Pandangan Islam terkait konsep pelaksanaan mudharabah dan musyarakah
a.
Mudharabah
Mudharabah yaitu perjanjian antara pemilik modal
(dalam bentuk uang atau barang) dengan pengusaha. Dalam perjanjian ini pemilik
modal bersedia membiayai sepenuhnya suatu proyek atau usaha dan pengusaha
setuju untuk mengelola proyek tersebut dengan pembagian hasil sesuai dengan
perjanjian. Penerapan secara teknis bentuk mudharabah
dalam perbankan dapat diterapkan dalam transaksi perolehan dana maupun
penyaluran dana.
b. Musyarakah
Musyarakah yaitu perjanjian kerjasama antara dua
pihak atau lebih pemilik modal (uang atau barang) untuk membiayai suatu usaha.
Keuntungan akan dibagi sesuai perjanjian antara pihak-pihak tesebut. Penerapan
secara teknis perbankan bentuk musyarakah
dapat diterapkan dalam penyaluran dana.
Beberapa prinsip mudharabah
- Yadul Amanah
Konsep mudharabah
memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola oleh mudharib (pekerja) adalah yadul
amanah artinya ia tidak menanggung apapun ketika modal tersebut hilang,
berkurang atau rusak kecuali jika hal itu disebabkan oleh kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat
di kalangan fuqaha. Ibnu Munzir (Al-Qudamah, 1985:44) mengatakan bahwa seluruh ahli ilmu sebagaimana yang kami
ketahui sepakat bahwa perkataan yang dijadikan patokan dalam hal modal adalah amil sebab ia adalah amin (orang yang dipercaya).
Al-Kasany seorang
ulama bermadzhab Hanafy (87:1982)
mengatakan “Modal sebelum dibelanjakan oleh mudharib adalah amanah di tangannya sebagaimana halnya barang
titipan (wadi’ah)”. Ibnu Abdil Bar
dari Madzhab Maliky (Ibnu Fuad, 2006:389) mengatakan bahwa orang yang menjadi muqaridh (mudharib) adalah terpercaya, diterima ucapannya terhadap apa yang
ia klaim tentang hilangnya harta dan setiap kerugian padanya.
Asy-Syarbiny dari
madzhab Syafiiy (Ibnu Fuad 2006:343) mengatakan perkataan tentang jaminan harta qiradh bahwa tidak ada tanggungan atas pekerja
karena hilangnya seluruh atau sebagian harta. Hal itu karena ia adalah pihak
yang dipercaya (amin) maka ia tidak
menanggung hal tersebut kecuali karena kelalaiannya.
Al-Ghazali (Ibnu
Fuad 2006:130) mengatakan bahwa jika
terjadi perselisihan antara pemilik modal dan pekerja maka yang dimenangkan
adalah ucapan pekerja karena ia adalah pihak yang dipercaya selama ia tidak
lalai sebagaimana halnya barang titipan jika tejadi perselisihan maka yang
dimenangkan adalah pihak yang dititipi. Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali (1982:44)
juga menyatakan hal yang senada “Pihak amil
adalah orang yang dipercaya (amin)
dalam harta mudharabah karena ia adalah
pihak pengelola harta milik orang lain dengan izinnya yang tidak dikhususkan
untuk manfaatnya saja. Oleh karena itu ia adalah amin”.
Dengan demikian
jika seorang melakukan transaksi mudharabah
dimana satu pihak bertindak sebagai pemilik modal sementara pihak lain
bertindak sebagai pengelola maka jika terdapat keuntungan maka kedua belah
pihak berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan bagian yang telah disepakati.
Sementara jika terdapat kerugian usaha maka sepenuhnya menjadi tanggungjawab
pemodal kecuali jika pihak pengelola melakukan kelalaian atau tindakan di luar
kewajaran yang mengakibatkan kerugian.
- Biaya pengelolaan
Seorang mudharib di
samping berhak atas bagian keuntungan dari modal yang dikelolanya, iapun berhak
atas biaya dalam operasi pengelolaan tersebut. Meski demikian biaya operasional
tersebut oleh para fuqaha diberikan batasan-batasan yang tegas mengenai
item-item apa saja yang bisa dibiayai dengan modal dan mana saja yang menjadi
tanggungan pihak pengelola.
Imam al-Kasany (1982) menyatakan bahwa seorang mudharib (pengelola) berhak atas harta mudharabah. Salah satunya adalah nafkah
dalam perjalanan ke luar kota yakni adalah
biaya-biaya yang dibutuhkan untuk melakukan perjalanan ke luar kota dalam rangka
pengelolaan modal seperti biaya makan, minum, pakaian, kendaraan untuk
melakukan pejalanan, biaya penginapan, dan pembantu yang menyertai dalam perjalanan.
Hal ini karena menurutnya kentungan dalam mudharabah
bisa ada atau tidak sementara pihak mudharib
tentu tidak akan melakukan perjalanan dalam rangka pengelolaan modal dengan
menggunakan harta milik orang lain dengan kompensasi yang bisa dia dapatkan dan
bisa tidak. Padahal pembiayaan tersebut merupakan sesuatu yang harus
dikeluarkan. Jika tidak maka konsumen tentu tidak mungkin dapat melakukan
transaksi dengan harta yang dimudharabahkan.
Di samping itu perjalanan yang dilakukan oleh mudharib hanya demi harta tersebut bukan yang lain.
Oleh karena itu pembelanjaan pada keadaan tersebut merupakan
izin yang bersifat kontekstual (dalalah)
dari pemilik modal untuk menafkahkan dari harta mudharabah yang sama dengan izin yang dinyatakan dengan tekstual (nash) dalam kesepakatan yang telah
dibuat dengan pihak pemilik modal. Namun
jika ia tidak melakukan perjalanan maka nafkah pada dirinya tidak ada. Alasannya
adalah baik ia mengelola harta ataupun tidak maka nafkah hidup pada dirinya
tetap dibutuhkan. Jika ia mengambil biaya nafkah dari modal maka ia harus
menanggungnya dan dianggap utang yang harus dibayar atau dikurangkan dari
bagian yang ia peroleh setelah pembagian keuntungan.
Ibnu Qudamah (1985)
kemudian memberikan rincian dalam aktivitas apa saja yang harus ditanggung mudharib dan aktivitas yang
pembiayaannya dapat diambil dari modal. Ia menyatakan bahwa seorang amil harus
melakukan sendiri apa yang secara tradisi dapat dilakukan oleh dirinya sendiri
seperti menyebarkan pakaian, menawarkan kepada pembeli, menawar harganya, melakukan
akad pembelian dengannya, mengambil harga, menutup dan memasukkannya ke dalam
tempat penyimpanan, dan sebagainya dan ia tidak mendapatkan upah atas hal
tersebut karena konpensasinya adalah keuntungan dari proses tersebut. Jika ia mengupah
orang lain untuk melakukan hal tersebut maka karyawan tersebut statusnya adalah
ajir khas (yang menjadi tanggungannya)
karena ia bekerja untuk dirinya. Adapun usaha yang pada umumnya tidak dapat
dikerjakan oleh amil seperti pengadaan barang, memindahkannya ke toko maka bagi
seorang amil boleh tidak melakukannya dan ia bisa menyewa orang lain untuk
mengerjakannya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Ahmad bahwa aktivitasnya
di dalamnya tidak disyaratkan karena sulitnya untuk menetapkan syarat tersebut
sehingga dikembalikan kepada tradisi yang berlaku (‘urf).
Dengan demikian,
pihak pengelola memiliki hak untuk mempergunakan modal usaha untuk membiayai
berbagai kebutuhan transaksi. Namun demikian ia tidak memiliki hak untuk
mendapatkan gaji sebagai kompensasi dari proses pengembanan modal tersebut
termasuk gaji karyawan yang membantunya karena kompensasi akan ia peroleh dari
keuntungan usaha tersebut.
- Pembagian Keuntungan
Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang hak mudharib atas keuntungan dari pengelolaan
harta mudharabah. Namun mereka berbeda pendapat kapan keuntungan
tersebut menjadi hak mudharib.
Jumhur fuqaha
yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan salah satu pendapat yang paling
menonjol di kalangan Hanbaly berpendapat bahwa pihak pengelola berhak atas
bagiannya setelah adanya pembagian keuntungan bukan ketika telah nampak keuntungan
(Ibnu Fuad, 2006). Al-Kasany (1982) mengatakan bahwa disyaratkan pembagian
keuntungan adalah setelah penyerahan modal dan tidak sah pembagian keuntungan sebelum
penyerahan modal. Alasannya karena keuntungan adalah tambahan dan tambahan itu
sendiri tidak terjadi kecuali setelah selamatnya asal (modal) dan jika harta
tetap berada di tangan mudharib maka
hukumnya masih dalam kondisi proses mudharabah.
Jika dibenarkan pembagian keuntungan sebelumnya keuntungan maka dibenarkan pula
pembagian furu’ sebelum asal dan hal
ini tidak diperkenankan.
Ulama Malikiyyah
mengatakan bahwa tidak ada pembagian keuntungan kecuali setelah sempurnanya
penyerahan modal. Setelah terdapat kelebihan dari modal yang dikembalikan maka
sisa tersebut dibagi sesuai dengan apa yang disyaratkan. Mereka mengatakan
bahwa pemilik modal dan para pengelola tidak membagi keuntungan hingga masa
berlakuya habis atau keduanya ridha atas pembagian apabila seorang meminta
pengembalian (Ibnu Fuad, 2006).
Sementara itu Ibnu
Qudamah (1985) menuturkan bahwa seorang mudharib
tidak boleh mengambil sedikitpun keuntungan hingga ia menyerahkan modal kepada
pemiliknya. Jika terdapat keuntungan dan kerugian maka keuntungan tersebut
dipotong dari kerugian baik keuntungan dan kerugian itu berlangsung dalam waktu
yang sama, atau keuntungan terjadi pada suatu transaksi dan kerugian terjadi
pada transaksi lainnya atau keuntungan pada satu perjalanan sementara dalam perjalanan
lain mengalami kerugian. Karena makna keuntungan sendiri adalah kelebihan atas
modal dan sesuatu yang tidak mengalami pertambahan maka tidak dikatakan untung.
Kami tidak menemukan adanya perbedaan dalam hal ini. Adapun pemilikan amil terhadap bagian dari keuntungan
maka hal itu terjadi tatkala keuntungan tersebut telah nampak sebelum pembagian
berlangsung.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa para fuqaha berbeda pendapat dalam kapan waktu
pembagian keuntungan. Sebagian mengatakan bahwa pembagian dilakukan setelah
penyerahan modal dan sebagian lagi setelah perhitungan. Meski demikian mereka
tidak berbeda pendapat bahwa proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan
setelah modal diserahkan kepada pemilik modal.
- Mudharabah
atas Mudharabah
Bank syariah dalam
praktiknya terkenal dengan konsep bagi hasilnya baik dari segi pendanaan maupun
pembiayaan. Bank sebagai amil
(pengelola) melakukan akad mudharabah
dengan pihak yang lain dimana modal yang diperolehnya dari suatu akad mudharabah diberikan kepada pihak lain
untuk dikelola. Ada beberapa
pendapat di kalangan fuqaha yang terkait dengan hal ini.
Sayyid Sabiq
(1983) mengatakan bahwa seorang amil
tidak boleh memudharabahkan harta mudharabah kepada pihak lain. Jika hal
terebut dilakukan maka hal tersebut masuk dalam kategori melampaui batas. Ia
kemudian mengutip pendapat Ibnu Rusydi dalam Bidayatu al-Mujtahid bahwa tidak
ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika seorang amil
menyerahkan modal qiradh kepada pihak
pengelola lain maka ia wajib menanggungnya jika mengalami kerugian. Namun jika
mengalami kentungan maka keuntungan tersebut dibagi berdasarkan apa yang telah
disyaratkan sebelumnya (kepada pemilik modal pertama), kemudian orang yang
mengelola memperoleh bagian dari sisa harta yang ia peroleh dari keuntungan
tersebut sebagaimana yang telah disyaratkan.
Dengan demikian
jika pihak bank syariah sebagai mudharib meminjamkan modal tersebut
kepada nasabah dengan sistem mudharabah
maka jika pihak nasabah mengalami kerugian maka kerugian tersebut tidak boleh
dibebankan kepada pemilik modal pertama. Jadi sepenuhnya menjadi tanggungan
bank. Demikian pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada pihak nasabah
jika kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar