Desentralisasi Fiskal Daerah
Desentralisasi fiskal daerah menunjukkan seberapa besar ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan.
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan tersebut maka dilakukan
dengan menggunakan ukuran apa yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal
dengan berbagai proxy sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Rouhaty Nur
Hikmah (Sukanto Reksohadiprojo, 1999) sebagaimana berikut :
(a)
Pendapa tan Asli Daerah (PAD)
Total Penerimaan Daerah (TPD
X100%
(b)
Bagi Hasil
Pajak
Total
dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP)
Penerimaan Daerah (TPD)
X100%
(c)
Sumbangan Daerah (SB)
Total Penerimaan Daerah (TPD)
X100%
Dimana : TPD = PAD + BHPBP + SB, kalau hasilnya tinggi, derajat
desntralisasinya besar (mandiri).
Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Badan Litbang Depdagri dan Fisipol
UGM (1991), maka kriteria derajat desentralisasi fiskal tersebut adalah sebagai
berikut :
1) 0,00% s/d 10% : sangat kurang
2) 10,1% s/d 20% : kurang
3) 20,1% s/d 30% : cukup.
4) 30,1% s/d 40% : baik
5) 40,1% s/d 50% : sangat baik
6) > 50% : memuaskan
Menurut Abdul Halim (2004) desentralisasi fiskal memiliki berbagai
keuntungan, yakni (1) meningkatnya demokrasi akar rumput (2) perlindungan atas
kebebasan dan hak asasi manusia, (3) meningkatkan efisiensi melalui
pendelegasian kewenangan, (4) meningkatkan kualitas pelayanan dan (5)
meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial.
Kemandirian Fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting
dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (1999) disebutkan
bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah :
a. Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil – hasil pembangunan
(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi
yang tersedia di daerah.
b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran penghambilan
keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki
informasi lebih lengkap.
Dari hal tersebut diatas kemandirian fiskal daerah menggambarkan
Kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah
|
dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian
fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan daerah secara finansial harus
bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin
menggali sumber – sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya (Elia
Radianto,1997).
Kemudian untuk mengukur seberapa besar kemandirian fiskal suatu
daerah digunakan ukuran Derajat Kemandirian Fiskal Daerah / Derajat Otonomi
Fiskal Daerah (DKFD / DOFD) yaitu rasio antara PAD dengan total penerimaan
APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer dari pemerintah pusat (Elia
Radianto,1997).
Sementara itu Machfud Sidik (2004) menyatakan bahwa desentralisasi
memiliki peran yang strategis sebagai salah satu piranti kebijakan fiskal
pemerintah, yang ditujukan untuk (1) menyelaraskan dengan kebijakan ketahanan
fiskal yang berkesinambungan dalam konteks kebijakan ekonomi makro, (2)
memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, (3)
mengoreksi ketimpangan antar daerah dalam kemampuan keuangan, (4)
meningkatkan akuntabilitas, efektifitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan
kinerja pemerintah daerah, (5) meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat serta (6) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan
keputusan di sektor publik.
Salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan adalah
desentralisasi fiskal daerah (otonomi fiskal). Pengertian otonomi fiskal daerah
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan
asli daerah seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Karena itu pemerintah daerah
secara financial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan
sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD (Radianto, 1997, 42).
Menurut Radianto, kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan
masih sering mengalami kendala berupa rendahnya kemampaun daerah dalam
meningkatkan PADnya. Indikator rendahnya kemampuan daerah in dapat dilihat
dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari besarnya
perubahan PAD terhadap pengeluaran rutin daerah dalam persentase tahun yang
sama.
Realitas hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap pembangunan daerah. Hal ini
terlihat jelas dari rendahnya PAD terhadap total pendapatan daerah dibandingkan
dengan total subsidi yang didrop dari pusat. Indlikator desentralisasi fiskal adalah
rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah (Kuncoro, 1997, 408).
Menurut Sugiyanto (2000, 2), ukaran yang digunakan adalah perbandingan
antara PAD terhadap pengeluaran pemerintah kota/kabupaten. Rumusan
perhitungannya adalah R/E (R = PAD dan E = anggaran pengeluaran). Apabila
rasio tersebut semakin tinggi, berarti kecenderungan tingkat kemandirian tersebut
akan semakin besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar