Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah
Sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa “kemandirian keuangan
daerah berarti pemerintah dapat melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban
keuangan sendiri, melaksanakan sendiri, dalam rangka asas desentralisasi”.
Pengertian
kemandirian keuangan daerah dikemukan oleh Halim (2008:232) sebagai berikut:
“Kemandirian keuangan
daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.”
Kemandirian keuangan
daerah sendiri ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain misalnya,
bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah
kemampuan pemerintah daerah dalam menggali dan mengelola
sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya secara efektif dan efisien
sebagai sunber utama keuangan daerah yang berguna untuk membiayai kegiatan
penyelenggaraan pemerintah daerah.
Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah
Pemberian otonomi
kepada daerah dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui
kemandirian yang dilakukan daerah dengan mengatur serta mengurus sendiri urusan
pemerintahannya berdasarkan asas otonomi yang serta diharapkan dengan
diselenggarakannya otonomi daerah, semua daerah dalam melakukan urusan daerah
baik itu urusan pemerintahan maupun urusan dalam pembangunan dapat mengadalkan
keuangan daerah masing-masing yaitu pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa indikator untuk mewujudkan
kemandirian daerah diukur melalui PAD.
Halim (2008)
mengemukakan bahwa “Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya
pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari
sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan
daerah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Indikator kemandirian keuangan daerah ini diukur dengan menggunakan rasio pendapatan asli daerah dibagi dengan total pendapatan daerah. Mengetahui kemandirian keuangan daerah ini dapat menunjukkan seberapa besar local taxing power suatu daerah, serta seberapa besar kemampuan PAD dalam mendanai belanja daerah yang dianggarkan untuk memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Rasio akan menunjukkan tingkat
kesehatan semakin baik bila terus meningkat, akan tetapi perlu diperhatikan
pula bila terjadi kenaikan secara kontinyu atas pendapatan bunga, karena hal
tersebut dapat diartikan terdapat peningkatan dana pemda yang disimpan dalam
bank dan tidak dibelanjakan (DJPK, 2011). Rasio kemandirain keuangan daerah ini
apabila hasil semakin tinggi maka akan semakin kecil angka ketergantungan
daerah terhadap pihak lain (pemerintah pusat khususnya) dan berlaku sebaliknya.
Rasio kemandirian
dapat pula untuk menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah. Apabila semakin tingggi rasio kemandirian, maka semakin tinggi pula
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah sehingga akan
menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi.
Pola Hubungan Kemandirian Keuangan Daerah
Paul Hersey dan
Kenneth Blanchard (dalam Halim 2001 :168) mengemukakan hubungan tentang
pemerintahan pusat dengan daerah dalam melaksanakan kebijakan otonomi daerah,
yang paling utama yaitu mengenai hubungan pelaksanaan undang-undang tentang
perimbangan keuangan atara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yaitu :
1. Pola Hubungan Instruktif, merupakan perenan pemerintah pusat lebih
dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan
otonomi daerah secara finansial).
2. Pola Hubungan Konsultatif, merupakan campur tangan pemerintah
pusat yang sudah mulai berkurang serta lebih banyak memberikan konsultasi, hal
ini dikarenakan daerah dianggap sedikit lebih dapat untuk melaksanakan otonomi
daerah.
3. Pola Hubungan Partisipatif, merupakan pola dimana peranan
pemerintah pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian
daerah otonom bersangkutan telah mendekati mampu dalam melaksanakan urusan
otonomi. Peran pemberian konsultasi akan beralih ke peran partisipasi
pemerintah pusat.
4. Pola Hubungan Delegatif, merupakan campur tangan pemerintah pusat
yang sudah tidak ada lagi karena daerah telah mampu dan mandiri dalam
melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah Pusat akan selalu siap dengan
keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daaerah.
Faktor-faktor yang
Memengaruhi Kemandirian Keuangan
Daerah
Dalam upaya untuk
kemandirian daerah, tampaknya PAD (indicator kemandirian keuangan daerah) masih
belum dapat diandalkan sebagai sumber pembiayaan desentralisasi karena beberapa
alasan, yaitu:
1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah,
2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah,
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah,
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan yang masih rendah.
Tangkilisan
(2007:89-92) mengemukakan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian keuangan daerah, antara lain:
1. Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai
tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2. Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan
daerah dapat ditingkatkan secara terencana melaluikemampuan atau kinerja
institusi atau lembaga yang inovatif dan pemanfaatan lembaga Dispenda untuk
meningkatkan penerimaan daerah.
Merujuk pada teori
yang telah dikemukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang
mempengaruhi kemandirian keuangan daerah adalah potensi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar