Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku
pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah
daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini
dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat
ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi
gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari
internal masyarakatnya.
Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi
globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi,
investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan
mengahadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan
masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Shah (1997) meramalkan bahwa pada era seperti ini, ketika
globalization cascade sudah semakin meluas, pemerintah (termasuk
pemerintah daerah) akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan,
seperti pada perdagangan internasional, informasi dan ide, serta transaksi
keuangan. Di masa depan, negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan
semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda
juga disampaikan oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi
publik seperti Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing
government”.
Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan Gaebler
tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis: fokus pada pemberian pengarahan
bukan produksi pelayanan publik
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan publik diserahkan pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak non-pemerintah.
2. Pemerintah milik masyarakat:
memberdayakan masyarakat daripada melayani
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Pemerintah memberikan wewenang kepada (memberdayakan) masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3. Pemerintah yang kompetitif:
menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik
Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
Pemerintah wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi:
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang
digerakkan oleh misi
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5. Pemerintah yang berorientasi pada
hasil: membiayai
hasil bukan masukan
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan:
memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda (dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha: mampu
menciptakan pendapatan dan tidak sekedar membelanjakan
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
Pemerintah daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD; pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat; penyertaan modal; dan lain-lain.
8. Pemerintah antisipatif: berupaya
mencegah daripada mengobati
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui perencanaan strategisnya.
9. Pemerintah desentralisasi: dari
hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja
Pemerintah
wirausaha memberikan kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan,
dan lembaga swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
10. Pemerintah berorientasi pada
(mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (sistem
insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan
pemaksaan)
Pemerintah wirausaha
menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumberdaya yang
dimilikinya. Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi
mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang
monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti
dilakukannya bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan
mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak
akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing
government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat
dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah
adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah
itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan
mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep
tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apa-apa.
DAFTAR
PUSTAKA
Coe,
Charles K. (l989) Public Financial
Management, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Juoro,
Umar (1990) “Persaingan Global dan
Ekonomi Indonesia dekade 1990-an”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Kuncoro,
Mudrajat dan Abimanyu, Anggito
(1995) “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan
Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV.
Kuncoro,
Mudrajat (1997) “Otonomi Daerah dalam
Transisi”, pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global,
12 April, Yogyakarta.
Mardiasmo
dan Kirana Jaya, Wihana (1999)
“Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”, KOMPAK
STIE YO, Yogyakarta, Oktober.
Mardiasmo (2002) “Akuntansi Sektor Publik”, Penerbit Andi Yogyakarta.
Nasution,
Anwar (l990) “Globalisasi Produksi,
Pengusaha Nasional dan Deregulasi Ekonomi”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Ohmae,
Kenichi (1991) The borderless
World, Power and Strategy in the Interlinked Economic, Harper
Collins, London.
Osborne,
David and Ted Gaebler (1993) Reinventing Government:
How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector.
Penguins Books, New York.
Shah,
Anwar (l997) Balance, Accountability
and Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank, Washington
D.C.
Sumodiningrat,
Gunawan (l999) Pemberdayaan Rakyat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarsono,
Juwono (l990) “Globalisasi Ekonomi dan
Demokrasi Indonesia”, Prisma, No. 8 tahun XIX.
Republik
Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
_________________, Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Umar,
Asri (l999) “Kerangka Strategis
Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI No. 22 tahun 1999
dan UU RI No. 25 tahun 1999”, PSPP, Jakarta, Juli-Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar