Fiscal stress merupakan tekanan
anggran yang terjadi akibat keterbatasan penerimaan daerah yang dapat
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap penerimaan daerah. Dimana tekanan
fiscal (fiscal stress) menjadi semakin tinggi dikarenakan adanya tuntutan
peningkatan kemandirian yang ditujukan dengan meningkatnya penerimaan sendiri
untuk membiayai berbagai pengeluaran yang ada. Ketersediaan sumber-sumber daya
daerah potensial dan kesiapan daerah menjadi faktor penting keberhasilan dalam
era otonomi. Menurut (Sobel dan Holcombe, 1996 dalam Adi dan Setyawan, 2008),
mengemukakan bahwa terjadinya kerisis keuangan disebabkan tidak cukupnya
penerimaan atau pendapatan dalam memenuhi kebutuhan pengeluaran. Daerah-daerah
yang tidak memiliki kesiapan dalam era otonomi bisa mengalami hal yang sama,
dimana tekanan fiscal (fiscal stress) yang menjadi semakin tinggi.
Salah
satu aspek dari pemerintah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Seperti yang diketahui,
anggaran daerah adalah rencana kerja pemerintah daerah dalam bentuk uang
(rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun). Anggaran daerah atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang
utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrument kebijakan, anggaran daerah
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan
sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu
pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otoritas pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembagan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotifasi
pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja.
Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya
difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang
menjadi proritas dan preferensi daerah yang bersangkutan.
Dengan
diberlakukannya undang-undang otonomi daerah dan di berlakukannya Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang
kemudian disempurnakan kembali dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 pada
tanggal 15 september 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 januari 2010.
Undang-Undang ini lahir dengan mempertimbangkan bahwa Undang-Undang No.18, tahun
1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 34, Tahun 2000 perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi
daerah.
Hal-hal
yang menjadi latar belakang dilaksanakan reformasi dalam Undang-Undang PDRD
dapat dilihat pada penjelasan Undang-Undang
No. 28 tahun 2009. Dalam bagian umum penjelasan tersebut dinyatakan
bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah
Kabupaten dan Kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan
efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menempatkan Pajak sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian,
pungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Pemberian
kewenangan yang semakin besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
dan pelayanan kepada masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan
yang besar pula dalam perpajakan dan Retribusi Daerah.
Basis
pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas dan tidak adanya kewenangan provinsi
dalam penetapan tarif pajak mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan pengeluarannya.
(Shamsub & Akoto, 2004 dalam Adi dan
Setyawan, 2008) mengelompokkan penyebab
timbulnya Fiscal Stress ke dalam tiga kelompok, yaitu;
1.
Menekankan
bahwa peran siklus ekonomi dapat menyebabkan Fiscal Stress. Penyebab utama
terjadinya Fiscal Stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang
menurun dan resesi.
2.
Menekankan
bahwa ketiadaan persaingan bisnis dan kemunduran Industri sebagai penyebab
utama timbulnya Fiscal Stress. YU dan
Korman (1987) dalam (shamsub &
Akoto, 2004) menemukan bahwa kemunduran Industri menjadikan berkurangnya hasil
pajak tetapi pelayanan jasa meningkat, hal ini dapat menyebabkan Fiscal Stress.
3.
Menerangkan
Fiscal Stress sebagai fungsi politik dan factor-faktor keuangan yang tidak
terkontrol. Ginsberg dalam (shamsub
& Akoto, 2004) menunjukkan bahwa sebagian dari peran ketidak efisienan
biriokrasi, korupsi, gaji yang tinggi untuk pegawai, dan tingginya belanja
untuk kesejahteraan sebagai penyebab Fiscal Stress.
Ketergantungan
daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal
kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah tidak terdorong untuk
mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat tidak ingin mengontrol
anggaran daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak dan Retribusi.
Otonomi daerah menuntut daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
seiring dengan peningkatan kemandirian, daerah diharapkan mampu melepaskan
(atau paling mengurangi) ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dalam era
ini idealnya menjadi komponen utama pembiayaan daerah. Pada saat Fiscal Stress
tinggi, pemerintah daerah cenderung menggali potensi penerimaan pajak untuk meningkatkan
penerimaan daerahnya (shamsud & Akoto, 2004 dalam Adi dan Setyawan, 2008). Oleh karena itu,
tingginya angka upaya pajak dapat diidentikkan dengan kondisi Fiscal stress. Upaya
pajak (Tax Effrot) adalah upaya peningkatan pajak daerah yang diukur melalui
pebandingan hasil penerimaan (realisasi) sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) dengan potensi sumber-sumber pendapatan asli daerah. Tax effort menunjukkan upaya pemerintah untuk mendapatkan
pendapatan bagi daerahnya dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki.
Potensi dalam pengertian ini adalah seberapa besar target yang di tetapkan
pemerintah daerah dapat dicapai dalam tahun anggaran daerah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar