Powered By Blogger

Jumat, 06 Desember 2019

Sumber Penerimaan Daerah


Sumber Penerimaan Daerah

Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, proses pengelolaan anggaran

miliki implikasi yang sangat luas terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan

pemerintah daerah, baik secara ekonomis maupun politis. Setiap daerah memiliki

masalah proporsi kebijakan keuangan yang berbeda, dengan mempertimbangkan

berbagai faktor seperti kemampuan keuangan daerah, struktur sosial dan ekonomi

penduduk, budaya, politis dan aturan yang berlaku dari pemerintah pusat (Abdul

Halim, 2004)

Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam setiap kegiatan

pemerintahan, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak

membutuhkan biaya (Kaho, 1997, 61; Suparmoko, 2002, 16). Sehubungan dengan

posisi keuangan ini, ditegaskan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat

melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk

memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan melaksanakan pembangunan.

Sumber-sumber peneriman di dalam APBD terdiri dari lima komponen

besar, yaitu : PAD; bagi hasil pajak dan bukan pajak; sumbangan/bantuan

pemerintah pusat; pinjaman daerah; dan sisa lebih tahun sebelumnya. PAD terdiri

dari : Peneriman pajak daerah; retribusi daerah; bagian laba dari perusaahaan atau

BUMD; dan pendapatan lain-lain. Pendapatan lain-lain mencakup : penerimaan

dari hasil penjualan barang bekas dan sisa; bunga simpanan di bank; dan

sebagainya (Nazara, 1997,20). Menurut pasal 79 UU nomor 22 tahun 1999

tentang Pernerintahan Daerah, sumber pandapatan daerah terdiri atas

1. Pendapatan asli daerah, yaitu :

1) hasil pajak daerah;

2) hasil retribusi daerah;

3) hasil perusahaan milik daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah

yang dipisahkan; dan

4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;

2. Dana perimbangan;

3. Pinjaman daerah; dan

4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Sedangkan menurut Davey (1988), sumber pendapatan pemerintah regional

adalah:

1. Alokasi dari pemerintah pusat:

1) anggaran pusat (votes)

2) bantuan pusat (grants)

3) bagi-hasil pajak

4) pinjaman

5) penyertaan modal

2. Perpajakan

3. Retribusi (charging)

4. Pinjaman

5. Perusahaan (badan usaha).



Pajak

Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah berupa pungutan yang

didasarkan pada undang-undang dan dapat dipaksakan kepada subyeknya tanpa

batas yang langsung dapat ditunjukkan (Guritno, 2001, 181). Hal terpenting

Menurut Guritno, belum tentu si pembayar pajak adalah pihak yang akhirnya

menderita beban pajak tersebut. Karena ada kemungkinan pajak tersebut dapat

dilimpahkan kepada Pihak lain. Sedangkan pihak yang menderita karena

membayar pajak disebut tax impact. Hal-hal semacam ini disebut teori insidens

pajak (tax incidence theory) yang umum dibagi dalam tiga konsep beban pajak

yaitu:

1. Absolut, analisisnya hanya manfaat pengaruh suatu jenis pajak terhadap

distribusi pendapatan masyarakat tanpa melihat efek distributif jenis pajak

lainnya atau akibat suatu program pemerintah.

2. Anggaran berimbang, menganalisis pengaruh distributif pajak terhadap

pengeluaran pemerintah yang berasal dari pajak dalam jumlah yang sama.

3. Diferensial, menganalisis berbagai alternatif pembiayaan dengan pajak terhadap

suatu program pemerintah dalam jumlah yang sama.

Dari sudut pandang ekonomi publik, difinisi ekonomi (direct tax maupun

indirect tax) tersebut kurang tepat karena terjadinya pergeseran suatu pajak

tergantung pada 4 faktor-faktor ekonomi, yaitu : elastisitas penawaran; elastisitas

permintaan; bentuk pembayaran dan motivasi pengusaha.

Hukum pajak, sebagai bagian dari hukum publik, diatur secara khusus

dengan menganut paham imperalif yang artinya bahwa pelaksanaanya tidak dapat

ditunda. Sebagaimana fungsi pajak dalarn mengatur hubungan antara pemerintah

dengan wajib pajak, maka hukum pajak dibagi dua macam:

1. Materiil, bermuatan norma-norma antara lain keadaan, perbuatan, obyek,

subyek, tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak dan hubungan

hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

2. Formil, memuat tata cara dalam norma materiil yang mencakup : prosedur,

hak-hak dan kewajiban wajib pajak.

Dalam kapasitasnya sebagai sumber dana dalam negeri, pajak memiliki 2 fungsi:

1. Budgetair yaitu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara; dan

2. Mengatur yaitu untuk melaksanakan kebijaksanaan dalam bidang sosial dan

ekonomi. Misalnya untuk barang-barang konsurnsi yang mengganggu

kesehatan, gaya hidup konsumtif, bea masuk untuk proteksi produk-produk

lokal, dan lain-lain. Beberapa teori yang memberikan hak kepada negara untuk

pemungutan pajak antara lain:

1. Teori asuransi, yaitu melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak

rakyat, sehingga pajak diibaratkan sebagai premi asuransi,

2. Teori kepentingan, pembebanannya didasarkan pada kepentingan masing

masing individu yang hubungannya searah.

3. Teori daya pikul, yang disesuaikan dengan kemampuan tiap individu baik

secara obyektif (penghasilan/kekayaan) maupun subyektif (kebutuhan yang

harus dipenuhi).

4. Teori bakti, mendasarkan pada kesadaran rakyat akan kewajiban membayar

pajak.

5. Teori asas daya beli, yaitu dampak terhadap pemungutannya. Pajak dari

rakyat

ke negara dan dikembalikan lagi dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan

masyarakat.

Menurat A. Smith (Guritno, 2001) dan para ahli keuangan negara lainnya,

sistem pajak yang baik harus memenuhi kriteria :

1. Distribusi beban pajak yang adil, sesuai dengan bagian yang wajar.

2. Sedikit mungkin mencampuri mekanisme pasar.

3. Mampu memperbaiki inefisiensi sektor swasta.

4. Struktur pajak harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal.

5. Sistemnya harus dimengerti oleh wajib pajak

6. Administrasi dan biaya pelaksanaannya harus minimal.

7. Bersifat pasti, dapat dilaksanakan dan dapat diterima.

Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau

badan daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah

(Simanjuntak, 2001,98).

Menurut Davey (1988,39), perpajakan daerah dapat diartikan sebagai:

1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari daerah

sendiri; pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi

penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah;

2. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah;

3. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil

pungutannya    diberikan,    dibagikan    dengan,    atau    dibebani    pungutan

tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.

Penilaian potensi pajak sebagai peneriman daerah, ada 5 (lima) kriteria yaitu:

1 Kecukupan dan elastisitas, ini menyangkut apakah hasil yang diperoleh

sebanding dengan biaya pelayanan yang akan dikeluarkan.

2. Keadilan, prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul

oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan

kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan ini mempunyai tiga

dimensi yaitu : pemerataan secara vertikal; horisontal; dan keadilan secara

geografis.

3. Kemampuan administratif yang berkaitan dengan perbedaan jumlah

pendapatan, integritasnya, dan keputusan yang diperlukan.

4. Kesepakatan politis, menyangkut sensitivitas dalam pengenaan pajak,

Struktur tarif siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut

ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi.

5. Kecocokan, apakah sebagai pajak pusat atau pajak daerah.

Sedangkan menurut Davey (1989, 61-62), tolok ukuran untuk menilai

berbagai pajak daerah yang ada menggunakan serangkaian ukuran :

1. Hasil (yield), memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan

berbagai layanan yang dibiayainya; stabilitas dan mudah tidaknya

memperkirakan besar hasil itu; dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,

pertumbuhan penduduk, dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak

dengan biaya pungut.

2. Keadilan (equity), dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak

sewenang-wenang; pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya

beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda

tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; harus adil secara vertikal;

artinya kelompok yang memiliki sumberdaya ekonomi yang lebih besar

memberikan sumbangan yang lebih besar; dan pajak itu haruslah adil dari

tempat ke tempat, artinya hendaknya tidak ada perbedaan besar dan

sewenang-wenang dalam beban pajak satu daerah ke daerah lain, kecuali

jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan

layanan masyarakat.



3. Daya guna ekonomi (economic efficiency): pajak hendaknya mendorong

(atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumberdaya secara

berdaya guna dalam kehidupan ekonomi; mencegah jangan sampai pilihan

konsumen dan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan

bekerja atau menabung, dan memperkecil "beban lebih" pajak.

4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement) : suatu pajak harus dapat

dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.

Kecocokan sebagai surnber penerimaan daerah (suitability as a local

revenue source) : artinya harus jelas kepada daerah mana suatu pajak harus

dibayarkan, dan tempat rnemungut pajak sedapat mungkin sama dengan

tempat akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari, dengan cara

memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak daerah

hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari

segi potensi ekonomi masing-rnasing; dan pajak hendaknya tidak

menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak

daerah.

Seiring dengan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar

dari tahun ke tahun, maka dibutuhkan toleransi masyarakat dalam membayar

pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Tingkat toleransi

tersebut merupakan kendala bagi pemerintah untuk menarik pungutan pajak.

Dalam teorinya. Peacock dan Wiseman (Guritno, 2001, 173) mengatakan bahwa

"perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak yang semakin meningkat

walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh karena itu dalam

keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah juga

semakin besar, begitu pula pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar".

Sesuai Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas

Undang-Undang nornor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah-jenis pajak provinsi terdiri dari:

1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,

2. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,

3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,

4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.


Retribusi

Retribusi adalah pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh

pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU nomor 34

tahun 2000 jo. UU nomor 18 tahun 1997). Retribusi daerah dibagi atas tiga

golongan yaitu :

1. Retribusi Jasa Umum,

2. Retribusi Jasa Usaha, dan

3. Retribusi Perijinan Tertentu.

Menurut Davey (1988, 30), retribusi adalah suatu pembayaran langsung oleh

mereka yang menikmati suatu pelayanan dari pemerintah. Pembayaran tersebut

biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya

pelayanannya. Sedangkan menurut Davey (1989, 95), kebijakan memungut

bayaran untuk barang dan layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada

Pengertian efisiensi ekonorni. Menurutnya, seseorang bebas untuk menentukan

besar layanan tertentu yang hendak dinikmatinya.

Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalarn teori ekonorni, harga barang atau

layanan yang disediakan pemerintah hendaknya didasarkan pada biaya tambahan

(marginal cost) yaitu biaya untuk melayani konsumen terakhir. Karena sebagian

besar layanan pemerintah merupakan hak monopoli, maka manfaat ekonorni

tertinggi untuk masyarakat adalah jika penetapan harga layanan tersebut

diumpamakan adanya suatu persaingan pasar. Dengan demikian pemerintah akan

memproduksi jasa tersebut pada titik tempat biaya tambahan sama dengan

penerimaan tambahan (marginal revenue).

 Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Perubahan dalam bentuk hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah dan implikasinya terhadap pengelolaan keuangan daerah telah melahirkan

berbagai persepsi. Sementara pihak meragukan kemampuan daerah, baik dari segi

kesiapan sumberdaya manusia maupun perangkat pendukungnya, sementara yang

lain      berpandangan     bahwa     saat      pemerintah     daerah     bisa     menunjukan

kemampuannya sebagai pelayan masyarakat dengan lebih baik dibanding

sebelumnya. Ekses lain adalah keterbukaan atas informasi yang semakin luas

sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pernerintah daerah dapat diamati oleh

masyarakat, terutama melalui peran media masa dan LSM (Abdul Halirn, 2004).

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah adalah

menyediakan barang publik yang pembiayaannya melalui berbagai sumber,

khususnya pajak. Dengan kondisi kemampuan keuangan antar daerah berbeda,

maka adanya sistem keuangan negara yang dapat menjamin kelancaran

pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh.

Alokasi tugas tersebut membawa konsekuensi pada perimbangan keuangan

pemerintah pusat dan daerah, terkait dengan kenyataan pada derajat otonomi yang

tinggi (Suparmoko, 2002, 37-38).

Berhubungan dengan pembiayaan pemerintahan di daerah, maka perlu

diketahui pendapatan yang pasti agar ada kepastian mengenai pelaksanaan dan

keinginan kegiatan pemerintahan di daerah. Perimbangan keuangan ini merupakan

suatu sistem pembiayaan dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup
pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu juga merupakan

pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan

dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan

kewajiban    dan    pembagian    kewenangan    serta     tata     cara     penyelengaraan

kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.

Melalui dana perimbangan, pemerintah daerah akan memperoleh alokasi

dana besar sebagai konsekuensi otonomi daerah. Tugas-tugas yang selarna ini

secara sentralistik menjadi tugas pemerintah pusat kini menjadi tugas pemerintah

daerah. Oleh karena itu pembiayaan untuk pelaksanaan tugas-tugas tersebut harus

juga dialokasikan ke daerah melalui mekanisme perimbangan keuangan tersebut.

Artinya pemerintah daerah harus meningkatkan mutu pengelolaan keuangan.

Menurut UU No. 25 tahun 1999 pasal 6 dinyatakan bahwa dana

perimbangan terdiri dari : (1) bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),

penerimaan dari Sumber Daya Alam; (2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (3)

Dana Alokasi Khusus (DAK).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar