Hadirnya perbankan syariah di Indonesia sebagai salah
satu alternatif lembaga keuangan yang mengunakan prinsip syariah Islam ditengah pesatnya perkembangan industri perbankan
dewasa ini seakan membawa atmosfer baru dalam sistem perbankan Indonesia
yang selama ini didominasi oleh sistem perbankan konvensional. Berdasarkan data yang diperoleh, hingga
akhir triwulan III tahun 2007, di Indonesia telah terdapat 3 Bank Umum Syariah
dan 25 Unit Usaha Syariah dengan jumlah kantor cabang mencapai ratusan yang
tersebar diseluruh pelosok tanah air. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dewasa ini semakin banyak masyarakat Indonesia yang
memberi kepercayaan akan keberadaan bank syariah.
Dalam persaingan yang semakin kompetitif, kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas menjadi salah satu
faktor penting dalam menjalankan usaha perbankan syariah. Sumber daya manusia
dalam perbankan syariah tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang
luas di bidang perbankan, tetapi juga harus memahami implementasi prinsip
syariah dalam praktik perbankan, serta memiliki komitmen kuat untuk
menerapkannya secara konsisten. Oleh karena itu, diperlukan suatu jalinan
kerjasama harmonis antara pimpinan dan karyawan yang satu sama lain memiliki
latar belakang, sifat, karakter, status, pikiran dan keinginan yang
berbeda-beda. Dalam keanekaragaman yang kompleks inilah terletak pentingnya
peran seorang pemimpin. Selain dituntut untuk mampu mengarahkan
dan mengembangkan usaha-usaha karyawannya, pemimpin juga dituntut agar mampu
mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, memberikan rasa aman, serta meningkatkan
kualitas kehidupan kerja karyawan sesuai dengan kekuasaan yang dimilikinya
kearah pencapaian sasaran organisasi. Kemampuan inilah yang
disebut kepemimpinan.
Dalam perspektif Islam, kepemimpinan merupakan hal yang sangat penting, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW dalam Hadist riwayat Muslim, ”Setiap orang dari kamu
adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu”. Secara
implisit Hadist tersebut menyatakan apapun bentuk kepemimpinan yang dijalani
seseorang, baik dalam kapasitas sebagai individu pribadi, pemimpin rumah
tangga, pemimpin perusahaan, maupun pemimpin negara akan mempertanggungjawabkan
kepemimpinannya di dunia dan di akhirat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, perbedaan
mendasar fungsi kepemimpinan dalam manajemen Islam dengan fungsi kepemimpinan
pada umumnya terletak pada adanya kekuatan iman serta tujuan yang telah
tertuliskan atau nilai spiritualnya. Sehingga penerapan kepemimpinan Islam pada
suatu perusahaan akan mendorong dan memotivasi karyawan untuk menjalankan
tanggung jawabnya dengan harapan mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Secara umum, aplikasi kepemimpinan dalam perusahaan diwujudkan dengan
menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat, dan hal ini akan memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja karyawannya. Namun setiap
karyawan memiliki standar kepuasan yang berbeda satu sama lain, ini disebabkan karena
perbedaan keinginan dan kebutuhan dari setiap manusia. Berbicara tentang
kepuasan kerja, kita tidak akan bisa menghindarkannya pada permasalahan
abstraksi, karena kita berbicara tentang suatu perasaan yang hanya dapat
dipahami oleh personal. Namun dalam lingkungan perusahaan, perasaan puas ini
bisa diciptakan, diantaranya dengan membuat suasana lingkungan kerja yang
nyaman serta membangun perasaan-perasaan positif antar karyawan dan antara
karyawan dengan pimpinannya.
A. Pengertian Bank dan Bank Syariah
Kata Bank
berasal dari bahasa Yunani ”Banco”
yang artinya bangku, dimana menurut sejarah pada masa itu bangku digunakan
sebagai tempat tukar menukar uang. Jadi pada mulanya kegiatan bank berfungsi
sebagai pedagang uang. Namun seiring perkembangan zaman fungsi bank pun terus
bertambah, sehingga definisi bank pun kini telah banyak dikemukakan oleh para
ahli.
Menurut Suhardjono
(2003:55) bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya ialah menghimpun
dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit
serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Selanjutnya Lukman
Dendawijaya (2005:14) mendefenisikan bank adalah suatu badan usaha yang
tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries), yang menyalurkan dana dari pihak yang
berlebihan dana (idle fund surplus unit)
kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan.
Di Indonesia pengertian bank telah dibakukan oleh
pemerintah dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
yang menyatakan bahwa “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak “. Lukman
Dendawijaya (2005:15).
Berdasarkan pengertian bank yang dikemukakan tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah suatu badan usaha yang kegiatan
utamanya menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam menjalankan fungsi
sebagai lembaga perantara keuangan melalui produk-produk pelayanan perbankan
yang ditawarkan.
Jenis atau bentuk bank bermacam-macam, tergantung pada cara
penggolongannya. Menurut Lukman Dendawijaya (2005:15) penggolongan jenis
bank secara formal berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, terdapat 2 (dua) jenis bank, yaitu:
1. Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran.
2. Bank Perkreditan Rakyat yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan berdasarkan imbalan atas kegiatan usahanya, bank digolongkan atas
2 macam yaitu:
1.
Bank Konvensional yaitu bank
yang melaksanakan kegiatannya dengan menerapkan sistem bunga.
2.
Bank Syariah yaitu bank
yang melaksanakan kegiatannya dengan menerapkan prinsip bagi hasil.
Pengertian umum Bank Syariah menurut Dahlan Siamat (2004:183) adalah bank yang dalam menjalankan
usahanya berdasarkan pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan
mengacu kepada Al Qur’an dan Al Hadist. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
pasal 1 butir 13, prinsip syariah yang dimaksud adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembiayaan kegiatan, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai syariah.
Jadi bank Syariah merupakan salah satu jenis bank baik
berupa Bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan
usahanya dalam lalu lintas pembayaran berdasarkan prinsip syariah.
B. Manajemen dan Manajemen Sumber Daya
Manusia
Setiap perusahaan termasuk perbankan syariah,
tentunya tidak dapat luput dari peran penting manajemen yang dijalankan oleh
sumber daya manusia yang ada didalamnya. Manajemen sumber daya manusia itu
sendiri merupakan bagian yang tidak terpisah dari ilmu manajemen. Ada banyak
cara mendefinisikan manajemen, sehingga dari waktu ke waktu perdebatan definisi
manajemen ini bermunculan dari para pemikir dan para ahli yang menekankan
definisi dari aspek yang berbeda-beda.
Menurut Stonner
dalam Ahmad Ibrahim (2006:28) mengungkapkan
bahwa manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan
mengawasi usaha-usaha dari anggota organisasi dan dari sumber-sumber organisasi
lainya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Secara lebih sederhana Follet dalam Ahmad Ibrahim (2006:28)
mendefinisikan manajemen sebagai seni untuk melakukan sesuatu melalui orang
lain.
Ditinjau dari perspektif Islam, Ahmad Ibrahim (2006:219) mengemukakan
bahwa diawal perkembangan Islam manajemen dipandang sebagai ilmu sekaligus
teknik (seni) kepemimpinan. Definisi manajemen tersebut kemudian diartikan
sebagai suatu rentetan langkah yang terpadu untuk mengembangkan suatu
organisasi menjadi suatu sistem yang bersifat sosio-ekonomi-teknis dengan
bersumber pada ayat-ayat dalam Al-Quran, petunjuk-petunjuk Al-Hadist serta
nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang dalam masyarakat. Dimana sosio berarti
yang menggerakkan sistem tersebut ialah manusia, ekonomi berarti kegiatan dalam
sistem ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan teknis berarti ada alat
dan cara tertentu yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut.
Karakteristik yang membedakan teori manajemen Islam
dengan teori manajemen lainnya ialah adanya fokus dan konsen teori Islam
terhadap variabel yang berpengaruh pada aktivitas manajemen didalam dan diluar
organisasi. Salah satu aplikasi teori manajemen Islam dikenal dengan sebutan
manajemen syariah. Didin Hafidhuddin
(2003:5) mengungkapkan bahwa manajemen syariah ini merupakan suatu konsep
manajemen yang diterapkan dan dijalankan dalam aspek kehidupan manusia dengan
berpedoman pada aturan (syariah) yang bersumber dari Allah SWT, yaitu Al-Quran
dan Al-Hadist. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar
antara manajemen modern dan manajemen syariah yaitu pada tujuan, bentuk, aturan
teknis, penyebarluasan dan disiplin keilmuannya.
Menurut Didin
Hafidhuddin (2003:5), ada 3 (tiga) hal pokok yang dibahas dalam manajemen
syariah yaitu:
1. Perilaku yang terait dengan nilai-nilai keimanan dan ketauhidan, yaitu
perilaku yang diupayakan menjadi amal saleh yang bernilai abadi.
2. Struktur organisasi yang merupakan sunnatullah, karena
adanya perbedaan struktur tersebut merupakan ujian dari Allah SWT.
3. Sistem yang dapat menyebabkan prilaku pelakunya
berjalan dengan baik.
Namun demikian, apapun definisi yang dikemukakan
oleh para ahli tentang manajemen, baik dalam perspektif umum maupun Islam, pada
dasarnya manajemen mencakup berbagai fungsi yang harus diaplikasikan oleh
orang-orang di dalam organisasi tersebut dengan memanfaatkan sumber daya
tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Fungsi-fungsi manajemen tersebut tidak
akan dapat terwujud dalam mencapai tujuan organisasi tanpa ada orang-orang yang
melaksanakannya. Orang-orang yang melaksanakan fungsi manajemen inilah yang
disebut Sumber Daya Manusia (SDM). Sehingga pentingnya pemahaman akan konsep
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) menjadi salah satu pondasi utama dalam
pencapaian tujuan organisasi.
Dalam beberapa literatur para ahli telah
mengemukakan definisi manajemen sumber daya manusia pada suatu perusahaan. Salah
satunya dikemukakan oleh Anwar Prabu
Mangkunegara (2005:2) bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu
pengolahan dan pendayagunaan sumber daya yang ada pada individu (karyawan)
secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi dan pengembangan individu
karyawan tersebut.
Dalam perbankan syariah, istilah Sumber Daya Manusia
(SDM) lebih sering disebut dengan istilah Sumber Daya Insani (SDI). Sumber
daya insani yang berkualitas dan handal menjadi salah satu indikator penting
dalam perkembangan bank syariah, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada
keberhasilan perusahaan yang berbasis Islam ini. Untuk bisa menggerakkan bisnis
Islami dengan sukses, diperlukan sumber daya insani yang menguasai ilmu bisnis dan ilmu-ilmu
syariah secara baik.
Menurut Dahlan Siamat (2004:188), untuk mendukung tujuan tersebut diatas
secara khusus Bank Indonesia telah mengatur bahwa manajemen bank syariah
diharuskan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Memiliki komitmen dalam melaksanakan usaha bank
berdasarkan prinsip syariah secara konsisten;
2.
Memiliki integritas dan moral yang baik;
3.
Memiliki pengalaman operasional Bank Syariah atau telah
mendapatkan pendidikan dan pelatihan perbankan syariah.
Jadi dapat dikatakan bahwa manajemen sumber daya manusia dalam lingkup
perbankan syariah merupakan suatu pengolahan dan
pendayagunaan sumber daya yang ada pada insani (karyawan) secara maksimal agar
mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah dalam praktik perbankan serta memiliki
komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan dan pengembangan individu itu
sendiri.
C. Kepemimpinan
Topik tentang kepemimpinan telah menjadi fenomena tersendiri yang menarik
minat para ahli untuk senantiasa didiskusikan sepanjang evolusi pertumbuhan
pemikiran manajemen. Meskipun berbagai definisi tentang kepemimpinan telah
dikemukakan oleh para ahli, namun hingga saat ini misteri yang melingkupi
proses kepemimpinan belum sepenuhnya tersingkap dan belum ada definisi
kepemimpinan yang lengkap, tepat, serta disepakati bersama.
Menurut Malayu. S. P Hasibuan
(2006:169) kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi prilaku
bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai
tujuan organisasi.
Definisi lain dari kepemimpinan yang dikemukakan oleh Sondang P. Siagian (2002:62) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah
kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sedemikian rupa sehingga
orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu
tidak disenanginya.
Sedangkan J.K Hemphili dalam Mifta Thoha (2002:5) mengartikan
kepemimpinan sebagai suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan pola
konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama.
Secara sederhana Tariq Muhammad
As-Suwaidan (2006:41) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas
menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Pengertian-pengertian tentang kepemimpinan yang dikemukakan diatas hanya
merupakan sebagian kecil definisi kepemimpinan yang secara umum dikemukakan
oleh para ahli.
Dalam perspektif Islam, menurut Ahmad
Ibrahim (2006:129) kepemimpinan merupakan sesuatu yang menyebabkan
seseorang memiliki otoritas untuk mengatur dan memberikan petunjuk kepada
orang-orang yang dipimpinnya dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan
manusia. Urgensi tentang kepemiminan ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat
An-Nisaa’ (4) ayat 59, yang artinya ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya”. Pada ayat tersebut terdapat istilah ’ulil Amri’ yang merujuk pada
arti pemimpin, dimana pemimpin tersebut mendapat amanah untuk mengurus
kepentingan orang lain. Didin Hafidhuddin (2003:121).
Jadi dapat dikatakan bahwa kepemimpinan Islam merupakan amanah dan tanggung
jawab, sejalan dengan pernyataan Rasulullah SAW dalam sabdanya ”Setiap kalian
adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang
penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya dan bertanggung jawab atas mereka.
Seorang suami adalah pemimpin bagi isteri dan keluarganya dan bertanggung jawab
atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah penjaga harta tuannya dan dia bertanggung
jawab atasnya” (HR Muslim). Dalam pandangan Islam pertanggungjawaban seseorang
sebagai pemimpin, tidak hanya ada dalam konteks keduniaan tapi keyakinan akan
adanya hari Akhir (Kiamat) menjadi pondasi utama yang menghadirkan sebuah
kepercayaan besar akan adanya pertanggungjawaban di hadapan sang Pencipta. Islam
sebagai agama sempurna, telah membangun sebuah sistem yang tertata rapi,
lengkap dan saling melengkapi, dalam artian bahwa salah satu sisinya tidak
mengorbankan yang lain.
Tariq Muhammad As-Suwaidan (2006:42)
secara sederhana mengemukakan bahwa kepemimpinan Islam adalah usaha
menggerakkan manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu, baik yang bersifat
duniawi maupun ukhrawi, sesuai nilai dan syariah Islam.
Konsep kepemimpinan dalam Islam memiliki perbedaan fundamental dengan
konsep kepemimpinan pada umumnya karena kepemimpinan Islam berusaha
menyeimbangkan antara tujuan dunia yang hendak dicapai dengan memperhatikan
nilai-nilai spiritual untuk pencapaian tujuan akhirat. Nilai spiritual inilah
yang menjadi karakteristik utama dalam kepemimpinan Islam.
D. Gaya Kepemimpinan
Aplikasi kepemimpinan diwujudkan dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang
tepat dalam mengarahkan dan mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan
secara maksimal. Menurut Mifta Thoha
(2003:49) gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
seperti yang ia lihat. Telah banyak penulis dan ahli dibidang manajemen yang
mencoba mengemukakan tentang gaya/model/tipe kepemimpinan.
Gaya-gaya kepemimpinan yang dikemukakan tersebut antara lain dapat dilihat
pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1. Gaya/Tipe/Model Kepemimpinan Menurut Para Ahli
Drs.
Malayu S.P. Hasibuan
|
Haris
|
White
dan Ronald Lippit
|
1.
Otoriter
2.
Partisipatif
3.
Delegatif
|
1.
The
Autocratic Leader
2.
The
Partisipative Leader
3.
The
Free Rein Leader
|
1.
Autocratic
2.
Democratic
3.
Laissez
Faiere
|
Rensis
Linkert dan Lewind
|
Paul
Hersey dan Ken Blanchard
|
Robert
Blake dan Munton
|
1. Exploitative Autocracy
2. Benevolent Autocracy
3. Consultative Leadership
4. Partisipative Group Leadership
|
|
|
William
J. Reddin
|
G.R.
Terry
|
Sondang
P. Siagian
|
|
1.
Personal leadership
2.
Nonpersonal leadership
3.
Autocraty leadership
4.
Democraty leadership
5.
Paternalistic leadership
6.
Indegenous leadership
|
|
Sumber: Drs. Malayu S.P. Hasibuan (2006:171)
Klasifikasi gaya kepemimpinan yang terdapat pada tabel diatas hanyalah
sebagian kecil dari pendapat para ahli. Namun pada umumnya gaya kepemimpinan
yang dikemukakan oleh para ahli selama ini, sebagian besarnya memfokuskan
perhatian pada konsep-konsep optimalisasi kinerja, profitabilitas serta
hubungan kerja. Perhatian tentang pentingnya variabel spiritual dalam penentuan
gaya kepemimpinan, sangat jarang ditemui dalam berbagai konsep kepemimpinan itu
sendiri.
Hadirnya nilai spiritual dalam konsep kepemimpinan, telah menambah maraknya
ragam gaya kepemimpinan. Seperti yang dikemukakan oleh Ary Ginanjar (2003:4) bahwa sebuah forum diskusi Leadership (Kepemimpinan) yang diadakan
oleh Harvard Bussiness School dan dihadiri oleh para Top Executive
Internasional berbagai perusahaan telah menghasilkan sebuah kesimpulan yang
dirangkum dalam tulisan yang berjudul ”Does
Spirituality Drive Success?” yang artinya ”Apakah spritual dapat
menghantarkan seseorang pada keberhasilan?”. Dalam diskusi tersebut, mereka
sepakat menyatakan bahwa paham spiritualisme mampu menghasilkan 5 (lima) hal
yang mampu membawa seseorang menuju tangga kesuksesan dan berperan besar dalam
menciptakan mereka menjadi seorang Powerful
Leader (pemimpin yang memiliki kekuatan dasyat), yaitu:
1.
Integritas atau kejujuran
2.
Energi atau semangat
3.
Inspirasi atau ide dan inisiatif
4.
Wisdom atau
kebijaksanaan
5.
Keberanian dalam mengambil keputusan
Gaya kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu gaya yang diterapkan oleh
pemimpin dengan berlandaskan kepada nilai-nilai spiritual Islam. Menurut Ahmad Ibrahim (2006:133) gaya
kepemimpinan dalam Islam dibangun dengan prinsip pertengahan, moderat dalam
memandang persoalan namun tidak memberikan kekuasaan secara otoriter dan tidak
pula memberikan kebebasan secara mutlak. Seorang pemimpin yang Islami dituntut
agar memiliki karakter yang membedakannya sebagai seorang muslim. Sebagaimana
firman Allah pada surat Al-Qashash (28) ayat 26 yang artinya, ”Sesungguhnya
orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya”. Menurut Tariq
Muhammad As-Suwaidan (2006:54) ayat tesebut dapat dijadikan sebagai suatu
standar dalam menentukan karakter kepemimpinan Islam yaitu karakter kuat lagi
dapat dipercaya. Dimana kekuatan yang dimaksud
ialah kemampuan dan kapabilitas serta kecerdasan dalam menunaikan
tugas-tugasnya. Sedangkan karakter dapat dipercaya (amanah) artinya kejujuran,
kepercayaan dan kontrol yang baik, serta kecepatan untuk melakukan tugas dan
kewajiban sesuai yang diharapkan.
Selain dua karakter utama diatas, menurut Syekh Muhammad al-Mubarak dalam Didin Hafidhuddin (2003:131), ada 4 syarat pemimpin Islami antara
lain:
1.
Memiliki akidah yang benar.
2.
Memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas.
3.
Memiliki akhlak yang mulia.
4.
Memiliki kecakapan manajerial, memahami ilmu-ilmu
administrasi dan manajemen dalam mengatur urusan duniawi.
Didin Hafidhuddin
(2003:13), lebih lanjut menggambarkan bahwa paling tidak ada 4 (empat)
kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Islami, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.1 dibawah.
Gambar 2.1. Kemampuan dasar pemimpin Islami
Sumber:
Didin Hafidhuddin (2003:18)
Adapun beberapa tipe kepemimpinan Islami yang dikemukakan oleh Didin Hafidhuddin (2003:13), antara
lain:
1.
Tegas. Dalam arti seorang pemimpin Islami memiliki
ketegasan dalam menentukan sikap.
2.
Musyawarah. Artinya seorang pemimpin Islami selalu
bermusyawarah yang esensinya adalah saling tukar pendapat.
3.
Terbuka. Maksudnya ialah seorang pemimpin Islami harus
mampu transparan dan terbuka dalam segala hal yang menyangkut pekerjaan, dan
kebijakan.
4.
Paham. Dimana yang dimaksud ialah pemahaman yang mendalam
terhadap tujuan organisasi.
Gambaran tipe kepemimpinan Islam ditunjukkan secara lebih
sederhana ditunjukkan pada gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2. Tipe kepemimpinan Islam
Sumber:
Didin Hafidhuddin (2003:18)
Pada intinya gaya kepemimpinan Islam merupakan suatu kosep yang digunakan
pemimpin dalam mempengaruhi perilaku bawahannya dengan berlandaskan pada
nilai-nilai spiritual Islam. Gaya kepemimpinan yang ideal dalam perspektif
Islam ialah gaya kepemimpinan yang mengikuti karakter Rasulullah SAW. Penerapan
konsep kepemimpinan yang sempurna itu, mungkin dianggap sulit untuk diimplementasikan
pada dunia bisnis yang telah didominasi oleh sistem konvensional dewasa ini.
Namun hal ini tidaklah mustahil untuk dapat dilakukan oleh kaum muslim yang
kini menjalani berbagai profesi dalam dunia bisnis, khususnya sebagai figur
seorang pemimpin yang Islami. Hanya saja diperlukan kesungguhan, kedisiplinan
dan keyakinan untuk terus mengaplikasikannya.
Pemimpin yang Islami iaiah pemimpin yang memiliki akhlak mulia, sehingga
mampu menjadi contoh bagi bawahannya. Dalam beberapa literatur, akhlak dan
moral Islami atau sikap Akhlaqul Karimah yang minimal harus dimiliki oleh
seorang pemimpin yang Islami antara lain meliputi:
1.
Shidiq
Kata ’shidiq’ atau ash-sidqu artinya benar atau jujur. Menurut
Yunahar Ilyas (2002:81) dalam
terminologi akhlaq, shidiq adalah sikap jujur atau benar baik dalam hati,
perkataan, dan perbuatannya. Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam
kebenaran baik lahir maupun batin, dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun. Sebagaimana
yang dinyatakan Allah dalam firmannya surat At-Taubah (9) ayat 119, yang artinya
”Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar (shiddiq)”. Dalam kapasitas sebagai seorang
pemimpin yang memiliki akhlak shidiq artinya pemimpin harus mampu menjaga
martabat dengan integritas, diawali dengan niat dan hati yang tulus, berfikir
jernih, bicara benar atau jujur, bersikap terpuji dan menunjukkan perilaku yang
dapat diteladani.
2.
Istiqamah
Secara etimologi, istiqamah berasal dari kata ’istaqama-yastaqimu’ yang berarti tegak lurus. Dalam terminologi akhlak,
menurut Yunahar Ilyas (2002:97)
istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman
sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam firman Allah, surat Al-Ahqaaf (46) ayat 13, ”Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, ’Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap
beristiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka
berduka cita”. Seorang pemimpin yang memiliki akhlak istiqamah artinya pemimpin
tersebut berpegang teguh pada komitmen, bersikap optimis, bijaksana, pantang
menyerah, memiliki kesabaran, dan rasa percaya diri.
3.
Fathonah
Menurut Didin Hafidhuddin
(2003:74) fathonah berarti mengerti, memahami dan menghayati secara mendalam
segala hal yang menjadi tugas dan kewajiban. Fathonah ini merupakan perpaduan
antara ’alim dan hafidz’ (pandai menjaga dan berpengetahuan), sebagaimana dinyatakan
Allah dalam firmannya surat Yusuf (12) ayat 55, ’’Berkata Yusuf, jadikanlah aku
bendaharawan Negara. Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan
berpengetahuan”. Pemimpin yang memiliki akhlak fathonah artinya pemimpin
tersebut memiliki semangat untuk terus belajar, professional, disiplin, mentaati
peraturan, bekerja keras, cerdas, inovatif, terampil dan adil.
4.
Amanah
Kata amanah artinya dipercaya. Menurut Didin
Hafidhuddin (2003:75) amanah berarti memiliki tanggung jawab dalam
melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Urgensi akhlak amanah ini salah
satunya dinyatakan Allah dalam firmannya pada surat An-Nisa (4) ayat 58 yang
berbunyi ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Dalam
konteks pemimpin yang memiliki akhlak amanah artinya pemimpin tersebut terpercaya,
cepat tanggap, obyektif, akurat, disiplin. dan penuh tanggung jawab.
5.
Tabligh
Menurut Didin Hafidhuddin (2003:75)
tabligh berarti mengajak sekaligus memberi contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana diisyaratkan Allah dalam firmannya pada surat An-Nahal (16) ayat
125, ”Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Pemimpin yang
memiliki akhlak tabligh artinya pemimpin bersikap mendidik, membina, dan
memotivasi pihak lain untuk meningkatkan fungsinya sebagai kalifah di muka
bumi, serta menerapkan kepemimpinan yang berlandaskan kasih sayang, selalu
transparan, membimbing, visioner, komunikatif dan membudayakan.
Pada umumnya perbankan syariah di Indonesia menerapkan pola kepemimpinan
berdasarkan budaya perusahaan yang mencakup kelima sikap akhlaqul karimah
diatas. Sehingga penerapan gaya kepemimpinan Islami yang paling ideal dan sesuai
dengan budaya perusahaan pada perbankan syariah merupakan gaya kepemimpinan
yang mencakup sikap-sikap akhlaqul karimah, berupa shidiq, istiqamah, fathonah,
amanah, dan tabligh.
E. Kepuasan Kerja Karyawan
Kepuasan kerja karyawan merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap
pekerjaan seseorang yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya yang
bermacam-macam. Dalam Kenneth. N
(2003:129), Lawler menyatakan bahwa
telah banyak riset yang berusaha menemukan hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan
kerja, tetapi dasar-dasar yang menjadi sebab hubungan itu umumnya terabaikan.
Dalam Mutira Sibarani (2002:128)
orang pertama yang memberikan pemahaman tentang konsep kepuasan kerja adalah Brayfield, Arthur H dan Harold. F. Rothe,
mereka menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang
terhadap pekerjaannya. Secara sederhana Kenneth.
N (2003:129) mendefinisikan bahwa kepuasan kerja adalah cara seorang
pekerja merasakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2005:117) kepuasan kerja adalah suatu
perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri seorang pegawai yang
berhubungan dengan pekerjaannya maupun kondisi dirinya. Definisi lain tentang
kepuasan kerja dikemukakan oleh Malayu.
S. P Hasibuan (2006:202) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap
emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya kemudian sikap ini dicerminkan
oleh moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja.
Menurut Malayu. S. P Hasibuan (2006:202), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan,
antara lain:
1.
Balasan jasa yang adil dan layak
2.
Penempatan yang tepat sesuai keahlian
3.
Barat ringannya pekerjaan
4.
Suasana dan lingkungan pekerjaan
5.
Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan
6.
Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya
7.
Sifat pekerjaan yang monoton atau tidak.
Sedangkan menurut Glison dan Durick dalam Mutira Sibarani (2004:129) menyatakan bahwa
faktor-faktor penentu kepuasan kerja digolongkan atas 3 (tiga) variabel, yaitu:
1. Karakteristik pekerjaan, yang meliputi keanekaragaman
keterampilan, identitas tugas, keberartian tugas, oronomi, dan umpan balik
pekerjaan.
2.
Karakteristik organisasi, yang
meliputi skala usaha, kompleksitas, formalitas, sentralisasi, jumlah anggota
kelompok, anggaran anggota kelompok, dan kepemimpinan.
3.
Karakteristik individu, yang
meliputi usia, jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan, posisi, dan
sebagainya.
Dari beberapa pendapat tentang
kepuasan kerja diatas, dapat dilihat bahwa kepuasan kerja karyawan akan terjadi
apabila terdapat kesesuaian antara apa yang diinginkan karyawan dan apa yang
diperolehnya dari perusahaan dan beberapa faktor pendukung lainya. Pemimpin
merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam pengaruhnya
terhadap kepuasan kerja karyawan. Mutira
Sibarani (2004:132) mengemukakan bahwa
ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kepuasan
kerja seperti Job Descriptive Index, The Brayfield-Rothe Index, The Minnesota Satisfaction
Questionnaire, Pay Satisfaction Questionnaire, dan Job Diagnostic
Survey. Namun apapun jenis alat ukur kepuasan kerja yang digunakan pada
kenyataannya, ukuran tinggi rendahnya tingkat kepuasan kerja karyawan tidaklah
selamanya berbanding lurus dengan meningkatnya produktivitas kerja. Demikian
pula sebaliknya, karyawan-karyawan yang mampu mengoptimalkan kemampuannya dalam
bekerja tidaklah berarti karyawan tersebut termasuk orang-orang yang puas
terhadap pekerjaannya. Banyak penelitian yang juga menunjukkan terbuktinya hal
itu. Meskipun demikian terlepas dari berbagai hasil penelitian tersebut, banyak
pimpinan yang menginginkan para karyawannya dapat merasakan kepuasan kerja,
agar ada perasaan saling membutuhkan antara organisasi dan orang-orang yang
berkecimpung didalamnya serta akan menimbulkan rasa saling memiliki (sense
of belonging) karyawan terhadap perusahaan atau organisasi tempat mereka
bekerja dan mengabdi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power:
Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Arga. Jakarta .
As-Suwadin, Tariq Muhammad, dan
Basyarahil, Faisal Umar. 2006. Sukses
Menjadi Pemimpin Islami. Magfira Pustaka. Jakarta.
Dendawijaya,
Lukman. 2005. Manajemen Perbankan.
Edisi 2. Ghalia Indonesia. Bogor.
Gamal,
Merza. 2007. Tantangan Perguruan Tinggi
Menyiapkan Ahli Ekonomi Syariah, (Online), (www.kabarindonesia.com, diakses 02
Mei 2008).
Hafidhuddin,
Didin., dan Tanjung, Hendri. 2003. Manajemen
Syariah dalam Praktik. Gema Insani Press. Jakarta.
Harahap,
Sofyan, S., Wiroso., dan Yusuf, Muhammad. 2006. Akuntansi Bank Syariah. LPFE-Usakti. Jakarta.
Hasibuan,
Malayu. 2006. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Bumi Aksara. Jakarta.
Ilyas,
Yunahar. 2002. Kuliah Akhlaq. LPPI.
Yogyakarta.
Kenneth,
N., Wexley., dan Yuki, G.A. 2003. Prilaku
Organisasi dan Psikologi Personalia. PT Rineka Cipta. Jakarta.
Mangkunegara,
Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber Daya
Manusia Perusahaan. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Ridwan.,
dan Sunarto. 2007. Pengantar Statistika
Untuk Penelitian: Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi dan Bisnis.
Alfabeta. Bandung.
Siamat,
Dahlan. 2004. Manajemen Lembaga Keuangan.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Siagian,
Sondang. 2002. Kiat Meningkatkan
Produltifitas Kerja. PT Asdi Mahasatya. Jakarta.
Sibarani,
Mutiara. 2002. Manajemen Sumber Daya
Manusia. Ghalia Indonesia. Bogor.
Sugiono.
2001. Statistik Nonparametris.
Alfabeta. Bandung.
Suhardjono.
2003. Manajemen Perkreditan Usaha Kecil
dan Menengah. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Sinn,
Ahmad Ibrahim Abu. 2006. Manajemen
Syariah: Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Thoha,
Mifta. 2003. Kepemimpinan Dalam
Manajemen: Suatu Pendekatan Prilaku. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar