Pengertian dan Konsep Dana Perimbangan
Menurut
UU Nomor 25 tahun 1999 yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah :
“ Dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. ”
Dua prinsip yang mendasari desentralisasi
fiskal sejalan dengan fungsi dan kewenangan daerah yang harus dijalankannya
adalah otonomi dan penerimaan yang memadai (revenue
adequacy). Pemerintah daerah pada prinsipnya harus memiliki kewenangan dan
fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritasnya, serta didukung oleh
penerimaan daerah yang memadai. Sumber-sumber penerimaan daerah tidak hanya
berasal dari daerah itu sendiri, tetapi juga termasuk bagi hasil (revenue shaing) dan transfer yang
berasal dari pusat.
Upaya peningkatan penerimaan daerah
menjadi salah satu hal yang paling mendasar dalam konteks otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Selain PAD, maka peningkatan penerimaan daerah dapat
dilakukan melalui peningkatan dana perimbangan yang diterima daerah.
Peningkatan penerimaan yang berasal dari dana perimbangan didapat dari dana
bagian daerah (revenue sharing) atau
yang lebih dikenal dengan Dana Bagi Hasil yang terdiri dari DBH Pajak dan DBH
SDA, DAU dan DAK. Tentu saja peningkatan dana perimbangan daerah yang berasal
dari dana perimbangan ini hanya dimungkinkan, jika dalam konteks APBN dapat
dipenuhi serta pengeluaran-pengeluaran yang selama ini masih dilakukan secara
signifikan oleh instansi pusat juga didesentralisasikan.[1]
[1] Armida
S. alisjahbana, “ Desentralisasi Fiskal dan Mobilisasi Penerimaan Daerah
kabupaten/Kota: Simulasi Bagi Hasil PPh Badan dan PPN-PPnBM “, Ekonomi dan
Keuangan Indonesia Vol. 51 (4), Hal. 397-419
Dana Bagi Hasil[1]
Dana
Bagi Hasil (DBH) merupakan hak daerah atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan
negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang besarnya ditentukan atas
daerah penghasil (by origin) yang
didasarkan atas ketentuan perundangan yang berlaku. Secara garis besar DBH
terdiri dari DBH perpajakan, dan DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber
penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan PPh) pasal
21 dan pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber
penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum,
kehutanan dan perikanan.
Berdasarkan
PP Nomor 115 tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh
pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan masing-masing 20% dari penerimaannya, 20%
bagian daerah tersebut terdiri dari 8% bagian propinsi dan 12% bagian
kabupaten/kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada
masing-masing daerah kabupaten/kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan
mempertimbangkan berbagai faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.
Sementara itu, sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 2000, bagian daerah dari PBB
ditetapkan 90%, sedangkan sisanya sebesar 10% yang merupakan bagian pemerintah
pusat, seluruhnya juga sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian daerah
sebesar 90% tersebut, 10% nya merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan
bagian pemerintah pusat. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka pemerintah
daerah dari penerimaan PBB diperkirakan mencapai 95,7%. Sementara itu, bagian
daerah dari penerimaan BPHTB, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999 ditetapkan
sebesar 20% yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya
dikembalikan ke daerah.
Dalam
UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA
minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan sebesar 15% dan
30% dari penerimaan bersih setelah dikurangi komponen pajak dan biaya-biaya
lainnya yang merupakan faktor pengurang. Namun demikian, dengan diberlakukannya
otonomi khusus bagi Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang diatur dengan
UU Nomor 18 Tahun 2001, dan bagi propinsi Papua yang diatur dengan UU Nomor 21
Tahun 2001, bagian kedua daerah tersebut dari penerimaan migas masing-masing
ditetapkan menjadi 70%. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum,
kehutanan, dan perikanan yang merupakan bagian daerah ditetapkan masing-masing
sebesar 80%.
Dana Alokasi Umum
Dana
Alokasi Umum (DAU) merupakan block grant
yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan
antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula
berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa
daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak daripada daerah kaya.
Dengan kata lain, tujuan penting alokasi DAU adalah dalam kerangka pemerataan
kemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di indonesia. UU No. 25 tahun
1999 pasal 7 menggariskan bahwa pemerintah pusat berkewajiban menyalurkan
paling sedikit 25% (26% pada UU No.33 tahun 2004) dari penerimaan dalam
negerinya dalam bentuk DAU.
Secara
definisi, dana alokasi umum dapat diartikan sebagai berikut (sidik, 2003) :
1. Salah satu komponen dari dana perimbangan
pada APBN, yang pengalokasiannya didasarkan atas konsep kesenjangan fiskal atau
celah fiskal (fiscal gap), yaitu
selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal.
2. Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dimana penggunaannya
ditetapkan sepenuhnya oleh daerah.
3. Equalization
grant, yaitu berfungsi
untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, bagi
hasil pajak dan bagi hasil SDA yang diperoleh daerah.
Sesuai dengan penyerahan kewenangan dari
pusat ke daerah, maka propinsi dan kabupaten serta kota masing-masing
memperoleh DAU yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas fiskal atau
nilai bobot tiap-tiap daerah. Dalam penjelasan UU No. 25 /1999 ditegaskan bahwa
formula DAU bagi propinsi, kabupaten, atau kota ditetapkan sebagai berikut :
|
Bobot daerah ditentukan berdasarkan hasil
kajian empiris dengan memperhitungkan variabel-variabel yang relevan. Kebutuhan
suatu daerah otonom dapat dicerminkan dari variabel-variabel, yakni jumlah
penduduk, tingkat pendapatan penduduk dengan memperhatikan persentase penduduk
miskin, luas wilayah, dan keadaan geografi. Dengan kata lain,bobot daerah
adalah kebutuhan DAU suatu daerah dengan total kebutuhan DAU seluruh daerah.
Gambar 2.2
Proses Formulasi DAU
Sumber : Dimodifikasi dari Brodjonegoro
& Pakpahan (2003)
Ada perbedaan dalam perhitungan DAU dari
tahun ke tahun. Secara ringkas, persamaan dan perbedaan antara formula DAU
tahun 2001, 2002, dan 2003 dapat dilihat dari tabel 2.1.
Tabel 2.1
Perbandingan Perhitungan DAU 2001-2003
Uraian
|
2001
|
2002
|
2003
|
Komponen DAU
|
FP + KF
|
AM + KF
|
AM + KF
|
Formula KF
|
DRD + DPD 2000
|
PP No.84 Tahun 2001
|
PP No.84 Tahun 2001
|
Alokasi Minimum
|
SDO + Inpres
|
Lumpsum + α Gaji
|
Lumpsum + α Gaji
|
Koefisien Variasi; Indeks Williamson
|
0,49; 0,63
|
0,45; 0,62
|
0,44; 0,61
|
Komposisi AM dan KF
|
20% KF
80% FP
|
Propinsi
- 20% Lumpsum
- 30% α Gaji
- 50% KF
Kabupaten/Kota
- 10% Lumpsum
- 50% α Gaji
- 40% KF
|
Propinsi
- 10% Lumpsum
- 30% α Gaji
- 60% KF
Kabupaten/Kota
- 5% Lumpsum
- 45% α Gaji
- 50% KF
|
Sumber :
Dirjen PKPD, Depkeu RI
|
Dana Alokasi Khusus
Dana
Alokasi Khusus (DAK) adalah bentuk dana yang bersifat khusus (specific grant). Artinya, penggunaan
dana tersebut berdasarkan atas petunjuk atau kebijakan dari pihak pemberi,
dalam hal ini pemerintah pusat. Dimasa lalu kita juga mengenal dana inpres SD,
inpres kesehatan dan bahkan subsidi daerah otonom (SDO) pun bisa kita masukkan
dalam kategori dana bersifat khusus ini.
DAK
yang ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus meliputi :
1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di
daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di
daerah yang menampung transmigrasi;
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang
terletak di daerah pesisir/ kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana
yang memadai;
4. Kebutuhan prsarana dan sarana fisik di
daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
UU No. 25 / 1999 pasal
8 menggariskan bahwa kebutuhan khusus yang dapat dibiayai dengan DAK antara
lain kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan
rumus DAU, dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Kegiatan DAK berdasarkan
PP 104 / 2000 meliputi : (i) DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan
dan atau peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur
ekonomis yang panjang; (ii) Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu
membiayai pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk
peride terbatas, tidak melebihi tiga tahun.
Daerah yang ingin
memperoleh DAK harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu sebagai berikut :
1. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah
kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD,
bagi hasil pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah dan lain-lain penerimaan yang
sah.
2. Daerah menyediakan dana pedamping
sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan.
3. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis
sektor / kegiatan yang ditetapkan oleh menteri teknis / instansi terkait.
[1] Dirjen
PKPD, DepKeu RI, “ Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
2001-2003 “, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar