Powered By Blogger

Rabu, 12 Oktober 2016

Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Pasca Perceraian di Pengadilan Agama

A.   Pengertian Harta Bersama

                Istilah ”harta bersama” dalam pergaulan hukum masyarakat telah melekat di dalamnya, maka keterlibatan pasangan suami istri di dalam memperolehnya, atau harta yang diperoleh, atau harta yang diperoleh bersama suami istri di dalam memperolehnya, atau harta yang diperoleh bersama suami istri selama perkawinan yang di Jawa disebut ”poligami” di Sunda disebut ”guna kaya”, di Sulawesi Selatan disebut ”cakkare” atau ”beli reso”. Dan di Banjar disebut ”harta perpantangan” (A Hamzah, 1996 : 23).    
                Menurut fiqih Islam ada dua versi pemikiran mengenai eksistensi harta bersama, yaitu pemikiran yang mengakui keberadaannya dan pemikiran yang menyebut harta yang diperoleh selama perkawinan, bukan sebagai harta bersama, tetapi persekutuan ”syarkah”.
                 Pertama tidak dikenal harta bersama kecuali dengan syiarkah, persekutuan ”syarkah”, persetukuan/ kongsi. Berbeda dengan sistem hukum perdata, (Burgerlijk wet boek) dalam hukum Islam tidak dikenal dengan percampuran harta bersama antara suami dan istri karena perkawinan.
                Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri tersebut, demikian  juga dengan harta kekayaan suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Oleh karena itu pula wanita yang bersuami tetap dianggap cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam persoalan apapun termasuk mengurus harta benda suami, sehingga dapat melakukan perbuatan hukum dalam masyarakat. (Djamil Latif, 1998 : 82).
                Latar belakang pemikiran tersebut bertitik tolak dari ketentuan menurut ayat Al-qur’an antara  lain dalam surat An-Nisa ayat 34 yang terjemahnnya :   .   
         Kaum laki-laki adalah pimpinan dari kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-aaki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka (Departemen Agama, 1997 : 123).
    Demikian juga dengan surat At-Talak yat 6 :  

          Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati (mereka) (ibid : 946).
         Oleh karena istri memperoleh perlindungan baik tentang nafkah lahir bathin moril dan materil tempat tinggal, biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, berdasarkan petunjuk ayat-ayat di atas, diperingatkan kepada suami maka suami bertanggungjawab sepenuhnya sebagai kepala keluarga.
         Berarti istri dianggap/ fasiq menerima apa yang datang dari suami, dengan demikian tidak ada harta bersama antara suami istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami kepada istri diluar pembiayaan rumah tangga dan pemeliharaan anak, misalnya hadiah berupa perhiasan yang dipakai, itulah yang menjadi hak istri dan tidak boleh diganggu gugat lagi oleh suami, sedangkan apa yang diusahakan oleh suami seluruhnya menjadi hak milik suami kecuali bila ada ”syiarkah”.   
         Dengan ikatan perkawinan kedudukan istri menjadi sekutu (kongsi) dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Bila harta kekayaan suami istri bersatu karena syiarkah, maka harta tersebut seakan-akan merupakan harta kekayaan tambahan, karena usaha bersama suami istri dilakukan dengan suami istri selama dalam ikatan perkawinan menjadi milik bersama, karena itu jika kelak ternyata  perjanjian  perkawinan terputus, maka harta syirkah tersebut dibagi antara suami istri yang turut serta dalam berusaha dalam syiarkah.
         Kedua adalah pendapat yang paling mutakhir dalam menyatakan bahwa ada harta bersama antara suami dan istri. Pendapat yang kedua ini mengakui bahwa hal-hal yang diatur dalam udang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sepanjang mengenai harta bersama seperti ketentuan dalam Pasal 35, 36 dan 37, sesuai dengan kehendak dan aspirasi hukum islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Bawarah ayat 228 yang terjemahannya:
       ”....  dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” (ibid : 225).
Demikian juga surat An Nissa ayat 21, berbunyi bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, pada hal sebagaimana kamu telah bergaulm (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-suami) telah mengambil dari kami yang kuat (ibid : 120).
         Bertitik tolak dari ayat tersebut dan sesuai pula dengan pendapat Hazairin maupun Sayuthi Thaib (M Idris Ramulyo (1996 : 218), maka menurut Hukum Islam harta yang diperoleh suami istri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau tidak.
         Sekali mereka terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri, maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak. Tidak perlu diiringi dengan syiarkah, sebab suatu perkawinan dengan ”ijab qabul” serta memenuhi persyaratan lainnya, sudah otomatis menurut anggapan hukum ada suatu syiarkah antara suami istri yang bersangkutan (Sayuti Thalib, 1994 : 84).
         Harta bersama dalam undang-undang No. 1 Tanun 1974 pengaturannya dimuat dalam Bab VII pada pasal 35 ayat (1), 36 ayat 1) dan pasal 37.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ”harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
          Tidak disebutkan secara jelas atas jerih payah siapa harta itu diperoleh. Pokoknya harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik berupa benda berwujud  maupun yang tidak berwujud. Harta benda yang berwujud dapat meliputi, benda bergerak, benda yang tidak bergerak dan surat-surat berharga, sedangkan harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
Kalau pasal 36 ayat (1), menyatakan bahwa mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
        Harta bersama dapat dipergunakan atau dipakai baik oleh suami maupun oleh istri, untuk kepentingan apa saja dan berapapun juga banyaknya, asal terdapat persetujuan kedua belah pihak.
          Adapun hak suami dan atau istri mempergunakan atau memakai harta bersama ini dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya demikian, mengingat hak dan kedudukan istri adalah seimbang dan selaras dengan hak dan kedudukan suami dalam organisasi kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam lingkungan masyarakat dalam hal mana masing-masing berhak untuk melakukanb perbuatan hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa :
1.        Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2.        Masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Ketentuan dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) tersebut yang mendudukkan secara sejajar hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat adalah sangat relevan dengan keberadaan harta bersama, demikian juga dengan tata kehidupan dalam masyarakat yang dikehendaki dalam hukum Islam. Dan kesejahteraan hak dan kewajiban suami istri sangat berbeda dengan ketentuan sebagaimana yang disebutkan burgerlijk wet boek (BW). Terutama dalam pasal 108 dan 110, di mana dinyatakan kedudukan wanita dalam suatu ikatan perkawinan dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Adapun syarat persetujuan kedua belah pihak yang dimaksud, secara praktis tidak disebutkan dalam perundang-undangan, berarti undang-undang menyerahkan kepada masing-masing atau istri untuk merumuskan persetujuannya.

B.   Pengertian Perkawinan Poligami
         Ketentuan dalam hukum Islam mempunyai dasar hukum yang membolehkan perkawinan poligami diterangkan pada surat Annisa Ayat (3) yang terjemahannya, adalah maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut  tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja (Departemen Agama, 1997 : 115).
         Menurut ketentuan ayat tersebut seorang pria boleh mengawini wanita lebih dari seorang yakni dua, tiga atau empat (poligami) tetapi dengan syarat suami harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, kalau syarat berlaku adil tidak terpenuhi, maka terkandung di dalamnya termasuk larangan berpoligami.
          Ketentuan ayat itu pula sehingga batas maksimal berpoligami hanya empat orang, sebagaimana disebutkan dalam pasal 55 ayat (1) kompilasi Hukum islam, dengan berbunyi beristrilah lebih dari satu orang pada waktu bersamaan terbatas hanya sampai empat orang istri.
         Praktek dalam pengadilan untuk mengetahui apakah seorang suami sanggup berlaku adil atau tidak terlihat dari surat pernyataan yang dibuat dan atau ditandatangani di muka persidangan yang terbuka untuk umum yaitu surat pernyataan sanggup berlaku adil (formulir model Nk 1) apabila seorang suami menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut, maka tidak akan diberi izin beristri lebih dari seorang.

C.  Syarat Hukum Poligami
         Pelaksanaan poligami tentu mempunyai ketentuan yang didasari pada pasal 3 ayat (1) Tahun 1974  menyinggung tentang perkawinan monogami dan poligami bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memperoleh seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Hanya saja dalam keadaan tertentu Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (suami istri).
         Jadi sebagai patokan dasar atau azas perkawinan adalah perkawinan monogami, sedangkan perkawinan poligami adalah dispensasi atas azas tersebut dan untuk melakukan poligami harus dengan izin Pengadilan, meskipun pihak suami istri masing-masing telah memberikan persetujuan.
       Perkawinan poligami, syarat utama tentang kebolehannya adalah ditentukan oleh apakah hukum dan agama yang bersangkutan menghendaki atau tidak. Apabila hukum dan agama yang bersangkutan tidak menghendaki maka undang-undang turut menguatkan sebagai larangan, demikian pula sebaliknya apabila hukum dan agama yang bersangkutan memperbolehkannya, maka undang-undang turut memberikan dukungan akan kebolehannya.
         Berbeda dengan perkawinan monogami yang pada waktu tertentu, maka kecuali yang berkaitan dengan larangan pada undang-undang yang dapat mengakibatkan batal perkawinan demi hukum atau dapat dibatalkannya suatu perkawinan. Jika dalam perkawinan poligami ditentukan secara limitatif alasan-alasan kebolehan suami untuk berpoligami sebagai tersebut dalam pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (a) PP No. 9 Tahun 1975, yakni :
  1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
  2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disebuhkan.
  3. Istri tidak dapat melahirkan.
         Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seluruhnya oleh seorang suami untuk melakukan poligami disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu :
  1. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
  2. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Alasan-lasana yang tersebut pada pasal 4 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 adalah bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu syarat terpenuhi,maka telah cukup alasan untuk berpoligami. Sedangkan syarat yang telah disebutkan pada pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bersifat kumulatif, dengan demikian maka semuanya harus terpenuhi. Dengan adanya ketentuan mengenai alasan-alasan dan syarat-syarat tersebut, maka untuk melakukan poligami tidak tergantung kepada selera suami semata tetapi juga harus memenuhi alasan dan persyaratan objektif yang ditentukan di dalam undang-undang, selain dari pada itu, terdapat pula syarat yang melekat pada perkawinan ini sendiri yakni disebutkan dalam pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, seorang melarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susunan istrinya :
a.    Saudara kandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b.    Wanita dengan bibinya atau kemanakannya.
         Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang istri yang akan dimadu membuat atau menandatangani surat pernyataan tidak keberatan untuk dimadu dengan menyebutkan wanita yang akan menjadi istri kedua dan seterusnya dan suami yang bersangkutan (formulir Nk. 2).
         Larangan dilaksanakan kawin bagi laki-laki, maka semua larangan kawin sebagaimana yang disebutkan di dalam Bab IV Pasal 39 sampai dengan pasal 44 Kompilasi Hukum islam dalam perkawinan monogami, berlaku pula untuk perkawinan poligami.
         Larangan-larangan kawin yang telah diatur sesuai dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.    karena adanya pertalian nasab
2.    karena pertalian kerabat semenda
3.    karena pertalian sesusuan
4.    karena wanita yang dikawini masih terikat dengan perkawinan dengan pria lain, atau masih dalam masa iddah dengan pria lain, atau seorang wanita yang tidak beragama Islam.
5.    karena suami sedang mempunyai empat orang istri
6.    karena istri telah dijatuhkan talak tiga atau istri yang dicerai karena li’an.
         Uraian-uraian tersebut disimpulkan, bahwa :
1.        perkawinan monogami merupakan azas, sedangkan perkawinan poligami merupakan aturan dispensasi (pengecualian) dari azas perkawinan (Sayuti halib, 1994 : 57).
2.        Di dalam perkawinan monogami relatif tidak disebutkan alasan-alasan tertentu kecuali alasan yang bersifat subjektif, sedangkan dalam perkawinan poligami terdapat alasan dan persyaratan tertentu yang bersifat okjektif.
3.        Di dalam perkawinan monogami, tidak diperlukan putusan pengadilan, kecuali dalam hal-hal tertentu yang disebutkan dalam Undang-Undang sedangkan di dalam perkawinan poligaami harus terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai dizinkan atau tidaknya suami untuk berpoligami. Putusan pengadilan tersebut sifatnya adalah imperatif, meskipun pada hakekatnya istri telah setuju.           
     
D.  Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami
             Perkawinan poligami adalah sebagai permainan perkawinan bagi pria dengan istri lebih dari seorang yang dilakukan atas dasar izin dari pengadilan yang berwenang, sebagimana disebutkan di dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan batas maksimal 4 (empat) orang istri (pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
                Menurut ketentuan dan Undang-Undang tentang kepemilikan harta bersamaterkait dengan secara langsung terhadap pasangan suami dengan istri-istrinya, sebagai berikut :
1.    Ketentuan yang mengatur harta bersama dalam perkawinan poligami,  berbeda dengan perkawinan monogami yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka perkawinan poligami dalam keterkaitannya dengan harta bersama diatur secara khusus di dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam.
Aturan khusus tersebut berkenaan dengan dua pokok persoalan, yaitu :
a.     Harta bersama seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dengan maksimal empat orang kedudukannya masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

b.     Pemilikan harta bersama sebagaimana tersebut terhitung pada saat berlangsungnnya akad nikah perkawinan kedua dan seterusnya sampai dengan keempat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani, 1998, Himpunan Perundang-Undangan dan Pertauran Peradilan Agama, PT Intermasa, Jakarta.

Abdullakdir, Muhamad, 1996, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung.  

Abdul Manan, 2000, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Yayasan, Al-Hikmah, Jakarta.

Achmad Rustandi dan Muchjiddin Effendie, 1999, Komentar Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990, Nusantara Press, bandung.

Andi Hamzah, 2000, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Asro Sosroarmodjo, 1995, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta.

Daniel S. Lev, 2001, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Intermasa, Jakarta.

Elise T Sulistini, dkk, 2002, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-Perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta.

Harahap M. Yahya, 1999, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Gramedia, Jakarta.

Hazairi, 1994, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Tinta Masa, Jakarta.

Hilman Hadikusuma, 2000, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung.

M. Thalib, 2003, Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.

Retnowulan Sutantio, dan Oiskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju.

R. Sumbekti, 1997, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta  Jakarta.

R. Soepomo, 1995, Sistem Hukum di Indonesia, Jembatan, Jakarta.

R. resna, 1995, Komentar HIR, Pradnya Pramita, Jakarta.

Sayuti Thalib, 1996, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, (UI Press), Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar