BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia merupakan Negara
yang terbagi atas beberapa provinsi dan setiap provinsi terdiri atas
daerah-daerah kabupaten/kota yang juga setiap kabupaten/kota memiliki
pemerintah daerah. Banyaknya daerah di Indonesia membuat pemerintah pusat sulit
mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah-daerah. Sehingga untuk
memudahkan pelayanan dan penataan pemerintahan, maka pemerintah pusat mengubah
kebijakan yang tadinya berasas sentralisasi menjadi desentralisasi yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.
Wujud dari kebijakan desentralisasi tersebut adalah lahirnya otonomi daerah.
Otonomi daerah merupakan
pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah yang lebih leluasa untuk
mengelola sumber daya yang dimiliki dengan potensi dan kepentingan daerah itu
sendiri dan tidak bergantung subsidi dari pusat. Dengan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggungjawab, setiap daerah dituntut untuk dapat menggali sumber-sumber
keuangan di daerahnya.
Sumber keuangan tersebut berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika PAD meningkat maka dana yang dimiliki oleh
pemerintah daerah akan lebih tinggi dan tingkat kemandirian daerah akan
meningkat pula, sehingga mampu mendorong perekonomian dan pembangunan daerah
tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat secara
umum.
PAD merupakan semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, dan salah satu
sumber PAD yang memiliki kontribusi terbesar berasal dari Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Selama ini, pungutan daerah
yang berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Yang mana sesuai dengan
Undang-Undang tersebut, daerah diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak,
yaitu 4 jenis pajak provinsi dan 7 jenis pajak kabupaten/kota, dan diberi
kewenangan untuk menetapkan jenis Retribusi selain yang ditetapkan dalam
peraturan pemerintah, adapun peraturan pemerintah tersebut menetapkan 27 jenis
Retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3
golongan retribusi yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi
perizinan tertentu.
Berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan tertanggal
1 Januari 2010 Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah diganti menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Diberlakukannya Undang-Undang ini memberikan
peluang bagi daerah untuk mampu meningkatkan PAD-nya. Hal ini disebabkan dalam
Undang-Undang tersebut menegaskan adanya penambahan 4 jenis pajak, diantaranya
3 jenis pajak kabupaten/kota dan 4 jenis retribusi.
Sementara itu, permasalahan
yang dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber
pajak daerah dan retribusi daerah, adalah belum memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan (Sidik, 2002).
Pernyataan itu juga sesuai dengan pernyataan Ondo, Kepala Dinas Pendapatan
Daerah Kota Makassar pada salah
satu koran Tempo di Makassar yang mengungkapkan bahwa penerimaan
PAD pemerintah kota Makassar tahun 2009 dan tahun 2010 belum mencapai target yang hanya berkisar 96%, hal ini membuktikan
bahwa penerimaan pajak dan retribusi daerah sekarang belum optimal.
Dengan demikian berdasarkan latar belakang di
atas penulis ingin mengangkat judul “Pengaruh
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota
Makassar”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah Pajak Daerah berpengaruh signifikan terhadap
Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar?
2.
Apakah Retribusi Daerah berpengaruh signifikan
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar?
3.
Apakah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
berpengaruh signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar?
C.
Tujuan
Penelitian
Sesuai
dengan masalah yang dihadapi, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
memberikan bukti empiris yang dikemukakan sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengaruh Pajak Daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar.
2.
Untuk mengetahui pengaruh Retribusi Daerah
terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar.
3.
Untuk mengetahui pengaruh Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar.
D.
Manfaat
Penelitian
Hasil
dari penelitian yang dilakukan diharapkan akan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1.
Bagi Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar,
penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar secara empiris.
2.
Bagi Akademis, penelitian ini dapat menambah
literatur bagi mahasiswa/i untuk penelitian selanjutnya mengenai Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
3.
Bagi Masyarakat,
penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan kita bahwa Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah memiliki kontribusi
terhadap PAD yang berdampak pada peningkatan mutu layanan publik,
sehingga kita sebagai wajib pajak memiliki kesadaran yang tinggi untuk selalu
taat membayar pajak.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah
daerah harus dapat menjalankan rumahtangganya secara mandiri dan dalam upaya
peningkatan kemandirian tersebut pemerintah dituntut untuk mampu meningkatkan
pendapatan asli daerahnya. Pendapatan Asli Daerah merupakan salah satu sumber
pembelanjaan daerah, jika PAD meningkat maka dana yang dimiliki oleh pemerintah
daerah akan bertambah sehingga mampu mendorong tingkat kemandirian daerah
tersebut.
Menurut
Mardiasmo (2002;132), Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh
dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah.
Menurut
Halim (2007;96), Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan daerah
yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah berupa pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
PAD yang sah.
Menurut
UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinyatakan bahwa;
“Pendapatan
Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah
yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”.
Dari
definisi Pendapatan Asli Daerah yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas
pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama. Maka dari itu penulis dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa pendapatan asli daerah adalah segala penerimaan
daerah setempat yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
B. Klasifikasi Pendapatan Asli Daerah
Di
dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumber pendapatan
daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak.
Pendapatan
Asli Daerah sendiri terdiri dari:
1. Pajak
daerah
2. Retribusi
daerah
3. Hasil
pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Lain-lain
PAD yang sah.
Klasifikasi
PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri dari:
“Pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaah daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut
objek pendapatan sesuai dengan undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi
daerah”.
Jenis
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek
pendapatan yang mencakup bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan
milik daerah/BUMD, bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN, dan bagian laba atas
penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Jenis
lain-lain PAD yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang
tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil pengeloaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup
hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan
bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi,
potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai
tukar Rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi.
Menurut
Halim (2004:67), “PAD dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah”.
C.
Pajak
Daerah
Secara
umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara (pemerintah) berdasarkan
Undang-Undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib
membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa)
secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa
pajak adalah pembayaran wajib yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang yang
tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi mereka yang tidak mau
membayar pajak dapat dilakukan paksaan. Dengan demikian, akan terjamin bahwa
kas Negara selalu berisi uang pajak. Selain itu, pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang
akan menjamin adanya keadilan dan kepastian hokum bagi pembayar pajak sehingga
pemerintah tidak dapat sewenang-wenang menetapkan besarnya pajak.
Menurut
Mardiasmo (2009 ; 21), pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Seperti
yang dikemukakan beberapa para ahli mengenai pengertian pajak oleh Resmi
(2005;1):
Prof.Dr.Rochmat
Soemitro, SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.
Dr.
Soeparman Soemahamidjaja mendefinisikan pajak adalah iuran wajib, berupa uang
atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.
Prof.
PJA. Adriani menjelaskan pengertian pajak adalah iuran kepada Negara yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan
pajak daerah itu sendiri menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, yang
selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari
definisi di atas, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pajak daerah
adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada
daerahnya tanpa imbalan yang langsung dapat dirasakan, yang bersifat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah setempat.
D.
Jenis
Pajak Daerah
Menurut
Siahaan (2010;64) pajak kabupaten atau kota yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Pajak
Hotel
2. Pajak
Restoran
3. Pajak
Hiburan
4. Pajak
Reklame
5. Pajak
Penerangan Jalan
6. Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan
7. Pajak
Parkir
8. Pajak
Air Tanah
9. Pajak
Sarang Burung Walet
10. Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
11. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Dari
jenis pajak, Kabupaten atau Kota dapat tidak memungut salah satu dari beberapa
jenis pajak yang telah ditentukan apabila potensi pajak di darah Kabupaten atau
Kota tersebut dipandang kurang memadai.
Adapun
penjelasan dari jenis pajak kabupaten atau kota sebagai berikut:
1.
Pajak Hotel
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 dan 21, Pajak Hotel
adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Sedangkan yang dimaksud
dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk
jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen,
gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan
sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
2.
Pajak Restoran
Pajak
Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Sedangkan
yang dimaksud dengan restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan atau
minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria,
kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering.
3.
Pajak Hiburan
Pajak
Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Sedangkan yang dimaksud
dengan hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan atau
keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
4.
Pajak Reklame
Pajak
Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Sedangkan yang dimaksud
dengan reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak
ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan,
mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang,
atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan atau dinikmati
oleh umum.
5.
Pajak Penerangan Jalan
Pajak
Penerangan Jalan (PPJ) adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Penerangan jalan adalah
penggunaan tenaga listrik untuk menerangi jalan umum yang rekeningnya dibayar
oleh pemerintah daerah.
6.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral
bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi
untuk dimanfaatkan. Sedangkan yang dimaksud dengan mineral bukan logam dan
batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam
peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara. Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan merupakan pengganti dari Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C yang semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000.
Saat
ini, sampai dengan diberlakukannya ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009, khususnya tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, pemerintah
kabupaten/kota masih dimungkinkan untuk memungut Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas
kegiatan pengambilan bahan galian Golongan C sesuai dengan peraanturan
perundang-undangan yang berlaku. Bahan galian golongan C adalah bahan galian
golongan C sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bahan-bahan
galian dibagi atas tiga golongan, yaitu:
a.
Golongan bahan galian strategis
b.
Golongan bagan galian vital
c.
Golongan bahan gailan yang tidak termasuk
dalam golongan a atau b.
Penunjukan
suatu bahan galian ke dalam suatu golongan diatur dengan peraturan pemerintah.
Untuk melaksanakan ketentuan ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian, yang
mulai berlaku pada tanggal diungkapkan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1980.
7.
Pajak Parkir
Pajak
Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan
berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha,
termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Sedangkan yang
dimaksud dengan parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak
bersifat sementara.
8.
Pajak Air Tanah
Pajak
Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan atau pemanfaatan air tanah. Yang
dimaksud dengan air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau
batuan di bawah permukaan tanah. Pajak Air Tanah semula bernama Pajak
Pengambilan dan Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan (PPPABTAP) berdasarkan
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan merupakan jenis pajak provinsi, PPPABTAP
dipecah menjadi dua jenis pajak, yaitu Pajak Air Permukaan dan Pajak Air Tanah;
dimana Pajak Air Permukaan dimasukkan sebagai pajak provinsi sedangkan Pajak
Air Tanah ditetapkan menjadi pajak kabupaten/kota.
9.
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak
Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan atau pengusahaan
sarang burung walet. Yang dimaksud dengan burung walet adalah satwa yang
termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina,
collocalia esculanta, dan collocalia linchi. Pajak Sarang Burung Walet
merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru diterapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Sarang Burung Walet, dengan
berbagai nama, pada dasarnya telah banyak diterapkan oleh pemerintah kabupaten
dan kota di Indonesia. Pungutan atas budi daya sarang burung walet dilakukan
oleh berbagai
kabupaten/kota dengan nama yang berbeda, ada yang secara tegas dinyatakan sebagai
pajak daerah, tetapi ada pula yang dinyatakan sebagai retribusi daerah. Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
sebagai perubahan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1997, dimana ditentukan bahwa pemerintah kabupaten/kota
dimungkinkan untuk memungut pajak dan atau retribusi daerah selain yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2000, sepanjang memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan dalam
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
10. Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan atau
bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau
badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan,
dan pertambangan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi yang meliputi
tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sedangkan yan
dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan pedalaman dan atau laut. PBB
Perdesaan dan Perkotaan merupakan jenis pajak kabupaten/kota yang baru
diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
PBB
Perdesaan dan Perkotaan dewasa ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pajak
pusat, yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak,
Kementerian Keuangan, di mana hasilnya sebagian besar diserahkan kapada daerah.
Walaupun telah ditetapkan menjadi salah satu jenis pajak kabupatan/kota, tetapi
tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan pemungutan PBB tetap menjadi kewenangan
pemerintah pusat sampai dengan tahun 2013. Ketentuan Pasal 180 ayat 5 tersebut
membuat pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan pada setiap kabupaten/kota di
Indonesia mungkin saja tidak serempak, tergantung kesiapan pemerintah
kabupaten/kota untuk menetapkan peraturan daerah yang berkaitan. Hanya saja
diharapkan paling lambat 1 Januari 2014, PBB Perdesaan dan Perkotaan telah
menjadi pajak daerah pada suatu kabupaten/kota.
11. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum uang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadai atau badan.
Adapun yang dimaksud dengan hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
di bidang pertanahan dan bangunan. BPHTB merupakan jenis pajak kabupaten/kota
yang baru diterapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Sebagaimana
halnya PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB dewasa ini pada dasarnya merupakan
suatu jenis pajak pusat, yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui Direktorat
Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, di mana hasilnya sebagian besar
diserahkan kepada daerah. Walaupun telah ditetapkan menjadi salah satu jenis
pajak kabupaten/kota, tetapi sepanjang pada suatu kabupaten/kota belum ada
peraturan daerah tentang BPHTB,
pemungutan BPHTB
tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat sampai dengan tahun 2010.
E.
Retribusi
Daerah
Sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi
hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi, retribusi yang dipungut di
Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah.
Menurut
Indra Bastian (2001:156), retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah atas pelayanan dan penggunaan fasilitas-fasilitas umum yang
disediakan oleh Pemerintah Daerah bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan
Peraturan Daerah yang berlaku.
Menurut Mursyidi (2009;135) retribusi dipungut oleh
pemerintah daerah karena pemberian ijin atau jasa kepada orang pribadi atau
badan.
Retribusi
menurut Siahaan (2010;5) adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara
karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara
perorangan.
Dari
definisi retribusi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dari itu,
penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa retribusi daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pelayanan dan
penggunaan fasilitas yang disediakan dan diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat
langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari
Negara.
Beberapa
ciri yang melekat pada retribusi daerah yang saat ini dipungut di Indonesia
adalah sebagai berikut:
a.
Retribusi merupakan pungutan yang dipungut
berdasarkan undang-undang dan peraturan daerah yang berkenaan.
b.
Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas
pemerintah daerah.
c.
Pihak yang membayar retribusi mendapatkan
kontra prestasi (balas jasa) secara langsung dari pemerintah daerah atas
pembayaran yang dilakukannya.
d.
Retribusi terutang apabila ada jasa yang
diselenggarakan
oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh orang atau badan.
e.
Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah
sanksi secara ekonomis, yaitu jika tidak membayar retribusi, tidak akan
memperoleh jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
F.
Jenis
Retribusi Daerah
Menurut
Siahaan (2010;620) penggolongan jenis retribusi dimaksudkan guna menetapkan
kebijakan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi
daerah. Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 2 dan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 108 ayat 2-4, retribusi daerah dibagi
atas tiga golongan, sebagaimana disebut di bawah ini:
1.
Retribusi Jasa Umum
2.
Retribusi Jasa Usaha
3.
Retribusi Perizinan Tertentu
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 149 ayat 2-4, penetapan jenis
retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah masing-masing
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal yang sama juga
berlaku untuk penetapan jenis retribusi jasa usaha untuk daerah provinsi dan
kabupaten/kota, dilakukan sesuai dengan jasa/pelayanan yang diberikan oleh
daerah masing-masing. Rincian jenis objek dari setiap retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu diatur dalam peraturan daerah yang
bersangkutan.
1.
Retribusi Jasa Umum
Retribusi
jasa umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah, untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Objek retribusi jasa umum adalah
pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan.
Jenis-jenis
retribusi jasa umum saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Pasal 110-124, sebagaimana di bawah ini:
a.
Retribusi Pelayanan Kesehatan
b.
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
c.
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda
Penduduk dan Akta Catatan Sipil
d.
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan
Mayat
e.
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f.
Retribusi Pelayanan Pasar
g.
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h.
Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
i.
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j.
Retribusi Penyediaan dan atau Penyedotan
Kakus
k.
Retribusi Pengolahan Limbah Cair
l.
Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
m.
Retribusi Pelayanan Pendidikan
n.
Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
2.
Retribusi Jasa Usaha
Retribusi
jasa usaha adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh sector swasta. Objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan
oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial. Pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial meliputi:
a.
Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan
kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan
b.
Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang
belum memadai disediakan oleh pihak swasta.
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3 huruf b, retribusi
jasa usaha ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini.
a.
Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan
bersifat bukan retribusi jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
b.
Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang
bersifat komersial yang seyogianya disediakan oleh sektor swasta, tetapi belum
memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuaisai daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah. Pengertian harta adalah semua
harta bergerak dan tidak bergerak, tidak termasuk uang kas, surat-surat
berharga, dan harta lainnya yang bersifat lancar.
Jenis-jenis
retribusi jasa usaha saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Pasal 127-138, sebagaimana di bawah ini.
a.
Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
b.
Retribusi Pasar Grosir dan atau Pertokoan
c.
Retribusi Tempat Pelelangan
d.
Retribusi Terminal
e.
Retribusi Tempat Khusus Parkir
f.
Retribusi Tempat
Penginapan/Pesanggrahan/Villa
g.
Retribusi Rumah Potong Hewan
h.
Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
i.
Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
j.
Retribusi Penyeberangan di Air
k.
Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
3.
Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi
Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan. Objek retribusi perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu
pemerintah daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan.
Sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 3 huruf c, retribusi
perizinan tertentu ditentukan berdasarkan kriteria berikut ini.
a.
Perizinan tersebut termasuk kewenangan
pemerintah yang diserahkan kepada daerah
dalam rangka asas desentralisasi.
b.
Perizinan tersebut benar-benar diperlukan
guna melindungi kepentingan umum.
c.
Biaya yang menjadi beban daerah dalam
penyelenggaraan izin tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari
pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi
perizinan.
Jenis-jenis
retribusi perizinan tertentu saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 Pasal 141-146, adalah sebagai berikut :
a.
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
b.
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol
c.
Retribusi Izin Gangguan
d.
Retribusi Izin Trayek
e.
Retribusi Izin Usaha Perikanan.
G.
Kerangka
Berfikir
Dalam
penelitian ini, peneliti bermaksud menjelaskan pengaruh pajak daerah dan
retribusi daerah yang merupakan komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) di
Pemerintah Kota Makassar. Untuk itu peneliti membutuhkan data penerimaan daerah
yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Setelah data diperoleh,
maka data kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda.
Sehingga dari hasil analisis tersebut dapat diketahui pengaruh pajak daerah dan
retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Untuk
itu peneliti membuat bagan kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Berfikir
H.
Hipotesis
Dengan
mengacu pada masalah pokok dan landasan teori yang telah dikemukakan, maka
penulis menyimpulkan hipotesis sebagai berikut:
Ha 1 = Pajak Daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pendapatan
Asli Daerah di Kota Makassar.
Ha 2 = Retribusi Daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar.
Ha 3 = Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara bersama-sama memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Tempat
Dan Waktu Penelitian
Dalam
pengumpulan data, penulis akan melakukan penelitian pada Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda) Kota Makassar yang beralamat di Jalan Urip Sumoharjo No. 8.
Sedangkan penelitian akan dilakukan selama kurang lebih 2 (dua) Bulan.
B.
Metode
Pengumpulan Data
Untuk
memperoleh bahan serta keterangan berupa data dan informasi yang efektif, maka
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu;
1.
Observasi
Yaitu
mengadakan pengamatan langsung terhadap kondisi sekarang mengenai Pendapatan
Asli Daerah Kota Makassar khususnya penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
2.
Dokumentasi
Yaitu
penulis mengumpulkan beberapa informasi berupa data Pendapatan Asli Daerah Kota
Makassar dan data penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Makassar.
3.
Interview
Yaitu
proses memperoleh keterangan/data berupa tanya jawab langsung dengan karyawan Dipenda Kota Makassar.
C.
Jenis
Data Dan Sumber Data
Penelitian
ini merupakan penelitian asosiatif. Menurut Sugiono (2005;11) penelitian
asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dua variabel atau lebih. Yaitu untuk mengetahui pengaruh pajak daerah dan
retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar.
1.
Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a.
Data Kuantitatif, yaitu data berupa angka
yang bertujuan untuk menunjukkan pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah
terhadap pendapatan asli daerah dengan penafsiran angka statistik.
b.
Data Kualitatif, yaitu data berupa informasi
(bukan angka) baik lisan maupun tulisan yang bersifat mendukung dengan data
kuantitatif.
2.
Sumber Data
a.
Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli atau pihak pertama.
b.
Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara
tidak langsung melalui media perantara, berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang telah tersusun dalam arsip baik yang dipublikasikan dan yang
tidak dipublikasikan.
D.
Operasionalisasi
Variabel
Variabel
yang akan diteliti perlu
dilaksanakan dalam bentuk rumusan yang lebih operasional sehingga mempunyai
ukuran yang sesuai dan tidak membingungkan. Adapun operasionalisasi variabel dalam
penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Variabel
|
Konsep
|
Indikator
|
Skala
|
Pajak
Daerah
|
Iuran
wajib yang dilakukan oleh orang/badan kepada daerahnya tanpa imbalan yang
langsung dapat dirasakan oleh wajib pajak
|
Tingkat
realisasi pajak daerah di kota Makassar
Thn.
2006 - 2010
|
Ratio
|
Retribusi
Daerah
|
Pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa dan penggunaan fasilitas yang disediakan
oleh pemerintah daerah tersebut untuk kepentingan orang/badan.
|
Tingkat
realisasi retribusi daerah di kota Makassar
Thn.
2006 - 2010
|
Ratio
|
PAD
Y
|
Penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah setempat.
|
Tingkat
realisasi PAD di kota Makassar
Thn.
2006 - 2010
|
Ratio
|
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel
E.
Metode
Analisis Data
1.
Analisis Regresi
Pengolahan
data akan dikaji menggunakan alat analisis regresi berganda. Analisis regresi
berganda digunakan untuk menjawab rumusan masalah, dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut:
Keterangan:
Y =
Pendapatan Asli Daerah
α =
Konstanta
= Koefisien Regresi Variabel X1, X2
X1 = Pajak Daerah
X2 = Retribusi Daerah
= Error
Untuk memudahkan pengolahan data pada
penelitian ini akan menggunakan SPSS for windows versi 17.
2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum
dilakukan pengujian hipotesis, terlebih dahulu data diuji modelnya dengan
menggunakan uji asumsi klasik, adapun model uji asumsi klasik adalah:
a. Normalitas
Uji
normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang digunakan dalam
penelitian berdistribusi normal. Dalam penelitian ini, normalitas diuji dengan
menggunakan Kolmogorov-Smirnov (K-S). Dasar pengambilan keputusannya, jika
nilai probabilitas lebih besar dari tingkat kekeliruan 5% (0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa nilai residual dari model regresi berdistribusi normal.
b. Autokorelasi
Persamaan regresi yang baik adalah yang tidak memiliki
masalah autokorelasi, jika terjadi autokorelasi maka persamaan tersebut menjadi
tidak baik/idak layak dipakai prediksi. Dalam penelitian ini untuk menguji
autokorelasi adalah dengan menggunakan uji Durbin-Watson, dengan ketentuan
sebagai berikut:
1) Terjadi
autokorelasi positif, jika nilai DW < -2.
2) Tidak terjadi
autokorelasi, jika nilai DW berada di antara -2 dan 2 (-2 ≤ DW ≤ 2).
3) Terjadi
autokorelasi negatif, jika nilai DW > 2.
c. Multikolinieritas
Penelitian
ini menguji multikolinieritas karena terdiri atas dua variabel independent,
dimana akan diukur tingkat asosiasi (keeratan) hubungan/pengaruh antar variabel
independent tersebut melalui besaran koefisien korelasi. Dalam menentukan ada
tidaknya multikolinieritas dapat digunakan cara yaitu:
1) Nilai tolerance adalah besarnya
tingkat kesalahan yang dibenarkan secara statistic.
2) Nilai VIF adalah faktor inflasi
penyimpangan baku kuadrat.
Dasar
pengambilan keputusan, jika nilai tolerance < 0,10 dan nilai VIF > 10,
maka terjadi multikolinieritas.
F. Pengujian
Hipotesis
Berdasarkan
hipotesis penelitian yang dikemukakan, maka selanjutnya dilakukan pengujian
hipotesis statistik sebagai berikut:
1. Pengujian Parsial
Pengujian ini
dilakukan untuk menentukan signifikan atau tidak signifikan masing-masing nilai
koefisien regresi secara sendiri-sendiri terhadap variabel dependen. Adapun
hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti yaitu:
a. Ho : b1 = 0 (tidak terdapat pengaruh yang
signifikan pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah).
Ha : b1 ≠
0 (terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah terhadap pendapatan asli
daerah).
b. Ho : b2 = 0 (tidak terdapat pengaruh yang
signifikan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah).
Ha : b2 ≠
0 (terdapat pengaruh yang signifikan retribusi daerah terhadap pendapatan asli
daerah).
Dasar
pengambilan keputusan dengan taraf signifikan (α) = 5%, adalah:
Jika : t hitung
≤ t tabel, maka Ho diterima
Jika : t hitung
> t tabel, maka Ho ditolak.
2. Pengujian Simultan
Pengujian ini
melibatkan kedua variabel independent terhadap variabel dependen dalam menguji
ada tidaknya pengaruh yang signifikan secara simultan/bersama-sama. Pengujian
secara simultan menggunakan distribusi F, yaitu membandingkan antara F hitung
dengan F tabel. Adapun hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti yaitu:
Ho
: b1, b2 = 0 (tidak terdapat pengaruh yang signifikan pajak
daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah).
Ha
: b1, b2 ≠ 0 (terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah
dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah).
Dasar
pengambilan keputusan dengan taraf signifikan (α) = 5%, adalah:
Jika : F hitung ≤ F tabel, maka Ho
diterima
Jika : F hitung > F tabel, maka
Ho ditolak.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Sejarah Singkat Dinas Pendapatan Kota Makassar
Sebelum terbentuknya Dinas Pendapatan Kotamadya Tingkat
II Makassar, Dinas Pasar, Dinas Air Minum dan Dinas Penghasilan Daerah dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya No. 155/Kep/A/V/1973 Tanggal 24 Mei
1973 terdiri dari beberapa Sub Dinas Terminal Angkutan, Sub Dinas Pengolahan
Tanah Pasir, Sub Dinas Taman Hiburan Rakyat, Sub Dinas Pemeriksaan Kendaraan
Tidak Bermotor dan Sub Dinas Administrasi.
Dengan adanya keputusan Walikotamadya Daerah Tingkat II
Ujung Pandang No. 74/S/Kep/A/V/1977 Tanggal 1 April 1977 bersamaan dengan surat
edaran Menteri Dalam Negeri No. 3/12/43 Tanggal 9 September 1975 dan Instruktur
Menteri Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tanggal 25 Oktober
1975 No. Keu/3/22/33 tentang pembentukan Dinas Pendapatan Daerah di Kabupaten
atau Kotamadya Daerah Tingkat II Sulawesi Selatan, maka Dinas Penghasilan
Daerah Kotamadya Ujung Pandang telah disempurnakan dan ditetapkan perubahan
namanya menjadi Dinas Penghasilan Daerah yang kemudian menjadi unit-unit yang
menangani sumber-sumber keuangan daerah seperti Dinas Perpajakan, Dinas Pasar
dan Sub Dinas Pelelangan Ikan dan semua Sub-sub Dinas dalam unit penghasilan
daerah yang tergabung dalam unit penghasilan daerah dilebur dan dimasukkan pada
unit kerja Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Ujung Pandang, seiring dengan
adanya perubahan Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota Makassar, maka secara
otomatis nama Dinas Pendappatan Daerah Kotamadya Ujung Pandang berubah menjadi
Dinas Pendapatan Kota Makassar.
B.
Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana telah dimaksudkan
diatas, dinas pendapatan menyelenggarakan fungsi:
a.
Perencanaan,
merumuskan, mengembangkan, membina, melaksanakan, mengendalikan dan
mengkoordinasikan di bidang pengelolaan pendapatan serta melakukan monitoring
dan mendata potensi sumber-sumber pendapatan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b.
Meneliti,
menganalisa, kebijakan-kebijakan teknis dibidang penyusunan rencana anggaran
dan program pada Dinas Pendapatan.
c.
Penyusunan
program, dan evaluasi pelaksanaan pemungutan pendapatan.
d.
Melaksanakan
koordinasi bagi hasil pajak dan retribusi, mengendalikan dan pengamanan teknis
operasional di bidang pendataan dan penetapan, penagihan dan bagi hasil sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.
Pelaksanaan
pembukuan pelaporan dan audit bidang Pendapatan Daerah.
f.
Pemberian
pelayanan umum, pemberian perizinan di bidang pajak/retribusi, pendapatan
lainnya dan pengendalian operasional.
g.
Menetapkan
dan Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Retribusi Daerah, melegasasi izin
reklame dan benda berharga yang berhubungan dengan pajak dan retribusi serta
pendapatan daerah lainnya.
h.
Pemberian
izin tertentu di bidang pendapatan, pembinaan Unit Pelaksana Teknis.
Struktur organisasi
merupakan yang sangat penting dalam suatu badan usaha baik instansi pemerintah
maupun badan usaha swasta. Tanpa adanya struktur organisasi, tidak mungkin tercapai
suatu sasaran kerja dan tanggung jawab yang diinginkan.
Sebagai instansi
pemerintah Dinas Pendapatan Kota Makassar mempunyai Struktur organisasi sebagai
berikut:
C.
Uraian Tugas Pokok Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar
Berdasarkan struktur organisasi Dinas Pendapatan Daerah
Kota Makassar, maka dapatlah diuraikan tugasnya masing-masing:
1.
Kepala
Dinas
Merencanakan, merumuskan, melaksanakan dan mengembangkan,
mengkoordinasi, mengendalikan tugas desentrasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantu di bidang pendapatan.
2.
Sekretariat
Sekretariat Dinas dipimpin sekretaris dibawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas. Sekretariat mempunyai tugas
memberikan pelayanan administratif bagi seluruh satuan kerja di lingkungan
Dinas Pendapatan Kota Makassar.
a.
Sub
Bagian Umum dan Kepegawaian
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas menyusun
rencana kerja, melaksanakan tugas teknis ketatausahaan, mengelola administrasi
kepegawaian serta melaksanakan urusan kerumahtanggaan dinas.
b.
Sub
Bagian Keuangan
Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas menyusun rencana
kerja dan melaksanakan tugas teknis keuangan.
c.
Sub
Bagian Perlengkapan
Sub Bagian Perlengkapan mempunyai tugas menyusun rencana
kerja, melaksanakan tugas teknis perlengkapan, membuat laporan serta
mengevaluasi semua pengadaan dan pemanfaatan barang.
3.
Bidang
I ; Pajak Hotel dan Hiburan
Bidang I Pajak Hotel dan Hiburan mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan administrasi, pendataan, penetapan, keberatan,
penagihan, pembukuan, verifikasi dan pelaporan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan.
a.
Seksi
Administrasi Umum dan Pendataan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan.
Seksi Administrasi Umum dan Pendataan Bidang I mempunyai
tugas melaksanakan pelayanan administrasi, pendaftaran dan pendataan wajib
Pajak Hotel dan Hiburan.
b.
Seksi
Penetapan dan Keberatan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan.
Seksi Penetapan dan Keberatan Bidang I mempunyai tugas
melaksanakan penetapan pajak, dan pelayanan keberatan wajib Pajak Hotel dan
Hiburan.
c.
Seksi
Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan Pajak Hotel dan Pajak Hiburan.
Seksi Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan
Bidang I mempunyai tugas melaksanakan penagihan, pembukuan, verifikasi dan
pelaporan penerimaan Pajak Hotel dan Hiburan.
4.
Bidang
II ; Pajak Restoran dan Pajak Parkir
Bidang II Pajak Restoran dan Pajak Parkir mempunyai tugas
melaksanakan pelayanan administrasi, pendataan, penetapan, keberatan,
penagihan, pembukuan, verifikasi dan pelaporan Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
a.
Seksi
Administrasi Umum dan Pendataan Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
Seksi Administrasi Umum dan Pendataan Bidang II mempunyai
tugas melaksanakan pelayanan administrasi, pendaftaran dan pendataan wajib
Pajak Restoran dan Parkir.
b.
Seksi
Penetapan dan Keberatan Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
Seksi Penetapan dan Keberatan Bidang II mempunyai tugas
melaksanakan penetapan pajak, dan pelayanan keberatan kepada wajib Pajak
Restoran dan Parkir.
c.
Seksi
Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
Seksi Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan Bidang
II mempunyai tugas melaksanakan penagihan, pembukuan, verifikasi dan pelaporan
penerimaan Pajak Restoran dan Pajak Parkir.
5.
Bidang
III ; Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
Bidang III Pajak Reklame dan Retribusi Daerah mempunyai
tugas melaksanakan pelayanan administrasi, pendataan, penetapan, keberatan,
penagihan, pembukuan dan pelaporan Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
a.
Seksi
Administrasi Umum dan Pendataan Pajak Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
Seksi Administrasi Umum dan Pendataan Bidang III mempunyai
tugas melaksanakan pelayanan administrasi, pendaftaran dan pendataan wajib
Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
b.
Seksi
Penetapan dan Keberatan Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
Seksi Penetapan dan Keberatan Bidang III mempunyai tugas
melaksanakan penetapan pajak, dan pelayanan keberatan kepada wajib Pajak
Reklame dan Retribusi Daerah.
c.
Seksi
Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan Pajak Reklame dan Retribusi
Daerah.
Seksi Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan
Bidang III mempunyai tugas melaksanakan penagihan dan pembukuan penerimaan
Pajak Reklame dan Retribusi Daerah.
6.
Bidang
IV ; Koordinasi dan Pengendalian PPJ, Pajak PPB Galian Golongan C, Pajak Daerah
dan Bagi Hasil
Bidang IV Koordinasi, Pengendalian Pajak Penerapan Jalan,
Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Batuan Galian Golongan C, Pajak Daerah dan
Bagi Hasil mempunyai tugas melaksanakan tugas pokok merencanakan, merumuskan
serta melakukan koordinasi, pengendalian administrasi, evaluasi serta pelaporan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
a.
Seksi
Administrasi Umum PPJ, Pajak PPB Galian Golongan C, Pajak Daerah dan Bagi
Hasil.
Seksi Administrasi Umum PPJ, Pajak PPB Galian Golongan C,
Pajak Daerah dan Bagi Hasil mempunyai tugas melaksanakan koordinasi,
pengendalian Bagi Hasil dan Pajak Daerah lainnya.
b.
Seksi Pengendalian,
Intensifikasi/Ekstensifikasi dan Hukum.
Seksi Pengendalian, Intensifikasi/Ekstensifikasi dan
Hukum Bidang IV mempunyai tugas melaksanakan intensifikasi dan ekstensifikasi
pengelolaan pendapatan.
c.
Seksi
Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan.
Seksi Penagihan, Pembukuan, Verifikasi dan Pelaporan
Bidang IV mempunyai tugas melaksanakan penagiah, pembukuan, verifikasi dan
pelaporan serta evaluasi pelaksanaan peraturan daerah terhadap wajib pajak.
7.
UPTD
(Unit Pelaksana Teknis Daerah)
Tugas pokok UPTD Pajak Bumi dan Bangunan mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas dinas dalam menunjang kemampuan teknis, pelaksanaan
teknis dan operasional dalam bidang pendapatan Pajak Bumi dan Bagunan.
D. Klasifikasi
Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar
Sebagaimana yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah; dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 mengenai klasifikasi
PAD, PAD Kota
Makassar terdiri atas :
1.
Pajak
Daerah
2.
Retribusi
Daerah
3.
Hasil
Perusahaan Milik Daerah & Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
4.
Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah
E. Jenis –
Jenis Pajak Daerah Kota Makassar
Setiap daerah memiliki potensi pajak yang berbeda-beda,
hal ini disebabkan kemampuan setiap daerah atau kota dalam menggali sumber daya
tidak/belum tentu sama dengan daerah yang lain. Adapun jenis pajak daerah yang
dipungut oleh Pemerintah Kota Makassar sebagai berikut :
1.
Pajak
Hotel
2.
Pajak
Restoran
3.
Pajak
Hiburan
4.
Pajak
Reklame
5.
Pajak
Penerangan Jalan
6.
Pajak
Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
7.
Pajak
Parkir
F. Jenis –
Jenis Retribusi Daerah Kota Makassar
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009,
penetapan jenis retribusi jasa umum dan retribusi perizinan tertentu untuk
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota disesuaikan dengan kewenangan daerah
masing-masing sesuai dengan jasa/pelayanan yang diberikan kepada masyarakat
setempat. Adapun jenis retribusi daerah yang dipungut oleh Pemerintah Kota Makassar
meliputi :
1. Retribusi Jasa Umum
a.
Retribusi
Pelayanan Kesehatan
b.
Retribusi
Pelayanan Persampahan/Kebersihan
c.
Retribusi
Penggantian Biaya KTP & Akte Catatan Sipil
d.
Retribusi
Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
e.
Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor
f.
Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
g.
Retribusi
Pengujian Kapal Perikanan
h.
Retribusi
Jasa Ketatausahaan
i.
Retribusi
Ketenaga Kerjaan
j.
Retribusi
Informasi dan Komunikasi
2. Retribusi Jasa Usaha
a.
Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah
b.
Retribusi
Tempat Pelelangan Ikan
c.
Retribusi
Penyediaan Penyedotan Kakus
d.
Retribusi
Pemeriksaan Hewan/Daging
e.
Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olah Raga
f.
Retribusi
Penyeberangan Diatas Air
3. Retribusi Perizinan Tertentu
a.
Retribusi
Izin Mendirikan Bangunan
b.
Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
c.
Retribusi
Izin Gangguan (SITU)
d.
Retribusi
Izin Trayek
e.
Retribusi
Jasa Konstruksi
f.
Retribusi
Industri dan Perdagangan
G. Pengaruh
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Makassar
1. Pengujian Asumsi Klasik
Agar model Struktural Equation Modeling yang diajukan
menunjukkan persamaan hubungan yang valid, model tersebut harus memenuhi asumsi
dasar klasik Ordinary Least Square (OLS). Oleh karena itu pengujian asumsi
klasik perlu dilakukan. Model yang digunakan menggunakan Structural Equation
Modeling (SEM), maka Uji Asumsi Klasik yang digunakan adalah uji normalitas,
uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi .
a. Normalitas
Dalam
penelitian ini, normalitas diuji dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov (K-S). Data residual
berdistribusi normal jika probabilitas signifikansinya 5% (0,05), Hasil uji
Normalitas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
One-Sample
Kolmogorov-Smirnov Test
|
||||
|
|
Pajak
|
Retribusi
|
PAD
|
N
|
5
|
5
|
5
|
|
Normal Parametersa,,b
|
Mean
|
1.0219E11
|
4.2979E10
|
1.5826E11
|
Std. Deviation
|
2.24816E10
|
9.47613E9
|
3.41902E10
|
|
Most Extreme Differences
|
Absolute
|
.168
|
.384
|
.180
|
Positive
|
.168
|
.384
|
.180
|
|
Negative
|
-.140
|
-.266
|
-.137
|
|
Kolmogorov-Smirnov Z
|
.377
|
.859
|
.402
|
|
Asymp. Sig. (2-tailed)
|
.999
|
.452
|
.997
|
|
a. Test distribution is
Normal.
|
||||
b. Calculated from data.
|
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan besarnya nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,377 untuk Pajak Daerah;
0,859 untuk Retribusi Daerah; dan 0,402 untuk PAD dan tidak signifikan pada
0,05. Hal ini berarti bahwa residual berdistribusi normal.
b. Autokorelasi
Dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi adalah
dengan menggunakan uji Durbin-Watson, dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Terjadi
autokorelasi positif, jika nilai DW < -2.
2) Tidak terjadi
autokorelasi, jika nilai DW berada di antara -2 dan 2 (-2 ≤ DW ≤ 2).
3) Terjadi
autokorelasi negatif, jika nilai DW > 2.
Dari hasil analisis, diperoleh nilai DW sebesar 1,897.
Karena nilai DW berada di antara -2 dan 2 (-2 ≤ DW ≤ 2), maka dapat disimpulkan
bahwa dalam model regresi linear ini tidak terdapat autokorelasi. Hasil uji
Autokorelasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Model Summaryb
|
|||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the
Estimate
|
Durbin-Watson
|
1
|
.997a
|
.994
|
.989
|
3.63944E9
|
1.897
|
a. Predictors: (Constant),
Retribusi, Pajak
|
|||||
b. Dependent Variable: PAD
|
Tabel 3. Hasil Uji Autokorelasi
c. Multikolinieritas
Penelitian ini menguji Multikolinieritas dengan
menganalisis matrik korelasi antar variabel independen, nilai Tolerance
dan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Jika antar variabel independen ada
korelasi yang tinggi, yaitu diatas 0,95 maka ada indikasi terjadi
Multikolinieritas. Jika
nilai Tolerance < 0,10 dan nilai VIF
> 10, maka terjadi multikolinieritas. Hasil uji Multikolinieritas dapat dilihat
pada tabel berikut ini:
Coefficientsa
|
|||
Model
|
Collinearity
Statistics
|
||
Tolerance
|
VIF
|
||
1
|
Pajak
|
.309
|
3.232
|
Retribusi
|
.309
|
3.232
|
|
a. Dependent Variable: PAD
|
Tabel 4. Hasil Uji Multikolinieritas
Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan bahwa semua korelasi memiliki nilai di bawah 0,95, nilai Tolerance
menunjukkan nilai Tolerance > 0,10, dan nilai VIF < 10, sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi Multikolinieritas antar variabel independen
dalam model regresi.
2. Hasil Analisis Regresi Berganda
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Pendapatan Asli
Daerah di Kota Makassar.
Berdasarkan realisasi 5 tahun
kebelakang yang digunakan sebagai sumber data penelitian, hasil yang diperoleh
sebagai berikut:
Tabel Perbandingan Realisasi Variabel
Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Pendapatan Asli
Daerah
Tahun 2006 - 2010
Tahun
|
Pajak Daerah
|
Retribusi Daerah
|
PAD
|
|
2006
|
77.878.472.788
|
37.066.084.009
|
120.904.263.931
|
|
2007
|
85.996.524.046
|
37.972.419.441
|
136.626.469.085
|
|
2008
|
98.318.693.736
|
40.966.229.794
|
154.911.891.959
|
|
2009
|
115.223.338.974
|
39.161.122.319
|
168.703.721.874
|
|
2010
|
133.551.818.678
|
59.728.106.724
|
210.145.729.430
|
Tabel 5. Perbandingan Realisasi Variabel
Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut diperoleh
persamaan regresi berganda (Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Pendapatan Asli
Daerah) adalah:
Y = -1,745 M + 1,179 + 0,919 +
Adapun
interpretasi hasil persamaan di atas sebagai berikut :
1. Nilai konstanta
(a) sebesar -1,745 M. Nilai tersebut menyatakan bahwa jika tidak ada pajak
daerah dan retribusi daerah, maka PAD akan sebesar Rp. -1,745 Miliar.
2. Nilai koefisien
(b1) = 1,179. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
pajak daerah (X1) berpengaruh positif terhadap PAD (Y). Hal ini berarti bahwa
jika pajak daerah ditingkatkan, maka akan meningkatkan PAD sebesar 1,179.
3. Nilai koefisien
(b2) = 0,919. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
retribusi daerah (X2) berpengaruh positif terhadap PAD (Y). Hal ini berarti
bahwa jika variabel retribusi daerah ditingkatkan, maka akan meningkatkan PAD
sebesar 0,919.
Dinilai dari R2
sebesar 99,4% kekuatan pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah terhadap PAD
dan selebihnya 0,6% dipengaruhi oleh variabel lain.
G. PENGUJIAN
HIPOTESIS
Berdasarkan
hipotesis penelitian yang dikemukakan, maka selanjutnya dilakukan pengujian
hipotesis statistik sebagai berikut:
1. Pengujian Parsial
Pengujian ini
dilakukan untuk menentukan signifikan atau tidak signifikan masing-masing nilai
koefisien regresi secara sendiri-sendiri terhadap variabel dependen.
a. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dikemukakan
oleh peneliti yaitu:
1). Ho : b1 =
0 (tidak terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah terhadap pendapatan
asli daerah).
Ha 1 : b1 ≠ 0
(terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah terhadap pendapatan asli
daerah).
2). Ho : b2 = 0
(tidak terdapat pengaruh yang signifikan retribusi daerah terhadap pendapatan
asli daerah).
Ha 2 : b2 ≠ 0 (terdapat pengaruh yang signifikan
retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah).
b. Kriteria
Pengujian
Dasar
pengambilan keputusan dengan taraf signifikan (α) = 5%, adalah:
Jika : t hitung ≤ t tabel, maka Ho
diterima
Jika : t hitung > t tabel, maka
Ho ditolak
c. Hasil Pengujian
untuk Variabel Pajak Daerah (X1) dan Retribusi Daerah (X2)
Berdasarkan hasil perhitungan nilai t di atas, di mana
nilai t hitung untuk variabel pajak daerah sebesar 8,105 ; dan untuk variabel
retribusi daerah sebesar 2,661 lebih besar dari nilai t tabel = 2,353 ; maka Ho
ditolak dan Ha 1 ; Ha 2 diterima, berarti terdapat pengaruh yang signifikan
antara pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah; dan terdapat pengaruh yang
signifikan antara retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah.
2. Pengujian Simultan
Pengujian ini
melibatkan kedua variabel independent terhadap variabel dependen dalam menguji
ada tidaknya pengaruh yang signifikan secara simultan/bersama-sama. Pengujian
secara simultan menggunakan distribusi F, yaitu membandingkan antara F hitung
dengan F tabel.
a. Hipotesis
Adapun
hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti yaitu:
Ho
:
b1,
b2 = 0 (tidak terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap pendapatan asli daerah).
Ha 3 :
b1,
b2 ≠ 0 (terdapat pengaruh yang signifikan pajak daerah dan retribusi daerah
terhadap pendapatan asli daerah).
b. Kriteria
Pengujian
Dasar
pengambilan keputusan dengan taraf signifikan (α) = 5%, adalah:
Jika : F hitung ≤ F tabel, maka Ho
diterima
Jika : F hitung
> F tabel, maka Ho ditolak
c.
Hasil Pengujian
Karena F hitung = 175,508 lebih besar dari 19,00 maka Ho
ditolak dan Ha 3 diterima, berarti nilai koefisien regresi prediktor pajak
daerah dan retribusi daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan
asli daerah.
BAB V
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari
hasil uraian analisis data dan pengujian disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pengujian masing-masing prediktor (Uji t)
disimpulkan sebagai berikut :
a.
Pajak Daerah (X1)
Terdapat pengaruh
yang signifikan antara pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah di Kota
Makassar, karena Nilai t hitung (8,105) > t tabel (2,353).
b.
Retribusi Daerah (X2)
Terdapat pengaruh
yang signifikan antara retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah di Kota
Makassar, karena Nilai t hitung (2,661) > t tabel (2,353).
2.
Berdasarkan pengujian F menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh signifikan antara pajak daerah dan retribusi daerah secara
bersama-sama terhadap pendapatan asli daerah di Kota Makassar. Karena F hitung
(175,508) > F tabel (19,00).
Dengan demikian
hipotesis yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pajak
daerah dan retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah di Kota Makassar
adalah terbukti.
B.
Saran
Dari
kesimpulan di atas dapat disarankan sebagai berikut :
1.
Pemerintah Kota Makassar harus lebih
memperhatikan variabel-variabel pajak daerah dan retribusi daerah, dimana kedua
variabel tersebut sangat mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang kuat terhadap
pendapatan asli daerah di Kota Makassar.
2.
Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar untuk
mengantisipasi perubahan pajak daerah dan retribusi daerah akibat penerapan UU
No. 28 Tahun 2009 dimasa yang akan datang sebaiknya memberikan informasi kepada
masyarakat tentang perubahan tersebut, dan lebih meningkatkan pelayanan publik
agar warga memiliki kesadaran untuk selalu taat membayar pajak dan retribusi.
3.
Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar untuk memberikan
tarif denda yang tinggi bagi wajib pajak yang tidak tepat waktu membayar
pajaknya, sehingga dapat menimbulkan efek jera kepada wajib pajak yang lalai
dalam membayar kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Algifari.
2000. Analisis Regresi: Teori, Kasus dan
Solusi. BPFE. Yogyakarta.
Bastian,
Indra. 2001. Manual Akuntansi Keuangan
Pemerintah Daerah. BPFE. Yogyakarta.
Halim,
Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah.
Edisi 3. Erlangga. Jakarta.
Mardiasmo.
2002. Otonomi & Manajemen Keuangan
Daerah. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Mardiasmo.
2009. Perpajakan Edisi Revisi. Andi.
Yogyakarta.
Mursyidi.
2009. Akuntansi Pemerintahan di Indonesia.
Reflika Aditama. Bandung.
Ondo,
Shabbir. L. 2010. “Dispenda
Makassar Bertekad Optimalkan Penerimaan Pajak”. www.tempointeraktif.com. Diakses pada
hari Selasa, 3 Mei 2010.
Ondo,
Shabbir. L. “PAD Makassar
terealisasi 100%”. www.bisnis-kti.com.
Diakses pada hari Selasa, 3 Mei 2010.
Resmi,
Siti. 2005. Perpajakan Teori & Kasus.
Salemba Empat. Jakarta.
Siahaan,
Marihot P. 2010. Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Rajawali. Jakarta.
Sidik,
Machfud. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah.
Wisuda Angkatan XXI STIA LAN Tahun Akademik 2001-2002. Orasi Ilmiah.
Siregar,
Syofian. 2010. Statistika Deskriptif
untuk Penelitian: Dilengkapi Perhitungan Manual dan Aplikasi SPSS versi 17.
Rajawali Pers. Jakarta.
Sugiyono.
2005. Metode Penelitian Bisnis.
Alfabet. Bandung.
Sunyoto,
Danang. 2010. Uji Khi Kuadrat dan Regresi
untuk Penelitian. Graha Ilmu. Yogyakarta.
__________.
UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
__________.
UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
__________.
UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
HASIL OLAH DATA KOMPUTER PROGRAM
SPSS Versi 17
Model Summaryb
|
|||||
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the
Estimate
|
Durbin-Watson
|
1
|
.997a
|
.994
|
.989
|
3.63944E9
|
1.897
|
a. Predictors: (Constant),
Retribusi, Pajak
|
|||||
b. Dependent Variable: PAD
|
ANOVAb
|
||||||
Model
|
Sum of Squares
|
df
|
Mean Square
|
F
|
Sig.
|
|
1
|
Regression
|
4.649E21
|
2
|
2.325E21
|
175.508
|
.006a
|
Residual
|
2.649E19
|
2
|
1.325E19
|
|
|
|
Total
|
4.676E21
|
4
|
|
|
|
|
a. Predictors: (Constant),
Retribusi, Pajak
|
||||||
b. Dependent Variable: PAD
|
Coefficientsa
|
||||||
Model
|
Unstandardized
Coefficients
|
Standardized
Coefficients
|
t
|
Sig.
|
||
B
|
Std. Error
|
Beta
|
||||
1
|
(Constant)
|
-1.745E9
|
8.788E9
|
|
-.199
|
.861
|
Pajak
|
1.179
|
.146
|
.775
|
8.105
|
.015
|
|
Retribusi
|
.919
|
.345
|
.255
|
2.661
|
.117
|
|
a. Dependent Variable: PAD
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar