Powered By Blogger

Jumat, 06 Desember 2019

Desentralisasi Fiskal Daerah


Desentralisasi Fiskal Daerah

Desentralisasi fiskal daerah menunjukkan seberapa besar ketergantungan

pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pembangunan.

Untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan tersebut maka dilakukan

dengan menggunakan ukuran apa yang disebut Derajat Desentralisasi Fiskal

dengan berbagai proxy sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Rouhaty Nur

Hikmah (Sukanto Reksohadiprojo, 1999) sebagaimana berikut :



(a)

Pendapa tan Asli  Daerah (PAD)
Total Penerimaan Daerah (TPD

X100%



(b)

Bagi Hasil

Pajak
Total

dan Bukan Pajak untuk Daerah (BHPBP)
Penerimaan Daerah (TPD)

X100%



(c)

Sumbangan Daerah (SB)
Total Penerimaan Daerah (TPD)

X100%



Dimana : TPD = PAD + BHPBP + SB, kalau hasilnya tinggi, derajat

desntralisasinya besar (mandiri).

Berdasarkan kriteria yang dibuat oleh Badan Litbang Depdagri dan Fisipol

UGM (1991), maka kriteria derajat desentralisasi fiskal tersebut adalah sebagai

berikut :

1)     0,00% s/d 10%     : sangat kurang

2)     10,1% s/d 20%     : kurang

3)     20,1% s/d 30%     : cukup.

4)     30,1% s/d 40%     : baik

5)     40,1% s/d 50%     : sangat baik

6)     > 50%                       : memuaskan

Menurut Abdul Halim (2004) desentralisasi fiskal memiliki berbagai

keuntungan, yakni (1) meningkatnya demokrasi akar rumput (2) perlindungan atas

kebebasan dan hak asasi manusia, (3) meningkatkan efisiensi melalui

pendelegasian kewenangan, (4) meningkatkan kualitas pelayanan dan (5)

meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial.

Kemandirian Fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting

dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (1999) disebutkan

bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah :

a. Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam

pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil  hasil pembangunan

(keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi

yang tersedia di daerah.

b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran penghambilan

keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang memiliki

informasi lebih lengkap.

Dari hal tersebut diatas kemandirian fiskal daerah menggambarkan

Kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah

18
 
(PAD) seperti pajak daerah, retribusi dan lain  lain. Karena itu otonomi daerah

dan pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian

fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintahan daerah secara finansial harus

bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin

menggali sumber  sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya (Elia

Radianto,1997).

Kemudian untuk mengukur seberapa besar kemandirian fiskal suatu

daerah digunakan ukuran Derajat Kemandirian Fiskal Daerah / Derajat Otonomi

Fiskal Daerah (DKFD / DOFD) yaitu rasio antara PAD dengan total penerimaan

APBD pada tahun yang sama, tidak termasuk transfer dari pemerintah pusat (Elia

Radianto,1997).

Sementara itu Machfud Sidik (2004) menyatakan bahwa desentralisasi

memiliki peran yang strategis sebagai salah satu piranti kebijakan fiskal

pemerintah, yang ditujukan untuk (1) menyelaraskan dengan kebijakan ketahanan

fiskal yang berkesinambungan dalam konteks kebijakan ekonomi makro, (2)

memperkecil ketimpangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, (3)

mengoreksi ketimpangan antar daerah dalam kemampuan keuangan, (4)

meningkatkan akuntabilitas, efektifitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan

kinerja pemerintah daerah, (5) meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat serta (6) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan

keputusan di sektor publik.

Salah satu aspek penting dari otonomi daerah secara keseluruhan adalah

desentralisasi fiskal daerah (otonomi fiskal). Pengertian otonomi fiskal daerah

menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan

asli daerah seperti pajak, retribusi dan lain-lain. Karena itu pemerintah daerah

secara financial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan

sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD (Radianto, 1997, 42).

Menurut Radianto, kemampuan daerah dalam membiayai pembangunan

masih sering mengalami kendala berupa rendahnya kemampaun daerah dalam

meningkatkan PADnya. Indikator rendahnya kemampuan daerah in dapat dilihat

dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah, yang diperoleh dari besarnya

perubahan PAD terhadap pengeluaran rutin daerah dalam persentase tahun yang

sama.

Realitas hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

ditandai dengan tingginya kontrol pusat terhadap pembangunan daerah. Hal ini

terlihat jelas dari rendahnya PAD terhadap total pendapatan daerah dibandingkan

dengan total subsidi yang didrop dari pusat. Indlikator desentralisasi fiskal adalah

rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah (Kuncoro, 1997, 408).

Menurut Sugiyanto (2000, 2), ukaran yang digunakan adalah perbandingan

antara    PAD     terhadap    pengeluaran    pemerintah    kota/kabupaten.   Rumusan

perhitungannya adalah R/E (R = PAD dan E = anggaran pengeluaran). Apabila

rasio tersebut semakin tinggi, berarti kecenderungan tingkat kemandirian tersebut

akan semakin besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar