Pengertian konsumen
menurut Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Hukum Perlindungan Konsumen
(UUPK) Yakni “ Konsumen adalah Setiap Orang pemakai barang dan/jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain,
maupun Makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Sedangkan dalam
bagian penjelasan disebutkan “ di dalam
kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara, konsumen akhir
adalahkonsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir” dari ketentuan dalam undang-undang tersebut bukan merupakan
objek pembahasan dalam tulisn ini. Namun
Secara tersirat juga
mengandung pengertian konsumen dalam arti luas. Hal tersebut nampak pada
penggunaan kata “pemakai”. Istilah “ pemakai” dalam hal ini tepat digunakan
dalam rumusan konsumen untuk mendukung pengertian konsumen akhir, namun
sekaligus juga menunjukkan bahwa barang dan jasa yang dipakai tidak serta merta
hasil dari suatu transaksi jual-beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu
harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang
dan jasa tersebut. Dengan kata lain dasar hubungan hukum antara konsumen dan
pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual ( the prity of contract ).
Sebagai ilustrasi apabila
seorang menerima sebuah parcel yang berisi bermacam-macam makanan dari seorang
temannya. Isi parcel tersebut di beli oleh temannya di sebuah pasar swalayan.
Pertanyaannya yang muncul kemudian siapakah konsumen dari pasar swalayan itu?.
Si pemberi parcel jelas konsumennya, karena ia memiliki hubungan kontraktual
dengan pasar swalayan. Karena ia membeli ( sebagai konsumen dalam arti sempit )
sehingga apabila kemudian ia diberi tahu oleh temannya kepada siapa parcel
tersebut di berikan bahwa ada makanan dalam parcel yang sudah kadaluarsa, maka
ia dapat menggugat pasar swalayan.
Lalu bagaimana kedudukan
si penerima parcel, apakah ia juga konsumen? Dapatkah ia menggugat pemilik
pasar swalayan apabila ia menderita kerugian karena makanan dalam pacel ada
yang kadaluarsa?. Hal ini memang patut menjadi pertanyaan, jika menggunakan prinsip
the privity of contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima
parcel dengan pasar swalayan karena si pemberi parcel adalah orang lain. Namun
sebagai “pemakai”, yang mana istilah ini yang digunakan dalam UUPK, maka
penerima parcel memiliki alas hak yang sah untuk menuntut pasar swalayan, yaitu
dalam kapasitasnya sebagai konsumen dalam arti luas.
Konsumen memang tidak
sekedar pembeli tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang
mengonsumsi barang dan/jasa. Jadi yang paling penting terjadinya suatu
transaksi konsumen berupa peralihan baran dan/jasa, termasuk peralihan
kenikmatan dalam menggunakannya.
Bimo Tedjo Laksito dalam
Maridjo (2001)mengatakan
“Transaksi konsumen memiliki banyak sekali
metode. Dewasa ini sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan,
terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen. Istilahnya product
knowledge. Untuk itu dibagikan sampel produksi khusus dan sengaja tidak
diperjual belikan. Orang yang mengonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen
oleh karena itu wajib dilindungi hak-haknya”.
Faktor konsumen merupakan
faktor yang dominan bagi setiap usaha. Pengusaha harus mengikuti selera dan
kemauan konsumen, berupaya memuaskan dengan memberi pelayanan yang bermutu.
Faktor yang mempengaruhi
kondisi konsumen meliputi kenaikan dan penurunan daya beli, inflasi, tingkah
laku, dan tren pembeli, perubahan selera konsumen. Penyesuaian produk dengan
kondisi konsumen harus cepat dilakukan, jangan sampai didahului perusahaan
pesaing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar