Powered By Blogger

Sabtu, 10 November 2018

PROSES PENYUSUNAN ANGGRAN DAERAH DI INDONESIA



Pendekatan penganggaran tradisional berorientasi pada input, dimana pengukuran kinerja dinilai berdasar kemampuan mesin birokrasi menyerap anggaran. Titik tekannya terletak pada pengeluaran anggaran publik harus disesuaikan dengan peraturan dan berbagai prosedur yang berlaku. Sedangkan mengenai tujuan (output), tidak menjadi pokok perhatian (Saragih, 2003; Yustika, 2012; Mardiasmo, 2005). Pada pendekatan tradisional juga sangat menekankan pada pengawasan pengeluaran yang dibuktikan melalui berbagai catatan/bukti transaksi. Laporan kegiatan biasanya tidak melampirkan realisasi kegiatan apakah tercapai atau tidak. Di sisi lain, pola tradisional ini mendorong kecenderungan birokrasi untuk melakukan pembesaran biaya (mark-up). Tidak ketinggalan adalah kecenderungan untuk menghabiskan sisa anggaran di akhir tahun.

Mulai tahun 2005 kemudian lahir pola baru pendekatan penganggaran. Di bawah payung besar Madzhab Manajemen Publik Baru, lahirlah pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (performance budgeting). Penganggaran berbasis kinerja merupakan jawaban atas kelemahan pendekatan tradisional. Titik tekannya pada upaya pencapaian hasil kerja (output). Oleh karenanya, setiap alokasi dana harus dapat diukur hasil yang hendak dicapai dan input yang telah ditetapkan sebelumnya; Sehingga keberhasilan pelaksanaan anggaran dinilai berdasarkan capaian kinerja, bukan pada penyerapan dana dalam suatu pelaksanaan program (Kumorotomo, 2005).

Dalam penyerapan anggaran tersebut, penganggaran berbasis kinerja memperhatikan value for money. Orientasi logis terletak pada pencapaian hasil melalui perencanaan rasional untuk mencapai efektivitas dan efisiensi. Sehingga penganggaran berbasis kinerja erat kaitannya dengan proses perencanaan yang dibuat oleh organisasi.
Perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks perencanaan pembangunan pemerintahan, maka penyusunannya terutama berpedoman pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sementara itu, penganggaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menyusun sebuah anggaran; dan anggaran (APBD) dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Mulyana, 2010).

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenanya output dari perencanaan adalah penganggaran. Perumusan program di dalam perencanaan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan, sehingga keberhasilan penggunaan anggaran dimulai dari perencanaannya.

Di dalam pasal 1, PP No. 58 Tahun 2005 dinyatakan bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Aktivitas perencanaan dan penganggaran dapat dikatakan sebagai tahapan paling krusial dan kompleks dibandingkan dengan aktivitas lainnya di dalam konteks pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa alasan berikut (Mulyana, 2010):

a. Perencanaan (termasuk penganggaran) merupakan tahap awal dari
serangkaian aktivitas (siklus) pengelolaan keuangan daerah, sehingga apabila perencanaan yang dibuat tidak baik, misalnya program/kegiatan yang direncanakan tidak tepat sasaran, maka kita tidak dapat mengharapkan suatu keluaran ataupun hasil yang baik/tepat sasaran.
b. Perencanaan melibatkan aspirasi semua pihak pemangku kepentingan pembangunan (stakeholders) baik masyarakat, pemerintah daerah itu sendiri dan pemerintah yang lebih tinggi (propinsi dan pusat) yang dilakukan melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai dari tingkat kelurahan/desa, dilanjutkan di tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, sampai di tingkat propinsi dan nasional untuk menyerasikan antara perencanaan pemerintah kabupaten/ kota/propinsi dan pemerintah pusat (perencanaan nasional).
c. Perencanaan Daerah disusun dalam spektrum jangka panjang (20 tahun) yang disebut RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah); jangka menengah (5 tahun) yang disebut RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah); dan jangka pendek (satu tahun) yang disebut RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah).
d. Penyusunan APBD harus dibahas bersama oleh pemerintah daerah dengan DPRD dan setelah disetujui bersama kemudian harus dievaluasi oleh pemerintahan yang lebih tinggi.
e. Anggaran memiliki fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Setelah tahap perencanaan dan penganggaran selesai dilaksanakan, tahap berikutnya merupakan domain pemerintah daerah selaku eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan, penatausahaan, dan pengawasan dan akhirnya ditutup dengan tahap pertanggungjawaban. Kesimpulannya adalah bahwa semua tahap dalam siklus pengelolaan keuangan daerah saling terkait erat dan setiap tahap tentunya memegang peranan penting dalam menyukseskan pengelolaan keuangan daerah yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel.

Khusus mengenai pertanggung jawaban anggaran, kepala daerah selaku pihak eksekutif harus mempertanggung jawabkan segala pengelolaan anggarannya kepada pemerintah pusat dalam bentuk pelaporan keuangan daerah, dan juga menyampaikannya kepada pihak legislatif. Pemerintahan daerah dalam menggunakan dan mengelola anggaran tidak perlu khawatir akan tersandung kasus pidana, sebab Bapak Kapolri kita sudah jelas menyatakan bahwa apabila ada miss atau terdapat perbedaan penggunaan anggaran dengan realisasi di lapangan maka hal tersebut tidak serta merta masuk dalam pelanggaran pidana karena dianggap korupsi. Bapak Kapolri pun lebih lanjut mengatakan bahwa hal itu masuk dalam ranah undang-undang administrasi. Presiden SBY sewaktu masih menjabat sebagai Presiden RI jelas-jelas mengatakan bahwa yang namanya kebijakan pengelolaan anggaran tidak bisa dipidanakan. Dengan kata lain tidak akan tersandung kasus pidana oleh KPK dan Kepolisian. Kecuali jika memang ada bukti kuat yang menyatakan bahwa telah terjadi kasus korupsi oleh pejabat daerah selaku pengelola dan penanggungjawab anggaran.
Untuk itu kesadaran hukum dan administrasi keuangan harus dimiliki oleh setiap pejabat daerah. Dengan kata lain kepala daerah dan jajarannya tidak hanya berpatokan pada gelar yang dimiliki dalam mengelola keuangan daerah. Pejabat daerah tersebut harus memiliki multiple skill yang memadai dalam mengelola keuangan daerahnya dan dapat merumuskan program-program pelaksanaan anggaran yang benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat. Tidak lupa yang jauh lebih penting adalah pentingnya koordinasi dan kesamaan persepsi antar bagian dalam mengelola anggaran keuangan daerah tersebut.
Dengan disahkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerinthan daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan  antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah berdampak sangat luas terhadap tata pemerinthan di daerah dan pengelolaan keuangan antara pemerintah pusan dan pemerinta daerah. Undang-undang tersebut memberikan peluang kepada masayarakat untuk memberikan masukan terhadap penyusunan rencana keuangan daerah. Oleh karena itu penentu dana perimbangan, prinsip proporsional, adil, transparan, dan pertanggungjawaban sangat diperhatikan.
Dampak lain diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiscal adalah perubahan pola pertanggungjawaban daerah terhadap pengalokasian dana yang dimiliki. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bersifat horizontal, yaitu pertanggungjawaban kepada masyarakat dan lembaga legislative (UU No 17 Tahun 2003).
Penyusunan APBD dilakukan dengan lebih dahulu eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijkan Umum APBD dan prioritas & Plafon anggran yang kan menjadi pedoman untuk menyusun anggran pendapatan dan anggran belanja, yang kemudian diserahkan kepada legislative untuk dipelajari dan dibahas bersma-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Permendagri No.13 Tahun 2006).
Anggaran merupakan elemen sistem pengendalian manajemen yang berfungsi sebagai alat perencanaan dan pengendalian agar manajer dapat melaksanakan kegiatan organisasi secara lebih efektif dan efisien (Mulyana, 2010). Sebagai alat perencanaan, anggaran merupakan rencana kegiatan yang terdiri dari sejumlah target yang akan dicapai oleh para manajer departemen suatu perusahaan dalam melaksanakan serangkaian kegiatan tertentu pada masa yang akan datang. Anggaran digunakan oleh manajer tingkat atas sebagai suatu alat untuk melaksanakan tujuan-tujuan organisasi kedalam dimensi kuantitatif dan waktu, serta mengkomunikasikannya kepada manajer-manajer tingkat bawah sebagai rencana kerja jangka panjang maupun jangka pendek. Sasaran anggaran dapat dicapai melalui pelaksanaan serangkaian aktifitas yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bantuk angggaran.

Proses penyusunan anggaran melibatkan banyak pihak, mulai dari manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah. Anggaran mempunyai dampak langsung terhadap perilaku manusia terutama bagi orang yang langsung terlibat dalam penyusunan anggaran (Yustika, 2012; Mardiasmo, 2005). Untuk menghasilkan sebuah aggaran yang efektif, manajer membutuhkan kemampuan untuk memprediksi masa depan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti faktor lingkungan, partisipasi dan gaya penyusunan. Pada saat bawahan memberikan perkiraan yang bias kepada atasan, timbul kesenjangan anggaran (budgetary slack).

Sistem Anggaran memiliki fungsi manajerial yang meliputi perencanaan, koordinasi, evaluasi (pengendalian), dan umpan balik. Terkait dengan fungsi manajerial maka antara satu komponen anggaran dengan komponen anggaran lain memiliki time sequence. Efektivitas anggaran tidak hanya tergantung satu komponen saja tetapi keberhasilan anggaran dipengaruhi oleh perpaduan dan interdependensi antar komponen anggaran.

Prosedur anggaran terdiri dari tahap proses penyusunan anggaran untuk menentukan target dan sasaran anggaran, revisi anggaran, pengendalian (evaluasi) anggaran dan umpan balik. Kebijakan dalam prosedur anggaran tersebut antara lain: pada tahap penyusunan anggaran terkait dengan tingkat partisipasi dalam proses penyusunan anggaran.

Terkait dengan fungsi manajerial, anggaran sebagai alat perencanaan dimanifestasikan dalam proses penyusunan anggaran (Mahmudi, 2005). Fungsi koordinasi tercermin dalam tahapan revisi anggaran. Pada tahapan revisi anggaran akan diketahui bahwa pelaksanaan anggaran antara satu divisi dengan yang lain dapat saling overlap serta tercapai atau tidaknya sasaran yang ditentukan. Dalam prosedur revisi juga dapat diketahui apakah asumsi anggaran yang telah ditetapkan pada saat penyusunan anggaran tidak berubah karena faktor internal maupun eksternal.

Sedangkan fungsi anggaran sebagai alat pengendalian ditunjukkan dalam tahapan evaluasi anggaran. Pengendalian merupakan suatu upaya yang ditujukan agar pelaksanaan anggaran tidak menyimpang dari tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan secara periodik seperti mingguan dan bulanan merupakan bagian dari pengendalian karena evaluasi bulan ini merupakan pengendalian di bulan berikutnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar