Kemandirian Fiskal
Kemandirian fiskal merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari
otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo (1999) disebutkan
bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah :
a. Mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat
dalam pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil-hasil
pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan
sumberdaya serta potensi yang tersedia di daerah.
b. Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran
pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah
yang memiliki informasi lebih lengkap.
Dari hal tersebut diatas, kemandirian fiskal daerah menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seperti pajak dan
retribusi daerah dan lain-lain dan pembanguan daerah bisa diwujudkan hanya
apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah
daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat
dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak,
retribusi dan sebagainya (Radianto, 1997)
Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur
kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan
daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari
pemerintah pusat (World Bank 1994 dalam Suhab 1997).
Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan
otonomi (desentralisasi fiskal) adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang
berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali
sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada
bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi
sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antar pemerintah
pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai
pelaksanaan pemerintahan. Olah karena itu, untuk melihat kemampuan daerah
dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalu kinerja
keuangan daerah . Menurut Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan
daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan
daerah antara lain :
1) PAD
TPD
2) BHPBP
TPD
3) Sum
TPD
Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah dapat menggunakan
derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang
berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2001), antara
lain :
4) PAD
TKD
5) PAD
KR
6) PAD + BHPBP
TKD
Dimana ;
PAD = Pendapatan Asli Daerah
BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak
TPD = Total Penerimaan Daerah
TKD = Total Pengeluaran Daerah
PR = Pengeluaran Rutin
Sum = Sumbangan dari Pusat
Menurut Udjianto (2005), untuk mengukur tingkat pertumbuhan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) untuk memperoleh kondisi keuangan daerah adalah sebagai berikut :
TP PADt =
PADt − PADt −1
PADt − 1
X 100%
Dimana ;
TP PADt = Tingkat Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Tahun
Berjalan
PADt = Pendapatan Asli Daerah Tahun Berjalan
PADt-1 = Pendapatan asli Daerah Tahun Sebelumnya
Untuk mengukur Derajat Otonomi Fiskal :
DOF =
PADt
TPDt
X 100%
Dimana :
DOF = Derajat Otonomi Fiskal
PADt = Total PAD Tahun t
TPDt = Total Penerimaan Daerah Tahun t
Semakin tinggi kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah
tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari
pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang
digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan
daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara
utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar