Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
a) Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah
pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan
digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan
Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya
dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66
Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 33 Tahun 2004 bahwa Pendapatan asli Daerah
(PAD) bersumber dari :
1. Pajak daerah (TAX)
2. Retribusi daerah (R)
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan (PROFT)
4. Lain-lain PAD yang sah (OTHS)
Secara matematika, Pendapatan Asli Daerah dapat diformulasikan
sebagai berikut (Bambang dkk, 2003) :
PAD = TAX + R + PROFT + OTHS
1. Pajak Daerah
Menurut UU No.34 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pajak
daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.
Penerimaan pajak suatu daerah dipengaruhi secara positif oleh
tingkat konsumsi (CONS) dan pajak tahun sebelumnya (TAX_1).
Penerimaan pajak tahun sebelumnya mempengaruhi target pajak pada tahun
berikutnya.
Secara matematika, Pendapatan asli Daerah dapat diformulasikan
sebagai berikut (Bambang dkk, 2003) :
Pajak Daerah ; TAX = f(CONS, TAX_1)
2. Retribusi Daerah
Menurut UU No. 34 Tahun 2000, Retribusi daerah adalah pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan /atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan .
Menurut UU No. 34 Tahun 2000, jenis retribusi dapat dibedakan :
a. Retribusi jasa umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh
daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Pelayan
yang digolongkan sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods
dan pelayanan yang memerlukan pengembangan dalam konsumsi
dan biaya penyediaan layanan tersebut cukup besar sehingga layak
dibebankan kepada masyarakat . Misalnya : retribusi pelayanan
kesehatan, persampahan, akta catatan sipil dan KTP.
b. Retribusi jasa usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh
daerah berkaitan dengan penyediaan pelayanan yang belum memadai
disediakan oleh swasta dan atau penyewaan asset/kekayaan daerah
yang belum dimanfaatkan. Misalnya : retribusi pasar grosir, terminal,
rumah potong.
c. Retribusi perizinan tertentu yang merupakan pungutan yang
dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian izin untuk melakukan
kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah . misalnya :
IMB, izin pengambilan hasil hutan ikutan.
Retribusi daerah dipengaruhi oleh jumlah penduduk (POP),
pendapatan regional bruto (PDRB) dan retribusi sebelumnya (R_1).
Secara teoritis retribusi merupakan pembayaran terhadap jasa yang telah
diberikan oleh pemerintah. Sehingga jumlah penduduk dan pendapatan
menjadi faktor penting dalam jumlah retribusi yang dapat dikumpulkan.
Secara matematika, retribusi daerah dapat ditulis sebagai berikut
((Bambang dkk, 2003) :
R = f(PDRB,POP, R_1)
b). Dana Perimbangan
Untuk menambah pendapatan daerah dalam rangka pembiayaan
pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola
bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah.
Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, pola bagi hasil penerimaan ini
dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil
(by origin). Bagi hasil penerimaan negara tersebut meliputi bagi hasil Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah dan
Bangunan(BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri
dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan
perikanan. Bagi hasil penerimaan tersebut kepada daerah dengan presentase
tertentu yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan
PP Nomor 84 Tahun 2001.
Dana Bagi Hasil
Dalam UU No. 33 tahun 2004 pasal 10 menyebutkan bahwa dana hasil
bagi bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas :
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
c. Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri atas :
a. Kehutanan
b. Pertambangan Umum
c. Perikanan
d. Pertambangan minyak bumi
e.Pertambangan minyak gas bumi
f. Pertambangan panas bumi (Republik Indonesia,2004b)
Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 UU NO. 33 Tahun 2004 dibagi di antara daerah
propinsi, kabupaten/kota dan pemerintah. Dana Bagi Hasil dari penerimaan
PBB sebesar 90 % untuk daerah dengan rincian sebagai berikut :
1) 16,2 % (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah propinsi
yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah
propinsi.
2) 64,8 % (enam puluh empat delapan persepuluih persen) untuk daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas
umum daerah kabupaten/kota
3) 9 % (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
Sementara itu, 10 % bagian pemerintah dari penerimaan PBB
dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang didasarkan atas
realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbalan sebagai
berikut (Republik Indonesia, 2004b) :
1) 65 % (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada
seluruh daerah kabupaten/kota
2) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada
daerah kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya
mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80 %
(delapan puluh lima persen) dengan rincian sebagai berikut (Republik
Indonesia, 2004b) :
1) 16 % (enam belas persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan
dan disalurkan ke rekening kas umum daerah propinsi
2) 64 % (enam puluhempat persen) untuk daerah kabupaten/kota
penghasil dan disalurkan ke rekening kas umum daerah
kabupaten/kota.
Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan
penguasaan pajak antara pusat dan daerah telah diatasi dengan adanya
perimbangan keuangan antara pusat dan saerah (dengan kebijakan bagi hasil
dan DAU minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan
perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian
bagi daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai
dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah
(propinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan
konsep fiscal gap (fiscal gap), dimana kebutuhan DAU suatu daerah
ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah
(fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup
celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi
penerimaan Daerah yang ada. Kemampuan/potensi fiskal/ekonomi daerah
dapat dicerminkan dengan potensi penerimaan yang diterima daerah, seperti
potensi pendapatan domestik regional bruto (PDRB), industri (diukur
dengan PDRB sektor non-primer), sumber daya lama (diukur dengan PDRB
seckor primer) dan sumber daya manusia (diukur dengan angkatan kerja).
Daerah yang memiliki PDRB tinggi, aktivitas industri dan jasa yang besar,
SDA yang melimpah dan SDM yang berkualitas akan menerima DAU yang
relatif kecil. (Republik Indonesia, 2004b).
Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah
dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk
membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan
dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.
Sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan
dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan
yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di
kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru,
pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran
drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas
nasional. (Republik Indonesia, 2004-b)
Perimbangan keuangan Pusat dan Pemerintahan Daerah ini
merupakan instrumen utama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, sebagai
konsekensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Secara utuh desentralisasi
fiskal mengandung pengertian bahwa untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kepada daerah
diberikan kewenangan untuk mendayagunakan sumber keuangan sendiri dan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dapat ditegaskan kembali
bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal tidak hanya terfokus kepada dana
bantuan dari pusat dalam bentuk dana perimbangan saja, namun yang lebih
penting adalah bagaimana kemampuan daerah untuk memanfaatkan dan
mendayagunakan serta mengelola potensi-potensi yang ada di daerah dengan
tujuan untuk melakukan peningkatan pelayanan masyarakat dan
pembangunan daerah. Di samping itu, desentralisasi fiskal dapat
memberikan ruang bagi daerah untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi
baru dalam meningkatkan efisiensi atas penyediaan pelayanan publik,
menciptakan peluang investasi dan bisnis, dan secara selektif para investor
dan pebisnis memilih selera yang paling mendekati preferensi masyarakat
setempat.
c). Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah bersumber dari :
a. Pemerintah;
b. Pemerintah daerah;
c. Lembaga keuangan bank;
d. Lembaga keuangan bukan bank;
e. Masyarakat.
d). Lain-lain Pendapatan yang Sah
Lain-lain pendapatan yang sah terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan
dana darurat. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN
untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan
menggunakan sumber APBD. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak
mengikat yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar