Oleh
: Walujo Djoko Indarto
A.
Rekomendasi
Walaupun
dalam jangka pendek penurunan prioritas sektor pendidikan ini tidak membawa implikasi langsung yang
nyata, pemerintah daerah untuk kedepan
perlu lebih meningkatkan keberpihakkan terhadap sektor pendidikan, mengingat
sektor pendidikan merupakan sektor prioritas dalam peningkatan sumber daya
manusia.
B.
Latar Belakang
Sejak Januari 2001 bangsa dan negara Indonesia melalui
babak baru penyelenggaraan pemerintahan, dimana Otonomi daerah dilaksanakan di
seluruh Dati II (kota dan kabupaten) yang jumlahnya mencapai 336. Hal ini
menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan
barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar[1],
khususnya pada bidang pendidikan yaang merupakan unsur esensial dalam
pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan
penduduk. Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas, mengingat
peran Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD daerah
kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya menusia (SDM) serta kemampuan manajemen
sektor pendidikan tingkat daerah masih terbatas.
Secara
umum diyakini desentralisasi fiskal akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapat ini dilandasi oleh pandangan yang menyatakan kebutuhan masyarakat
daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan
lebih baik dibandingkan bila langsung diatur oleh pemerintah pusat[2]. Namun kecenderungan kearah
tersebut tidak nampak karena hingga saat ini sebagian besar Pemerintah Daerah
(Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespon desentralisasi fiskal
dengan menggenjot kenaikan PAD melalui pajak dan restribusi tanpa diimbangi
peningkatan efektifitas pengeluaran APBD. Langkah kebijakan semacam ini dapat
berpengaruh buruk terhadap penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah serta
kesejahteraan masyarakatnya.
Mengingat kepentingan di atas, maka patut dipertanyakan
hingga sejauh mana pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menimbulkan
implikasi buruk terhadap aktivitas penyelenggaraan pendidikan di daerah kota
dan Kabupaten di Indonesia.
C.
Tujuan
Pelaksanaan studi ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasikan (a) respon daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten
terhadap rancangan desentraliasi fiskal yang akan diimplementasikan pada awal
2001 dan (b) implikasi respon daerah terhadap desentralisasi fiskal pada bidang
pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
Desentralisasi Fiskal –
Penyelengaraan Pendidikan – Iklim usaha. Di Indonesia desentralisasi fiskal
merupakan komponen utama dari program otonomi daerah yang dijalankan sejak
tahun 2001. Pelaksanaan otonomi daerah dapat dipandang sebagai reformasi di
bidang politik, kelembagaan dan sistem ekonomi. Dalam kaitannya dengan
desentralisasi fiskal perlu digaris bawahi bahwa UU tersebut tidak mengatur
mengenai penyediaan barang publik dan pelayanan masyarakat (khususnya bidang
kesehatan dan pendidikan). Iklim usaha menggambarkan situasi lingkungan dimana
kegiatan bisnis berlangsung. Aspek penting dari unsur sosial yang menentukan
iklim usaha adalah “nilai” masyarakat setempat terhadap profesia
pengusaha/pedagang dan penghargaan terhadap “kerja”. Faktor tingkat pendidikan
masyarakat punya pengaruh bersar terhadap “nilai” dimaksud. Aspek ekonomi
mencakup akses terhadap keamanan, infrastruktur, periijinan, informasi dan
kredit. Hal penting lainnya adalah masalah hambatan dibidang perdagangan dan
investasi, yang pada akhirnya akan menggerakan pertumbuhan ekonomi.
Globalisasi mendorong perubahan pemerintahan dari
sentralistik menjadi desentralisasi, hal ini perlu dikenali hingga sejauh mana
desentralisasi fiskal mengakibatkan perubahan biaya transaksi dalam
perekonomian daerah dan kemampuan masyarakat dalam pembiayaan pendidikan.
E.
Metode Penelitian
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder
dikumpulkan melalui studi literatur yang terkait dengan APBD, realisasi APBD
serta literatur lainnya, sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara
langsung dengan instansi terkait, seperti bagian keuangan, Bappeda dan, Dinas
Pendidikan, DPRD dan tokoh masyarakat.
Ruang
lingkup penelitian adalah kebijakan penerimaan dan pengeluaran APBD khususnya
sejauhmana keberpihakan pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan proposive sampling, dengan lokasi
sample Kota Surakarta dan Kabupate Jember.
Metode analisis yang digunakan adalah metode
diskriptif dan komparatif, dengan melihat gambaran sektor pendidikan dari sisi
alokasi dan pelaksanaan anggaran serta membandingkan kondisi tersebut antara
sebelum dan pada saat otonomi daerah.
F.
Temuan
Keperpihakan
pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan terutama yang menyangkut anggaran
pembangunan, pada awal pelaksanaan otonomi daerah mengalami penurunan.
Perioritas utama sektor pendidikan diarahkan untuk terpenuhinya belanja pegawai untuk kenaikan gaji dan rapel
para guru, agar tidak terjadi pemogokan guru.
Hal ini diperlihatkan pada tabel di bawah.
Alokasi Anggaran Sektor Pendidikan Sebelum dan Sesudah Otonomi
(jutaan rupiah_)
|
1999/2000
|
Porsi
|
2001
|
Porsi
|
||
Pendidikan
|
APBD
|
Pendidikan
|
APBD
|
|||
Belanja Rutin
|
98,607
|
177,732
|
55,5%
|
161,765
|
375,315
|
43,1%
|
Belanja Pembangunan
|
3,370
|
41,877
|
8,0%
|
5,811
|
105,937
|
5,5%
|
Sumber : APBD Kebupaten Jember
(jutaan rupiah_)
1999/2000
|
Porsi
|
2001
|
Porsi
|
||
Pendidikan
|
APBD
|
Pendidikan
|
APBD
|
||
2.076
|
91.374
|
2,2%
|
1.393
|
76.159
|
1,8%
|
Sumber : APBD Kota Surakarta TA 1999/2000 dan TA
2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar