Powered By Blogger

Sabtu, 10 November 2018

Kemandirian Keuangan Daerah



Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa “kemandirian keuangan daerah berarti pemerintah dapat melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri, dalam rangka asas desentralisasi”.
Pengertian kemandirian keuangan daerah dikemukan oleh Halim (2008:232) sebagai berikut:
“Kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.”
Kemandirian keuangan daerah sendiri ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain misalnya, bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya secara efektif dan efisien sebagai sunber utama keuangan daerah yang berguna untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah.
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Pemberian otonomi kepada daerah dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui kemandirian yang dilakukan daerah dengan mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi yang serta diharapkan dengan diselenggarakannya otonomi daerah, semua daerah dalam melakukan urusan daerah baik itu urusan pemerintahan maupun urusan dalam pembangunan dapat mengadalkan keuangan daerah masing-masing yaitu pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa indikator untuk mewujudkan kemandirian daerah diukur melalui PAD.
Halim (2008) mengemukakan bahwa “Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Berdasarkan pengertian tersebut, maka untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah dapat dirumuskan sebagai berikut:

 X 100%

Indikator kemandirian keuangan daerah ini diukur dengan menggunakan rasio pendapatan asli daerah dibagi dengan total pendapatan daerah. Mengetahui kemandirian keuangan daerah ini dapat menunjukkan seberapa besar local taxing power suatu daerah, serta seberapa besar kemampuan PAD dalam mendanai belanja daerah yang dianggarkan untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Rasio akan menunjukkan tingkat kesehatan semakin baik bila terus meningkat, akan tetapi perlu diperhatikan pula bila terjadi kenaikan secara kontinyu atas pendapatan bunga, karena hal tersebut dapat diartikan terdapat peningkatan dana pemda yang disimpan dalam bank dan tidak dibelanjakan (DJPK, 2011). Rasio kemandirain keuangan daerah ini apabila hasil semakin tinggi maka akan semakin kecil angka ketergantungan daerah terhadap pihak lain (pemerintah pusat khususnya) dan berlaku sebaliknya.
Rasio kemandirian dapat pula untuk menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Apabila semakin tingggi rasio kemandirian, maka semakin tinggi pula partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah sehingga akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard (dalam Halim 2001 :168) mengemukakan hubungan tentang pemerintahan pusat dengan daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah, yang paling utama yaitu mengenai hubungan pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan atara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yaitu :
1.       Pola Hubungan Instruktif, merupakan perenan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial).
2.       Pola Hubungan Konsultatif, merupakan campur tangan pemerintah pusat yang sudah mulai berkurang serta lebih banyak memberikan konsultasi, hal ini dikarenakan daerah dianggap sedikit lebih dapat untuk melaksanakan otonomi daerah.
3.       Pola Hubungan Partisipatif, merupakan pola dimana peranan pemerintah pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan telah mendekati mampu dalam melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi akan beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat.
4.       Pola Hubungan Delegatif, merupakan campur tangan pemerintah pusat yang sudah tidak ada lagi karena daerah telah mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah Pusat akan selalu siap dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daaerah.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kemandirian Keuangan
Daerah
Dalam upaya untuk kemandirian daerah, tampaknya PAD (indicator kemandirian keuangan daerah) masih belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena beberapa alasan, yaitu:
1.       Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah,
2.       Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah,
3.       Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah,
4.       Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.

Tangkilisan (2007:89-92) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain:
1.       Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2.       Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan daerah dapat ditingkatkan secara terencana melaluikemampuan atau kinerja institusi atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga Dispenda untuk meningkatkan penerimaan daerah.

Merujuk pada teori yang telah dikemukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah adalah potensi daerah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar