebut dan wajib menyampaikan penggunaan kepada atasan
langsung dan kepala daerah.
Bendahara
pengeluaran sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya,
wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke
rekening kas negara pada bank yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan
sebagai bank persepsi atau pos giro dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas SKPD, kepada
pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dapat diberikan uang persediaan yang
dikelola oleh bendahara pengeluaran.
Daftar
Pustaka
Abdul Halim. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi
3. Jakarta: Salemba Empat.
HAW. Widjaja. 2002. Otonomi
Daerah dan Daerah Otonomi. Jakarta: PT RajaGrapindo Persada.
Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia. 1997. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta:
Toko Gunung Agung.
Kuncoro Munajad. 1997. “Otonomi
Daerah dalam Transisi.” Temu Alumni dan Seminar Nasional Manajemen Keuangan
Daerah dalam Era Global, KKD-FE UGM, 12 April, Yogyakarta.
Kustadi Arinta. 1993. Pengantar
Akuntansi Pemerintahan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Mardiasmo. 2005. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:
ANDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar