Pemberian otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian
kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan
dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus
diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat
dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance
of power) bagi eksekutif daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung melalui LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di
daerah (social control).
Pengawasan oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak
tahap perencanaan, tidak hanya pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja
sebagaimana yang terjadi selama ini. Hal ini penting karena dalam era otonomi,
DPRD memiliki kewenangan untuk menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila
DPRD lemah dalam tahap perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD),
maka dikhawatirkan pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan.
Akan tetapi harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap
eksekutif daerah hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy)
yang digariskan bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan
kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional,
misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Dewan dapat meminta
BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap
kinerja keuangan eksekutif.
Untuk memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa
membentuk badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen untuk
mengawasi jalannya suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap
harus dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal
tersebut agar DPRD tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga
Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada permasalahan-permasalahan yang bersifat
kebijakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Coe,
Charles K. (l989) Public Financial
Management, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Juoro,
Umar (1990) “Persaingan Global dan
Ekonomi Indonesia dekade 1990-an”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Kuncoro,
Mudrajat dan Abimanyu, Anggito
(1995) “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan
Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV.
Kuncoro,
Mudrajat (1997) “Otonomi Daerah dalam
Transisi”, pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global,
12 April, Yogyakarta.
Mardiasmo
dan Kirana Jaya, Wihana (1999)
“Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”, KOMPAK
STIE YO, Yogyakarta, Oktober.
Mardiasmo (2002) “Akuntansi Sektor Publik”, Penerbit Andi Yogyakarta.
Nasution,
Anwar (l990) “Globalisasi Produksi,
Pengusaha Nasional dan Deregulasi Ekonomi”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Ohmae,
Kenichi (1991) The borderless
World, Power and Strategy in the Interlinked Economic, Harper
Collins, London.
Osborne,
David and Ted Gaebler (1993) Reinventing Government:
How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector.
Penguins Books, New York.
Shah,
Anwar (l997) Balance, Accountability
and Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank, Washington
D.C.
Sumodiningrat,
Gunawan (l999) Pemberdayaan Rakyat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarsono,
Juwono (l990) “Globalisasi Ekonomi dan
Demokrasi Indonesia”, Prisma, No. 8 tahun XIX.
Republik
Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
_________________, Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Umar,
Asri (l999) “Kerangka Strategis
Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI No. 22 tahun 1999
dan UU RI No. 25 tahun 1999”, PSPP, Jakarta, Juli-Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar