Ditulis oleh Tarko Sunaryo
Tuesday, 26 August 2008
Pada tahun 2007 Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia mengesahkan tiga Exposure
Draft menjadi PSAK yaitu PSAK No 13 (revisi 2007) Properti Investasi, PSAK No.
16 (revisi 2007) Aset Tetap dan PSAK No. 30 (revisi 2007) Sewa. Ketiga PSAK
tersebut berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang
dimulai pada atau setelah 1 Januari 2008. Ketiga PSAK tersebut terutama
membahas mengenai standar perlakuan akuntansi untuk aset tetap. Pengesahan
ketiga PSAK tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses konvergensi PSAK
terhadap International Financial Reporting Standard (IFRS). Oleh karena itu
materi PSAK baru tersebut diambil seluruhnya dari IFRS dengan beberapa
penyesuaian karena ada beberapa nomor IFRS yang belum diadopsi di dalam PSAK.
Dengan berlaku secara efektif ketiga
PSAK tersebut maka PSAK lama yaitu PSAK No. 13 (1994) Akuntansi untuk
Investasi, PSAK No. 16 (1994) Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain, PSAK No. 17
(1994) Akuntansi Penyusutan dan PSAK No. 30 (1990) Akuntansi Sewa Guna Usaha
menjadi tidak berlaku untuk penyusunan laporan keuangan sebuah entitas.
Kemudian pada tanggal 23 Mei 2008 Menteri Keuangan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 (PMK 79/2008) tentang
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. PMK 79/2008
ini menggantikan peraturan sejenis yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
486/KMK.03/2002.
Tulisan ini akan membahas mengenai
revaluasi aset tetap terkait dengan adanya standar akuntansi baru tersebut dan
bagaimana hubungannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Revaluasi Aset Tetap Menurut Standar
Akuntansi
Salah satu perbedaan pokok antara
PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan PSAK No. 16 (1994) adalah dalam
hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa
suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi
sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut
terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas
menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat
sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi
rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar
akuntansi yang sudah ada sebelumnya.
Sedangkan pada model revaluasian,
setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat
diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar
pada tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi
rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus
dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah
tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan
menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.
Sedangkan dalam PSAK No.16 (1994) suatu
entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan
menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian lebih lanjut
mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat
pengecualian yaitu suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva
tetap sepanjang revaluasi tersebut dilakukan dengan mengikuti peraturan
pemerintah. Dalam hal ini peraturan pemerintah yang relevan adalah peraturan
dibidang perpajakan. Kewajiban tersebut diantaranya adalah pengenaan pajak
penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap sebagai hasil revaluasi dan
pencatatan atas hasil revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini dilakukan
untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan apabila suatu entitas melakukan
revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan
No.486/KMK/.03/2002 mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap
dicatat dalam akun selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan.
Oleh karena itu salah satu pertimbangan penting dalam melakukan revaluasi aset
tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah bagaimana dampak perpajakannya.
Dengan mengadopsi model revaluasian
sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap dalam rangka penyajian laporan
keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan. Suatu entitas yang
memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau tidak atas
hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak
melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi
beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga
pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung.
Beberapa paragraf dalam PSAK 16
(2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada saat revaluasian. Nilai
wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan
oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar.
Jika tidak ada nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang
diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan,
entitas dapat menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang
telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih lanjut mengenai bagaimana suatu
entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar. Bahkan dalam kasus
penentuan nilai wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung menyerahkan kepada
profesi penilai. Sehingga dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas laporan
keuangan.
PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa
frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai wajar dari suatu aset
tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material dari
jumlah yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset
tetap yang mengalami perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu
dilakukan revaluasi setiap tahun. Sedangkan untuk perubahan nilai wajar yang
tidak signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Namun demikian,
aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.
Pengelompokan aset tetap merupakan
hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas pada saat melakukan
revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu aset tetap
direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.
Aset-aset dalam suatu kelompok aset
tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk menghindari revaluasi
aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada
saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara
bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut
dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang
revaluasi dimutakhirkan.
Pada saat dilakukan revaluasi,
apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut langsung
dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya
pernah diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi,
maka terhadap kenaikan aset tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan
laba rugi sebesar nilai penurunan yang diakui sebelumnya. Sisa nilai setelah
sebagian diakui dalam laporan laba rugi tersebut dicatat sebagai kenaikan yang
langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak tangguhan perlu dihitung dan
disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi tersebut.
Pada saat dilakukan revaluasi,
apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut diakui dalam laporan
laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah dilakukan
revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas
maka terhadap penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke
ekuitas pada bagian surplus revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat
didebet adalah sebesar saldo surplus revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan
ke laporan laba rugi.
Dampak atas pajak penghasilan, jika
ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat hasil revaluasi harus
diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau penurunan
revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau
laporan laba rugi mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.
Pada saat aset tetap direvaluasi,
akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan dengan salah
satu cara yaitu:
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.
2. dieliminasi terhadap jumlah
tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah dieliminasi disajikan
kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering
digunakan untuk bangunan.
Jumlah penyesuaian yang timbul dari
penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan tersebut membentuk bagian
kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam mekanisme
pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya.
Pemindahan surplus revaluasi aset
tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat dilakukan pada
saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan.
Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan
penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih
jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian dengan
jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun pemindahan
surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui
laporan laba rugi.
Periode transisi
PSAK 16 (2007) mengatur periode
transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu entitas yang sebelum
penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian
memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset
tetap maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan
(deem cost). PSAK ini juga mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan
sebagai deem cost adalah nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau
nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi
aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008
atau tanggal penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai
deem cost.
Demikian juga entitas yang mempunyai
saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini belum diterapkan maka
pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo
selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.
Dalam kaitannya dengan PSAK 30
(2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan tidak diatur secara jelas
apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset dilakukan
revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai
PSAK 16 (2007) bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk
digunakan dalam proses produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk
disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi dan diharapkan
untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Selain difinisi tersebut, PSAK
16 (2007) juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus direvaluasi
seluruhnya secara bersamaan adalah merupakan kelompok aset yang memiliki sifat
dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Karena itu aset tetap
dari leasing menurut penulis termasuk kategori sebagai aset tetap.
PSAK 13 (2007) mengenai properti
investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal dilakukannya pngukuran
setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat dengan
menggunakan model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung.
Kenaikan atau penurunan atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan
laba rugi.
Revaluasi Menurut Peraturan
Perpajakan
Peraturan perpajakan yang terkait
dengan dengan revaluasi aset tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan
Perpajakan yang berlaku pada tanggal ditetapkan 23 Mei 2008. PMK 79 ini
menggantikan KMK 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002. Perbedaan pokok
antara peraturan baru dengan peraturan lama dijelaskan dalam paragraf berikut
ini.
1. Cakupan aktiva yang dapat
dilakukan penilaian kembali.
Dua alternatif diatur dalam PMK 79 ketiak perusahaan melakukan penilaian aktiva tetap yaitu: (a) dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan, atau (b) terhadap seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Dua alternatif diatur dalam PMK 79 ketiak perusahaan melakukan penilaian aktiva tetap yaitu: (a) dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan, atau (b) terhadap seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Sedangkan dalam KMK 486, penilaian
kembali aktiva tetap dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap
perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan
penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Dengan demikian PMK 79 hanya memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah. Sedangkan dalam KMK 486 perusahaan bebas untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan penilaian kembali.
Dengan demikian PMK 79 hanya memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah. Sedangkan dalam KMK 486 perusahaan bebas untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan penilaian kembali.
2. Jangka waktu penilaian
PMK 79 mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah melewati jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Oleh karena itu jika pada tanggal 31 Desember 2008 perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan maka revaluasi tersebut dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013.
Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama.
PMK 79 mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah melewati jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Oleh karena itu jika pada tanggal 31 Desember 2008 perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan maka revaluasi tersebut dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013.
Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama.
3. Dasar pengenaan pajak penghasilan
final
Terhadap kenaikan hasil dari penilaian kembali aktiva tetap dikenakan pajak penghasilan final 10%. Dalam PMK 79 diatur bahwa pengenaan PPh final 10% dihitung dari selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai buku fiscal semula. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa pengenaan Ph final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kompensasi sisa kerugian fiscal dari tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dipergunakan.
Terhadap kenaikan hasil dari penilaian kembali aktiva tetap dikenakan pajak penghasilan final 10%. Dalam PMK 79 diatur bahwa pengenaan PPh final 10% dihitung dari selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai buku fiscal semula. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa pengenaan Ph final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kompensasi sisa kerugian fiscal dari tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dipergunakan.
Dengan demikian, jika perusahaan
masih mempunyai sisa kerugian fiscal dari tahun sebelumnya maka tidak dapat
lagi diperhitungkan sebagai pengurang hasil revaluasi aset tetap.
4. Pembayaran PPh final secara
angsuran
Terhadap PPh final yang terhutang, PMK 79 hanya memberikan waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam hal terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan kondisi keuangan sehingga tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa besarnya angsuran atas PPh final tersebut dapat dilakukan secara bertahap sampai dengan maksimal 2 (dua) tahun untuk nilai PPh lebih dari Rp 2 triliun sampai dengan Rp 4 triliun, diatas Rp 4 triliun sampai dengan Rp 6 triliun selama 3 (tiga) tahun, untuk nilai diatas Rp 6 triliun sampai dengan Rp 8 triliun selama 4 (empat) tahun dan diatas Rp 8 triliun maksimal selama 5 (lima) tahun.
Terhadap PPh final yang terhutang, PMK 79 hanya memberikan waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam hal terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan kondisi keuangan sehingga tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa besarnya angsuran atas PPh final tersebut dapat dilakukan secara bertahap sampai dengan maksimal 2 (dua) tahun untuk nilai PPh lebih dari Rp 2 triliun sampai dengan Rp 4 triliun, diatas Rp 4 triliun sampai dengan Rp 6 triliun selama 3 (tiga) tahun, untuk nilai diatas Rp 6 triliun sampai dengan Rp 8 triliun selama 4 (empat) tahun dan diatas Rp 8 triliun maksimal selama 5 (lima) tahun.
5. Pengenaan tambahan pajak
penghasilan final atas pengalihan aktiva tetap yang direvaluasi
PMK 79 mengatur bahwa apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru sebagai hasil revaluasian, perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.
PMK 79 mengatur bahwa apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru sebagai hasil revaluasian, perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.
Demikian juga apabila perusahaan
mengalihkan aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan
tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka
waktu 10(sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai
sisa buku fiscal semula, dikenakan tambahan PPh final dengan tarif sebesar
tarif tertinggi PPh badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali
dikurangi dengan 10%.
Sedangkan dalam KMK 486 disebutkan
bahwa dalam hal wajib pajak melakukan pengalihan aktiva tetap yang telah
mendapatkan persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat
baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh final sebesar 20%
dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula tanpa
dikompensasikan dengan sisa kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya.
Selain perbedaan-perbedaan tersebut,
baik PMK 79 maupun KMK 486 mengharuskan perusahaan untuk mencatat selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku komersial
semula setelah dikurangi dengan pajak penghasilannya pada neraca komersial pada
perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap
perusahaan tanggal……………….â€Â
Dari perbandingan tersebut terlihat
bahwa penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan semakin diperketat
dan cenderung menjadi kurang menarik. Penilaian kembali aktiva tanah menjadi
tidak menarik karena tidak dapat dikurangkan lagi dengan sisa rugi fiscal dan
tidak ada manfaat tax saving dari penyusutan. Sehingga perusahaan akan
cenderung tidak melakukan penilaian aktiva tanah sampai dengan terjadi
realisasi pelepasan tanah.
Sedangkan aktiva tetap lainnya,
manfaat yang ada adalah berupa tax saving berupa peningkatan besaran total
biaya penyusutan seiring dengan adanya kenaikan nilai aktiva tetap. Namun
demikian kenaikan tersebut juga diiringi dengan bertambahnya umur manfaat
secara fiscal aktiva tetap tersebut. Sehingga besar kemungkinan pada saat
dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap akan terjadi penurunan biaya
penyusutan setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan apabila tidak dilakukan
penilaian kembali aktiva tetap. Selain itu dengan adanya kewajiban untuk
melakukan penilaian kembali terhadap seluruh aktiva tetap (kecuali tanah) dan
jarak antara dua penilaian kembali harus selama 5 tahun, maka perusahaan tidak
bisa membuat kombinasi aktiva tetap sehingga menghasilkan pilihan yang optimal
pada saat dilakukan penilaian kembali. Oleh karena itu penilaian kembali aktiva
tetap akan menarik bagi perusahaan yang sedang mengalami penurunan omset atau
mempunyai aktiva tetap yang sebagian besar sudah mendekati habis umur fiskalnya
namun aktiva tersebut masih mampu berproduksi secara baik dan jangka panjang
mempunyai prospek bisnis yang lebih baik. Dalam hal ini perlu dilakukan
perencanaan yang tepat kapan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap untuk
tujuan perpajakan.
Model Biaya dan Model Revaluasi
Untuk Properti Investasi Tidak Dapat Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap
Untuk Tujuan Perpajakan?
Uraian berikut ini merupakan
penjelasan mengenai keterkaitan antara peraturan perpajakan dengan standar
akuntansi.
Mengacu kepada penjelasan mengenai
standar akuntansi dan peraturan perpajakan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa
terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai revaluasi aset tetap antara
standar akuntansi dengan peraturan perpajakan. Perbedaan tersebut diantaranya
adalah periode kapan dapat dilakukan revaluasi, cakupan aset yang dapat
dilakukan revaluasi dan bagaimana mencatat perubahan nilai atas hasil
revaluasi.
PSAK 16 (2007) tidak membatasi kapan dilakukannya revaluasi aset tetap. Revaluasi dapat dilakukan setiap periode tertentu untuk kelompok aset tertentu. PSAK ini juga mengijinkan revaluasi dilakukan secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda. Sedangkan dalam PMK 79 tahun 2008 penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan setelah melewati jangka waktu lima tahun sejak penilaian terakhir menurut PMK tersebut. Demikian pula ketika dilakukan penilaian aktiva tetap harus dilakukan untuk seluruh aktiva tetap dengan atau tanpa tanah, dan tidak dapat lagi dilakukan secara parsial. Untuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease (PSAK No.30 2007), ketika dalam kelompok aset tersebut dilakukan revaluasi menurut PSAK 16 2007 maka seluruh aset tetap dalam kelompok tersebut seluruhnya termasuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease tersebut juga direvaluasi. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan dimana revaluasi hanya untuk aktiva tetap selain aktiva tetap leasing, karena aktiva tetap leasing perlakuan perpajakan diatur berbeda. Dalam hal pencatatan, PSAK 16 (2007) mengharuskan perusahaan untuk memilih model biaya atau model revaluasian sebagai kebijakan akuntansinya. Sedangkan dalam PMK 79 diatur mengenai kenaikan atas hasil penilaian kembali aktiva tetap sebagai bagian dari ekuitas. Dalam perspektif standar akuntansi maka model pencatatan dalam PMK 79 tahun 2008 adalah model revaluasian. Sedangkan untuk model biaya PMK 79 tahun 2008 tidak mengaturnya.
PSAK 16 (2007) tidak membatasi kapan dilakukannya revaluasi aset tetap. Revaluasi dapat dilakukan setiap periode tertentu untuk kelompok aset tertentu. PSAK ini juga mengijinkan revaluasi dilakukan secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda. Sedangkan dalam PMK 79 tahun 2008 penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan setelah melewati jangka waktu lima tahun sejak penilaian terakhir menurut PMK tersebut. Demikian pula ketika dilakukan penilaian aktiva tetap harus dilakukan untuk seluruh aktiva tetap dengan atau tanpa tanah, dan tidak dapat lagi dilakukan secara parsial. Untuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease (PSAK No.30 2007), ketika dalam kelompok aset tersebut dilakukan revaluasi menurut PSAK 16 2007 maka seluruh aset tetap dalam kelompok tersebut seluruhnya termasuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease tersebut juga direvaluasi. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan dimana revaluasi hanya untuk aktiva tetap selain aktiva tetap leasing, karena aktiva tetap leasing perlakuan perpajakan diatur berbeda. Dalam hal pencatatan, PSAK 16 (2007) mengharuskan perusahaan untuk memilih model biaya atau model revaluasian sebagai kebijakan akuntansinya. Sedangkan dalam PMK 79 diatur mengenai kenaikan atas hasil penilaian kembali aktiva tetap sebagai bagian dari ekuitas. Dalam perspektif standar akuntansi maka model pencatatan dalam PMK 79 tahun 2008 adalah model revaluasian. Sedangkan untuk model biaya PMK 79 tahun 2008 tidak mengaturnya.
Oleh karena itu dengan terbitnya
PSAK 16 (2007) maka terdapat dua tujuan yang berbeda dalam hal revaluasi aset
tetap, yaitu untuk tujuan pelaporan keuangan atau untuk tujuan perpajakan. Hal
ini berbeda dengan PSAK 16 (1994) dimana tidak ada perbedaan tujuan antara
standar akuntansi dengan peraturan perpajakan karena PSAK 16 (1994) yang
sebenarnya melarang revaluasi, namun memberikan ruang bagi revaluasi aset tetap
yang dilakukan menurut ketentuan perpajakan. Karena itu setiap kali melakukan
revaluasi untuk tujuan laporan keuangan maka harus sesuai dengan ketentuan
perpajakan. Demikian juga sebaliknya, revaluasi untuk tujuan perpajakan juga
akan tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.
Bagi perusahaan yang memilih model
revaluasian untuk kebijakan akuntansi setelah perolehan awal maka dalam laporan
keuangan aset tetap akan disajikan sebesar nilai wajar. Namun demikian dalam
mekanisme perpajakan revaluasi atas aset tetap tersebut tidak harus mengajukan
permohonan persetujuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk tujuan
perpajakan.
Apalagi terdapat ketentuan dalam PMK 79 bahwa revaluasi untuk perpajakan hanya dapat dilakukan setelah lewat lima tahun, maka setiap revaluasi aset tetap yang dilakukan dalam periode tertentu yang disajikan dalam laporan keuangan tidak bisa diajukan permohonan kepada Dirjen Pajak. Selain itu perbedaan dalam hal aset mana saja yang direvaluasi antara standar akuntansi dengan ketentuan pajak juga menimbulkan kebutuhan akan revaluasi yang berbeda. Oleh karena itu mekanisme koreksi fiscal dan pengakuan pajak tangguhan atas beda temporer yang muncul akan menjembatani perbedaan tersebut.
Apalagi terdapat ketentuan dalam PMK 79 bahwa revaluasi untuk perpajakan hanya dapat dilakukan setelah lewat lima tahun, maka setiap revaluasi aset tetap yang dilakukan dalam periode tertentu yang disajikan dalam laporan keuangan tidak bisa diajukan permohonan kepada Dirjen Pajak. Selain itu perbedaan dalam hal aset mana saja yang direvaluasi antara standar akuntansi dengan ketentuan pajak juga menimbulkan kebutuhan akan revaluasi yang berbeda. Oleh karena itu mekanisme koreksi fiscal dan pengakuan pajak tangguhan atas beda temporer yang muncul akan menjembatani perbedaan tersebut.
Demikian pula mengenai revaluasi
atas properti investasi maka akan terdapat perbedaan antara standar akuntansi
dengan peraturan perpajakan.. Dalam PMK 79 tahun 2008, tidak mengatur secara
spesifik mengenai properti investasi. Selain PMK tersebut, penulis belum
menemukan peraturan lain yang mengatur mengenai revaluasi aktiva tetap
(properti investasi) untuk tujuan perpajakan. Sehingga PMK 79 tahun 2008
menjadi satu-satunya peraturan mengenai revaluasi aset. Karena itu apabila
properti investasi akan dilakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan maka
peraturan yang relevan adalah PMK 79 tahun 2008 ini. Namun demikian terdapat
permasalahan sehingga besar kemungkinan revaluasi properti investasi untuk
tujuan perpajakan tidak dapat dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
pencatatan hasil kenaikan penilaian kembali aktiva tetap. Menurut PMK 79 tahun
2008 hasil penilaian kembali akan dicatat dalam neraca sebagai selisih lebih
penilaian kembali aktiva tetap dan mengharuskan dilakukan penyusutan atas
aktiva tetap tersebut. Hal ini berbeda dengan PSAK 13 (2007), revaluasi atas
properti investasi merupakan pilihan model sebagai kebijakan akuntansi yang
diterapkan perusahaan secara konsisten. Dalam hal terjadi revaluasi maka atas
hasil revaluasi tersebut dicatat sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan
laba rugi sehingga perlu dilakukan secara tahunan. Selain itu dengan model
revaluasi, maka terhadap properti investasi tersebut tidak dilakukan
penyusutan. Perbedaan disusutkan atau tidaknya properti investasi dapat direkonsiliasi
sebagi koreksi fiscal, namun demikian perbedaan dalam mekanisme mencatat
kenaikan revaluasi merupakan perbedaan yang belum ada solusinya.
Demikian pula bagi perusahaan yang
memilih model biaya sebagai kebijakan akuntansi untuk pengukuran setelah tanggal
perolehan aset tetap dan properti investasi akan menghadapi kendala apabila
bermaksud melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan.
Perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan PMK 79 tahun 2008 karena neraca dalam laporan keuangan tidak akan pernah tercatat selisih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap sebagai komponen dalam ekuitas. Karena itu besar kemungkinan jika melakukan revaluasi akan ditolak permohonannya oleh Dirjen Pajak. Alternatif dengan mengubah kebijakan pengukuran dengan model revaluasian bukan merupakan langkah yang tepat.
Meskipun PSAK ini memperbolehkan untuk mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasian namun hal ini bukan merupakan alternatif yang bijak. Karena pilihan kebijakan akuntansi adalah pilihan profesional yang sesuai dengan kondisi bisnis suatu entitas untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kondisi keuangannya. Beberapa perusahaan seperti industri manufaktur lebih cocok memilih model biaya karena terkait dengan penilaian persediaan.
Perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan PMK 79 tahun 2008 karena neraca dalam laporan keuangan tidak akan pernah tercatat selisih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap sebagai komponen dalam ekuitas. Karena itu besar kemungkinan jika melakukan revaluasi akan ditolak permohonannya oleh Dirjen Pajak. Alternatif dengan mengubah kebijakan pengukuran dengan model revaluasian bukan merupakan langkah yang tepat.
Meskipun PSAK ini memperbolehkan untuk mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasian namun hal ini bukan merupakan alternatif yang bijak. Karena pilihan kebijakan akuntansi adalah pilihan profesional yang sesuai dengan kondisi bisnis suatu entitas untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kondisi keuangannya. Beberapa perusahaan seperti industri manufaktur lebih cocok memilih model biaya karena terkait dengan penilaian persediaan.
Pasal 9 PMK 79 Tahun 2008 Perlu
Direvisi?
Revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008
merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih
model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian
dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana sebuah perusahaan mencatat dalam neraca komersial selisih lebih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap. Pengaturan mekanisme pencatatan tersebut yang menghambat perusahaan manufaktur yang menggunakan model biaya untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Demikian pula dengan perusahaan perhotelan misalnya, yang menggunakan model revaluasian untuk mencatat properti investasinya akan mengalami kendala dalam hal yang sama. Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.
Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana sebuah perusahaan mencatat dalam neraca komersial selisih lebih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap. Pengaturan mekanisme pencatatan tersebut yang menghambat perusahaan manufaktur yang menggunakan model biaya untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Demikian pula dengan perusahaan perhotelan misalnya, yang menggunakan model revaluasian untuk mencatat properti investasinya akan mengalami kendala dalam hal yang sama. Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.
Model revaluasian dan model biaya
dalam standar akuntansi keuangan (PSAK 16 2007 dan PSAK 13 2007) telah
menyediakan standar yang jelas mengenai bagaimana mengukur, mencatat dan
melaporkan revaluasi aset tetap. Termasuk model biaya, meskipun dalam neraca
tidak mencatat mengenai harga aset tetap setelah revaluasian, namun dalam model
tersebut terdapat mekanisme bagaimana melaporkan nilai wajar suatu aset tetap.
Karena itu, jika seandainya Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 dihapuskan pun maka masih
ada standar akuntansi yang pasti akan menjadi rujukan pada saat menyusun
laporan keuangan. Jikalaupun direvisi, maka salah satu alternatif yang
bijaksana adalah bagaimana membukukan selisih hasil revaluasi aset tetap
dicatat dan dilaporkan harus sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Hal ini berbeda ketika suatu entitas masih mengacu kepada PSAK 16 (1994) karena dalam PSAK tersebut tidak memperkenankan model revaluasian kecuali mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku. Jika tidak diharuskan sesuai dengan Pasal 9 KMK 486/KMK.03/2002 maka atas hasil revaluasi tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan.
Hal ini berbeda ketika suatu entitas masih mengacu kepada PSAK 16 (1994) karena dalam PSAK tersebut tidak memperkenankan model revaluasian kecuali mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku. Jika tidak diharuskan sesuai dengan Pasal 9 KMK 486/KMK.03/2002 maka atas hasil revaluasi tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan.
keyword:
revaluasi, revaluasi aset tetap, aset tetap, revaluasi Aset, penilaian kembali
aktiva tetap, revaluasi aktiva tetap, PMK Penilai, revaluasi asset, tujuan
revaluasi, penilaian kembali aset tetap, PSAK 16 tentang aktiva tak berwujud
dan contohnya, model revaluasi, aktiva tetap revaluasi aset, tujuan revaluasi
aktiva tetap, perbedaan psak 16, asset tetap, arti revaluasi aktiva tetap, cara
perhitungan selisih penilaian kembali aset tetap 2009, ifrs aset tetap,
pengertian revaluasi aktiva tetap, revaluasi aset adalah, perhitungan revaluasi
aktiva tetap, psak no 30, revaluasi aset tetap adalah, cara perhitungan
revaluasi aktiva tetap, metode revaluasi aset, kumpulan soal soal tentang
revaluasi dan penyusutan aktiva, perbedaan antara aturan pajak dan PSAK, psak
16 terbaru, contoh perhitungan revaluasi aktiva tetap
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/revaluasi-aset-tetap.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar