Pendekatan penganggaran tradisional berorientasi pada
input, dimana pengukuran kinerja dinilai berdasar kemampuan mesin birokrasi
menyerap anggaran. Titik tekannya terletak pada pengeluaran anggaran publik harus
disesuaikan dengan peraturan dan berbagai prosedur yang berlaku. Sedangkan
mengenai tujuan (output), tidak menjadi pokok perhatian (Saragih, 2003;
Yustika, 2012; Mardiasmo, 2005). Pada pendekatan tradisional juga sangat
menekankan pada pengawasan pengeluaran yang dibuktikan melalui berbagai
catatan/bukti transaksi. Laporan kegiatan biasanya tidak melampirkan realisasi
kegiatan apakah tercapai atau tidak. Di sisi lain, pola tradisional ini
mendorong kecenderungan birokrasi untuk melakukan pembesaran biaya (mark-up).
Tidak ketinggalan adalah kecenderungan untuk menghabiskan sisa anggaran di
akhir tahun.
Mulai tahun 2005 kemudian lahir pola baru pendekatan
penganggaran. Di bawah payung besar Madzhab Manajemen Publik Baru, lahirlah
pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (performance budgeting). Penganggaran
berbasis kinerja merupakan jawaban atas kelemahan pendekatan tradisional. Titik
tekannya pada upaya pencapaian hasil kerja (output). Oleh karenanya, setiap
alokasi dana harus dapat diukur hasil yang hendak dicapai dan input yang telah
ditetapkan sebelumnya; Sehingga keberhasilan pelaksanaan anggaran dinilai
berdasarkan capaian kinerja, bukan pada penyerapan dana dalam suatu pelaksanaan
program (Kumorotomo, 2005).
Dalam penyerapan anggaran tersebut, penganggaran berbasis
kinerja memperhatikan value for money. Orientasi logis terletak pada pencapaian
hasil melalui perencanaan rasional untuk mencapai efektivitas dan efisiensi.
Sehingga penganggaran berbasis kinerja erat kaitannya dengan proses perencanaan
yang dibuat oleh organisasi.
Perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk
menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam konteks perencanaan
pembangunan pemerintahan, maka penyusunannya terutama berpedoman pada UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Sementara itu,
penganggaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menyusun sebuah
anggaran; dan anggaran (APBD) dapat diartikan sebagai rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah
dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah (Mulyana, 2010).
Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang
terintegrasi, oleh karenanya output dari perencanaan adalah penganggaran.
Perumusan program di dalam perencanaan pada akhirnya berimplikasi pada besarnya
kebutuhan anggaran yang harus disediakan, sehingga keberhasilan penggunaan
anggaran dimulai dari perencanaannya.
Di dalam pasal 1, PP No. 58 Tahun 2005 dinyatakan bahwa
pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan
pengawasan keuangan daerah. Aktivitas perencanaan dan penganggaran dapat dikatakan
sebagai tahapan paling krusial dan kompleks dibandingkan dengan aktivitas
lainnya di dalam konteks pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa alasan berikut (Mulyana, 2010):
a. Perencanaan (termasuk penganggaran) merupakan tahap awal
dari
serangkaian aktivitas (siklus) pengelolaan keuangan
daerah, sehingga apabila perencanaan yang dibuat tidak baik, misalnya
program/kegiatan yang direncanakan tidak tepat sasaran, maka kita tidak dapat
mengharapkan suatu keluaran ataupun hasil yang baik/tepat sasaran.
b. Perencanaan melibatkan aspirasi semua pihak pemangku
kepentingan pembangunan (stakeholders) baik masyarakat, pemerintah daerah itu
sendiri dan pemerintah yang lebih tinggi (propinsi dan pusat) yang dilakukan
melalui forum musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) mulai dari
tingkat kelurahan/desa, dilanjutkan di tingkat kecamatan, tingkat
kabupaten/kota, sampai di tingkat propinsi dan nasional untuk menyerasikan
antara perencanaan pemerintah kabupaten/ kota/propinsi dan pemerintah pusat
(perencanaan nasional).
c. Perencanaan Daerah disusun dalam spektrum jangka
panjang (20 tahun) yang disebut RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Daerah); jangka menengah (5 tahun) yang disebut RPJMD (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah); dan jangka pendek (satu tahun) yang disebut RKPD
(Rencana Kerja Pembangunan Daerah).
d. Penyusunan APBD harus dibahas bersama oleh pemerintah
daerah dengan DPRD dan setelah disetujui bersama kemudian harus dievaluasi oleh
pemerintahan yang lebih tinggi.
e. Anggaran memiliki fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Setelah tahap perencanaan dan penganggaran selesai
dilaksanakan, tahap berikutnya merupakan domain pemerintah daerah selaku
eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan, penatausahaan, dan pengawasan dan akhirnya
ditutup dengan tahap pertanggungjawaban. Kesimpulannya adalah bahwa semua tahap
dalam siklus pengelolaan keuangan daerah saling terkait erat dan setiap tahap
tentunya memegang peranan penting dalam menyukseskan pengelolaan keuangan
daerah yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
Khusus mengenai pertanggung jawaban anggaran, kepala
daerah selaku pihak eksekutif harus mempertanggung jawabkan segala pengelolaan
anggarannya kepada pemerintah pusat dalam bentuk pelaporan keuangan daerah, dan
juga menyampaikannya kepada pihak legislatif. Pemerintahan daerah dalam
menggunakan dan mengelola anggaran tidak perlu khawatir akan tersandung kasus
pidana, sebab Bapak Kapolri kita sudah jelas menyatakan bahwa apabila ada miss
atau terdapat perbedaan penggunaan anggaran dengan realisasi di lapangan maka
hal tersebut tidak serta merta masuk dalam pelanggaran pidana karena dianggap
korupsi. Bapak Kapolri pun lebih lanjut mengatakan bahwa hal itu masuk dalam
ranah undang-undang administrasi. Presiden SBY sewaktu masih menjabat sebagai
Presiden RI jelas-jelas mengatakan bahwa yang namanya kebijakan pengelolaan
anggaran tidak bisa dipidanakan. Dengan kata lain tidak akan tersandung kasus
pidana oleh KPK dan Kepolisian. Kecuali jika memang ada bukti kuat yang
menyatakan bahwa telah terjadi kasus korupsi oleh pejabat daerah selaku
pengelola dan penanggungjawab anggaran.
Untuk itu kesadaran hukum dan administrasi keuangan harus
dimiliki oleh setiap pejabat daerah. Dengan kata lain kepala daerah dan
jajarannya tidak hanya berpatokan pada gelar yang dimiliki dalam mengelola
keuangan daerah. Pejabat daerah tersebut harus memiliki multiple skill yang
memadai dalam mengelola keuangan daerahnya dan dapat merumuskan program-program
pelaksanaan anggaran yang benar-benar dapat bermanfaat bagi masyarakat. Tidak
lupa yang jauh lebih penting adalah pentingnya koordinasi dan kesamaan persepsi
antar bagian dalam mengelola anggaran keuangan daerah tersebut.
Dengan disahkannya UU No. 32 tahun 2004 tentang
pemerinthan daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
berdampak sangat luas terhadap tata pemerinthan di daerah dan pengelolaan
keuangan antara pemerintah pusan dan pemerinta daerah. Undang-undang tersebut
memberikan peluang kepada masayarakat untuk memberikan masukan terhadap
penyusunan rencana keuangan daerah. Oleh karena itu penentu dana perimbangan,
prinsip proporsional, adil, transparan, dan pertanggungjawaban sangat diperhatikan.
Dampak lain diberlakukannya otonomi daerah dan
desentralisasi fiscal adalah perubahan pola pertanggungjawaban daerah terhadap
pengalokasian dana yang dimiliki. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bersifat
horizontal, yaitu pertanggungjawaban kepada masyarakat dan lembaga legislative
(UU No 17 Tahun 2003).
Penyusunan APBD dilakukan dengan lebih dahulu eksekutif
membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijkan Umum APBD dan prioritas &
Plafon anggran yang kan menjadi pedoman untuk menyusun anggran pendapatan dan
anggran belanja, yang kemudian diserahkan kepada legislative untuk dipelajari
dan dibahas bersma-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah
(Permendagri No.13 Tahun 2006).
Anggaran merupakan elemen sistem pengendalian manajemen
yang berfungsi sebagai alat perencanaan dan pengendalian agar manajer dapat
melaksanakan kegiatan organisasi secara lebih efektif dan efisien (Mulyana,
2010). Sebagai alat perencanaan, anggaran merupakan rencana kegiatan yang
terdiri dari sejumlah target yang akan dicapai oleh para manajer departemen
suatu perusahaan dalam melaksanakan serangkaian kegiatan tertentu pada masa
yang akan datang. Anggaran digunakan oleh manajer tingkat atas sebagai suatu
alat untuk melaksanakan tujuan-tujuan organisasi kedalam dimensi kuantitatif
dan waktu, serta mengkomunikasikannya kepada manajer-manajer tingkat bawah
sebagai rencana kerja jangka panjang maupun jangka pendek. Sasaran anggaran
dapat dicapai melalui pelaksanaan serangkaian aktifitas yang telah ditetapkan
sebelumnya dalam bantuk angggaran.
Proses penyusunan anggaran melibatkan banyak pihak, mulai
dari manajemen tingkat atas sampai manajemen tingkat bawah. Anggaran mempunyai
dampak langsung terhadap perilaku manusia terutama bagi orang yang langsung
terlibat dalam penyusunan anggaran (Yustika, 2012; Mardiasmo, 2005). Untuk
menghasilkan sebuah aggaran yang efektif, manajer membutuhkan kemampuan untuk
memprediksi masa depan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti faktor
lingkungan, partisipasi dan gaya penyusunan. Pada saat bawahan memberikan
perkiraan yang bias kepada atasan, timbul kesenjangan anggaran (budgetary
slack).
Sistem Anggaran memiliki fungsi manajerial yang meliputi
perencanaan, koordinasi, evaluasi (pengendalian), dan umpan balik. Terkait
dengan fungsi manajerial maka antara satu komponen anggaran dengan komponen
anggaran lain memiliki time sequence. Efektivitas anggaran tidak hanya
tergantung satu komponen saja tetapi keberhasilan anggaran dipengaruhi oleh
perpaduan dan interdependensi antar komponen anggaran.
Prosedur anggaran terdiri dari tahap proses penyusunan
anggaran untuk menentukan target dan sasaran anggaran, revisi anggaran,
pengendalian (evaluasi) anggaran dan umpan balik. Kebijakan dalam prosedur
anggaran tersebut antara lain: pada tahap penyusunan anggaran terkait dengan
tingkat partisipasi dalam proses penyusunan anggaran.
Terkait dengan fungsi manajerial, anggaran sebagai alat
perencanaan dimanifestasikan dalam proses penyusunan anggaran (Mahmudi, 2005).
Fungsi koordinasi tercermin dalam tahapan revisi anggaran. Pada tahapan revisi
anggaran akan diketahui bahwa pelaksanaan anggaran antara satu divisi dengan
yang lain dapat saling overlap serta tercapai atau tidaknya sasaran yang
ditentukan. Dalam prosedur revisi juga dapat diketahui apakah asumsi anggaran
yang telah ditetapkan pada saat penyusunan anggaran tidak berubah karena faktor
internal maupun eksternal.
Sedangkan fungsi anggaran sebagai alat pengendalian
ditunjukkan dalam tahapan evaluasi anggaran. Pengendalian merupakan suatu upaya
yang ditujukan agar pelaksanaan anggaran tidak menyimpang dari tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan. Evaluasi yang dilakukan secara periodik seperti
mingguan dan bulanan merupakan bagian dari pengendalian karena evaluasi bulan
ini merupakan pengendalian di bulan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar