Powered By Blogger

Jumat, 06 Desember 2019

Desentralisasi Fiskal


Desentralisasi Fiskal

Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama

di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar

belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia,

kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat

pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan

yang terakhir, banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis

dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Bird dan Vaillancourt,

2000)

Secara luas desentralisasi adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus

rumah tangga daerah di negara kesatuan meliputi segenap kewenangan

pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh pemerintah pusat

seperti hubungan luar negeri, pengadilan, moneter dan keuangan serta pertahanan

keamanan (Adisubrata, 2002). Jadi, secara riil desentralisasi merupakan

kewenangan daerah yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat, disesuaikan dengan

kemampuan nyata dari daerah yang bersangkutan (seperti sumber daya manusia,

pendapatan daerah, Produk Domestik Regional Bruto(PDRB).

Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan wewenang dibidang

penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara

administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat

Dengan terjadinya pelimpahan sebagian wewenang terhadap  sumber-sumber

penerimaan di daerah, diharapkan daerah-daerah dapat melaksanakan tugas-tugas

rutin, pelayanan publik dan meningkatkan investasi yang produktif (capital
investment) di daerahnya. Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal

dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber

penerimaan ) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian

peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi

fiskal memerlukan pergeseran beberapa tanggung jawab terhadap pendapatan

(revenue) dan / atau pembelanjaan (expenditure) ke tingkat pemerintahan yang

lebih rendah. Faktor yang sangat penting dalm menentukan desentralisasi fiskal

adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi kewenangan (otonomi) untuk

menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lain yang juga penting

adalah kemampuan daerah untuk meningkatkan penerimaan mereka (PAD).

Tetapi desentralisasi fiskal tidak semata-mata peningkatan PAD saja tetapi lebih

dari itu adalah kewenangan dalam mengelola potensi daerah demi kepentingan

dan kesejahteraan masyarakat .

Dalam membahas mengenai desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel

yang merupakan representasi desentralisasi fiskal (Khusaini,2006) yaitu :

1. Desentralisasi Pengeluaran

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing

kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN).

Hasil studi yang dilakukan Zhang dan Zou (1998), menunjukkan bahwa

variabel ini mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi. Hasil ini mengimplikasikan bahwa desentralisasi fiskal gagal

mendorong pertumbuhan ekonomi di China. Hal ini merefleksikan

bahwa pemerintah memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan
investasi di sektor infrastruktur. Sementara , studi yang dilakukan oleh

Philips dan Woller (1997) juga menunjukkan efek negatif desentralisasi

fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi pada negara-negara maju.

2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran

pembangunan masing-masing     kabupaten/kota (APBD) terhadap total

pengeluaran pembangunan nasional (APBN). Variabel ini menunjukkan

besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara

pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini dapat diketahui apakah

pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi

sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara variabel

ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi

yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik.

3. Desentralisasi Penerimaan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-

masing kabupaten/kota (APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total

penerimaan pemerintah. Variabel ini mengekspresikan besaran relatif

antara pendapatan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat.

Menurut Dillinger (dalam Sidik, 2001), pada dasarnya ada empat jenis

desentralisasi, yaitu :

1. Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada

warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat

untuk mengambil keputusan publik.
2. Desentralisasi adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan

untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber

keuangan untuk menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab

tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan pelimpahan

manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada

aparatnya di daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas

tertentu, atau perusahaan tertentu. Desentralisasi administratif pada dasarnya

dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) :

a. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada pejabat yang berada dalam garis hierarki dengan

pemerintah pusat

b. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu : pelimpahan

wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar

struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh

pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan

ketentuan    perundang-undangan.   Pihak     yang     menerima    wewenang

mempunyai        keleluasaan        (discretion)        dalam        penyelenggaraan

pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak

pemberi wewenang (sovereign-authority).

c. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat

pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas

pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang

tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana
pemerintah daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya,

pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas

pemerintah pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas

pelaksanaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah

daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan

kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali

sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi

dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hirarki organisasi

dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative

decentralization.

3. Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization), yaitu pelimpahan wewenang

dalam mengelola sumber-sumber keuangan , yang mencakup :

a. Self-financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama

melalui pengenaan retribusi daerah

b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi

dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi

Umum (DAU) ,Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat serta

pinjaman daerah (sumber daya alam).

4. Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan

tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan

pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada

sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi ekonomi pasar.
Secara harafiah desentralisasi fiskal memberikan pengertian adanya

pemisahan yang semakin tegas dan jelas dalam urusan keuangan antara

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemisahan dimaksud bisa tercermin

pada kedua sisi anggaran; penerimaan dan pengeluaran. Di sisi penerimaan,

daerah akan memiliki kewenangan yang lebih besar dalam Tax Policy.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 79 dan Pasal 82 UU No. 27 tahun 1999 dan

juga tercermin dari upaya untuk merubah UU No. 18 Tahun 1997 agar tidak

bertentangan dengan semangat yang termaktub dalam UU Pemerintahan Daerah

dan juga UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yakni

adanya keleluasaan yang lebih besar bagi daerah untuk menggali potensi

penerimaan melalui pajak ataupun retribusi. Di sisi pengeluaran, daerah akan

mendapat kewenangan penuh dalam pen ggunaan dana perimbangan (dari bagi

hasil berupa PBB, BPHTB SDA, dan dana alokasi umum/DAU). Pada prinsipnya

penggunaan kedua jenis dana perimbangan tersebut ditentukan oleh daerah

sendiri. Jadi tidak lagi ditetapkan penggunaannya oleh pemerintah pusat seperti

yang terjadi pada dana SDO (Subsidi Daerah Otonom) dan Inpres di masa lalu

(Brahmantio dkk,2002)

Menurut Bahl (1999) desentralisasi fiskal harus diikuti oleh kemampuan

pemerintah daerah dalam memungut pajak (taxing power). Secara teori adanya

kemampuan pajak, maka pemerintah daerah akan memiliki sumber dana

pembangunan yang besar. Pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah dapat

berdampak positif yang akan digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur

dan membiayai berbagai pengeluaran publik. 

Berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pusat dan Daerah dilakukan dengan memberikan sumber-sumber

pembiayaan yang jauh lebih besar kepada daerah. Secara utuh, desentralisasi

fiskal mengandung pengertian bahwa daerah diberikan :

1. Kewenangan untuk memanfaatkan, memobilisasi dan mengelola keuangan

sendiri dan didukung dengan

2. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah . Kewenangan untuk

mengoptimalkan sumber keuangan daerah dilakukan melalui peningkatan

kapasitas Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan perimbangan

keuangan dilakukan melalui pengalokasian Dana Perimbangan.

Desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada daerah

diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan

didukung dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kebijaksanaan

perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti

pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa

hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan

sedemikian    rupa,    sehingga     kebutuhan    pengeluaran    yang     akan    menjadi

tanggungjawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Sejalan dengan pembagian kewenangan yang disebutkan di atas, maka pengaturan

pembiayaan daerah dilakukan berdasarkan asas penyelenggaraan pemerintahan

tersebut.     Pembiayaan     penyelenggaraan     pemerintahan     berdasarkan     asas

desentralisasi dilakukan atas beban APBD, pembiayaan penyelenggaraan

pemerintahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dilakukan atas beban

APBN dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka tugas

pembantuan    dibiayai     atas     beban    anggaran     tingkat     pemerintahan    yang

menugaskan.

Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), ada dua persyaratan penting untuk

kesuksesan desentralisasi fiskal, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi

mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu

pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-

pihak yang terkait memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keputusan-

keputusan tersebut. Kedua, yang lebih sesuai dengan rancangan kebijakan biaya-

biaya dari keputusan yang diambil, sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat

setempat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi  ekspor pajak  dan tidak ada

tambahan transfer dari jenjang pemerintahan yang lain. Maksudnya, pemerintah

daerah perlu memiliki kontrol atas tarif dari paling tidak beberapa jenis pajak.

Dalam perspektif teori, desentralisasi fiskal akan mendekatkan pemerintah

kepada masyarakat (their constituents), sehingga dalam sistem pemerintahan yang

desentralistik akan menciptakan efisiensi dalam perekonoimian, public services

dan kesejahteraan masyarakat dapat dijelaskan oleh fiscal federalism theory

(Ross, 2002 dalam Khusaini, 2006). Berbagai   kajian    literatur     tentang    fiscal

federalism, terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari

desentralisasi (Ross, 2002 dalam Khusaini,2006) yaitu :

1. Traditional Theories (First Generatioon Theory)

Pandangan teori tradisional tentang fiscal federalism menekankan

keuntungan alokatif dari desentralisasi, untuk mendapatkan kemudahan
informasi dari masyarakat. Dalam    hal ini, terdapat dua ide yang

mendasari keuntungan alokatif . Pertama, Penggunaan  knowledge in

society “, dimana menurut Hayek (1945), proses pengambilan keputusan

yang terdesentralisasi akan mempermudah penggunaan informasi yang

efisien. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai

informasi yang lebih baik daripada pemerintah pusat tentang kondisi

daerah sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan

keputusan tentang penyediaan barang dan jasa publik daripada jika

diserahkan ke pemerintah pusat. Kedua, Tiebout (1956) mengenalkan

dimensi     persaingan     dalam    pemerintah    daerah     dan     mempunyai

pandangan bahwa kompetisi antara pemerintah daerah tentang alokasi

pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang

dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan masyarakat.

Suatu analogi argument lainnya yang dikenel dengan ungkapan  Love it

or leave it “. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi

pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh

masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan

pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di

lingkungan yang angaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling

tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak

yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada

kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan

barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga
masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut (leave) atau tetap

tinggal di wilayah tersebut (love) dengan berusaha mengubah kebijakan

pemerintah lokal melalaui perwakilannya di daerah (DPRD)[ Hyman,

1993, dalam Khusaini, 2006). ersebut bisa dijelaskan bagaimana

penyediaan barang publik dalam sistem sentralisasi dan sistem

desentralisasi. Jika diasumsikan bahwa dalam ekonomi yang ideal

tingkat konsumsi dan produksi suatu barang swasta dan barang publik

adalah efisien. Dalam gambar ditunjukkan oleh titik A, yang merupakan

titik persinggungan antara kurva indeferen I dengan kurva kemungkinan

produksi P. Tetapi sekarang diasumsikan bahwa pemerintah telah

mengambil keputusan untuk memilih kebijakan pada titik C. Dalam hal

ini banyak barang publik yang diproduksi. Hal ini tentu akan

menyebabkan alokasi sumber daya tidak efisien lagi karena pada titik

tersebut tingkat konsumsi dan produksi terletak pada kurva indeferen II.

Pada titik C ini menunjukkan keadaan dimana pemerintah pusat sangat

menentukan dalam perekonomian sehingga produksi barang publik tidak

sesuai dengan apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat lokal.

Oleh karena itu, untuk mencapai titik efisien kembali seperti pada titik

A, diperlukan pengurangan produksi barang publik dan penambahan

produksi barang swasta di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, konsep

desentralisasi dapat memainkan peranan yang sangat penting sehingga

alokasi sumber daya dan produksi barang publik benar-benar sesuai

dengan kebutuhan dan keinginan masyarakatnya (Bahl dan Linn, 1992

dalam Khusaini, 2006).      Dalam sistem pemerintahan sentralistik

sebaliknya, tidaklah mudah untuk merubah alokasi antara barang swasta
dan barang publik . Hal tersebut dikarenakan proses pengambilan

keputusan harus melewati sistem birokrasi yang panjang.

2. New Perspective Theories (Second Generation Theories)

Second       generation       theories,       menjelaskan       bagaimana

desentralisasi akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Dengan

implementasi desentralisasi fiskal apakah pemerintah daerah akan

berprilaku berbeda dengan ketika dalam sistem pemerintahan yang

sentralistik.Secara     teoritik,     seharusnya    pemerintah     daerah     akan

berprilaku berbeda ketika pemerintah pusat menyerahkan berbagai

kewenangan kepada pemerintah daerah, yaitu semakin berusaha

meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Implikasi penting dari

teori ini adalah bahwa desentralisasi akan mendorong pertumbuhan

ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dimana

hal tersebut sangat bergantung pada fiskal insentif yang diberikan

kepada masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar