Perlakuan Akuntansi Pajak
Pengertian akuntansi
Akuntansi sering
disebut sebagai “bahasa bisnis”. Atau bisa juga dikatakan akuntansi adalah
“bahasa dari keputusan-keputusan keuangan”. (Horngren dkk., 1997 : 2).
Pengertian akuntansi menurut APB Statement No.4 : “Akuntansi adalah aktivitas
jasa. Fungsinya adalah untuk menyediakan informasi kuantitatif, terutama yang
bersifat keuangan, tentang entitas (kesatuan) usaha yang dipandang akan
bermanfaat dalam pengambilan keputusan ekonomi dalam menetapkan pilihan yang
tepat di antara berbagai alternatif tindakan”.
Aspek legal
menyangkut penyelenggaraan akuntansi atau pembukuan diatur dalam pasal-1 angka
26, dan pasal 28 Undang-Undang No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP). Menurut ketentuan pasal-1 angka 26 Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tersebut di atas, pembukuan
didefinisikan sebagai :
“Suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal penghasilan dan biaya serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap akhir tahun pajak”
Pengertian laporan keuangan
Laporan Keuangan
bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja,
serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah
besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Pengertian
laporan keuangan menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004:2) :
“Laporan keuangan merupakan bagian
dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi
neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat
disajikan dalam berbagai cara, misalnya sebagai laporan arus kas, atau laporan
arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan
bagian integral dari laporan keuangan”
Selanjutnya di
dalam Standar Akuntansi Keuangan tersebut disebutkan bahwa tujuan disusunnya
laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan,kinerja,
dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna
laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan
pertanggungjawaban (stewardships) manajemen atas penggunaan
sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Pengertian akuntansi pajak
Akuntansi
perpajakan, menurut Niswonger dan Fees yang dikutip Gunadi (1997:7) dirumuskan
sebagai bagian dari akuntansi yang menekankan pada penyusunan surat
pemberitahuan pajak (tax return) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan
terhadap transaksi atau kegiatan perusahaan. Akuntansi perpajakan secara khusus
menyajikan laporan keuangan dan informasi lain kepada administrasi pajak.
Tujuan utama dari laporan akuntansi pajak adalah untuk menyajikan informasi
sebagai bahan menghitung besarnya pendapatan kena pajak (dasar pengenaan pajak dalam
kasus PPN).
Dalam sistem self
assessment, Wajib Pajak harus menghitung sendiri utang pajaknya sehingga
laporan keuangan itu sangat membantu perhitungan. Selain untuk kebutuhan
informasi manajemen, laporan keuangan juga dipakai sebagai bahan untuk mengetahui
dan menilai tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap administrasi pajak, terutama
dalam aktivitas pemeriksaan bahkan penyidikan pajak.
Aktiva tetap
Pengertian aktiva tetap
Menurut Standar
Akuntansi Keuangan No.16 (2004:16.2) : “Aktiva Tetap adalah aktiva berwujud
yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu,
yang digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam
rangka kegiatan normal perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun”.
Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa suatu aktiva tetap mempunyai beberapa sifat,
yaitu :
1. Masa manfaatnya jangka panjang atau lebih
dari satu tahun
2. Dimiliki dan digunakan dalam operasi
normal perusahaan untuk menghasilkan barang atau jasa
3. Tidak ditujukan untuk dijual kembali atau
diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan aktiva tersebut
Bentuk-bentuk aktiva tetap
Secara garis
besar aktiva tetap dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan yaitu :
- Aktiva Tetap Berwujud
Zaki Baridwan (1992:271) mengungkapkan : “Aktiva
tetap berwujud adalah aktiva-aktiva berwujud yang sifatnya relatif permanen
yang digunakan dalam kegiatan perusahaan normal” .
Jadi aktiva tetap berwujud ini mempunyai
sifat permanen atau dengan kata lain dapat digunakan dalam jangka waktu yang
relatif lama. Aktiva tetap berwujud ini masih dibagi lagi menjadi :
- Aktiva tetap yang umurnya tidak terbatas, seperti tanah
- Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaannya bisa diganti dengan aktiva aktiva sejenis, misalnya:
bangunan, mesin, peralatan, kendaraan dan lain-lain.
- Aktiva tetap yang umurnya terbatas dan apabila sudah habis masa
penggunaannya tidak dapat diganti dengan aktiva sejenis, misalnya:
sumber-sumber alam seperti hasil tambang, hutan, dan lain-lain
- Aktiva Tetap Tidak Berwujud
Pengertian aktiva tetap tidak berwujud
menurut Zaki Baridwan (1992:355) adalah : “Aktiva-aktiva yang umurnya lebih
dari satu tahun dan tidak mempunyai bentuk fisik. Pada umumnya aktiva tetap
tidak berwujud merupakan hak-hak yang dimiliki yang dapat digunakan lebih dari
satu tahun”.
Menurut Standar Akuntansi Keuangan
(2004:19.3): “Aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat
diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan
dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak
lainnya, atau untuk tujuan administratif”.
Aktiva tidak berwujud antara lain dapat
berbentuk lisensi, merek dagang, (termasuk merek produk), hak paten, hak cipta,
waralaba.
Penyusutan aktiva tetap berwujud
Pengertian penyusutan
Menurut Standar
Akuntasi Keuangan (2004:17.1): “Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva
yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi”.
Penyusutan untuk
periode akuntansi dibebankan ke pendapatan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Aktiva yang dapat disusutkan adalah aktiva yang :
1. Diharapkan untuk digunakan selama lebih
dari satu periode akuntansi; dan
2. Memiliki suatu masa manfaat yang terbatas;
dan
3. Ditahan oleh suatu perusahaan untuk
digunakan dalam produksi atau memasok barang dan jasa, untuk disewakan atau
untuk tujuan administrasi.
Metode penyusutan
Jumlah yang dapat
disusutkan dialokasi ke setiap periode akuntansi selama masa manfaat aktiva
dengan berbagai metode yang sistematis. Metode manapun yang dipilih,
konsistensi dalam penggunaannya adalah perlu, tanpa memandang tingkat
profitabilitas perusahaan dan pertimbangan perpajakan, agar dapat menyediakan
daya banding hasil operasi perusahaan dari periode ke periode.
Penyusutan dapat
dilakukan dengan berbagai metode yang dapat dikelompokkan menurut kriteria
berikut :
1. Berdasarkan waktu :
a. Metode garis lurus (straight line
method)
b. Metode pembebanan yang menurun :
i.
Metode
jumlah angka tahun (sum of the year digit method)
ii.
Metode
saldo menurun/saldo menurun ganda (declining/double declining balance method)
2. Berdasarkan penggunaan
a. Metode jam jasa (service hours method)
b. Metode jumlah unit produksi (productive
output method)
3. Berdasarkan kriteria lainnya
a. Metode berdasarkan jenis dan kelompok (group
and composite method);
b. Metode anuitas (annuity method)
c. Sistem persediaan (inventory system)
Metode penyusutan menurut ketentuan perpajakan
Metode penyusutan
menurut peraturan perpajakan diatur dalam pasal 11 Undang-undang No.7 Tahun
1983 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan. Metode penyusutan yang diperbolehkan
berdasarkan ketentuan ini adalah :
1. Metode garis lurus atau straight line
method
Dalam ketentuan fiskal metode ini disebut
penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut.
2. Metode saldo menurun atau declining
balance method
Penyusutan atas harta berwujud dilakukan
dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara
menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat
nilai sisa buku disusutkan, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Penggunaan metode
penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Harta berwujud berupa
bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud
selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo
menurun.
Untuk menghitung
penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai
berikut :
Tabel 2.1
Tarif penyusutan menurut ketentuan perpajakan
Kelompok Harta
Berwujud
|
Masa Manfaat
|
Tarif Penyusutan
Berdasarkan Metode
|
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
||
I. Bukan
bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak permanen
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
|
25 %
12,5%
6,25%
5%
5%
10%
|
50%
25%
12,5%
10%
-
-
|
Sumber :
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
Sewa guna usaha (Leasing)
Pengertian sewa guna usaha
Kegiatan sewa
guna usaha (leasing) diperkenalkan untuk pertama kalinya di Indonesia
pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.Kep-122/MK/2/1974 dan No.30/KPB/I/74
tanggal 7 Februari 1974 tentang “Perizinan Usaha Leasing”. Menurut Surat
Keputusan Bersama tersebut menyatakan :
“ Leasing ialah setiap
kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal
untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih
(opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa
yang telah disepakati bersama”
Definisi tersebut
nampaknya hanya menampung satu jenis sewa guna usaha saja yang lazim disebut capital lease atau
sewa guna usaha pembiayaan. Namun demikian, dengan ditetapkannya Keputusan
Menteri Keuangan No.1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988, jenis kegiatan
sewa guna usaha telah diperluas sebagaimana tersirat dalam (pasal 1 huruf d)
keputusan tersebut yang menampung definisi-definisi berikut ini : “Perusahaan
sewa guna usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Capital
lease maupun Operating Lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha
selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala”
Menurut Marpaung
(1985:1), perusahaan leasing adalah perusahaan yang memberikan jasa
dalam bentuk penyewaan barang-barang modal atau alat-alat produksi dalam jangka
waktu menengah atau jangka panjang dimana pihak penyewa (lessee) harus
membayar sejumlah uang secara berkala yang terdiri dari nilai penyusutan suatu
obyek lease ditambah dengan bunga, biaya-biaya lain serta profit yang
diharapkan oleh lessor.
Dari
definisi-defini leasing yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa ciri-ciri leasing yang membedakannya dari transaksi
sewa-menyewa biasa, yaitu :
- Obyek Leasing
Barang-barang yang menjadi obyek
perjanjian leasing meliputi segala macam barang modal seperti mesin atau
komputer, sedangkan pada transaksi sewa-menyewa biasa obyeknya tidak harus
barang modal.
- Adanya pembayaran secara berkala dalam waktu tertentu
Dalam
sewa-menyewa biasanya cara pembayarannya dilakukan sekali untuk suatu periode
tertentu, sedangkan leasing pembayarannya dilakukan secara berkala dan
bisa dilakukan setiap bulan, setiap kuartal, atau setiap setengah tahun sekali.
- Nilai sisa atau residual value
Pada
perjanjian leasing ditentukan suatu nilai sisa sedangkan perjanjian
sewa-menyewa biasa tidak mengenal hal ini.
- Hak opsi bagi lessee
Pada akhir
dari masa leasing, lessee mempunyai hak untuk menentukan apakah
dia ingin membeli barang tersebut dengan harga sebesar nilai sisa ataukah
mengembalikan kepada lessor. Pada perjanjian sewa-menyewa biasa jika
masa sewa telah berakhir maka penyewa wajib mengembalikan barang tersebut
kepada pihak yang menyewakan.
Jenis-jenis sewa guna usaha (Leasing)
Secara umum jenis
leasing bisa dibedakan menjadi dua kelompok utama (Eddy P.Soekadi,
1990:20), yaitu :
1. Capital lease atau Capital
Lease (Sewa guna usaha dengan hak opsi)
Pada transaksi leasing jenis ini Lessee yang membutuhkan
barang menentukan sendiri jenis serta spesifikasi barang yang dibutuhkan. Lessee
juga mengadakan negosiasi langsung dengan supplier mengenai harga,
syarat-syarat perawatan serta lain-lain hal yang berhubungan dengan
pengoperasian barang tersebut. Kemudian Lessor akan mengeluarkan dananya
untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan setelah itu barang
tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa penggunaan
barang tersebut maka lessee akan membayar secara berkala kepada lessor
sejumlah uang untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama. Pada
akhir masa lease, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang
tersebut seharga nilai sisanya, mengembalikan barang tersebut kepada lessor atau
juga mengadakan perjanjian leasing lagi untuk tahap yang kedua atas barang yang
sama. Capital lease sendiri sebenarnya dapat dikategorikan lagi menjadi
dua macam :
a. Direct capital lease
Transaksi
ini terjadi jika lessee sebelumnya belum pernah memiliki barang yang
dijadikan obyek lease. Pada dasarnya transaksi leasing jenis ini
sama dengan transaksi capital lease yang telah diterangkan di atas.
b. Sale and lease back
Sesuai
dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang sudah
dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan
suatu kontrak leasing antara lessor dan lessee.
2. Operating Lease (Sewa guna usaha
tanpa hak opsi)
Pada transaksi leasing
jenis ini, lessor membeli barang dan kemudian menyewakannya kepada lessee untuk
jangka waktu tertentu. Pada prakteknya lessee membayar uang secara
berkala yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta
biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor. Disini secara jelas tidak
ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee. Setelah masa lease
berakhir, lessor merundingkan kemungkinan dilakukannya kontrak lease yang
baru dengan lessee yang sama atau juga lessor mencari calon lessee
yang baru. Pada operating lease ini biasanya lessor
bertanggung jawab mengenai perawatan barang tersebut. Barang-barang yang sering
digunakan dalam operating lease ini biasanya barang-barang yang
mempunyai nilai tinggi seperti alat-alat berat, traktor, mesin-mesin, dan
sebagainya.
Di samping adanya
bentuk-bentuk lease seperti yang telah disebutkan di atas, ada
bentuk-bentuk lain dari leasing, yaitu :
3. Leverage
lease
Leverage lease ini adalah merupakan capital
lease. Namun di dalam pelaksanaannya leverage lease ini jauh lebih
kompleks serta melibatkan pihak ketiga. Selain daripada lessee dan lessor,
ada juga pihak ketiga yang disebut sebagai credit provider.
Lessor tidak membiayai barang tersebut hingga
sebesar 100 % dari harga barang melainkan hanya antara 20% hingga 40%. Kemudian
sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh pihak ketiga. Biasanya leverage
lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai yang
tinggi.
4. Cross border lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang
dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor
dan lessee terletak pada dua negara yang berlainan. Cross border
lease ini saat ini banyak dilakukan di negara-negara maju seperti di Eropa
atau di Amerika Serikat. Barang-barang atau peralatan yang ditransaksikan dalam
cross border lease ini juga meliputi nilai jutaan dollar seperti
misalnya pesawat terbang jet. Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum
mengizinkan adanya transaksi cross border lease ini.
Kriteria penggolongan sewa guna usaha
Menurut Standar
Akuntansi Keuangan (2004:30.6), suatu transaksi sewa guna usaha akan
dikelompokkan sebagai capital lease apabila dipenuhi semua kriteria
berikut ini :
1. Penyewa guna usaha (lessee) memiliki hak opsi untuk membeli
aktiva yang disewagunausahakan pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga
yang telah disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha.
2. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan
oleh penyewa guna usaha ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga
perolehan barang modal yang disewagunausahakan serta bunganya, sebagai
keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full payout lease).
3. Masa sewa guna usaha minimum 2 (dua) tahun.
Sedangkan menurut
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 27 Nopember 1991,
kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi
apabila memenuhi semua kriteria berikut :
1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama
masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus
dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
2. Masa sewa guna usaha ditetapkan
sekurang-kurangnya 2(dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun
untuk barang modal golongan II dan III dan 7 (tujuh) tahun untuk golongan
bangunan.
3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan
mengenai opsi bagi lessee.
Dari kedua
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya suatu transaksi dapat
dikatakan sebagai transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi (capital lease)
apabila memenuhi syarat :
1. Adanya hak opsi bagi lessee untuk
membeli barang yang disewagunausahakan.
2. Masa sewa guna usahanya sama atau melebihi
75% dari taksiran umur ekonomis aktiva yang disewagunausahakan.
3. Pembayaran sewa guna usahanya selama masa
sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat
menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
Perlakuan akuntansi oleh penyewa guna
usaha (Lessee)
1.
Berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi komersial
Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004:30.7)
perlakuan akuntansi oleh lessee atas transaksi capital lease
adalah sebagai berikut :
a.
Transaksi
sewa guna usaha diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan kewajiban
pada awal masa sewa guna usaha sebesar nilai tunai dari seluruh pembayaran sewa
guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar oleh penyewa
guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha setiap
pembayaran sewa guna usaha dialokasikan dan dicatat sebagai angsuran pokok
kewajiban sewa guna usaha dan beban bunga berdasarkan tingkat bunga yang
diperhitungkan terhadap sisa kewajiban penyewa guna usaha.
b.
Tingkat
diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari pembayaran sewa guna
usaha adalah tingkat bunga yang dibebankan oleh perusahaan sewa guna usaha atau
tingkat bunga yang berlaku pada awal masa sewa guna usaha.
c.
Aktiva
yang disewagunausahakan harus diamortisasi dalam jumlah yang wajar berdasarkan
taksiran masa manfaatnya.
d.
Kalau
aktiva yang disewagunausahakan dibeli sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha,
maka perbedaan antara pembayaran yang dilakukan dengan sisa kewajiban
dibebankan atau dikreditkan pada tahun berjalan.
e.
Kewajiban
sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan jangka panjang
sesuai dengan praktik yang lazim untuk jenis usaha penyewa guna usaha.
f.
Dalam
hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and lease back)
maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah
yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga
jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai
keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau
kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya
amortisasi aktiva yang disewagunausahakan apabila leaseback merupakan capital
lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan
operating lease.
2. Berdasarkan ketentuan
perpajakan
a.
Pajak Penghasilan
Menurut Keputusan Menteri Keuangan RI
No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing) dengan
hak opsi, pada pasal 16 :
i.
Perlakuan
pajak penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
1.
Selama
masa sewa guna usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas
barang modal yang disewagunausaha, sampai saat lessee menggunakan opsi
untuk membeli.
2.
Setelah
lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee
melakukan penyusutan dan dasar penyusutan adalah nilai sisa (residual value)
barang modal yang bersangkutan.
3.
Pembayaran
sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali
pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto lessee sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut memenuhi
ketentuan dalam pasal 3 keputusan ini.
ii.
Lessee tidak memotong PPh pasal 23 atas
pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian
sewa guna usaha dengan hak opsi.
b.
Pajak
Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak
yang dikenakan atas bertambahnya nilai barang dan jasa yang dihasilkan atau
diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak baik pengusaha yang menghasilkan barang
kena pajak, mengimpor barang kena pajak,
melakukan usaha perdagangan, atau pengusaha yang melakukan usaha
dibidang jasa kena pajak.
Dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi (financial
lease), ada dua jenis penyerahan yaitu penyerahan barang kena pajak dan
penyerahan jasa kena pajak. Dalam Keputusan Menteri Keuangan RI
No.1169/KMK.01/1991 pasal 15 disebutkan bahwa atas penyerahan jasa kena pajak
pada transaksi financial lease, dikecualikan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai. Sedangkan dalam pasal 1 huruf b angka 1 Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai, disebutkan bahwa penyerahan barang kena pajak karena perjanjian leasing
adalah penyerahan yang dikenakan PPN. Yang menjadi soal adalah siapa diantara lessee
dan lessor yang berhak untuk mengkreditkan pajak masukan PPN. Dengan
perkataan lain, nama dan NPWP siapa yang tercantum dalam faktur pajak. Oleh
karena barang modal tersebut digunakan oleh lessee dalam produksi, maka
dialah yang berhak mengkreditkan pajak masukan. Dengan demikian, faktur pajak
barang modal adalah atas nama dan NPWP lessee tersebut.
Berikut ini
adalah skema perlakuan PPN atas penyerahan sewa guna usaha dengan hak opsi :
Keterangan :
1. Perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ditandatangani oleh lessor
dan lessee.
2.
Lessor
menyerahkan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi kepada lesse yang
berdasarkan pasal 4A UU PPN 1984 jo pasal 9 PP No.50/1994 tidak dikenakan PPN,
sehingga lessor non PKP.
3.
Perjanjian jual beli barang modal
sebagai objek perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ditandatangani oleh supplier
dan lessor.
4.
Penyerahan secara fisik barang
modal kepada lessee sesuai dengan permintaan lessor.
5.
Penyerahan secara yuridis barang
modal kepada lessor selaku pemegang hak milik atas barang modal yang
menjadi objek perjanjian.
6.
Supplier membuat dan menyerahkan faktur pajak atas nama “Lessor q.q. Lessee”.
7.
Lessor membayar PPN kepada supplier, tetapi PPN ini merupakan pajak
masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh lessor karena lessor
bukan PKP.
8.
Untuk membeli barang modal, lessor
mengambil kredit dari bank.
9.
Faktur pajak atas nama “Lessor
q.q. Lessee”, diserahkan oleh lessor kepada lessee supaya
pajak masukannya dapat dikreditkan oleh lessee.
Karena lessee menerima faktur pajak atas
nama “Lessor q.q. Lessee” sehingga pajak masukan dapat dikreditkan, maka
lessee mengembalikan uang pembayaran PPN kepada lessor.
Pencatatan Transaksi Sewa Guna
Usaha dengan Hak Opsi oleh Lessee
Sophar (1996:510)
mengatakan bahwa transaksi berdasarkan capital lease harus dicatat oleh lessee
sebagai aktiva tetap dan kewajiban dengan jumlah yang sama. Dengan demikian, lessee
melakukan penyusutan atas aktiva yang di sewagunausahakan. Kebijaksanaan
penyusutan aktiva yang di sewagunausahakan harus diterapkan secara konsisten
sesuai dengan kebijaksanaan penyusutan aktiva lainnya. Apabila tidak ada
kepastian bahwa aktiva tetap tersebut tidak dimiliki pada akhir masa sewa guna
usaha, maka nilai aktiva tersebut harus disusutkan seluruhnya dalam jangka
waktu yang lebih singkat dari masa sewa guna usaha atau umur ekonomisnya.
Berikut ini
adalah contoh pencatatan akuntansi atas transaksi sewa guna usaha dengan metode
capital lease pada buku lessee (Keiso dkk., 2002:242) :
1.
Pada saat lessee memperoleh aktiva
Aktiva Sewa Guna Usaha
– Capital
lease xxx
Hutang
Sewa Guna Usaha – Capital lease xxx
2.
Mencatat PPN pada saat memperoleh
aktiva
Aktiva Sewa
Guna Usaha – Capital lease xxx
PPN masukan xxx
Hutang Sewa Guna
Usaha xxx
3.
Pada saat pembayaran angsuran
Hutang Sewa
Guna Usaha – Capital lease xxx
Kas xxx
4.
Mencatat pembayaran bunga yang
terhutang pada akhir tahun pertama
Beban bunga xxx
Hutang bunga xxx
5.
Mencatat penyusutan
Beban
penyusutan – Capital lease xxx
Akumulasi penyusutan – Capital
lease xxx
6.
Opsi membeli di akhir periode
leasing
Aktiva tetap xxx
Akumulasi
penyusutan – Capital lease xxx
Aktiva Sewa Guna Usaha – Capital
lease xxx
Akumulasi penyusutan aktiva tetap xxx
Kas xxx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar