Pengelolaan Keuangan Daerah yang berorientasi pada Kepentingan Publik.
Secara garis besar, pengelolaan (manajemen)
keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen
pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan
sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah
daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25
tahun 1999 menyebabkan perubahan dalam
manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut
antara lain adalah perlunya dilakukan budgeting
reform atau reformasi anggaran.
Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke
performance budget. Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang
memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan tersebut adalah: (a) Anggaran
tradisional atau anggaran konvensional; dan (b) Pendekatan baru yang sering
dikenal dengan pendekatan New Public Management.
Anggaran Tradisional
Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak
digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam
pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas
pendekatan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat
line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut
adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f)
menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-
ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk
setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam
memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh karena tidak
tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang dapat
digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan
anggaran.
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya
perhatian terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan
efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran
tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini,
seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang
pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya
kurang penting untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional
memiliki beberapa kelemahan, antara lain (Mardiasmo, 2002):
a. Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan
rencana pembangunan jangka panjang.
b. Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah
diteliti secara menyeluruh efektivitasnya.
c. Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan
anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat
kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi
dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan
tercapai.
d. Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara
keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik,
overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
e. Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran
modal/investasi.
f. Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya
terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong
praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi).
g. Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak
memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya
adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
h. Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme
pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, seperti seringnya dilakukan revisi
anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
i. Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang
menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan
tindakan.
Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak
merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.
Era New Public Management (NPM)
Reformasi sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya
era New Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan
pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik.
Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran
sektor publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting),
Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System
(PPBS).
Pendekatan baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki
karak-teristik umum sebagai berikut:
- Komprehensif/komparatif
- Terintegrasi dan lintas departemen
- Proses pengambilan keputusan yang rasional
- Berjangka panjang
- Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
- Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
- Berorientasi input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.
- Adanya pengawasan kinerja.
Tabel 2.2. Menyajikan perbedaan mendasar antara anggaran tradisional dengan
anggaran era new public management.
NEW PUBLIC MANAGEMENT
|
|
Sentralistis
|
Desentralisasi & devolved management
|
Berorientasi pada input
|
Berorientasi pada input, output, dan
outcome (value for money)
|
Tidak terkait dengan perencanaan
jangka panjang
|
Utuh dan komprehensif dengan
perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan sasaran dan target kinerja
|
Batasan departemen yang kaku
(rigid department)
|
Lintas departemen
(cross department)
|
Menggunakan aturan klasik:
Vote accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning
Programming Budgeting System
|
Prinsip anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Tabel 2..2
Perbandingan Anggaran Tradisional VS Anggaran
Dengan Pendekatan NPM
Sumber Data : Artikel OTDA – Th. I – 4 – Juni 2002
Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-
item dan incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya
mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya
tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan
dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini,
APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi subordinasi
kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya
peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Besarnya dominasi ini
seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa Pemerintah Daerah, sehingga
memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis
dari pemerintah pusat.
Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan
pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja.
Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan kebutuhan
masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan
bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau
kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya sendiri.
Aspek atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan
pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah.
Perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada
prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip
manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan
keuangan daerah tersebut meliputi:
Akuntabilitas;
Value for Money;
Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);
Transparansi; dan
Pengendalian.
a). Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti
bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan
pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan
kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil
keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk ini,
perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut
harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal
dengan baik.
b). Value for Money
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses
penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan
dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas
tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan
dana masyarakat (public money) tersebut dapat menghasilkan output yang
maksimal (berdaya guna). Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran
tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik.
Dalam konteks otonomi daerah, value for money merupakan jembatan
untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai good governance. Value for
money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan
anggaran daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik
(public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan
sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal tersebut
dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi yang baik.
c). Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan Publik
(Probity)
Pengelolaan keuangan daerah harus
dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas
dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan
untuk korupsi dapat diminimalkan.
d). Transparansi
Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-
kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan
masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan
menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan
masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien,
akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
e). Pengendalian
Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu
dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah
agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan
antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut
harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara
pemerintahan, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar
terhadap pemerintah, yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know), yaitu:
a. Mengetahui kebijakan pemerintah.
b. Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.
c. Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan keputusan tertentu.
2. Hak untuk diberi informasi (right to be informed) yang meliputi hak untuk
diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang
menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to).
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka perspektif perubahan
yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah
sebagai berikut:
1. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik
(public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi pengalokasian
anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan/
pengendalian keuangan daerah.
2. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
3. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang
terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan
perangkat daerah lainnya.
4. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for
5. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik
ratio maupun dasar pertimbangannya.
6. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan
anggaran multi-tahunan.
7. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
8. Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran
akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja
anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran
asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme
aparat pemerintah daerah.
10. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah
daerah terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan
dan pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang diperlukan di era
otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1. Anggaran Daerah harus bertumpu pada kepentingan publik.
2. Anggaran Daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah
(work better and cost less).
3. Anggaran Daerah harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas
secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran.
4. Anggaran Daerah harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance
oriented) untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
5. Anggaran Daerah harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di
setiap organisasi yang terkait.
Anggaran Daerah harus dapat memberikan keleluasaan bagi para
pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan
memperhatikan prinsip value for money.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar