A. Pengertian Harta Bersama
Istilah ”harta bersama” dalam pergaulan hukum masyarakat telah melekat di
dalamnya, maka keterlibatan pasangan suami istri di dalam memperolehnya, atau
harta yang diperoleh, atau harta yang diperoleh bersama suami istri di dalam
memperolehnya, atau harta yang diperoleh bersama suami istri selama perkawinan
yang di Jawa disebut ”poligami” di
Sunda disebut ”guna kaya”, di
Sulawesi Selatan disebut ”cakkare”
atau ”beli reso”. Dan di Banjar
disebut ”harta perpantangan” (A
Hamzah, 1996 : 23).
Menurut fiqih Islam ada dua versi
pemikiran mengenai eksistensi harta bersama, yaitu pemikiran yang mengakui
keberadaannya dan pemikiran yang menyebut harta yang diperoleh selama
perkawinan, bukan sebagai harta bersama, tetapi persekutuan ”syarkah”.
Pertama tidak dikenal harta bersama
kecuali dengan syiarkah, persekutuan ”syarkah”,
persetukuan/ kongsi. Berbeda dengan sistem hukum perdata, (Burgerlijk wet boek) dalam hukum Islam tidak dikenal dengan
percampuran harta bersama antara suami dan istri karena perkawinan.
Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya
oleh istri tersebut, demikian juga
dengan harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai
sepenuhnya. Oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap
bertindak tanpa bantuan suami dalam persoalan apapun termasuk mengurus harta
benda suami, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat. (Djamil Latif, 1998 :
82).
Latar belakang pemikiran tersebut bertitik tolak dari ketentuan menurut ayat
Al-qur’an antara lain dalam surat
An-Nisa ayat 34 yang terjemahnnya : .
Kaum laki-laki adalah
pimpinan dari kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka
(laki-aaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka (Departemen Agama, 1997 : 123).
Demikian juga dengan surat At-Talak yat 6
:
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati (mereka) (ibid : 946).
Oleh karena istri memperoleh
perlindungan baik tentang nafkah lahir bathin moril dan materil tempat tinggal,
biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, berdasarkan petunjuk ayat-ayat di
atas, diperingatkan kepada suami maka suami bertanggungjawab sepenuhnya sebagai
kepala keluarga.
Berarti istri dianggap/
fasiq menerima apa yang datang dari suami, dengan demikian tidak ada harta
bersama antara suami istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami kepada
istri diluar pembiayaan rumah tangga dan pemeliharaan anak, misalnya hadiah
berupa perhiasan yang dipakai, itulah yang menjadi hak istri dan tidak boleh
diganggu gugat lagi oleh suami, sedangkan apa yang diusahakan oleh suami
seluruhnya menjadi hak milik suami kecuali bila ada ”syiarkah”.
Dengan ikatan perkawinan kedudukan
istri menjadi sekutu (kongsi) dalam
mengarungi bahtera rumah tangga. Bila harta kekayaan suami istri bersatu karena
syiarkah, maka harta tersebut seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan,
karena usaha bersama suami istri dilakukan dengan suami istri selama dalam
ikatan perkawinan menjadi milik bersama, karena itu jika kelak ternyata perjanjian
perkawinan terputus, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami
istri yang turut serta dalam berusaha dalam syiarkah.
Kedua adalah pendapat yang
paling mutakhir dalam menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami dan istri.
Pendapat yang kedua ini mengakui bahwa hal-hal yang diatur dalam udang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sepanjang mengenai harta bersama seperti
ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37, sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum
islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Bawarah ayat 228
yang terjemahannya:
”.... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (ibid : 225).
Demikian juga surat An Nissa ayat 21, berbunyi bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, pada hal sebagaimana kamu telah bergaulm (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka
(istri-suami) telah mengambil dari kami yang kuat (ibid : 120).
Bertitik tolak dari ayat
tersebut dan sesuai pula dengan pendapat Hazairin maupun Sayuthi Thaib (M Idris
Ramulyo (1996 : 218), maka menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami istri
karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau
tidak.
Sekali mereka terikat dalam
perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka semuanya menjadi bersatu, baik
harta maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syiarkah, sebab suatu
perkawinan dengan ”ijab qabul” serta
memenuhi persyaratan lainnya, sudah otomatis menurut anggapan hukum ada suatu
syiarkah antara suami istri yang bersangkutan (Sayuti Thalib, 1994 : 84).
Harta bersama dalam
undang-undang No. 1 Tanun 1974 pengaturannya dimuat dalam Bab VII pada pasal 35
ayat (1), 36 ayat 1) dan pasal 37.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ”harta
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Tidak disebutkan secara
jelas atas jerih payah siapa harta itu diperoleh. Pokoknya harta yang diperoleh
selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik berupa benda
berwujud maupun yang tidak berwujud.
Harta benda yang berwujud dapat meliputi, benda bergerak, benda yang tidak
bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan harta bersama yang tidak berwujud
dapat berupa hak dan kewajiban.
Kalau pasal 36 ayat (1), menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Harta bersama dapat
dipergunakan atau dipakai baik oleh suami maupun oleh istri, untuk kepentingan
apa saja dan berapapun juga banyaknya, asal terdapat persetujuan kedua belah
pihak.
Adapun hak suami dan atau
istri mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah
pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya demikian, mengingat hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dan selaras dengan hak dan kedudukan suami
dalam organisasi kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan
masyarakat dalam hal mana masing-masing berhak untuk melakukanb perbuatan hukum
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, bahwa :
1.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami. Dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
2.
Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ketentuan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) tersebut yang
mendudukkan secara sejajar hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah
tangga maupun masyarakat adalah sangat relevan dengan keberadaan harta bersama,
demikian juga dengan tata kehidupan dalam masyarakat yang dikehendaki dalam
hukum Islam. Dan kesejahteraan hak dan kewajiban suami istri sangat berbeda
dengan ketentuan sebagaimana yang disebutkan burgerlijk wet boek (BW). Terutama dalam pasal 108 dan 110, di mana
dinyatakan kedudukan wanita dalam suatu ikatan perkawinan dianggap dan
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Adapun syarat persetujuan kedua belah pihak yang
dimaksud, secara praktis tidak disebutkan dalam perundang-undangan, berarti
undang-undang menyerahkan kepada masing-masing atau istri untuk merumuskan
persetujuannya.
B. Pengertian Perkawinan Poligami
Ketentuan dalam hukum Islam
mempunyai dasar hukum yang membolehkan perkawinan poligami diterangkan pada
surat Annisa Ayat (3) yang terjemahannya, adalah maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah
seorang saja (Departemen Agama, 1997 : 115).
Menurut ketentuan ayat
tersebut seorang pria boleh mengawini wanita lebih dari seorang yakni dua, tiga
atau empat (poligami) tetapi dengan syarat suami harus dapat berlaku adil
terhadap istri-istrinya, kalau syarat berlaku adil tidak terpenuhi, maka
terkandung di dalamnya termasuk larangan berpoligami.
Ketentuan ayat itu pula
sehingga batas maksimal berpoligami hanya empat orang, sebagaimana disebutkan
dalam pasal 55 ayat (1) kompilasi Hukum islam, dengan berbunyi beristrilah
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang
istri.
Praktek dalam pengadilan
untuk mengetahui apakah seorang suami sanggup berlaku adil atau tidak terlihat
dari surat pernyataan yang dibuat dan atau ditandatangani di muka persidangan
yang terbuka untuk umum yaitu surat pernyataan sanggup berlaku adil (formulir
model Nk 1) apabila seorang suami menolak untuk menandatangani surat pernyataan
tersebut, maka tidak akan diberi izin beristri lebih dari seorang.
C. Syarat Hukum
Poligami
Pelaksanaan poligami tentu mempunyai
ketentuan yang didasari pada pasal 3 ayat (1) Tahun 1974 menyinggung tentang perkawinan monogami dan
poligami bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
memperoleh seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Hanya saja dalam keadaan tertentu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan (suami istri).
Jadi sebagai patokan dasar atau azas
perkawinan adalah perkawinan monogami, sedangkan perkawinan poligami adalah
dispensasi atas azas tersebut dan untuk melakukan poligami harus dengan izin
Pengadilan, meskipun pihak suami istri masing-masing telah memberikan
persetujuan.
Perkawinan poligami, syarat utama tentang
kebolehannya adalah ditentukan oleh apakah hukum dan agama yang bersangkutan
menghendaki atau tidak. Apabila hukum dan agama yang bersangkutan tidak
menghendaki maka undang-undang turut menguatkan sebagai larangan, demikian pula
sebaliknya apabila hukum dan agama yang bersangkutan memperbolehkannya, maka
undang-undang turut memberikan dukungan akan kebolehannya.
Berbeda dengan perkawinan monogami
yang pada waktu tertentu, maka kecuali yang berkaitan dengan larangan pada
undang-undang yang dapat mengakibatkan batal perkawinan demi hukum atau dapat
dibatalkannya suatu perkawinan. Jika dalam perkawinan poligami ditentukan
secara limitatif alasan-alasan kebolehan suami untuk berpoligami sebagai tersebut
dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) PP No. 9
Tahun 1975, yakni :
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
istri
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak
dapat disebuhkan.
- Istri tidak dapat melahirkan.
Sedangkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami disebut dalam
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Alasan-lasana yang tersebut pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun
1974 adalah bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu syarat
terpenuhi,maka telah cukup alasan untuk berpoligami. Sedangkan syarat yang
telah disebutkan pada pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah
bersifat kumulatif, dengan demikian maka semuanya harus terpenuhi. Dengan adanya
ketentuan mengenai alasan-alasan dan syarat-syarat tersebut, maka untuk melakukan
poligami tidak tergantung kepada selera suami semata tetapi juga harus memenuhi
alasan dan persyaratan objektif yang ditentukan di dalam undang-undang, selain
dari pada itu, terdapat pula syarat yang melekat pada perkawinan ini sendiri
yakni disebutkan dalam pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seorang
melarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau susunan istrinya :
a.
Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.
Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka
seorang istri yang akan dimadu membuat atau menandatangani surat pernyataan tidak
keberatan untuk dimadu dengan menyebutkan wanita yang akan menjadi istri kedua
dan seterusnya dan suami yang bersangkutan (formulir Nk. 2).
Larangan dilaksanakan kawin bagi laki-laki,
maka semua larangan kawin sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IV Pasal 39
sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum islam dalam perkawinan monogami, berlaku
pula untuk perkawinan poligami.
Larangan-larangan kawin yang telah
diatur sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.
karena adanya pertalian nasab
2.
karena pertalian kerabat semenda
3.
karena pertalian sesusuan
4.
karena wanita yang dikawini masih terikat dengan
perkawinan dengan pria lain, atau masih dalam masa iddah dengan pria lain, atau
seorang wanita yang tidak beragama Islam.
5.
karena suami sedang mempunyai empat orang istri
6.
karena istri telah dijatuhkan talak tiga atau istri yang
dicerai karena li’an.
Uraian-uraian tersebut disimpulkan,
bahwa :
1.
perkawinan monogami merupakan azas, sedangkan perkawinan poligami
merupakan aturan dispensasi (pengecualian) dari azas perkawinan (Sayuti halib,
1994 : 57).
2.
Di dalam perkawinan monogami relatif tidak disebutkan
alasan-alasan tertentu kecuali alasan yang bersifat subjektif, sedangkan dalam
perkawinan poligami terdapat alasan dan persyaratan tertentu yang bersifat
okjektif.
3.
Di dalam perkawinan monogami, tidak diperlukan putusan
pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang
sedangkan di dalam perkawinan poligaami harus terdapat putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap mengenai dizinkan atau tidaknya suami untuk
berpoligami. Putusan pengadilan tersebut sifatnya adalah imperatif, meskipun pada
hakekatnya istri telah setuju.
D. Harta Bersama
Dalam Perkawinan Poligami
Perkawinan poligami adalah sebagai
permainan perkawinan bagi pria dengan istri lebih dari seorang yang dilakukan
atas dasar izin dari pengadilan yang berwenang, sebagimana disebutkan di dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan batas maksimal 4
(empat) orang istri (pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
Menurut ketentuan dan
Undang-Undang tentang kepemilikan harta bersamaterkait dengan secara langsung
terhadap pasangan suami dengan istri-istrinya, sebagai berikut :
1.
Ketentuan yang mengatur harta bersama dalam perkawinan
poligami, berbeda dengan perkawinan
monogami yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan
poligami dalam keterkaitannya dengan harta bersama diatur secara khusus di
dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam.
Aturan
khusus tersebut berkenaan dengan dua pokok persoalan, yaitu :
a.
Harta bersama seorang suami yang mempunyai istri lebih
dari seorang, dengan maksimal empat orang kedudukannya masing-masing terpisah
dan berdiri sendiri.
b.
Pemilikan harta bersama sebagaimana tersebut terhitung
pada saat berlangsungnnya akad nikah perkawinan kedua dan seterusnya sampai
dengan keempat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani, 1998, Himpunan Perundang-Undangan dan Pertauran Peradilan Agama, PT
Intermasa, Jakarta .
Abdullakdir, Muhamad,
1996, Hukum Acara Perdata Indonesia,
Alumni, Bandung.
Abdul Manan, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Yayasan, Al-Hikmah, Jakarta.
Achmad Rustandi dan Muchjiddin
Effendie, 1999, Komentar Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990, Nusantara Press, bandung.
Andi Hamzah, 2000, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Asro Sosroarmodjo, 1995,
Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan
Bintang, Jakarta.
Daniel S. Lev, 2001, Peradilan Agama Islam di Indonesia,
Intermasa, Jakarta.
Elise T Sulistini, dkk,
2002, Petunjuk Praktis Menyelesaikan
Perkara-Perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta.
Harahap M. Yahya, 1999, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta .
Hazairi, 1994, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tinta
Masa, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, 2000,
Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.
M. Thalib, 2003, Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas,
Surabaya.
Retnowulan Sutantio, dan
Oiskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara
Perdata Dalam teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju.
R. Sumbekti, 1997, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta Jakarta.
R. Soepomo, 1995, Sistem
Hukum di Indonesia, Jembatan, Jakarta.
R. resna, 1995, Komentar HIR, Pradnya Pramita, Jakarta.
Sayuti Thalib, 1996, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas
Indonesia, (UI Press), Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar