Powered By Blogger

Jumat, 06 Desember 2019

engelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada Kepentingan Publik.


Pengelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada Kepentingan Publik.

Secara garis besar, pengelolaan (manajemen)

keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian

yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen

pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan

sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah

daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

Konsekuensi       logis       pelaksanaan        otonomi       daerah

berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25

tahun           1999           menyebabkan          perubahan          dalam

manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut

antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting

reform atau reformasi anggaran.

Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke

performance budget. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang

memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran

tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering

dikenal dengan pendekatan New Public Management.

 Anggaran Tradisional

Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak

digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam

pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas

pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat

line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut

adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)

menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-

ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk

setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam

memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak

tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat

digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan

anggaran.

Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya

perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan

efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran

tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini,

seringkali    pada    akhir    tahun    anggaran    terjadi    kelebihan    anggaran    yang

pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya

kurang penting untuk dilaksanakan.

Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional

memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):

a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan

rencana pembangunan jangka panjang.

b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah

diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.

c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan

anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat

kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi

dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan

tercapai.

d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara

keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik,

overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.

e. Proses    anggaran     terpisah    untuk    pengeluaran    rutin     dan    pengeluaran

modal/investasi.

f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya

terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong

praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).


g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak

memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya

adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.

h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme

pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi

anggaran dan ’manipulasi anggaran.’

i. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang

menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan

tindakan.

Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak

merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

Era New Public Management (NPM)

Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya

era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan

pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik.

Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran

sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting),

Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System

(PPBS).

Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki

karak-teristik umum sebagai berikut:

- Komprehensif/komparatif

- Terintegrasi dan lintas departemen

- Proses pengambilan keputusan yang rasional

- Berjangka panjang

- Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas

- Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)

- Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.

- Adanya pengawasan kinerja.

Tabel 2.2. Menyajikan perbedaan mendasar antara anggaran tradisional dengan

anggaran era new public management.

ANGGARAN TRADISIONAL
NEW PUBLIC MANAGEMENT
Sentralistis
Desentralisasi & devolved management
Berorientasi pada input
Berorientasi pada input, output, dan

outcome (value for money)
Tidak terkait dengan perencanaan

jangka panjang
Utuh dan komprehensif dengan

perencanaan jangka panjang
Line-item dan incrementalism
Berdasarkan sasaran dan target kinerja
Batasan departemen yang kaku

(rigid department)
Lintas departemen

(cross department)
Menggunakan aturan klasik:

Vote accounting
Zero-Base Budgeting, Planning

Programming Budgeting System
Prinsip anggaran bruto
Sistematik dan rasional
Bersifat tahunan
Bottom-up budgeting




Tabel 2..2
Perbandingan Anggaran Tradisional VS Anggaran
Dengan Pendekatan NPM

Sumber Data : Artikel OTDA  Th. I  4  Juni 2002


Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-

item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya

mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya

tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan

dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini,

APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi 
kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya

peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini

seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga

memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis

dari pemerintah pusat.

Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan

pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.

Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,

yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan kebutuhan

masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan

bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau

kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri.

Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan

pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan

kepentingan daerah.

Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada

prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip

manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan

keuangan daerah tersebut meliputi:

       Akuntabilitas;

       Value for Money;

       Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);

       Transparansi; dan 
       Pengendalian.

a). Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti

bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan

pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan

kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil

keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini,

perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut

harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal

dengan baik.

b). Value for Money

Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses

penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan

dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas

tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan

dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang

maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran

tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.

Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan

untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for

money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan

anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik

(public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan

sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut

dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik.

c). Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik

(Probity)

Pengelolaan              keuangan              daerah              harus

dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas

dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan

untuk korupsi dapat diminimalkan.

d). Transparansi

Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-

kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan

masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan

menciptakan    horizontal    accountability    antara    pemerintah    daerah    dengan

masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien,

akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.

e). Pengendalian

Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu

dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu

dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah

agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan

antisipasi ke depan.

Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut

harus    senantiasa    dipegang     teguh     dan    dilaksanakan    oleh    penyelenggara

pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar

terhadap pemerintah, yaitu:

1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu:

a. Mengetahui kebijakan pemerintah.

b. Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.

c. Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu.

2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk

diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang

menjadi perdebatan publik.

3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).

Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan

yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah

sebagai berikut:

1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik

(public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian

anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya

partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/

pengendalian keuangan daerah.

2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan

anggaran daerah pada khususnya.

3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang

terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan

perangkat daerah lainnya.

4. Kerangka    hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi,   dan

pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for

5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik

ratio maupun dasar pertimbangannya.

6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan

anggaran multi-tahunan.

7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.

8. Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran

akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja

anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.

9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran

asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme

aparat pemerintah daerah.

10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan

informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah

daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan

dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.

Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era

otonomi daerah adalah sebagai berikut:

1. Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.

2. Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah

(work better and cost less).

3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas

secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.

4. Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance

oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.

5. Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di

setiap organisasi yang terkait.

Anggaran     Daerah     harus     dapat     memberikan    keleluasaan    bagi     para

pelaksananya     untuk      memaksimalkan     pengelolaan      dananya     dengan

memperhatikan prinsip value for money.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar