Sumber Penerimaan Daerah
Dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, proses pengelolaan anggaran
miliki implikasi yang sangat luas terhadap pelaksanaan berbagai kebijakan
pemerintah daerah, baik secara ekonomis maupun politis. Setiap daerah memiliki
masalah proporsi kebijakan keuangan yang berbeda, dengan mempertimbangkan
berbagai faktor seperti kemampuan keuangan daerah, struktur sosial dan ekonomi
penduduk, budaya, politis dan aturan yang berlaku dari pemerintah pusat (Abdul
Halim, 2004)
Faktor keuangan merupakan hal yang penting dalam setiap kegiatan
pemerintahan, karena hampir tidak ada kegiatan pemerintahan yang tidak
membutuhkan biaya (Kaho, 1997, 61; Suparmoko, 2002, 16). Sehubungan dengan
posisi keuangan ini, ditegaskan bahwa pemerintah daerah tidak akan dapat
melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan melaksanakan pembangunan.
Sumber-sumber peneriman di dalam APBD terdiri dari lima komponen
besar, yaitu : PAD; bagi hasil pajak dan bukan pajak; sumbangan/bantuan
pemerintah pusat; pinjaman daerah; dan sisa lebih tahun sebelumnya. PAD terdiri
dari : Peneriman pajak daerah; retribusi daerah; bagian laba dari perusaahaan atau
BUMD; dan pendapatan lain-lain. Pendapatan lain-lain mencakup : penerimaan
dari hasil penjualan barang bekas dan sisa; bunga simpanan di bank; dan
sebagainya (Nazara, 1997,20). Menurut pasal 79 UU nomor 22 tahun 1999
tentang Pernerintahan Daerah, sumber pandapatan daerah terdiri atas
1. Pendapatan asli daerah, yaitu :
1) hasil pajak daerah;
2) hasil retribusi daerah;
3) hasil perusahaan milik daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah
yang dipisahkan; dan
4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah;
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah; dan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sedangkan menurut Davey (1988), sumber pendapatan pemerintah regional
adalah:
1. Alokasi dari pemerintah pusat:
1) anggaran pusat (votes)
2) bantuan pusat (grants)
3) bagi-hasil pajak
4) pinjaman
5) penyertaan modal
2. Perpajakan
3. Retribusi (charging)
4. Pinjaman
5. Perusahaan (badan usaha).
Pajak
Pajak merupakan hak prerogatif pemerintah berupa pungutan yang
didasarkan pada undang-undang dan dapat dipaksakan kepada subyeknya tanpa
batas yang langsung dapat ditunjukkan (Guritno, 2001, 181). Hal terpenting
Menurut Guritno, belum tentu si pembayar pajak adalah pihak yang akhirnya
menderita beban pajak tersebut. Karena ada kemungkinan pajak tersebut dapat
dilimpahkan kepada Pihak lain. Sedangkan pihak yang menderita karena
membayar pajak disebut tax impact. Hal-hal semacam ini disebut teori insidens
pajak (tax incidence theory) yang umum dibagi dalam tiga konsep beban pajak
yaitu:
1. Absolut, analisisnya hanya manfaat pengaruh suatu jenis pajak terhadap
distribusi pendapatan masyarakat tanpa melihat efek distributif jenis pajak
lainnya atau akibat suatu program pemerintah.
2. Anggaran berimbang, menganalisis pengaruh distributif pajak terhadap
pengeluaran pemerintah yang berasal dari pajak dalam jumlah yang sama.
3. Diferensial, menganalisis berbagai alternatif pembiayaan dengan pajak terhadap
suatu program pemerintah dalam jumlah yang sama.
Dari sudut pandang ekonomi publik, difinisi ekonomi (direct tax maupun
indirect tax) tersebut kurang tepat karena terjadinya pergeseran suatu pajak
tergantung pada 4 faktor-faktor ekonomi, yaitu : elastisitas penawaran; elastisitas
permintaan; bentuk pembayaran dan motivasi pengusaha.
Hukum pajak, sebagai bagian dari hukum publik, diatur secara khusus
dengan menganut paham imperalif yang artinya bahwa pelaksanaanya tidak dapat
ditunda. Sebagaimana fungsi pajak dalarn mengatur hubungan antara pemerintah
dengan wajib pajak, maka hukum pajak dibagi dua macam:
1. Materiil, bermuatan norma-norma antara lain keadaan, perbuatan, obyek,
subyek, tarif, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak dan hubungan
hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
2. Formil, memuat tata cara dalam norma materiil yang mencakup : prosedur,
hak-hak dan kewajiban wajib pajak.
Dalam kapasitasnya sebagai sumber dana dalam negeri, pajak memiliki 2 fungsi:
1. Budgetair yaitu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara; dan
2. Mengatur yaitu untuk melaksanakan kebijaksanaan dalam bidang sosial dan
ekonomi. Misalnya untuk barang-barang konsurnsi yang mengganggu
kesehatan, gaya hidup konsumtif, bea masuk untuk proteksi produk-produk
lokal, dan lain-lain. Beberapa teori yang memberikan hak kepada negara untuk
pemungutan pajak antara lain:
1. Teori asuransi, yaitu melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak
rakyat, sehingga pajak diibaratkan sebagai premi asuransi,
2. Teori kepentingan, pembebanannya didasarkan pada kepentingan masing
masing individu yang hubungannya searah.
3. Teori daya pikul, yang disesuaikan dengan kemampuan tiap individu baik
secara obyektif (penghasilan/kekayaan) maupun subyektif (kebutuhan yang
harus dipenuhi).
4. Teori bakti, mendasarkan pada kesadaran rakyat akan kewajiban membayar
pajak.
5. Teori asas daya beli, yaitu dampak terhadap pemungutannya. Pajak dari
rakyat
ke negara dan dikembalikan lagi dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat.
Menurat A. Smith (Guritno, 2001) dan para ahli keuangan negara lainnya,
sistem pajak yang baik harus memenuhi kriteria :
1. Distribusi beban pajak yang adil, sesuai dengan bagian yang wajar.
2. Sedikit mungkin mencampuri mekanisme pasar.
3. Mampu memperbaiki inefisiensi sektor swasta.
4. Struktur pajak harus mampu digunakan dalam kebijakan fiskal.
5. Sistemnya harus dimengerti oleh wajib pajak
6. Administrasi dan biaya pelaksanaannya harus minimal.
7. Bersifat pasti, dapat dilaksanakan dan dapat diterima.
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau
badan daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah
(Simanjuntak, 2001,98).
Menurut Davey (1988,39), perpajakan daerah dapat diartikan sebagai:
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari daerah
sendiri; pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi
penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah;
2. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah;
3. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil
pungutannya diberikan, dibagikan dengan, atau dibebani pungutan
tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.
Penilaian potensi pajak sebagai peneriman daerah, ada 5 (lima) kriteria yaitu:
1 Kecukupan dan elastisitas, ini menyangkut apakah hasil yang diperoleh
sebanding dengan biaya pelayanan yang akan dikeluarkan.
2. Keadilan, prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah haruslah dipikul
oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan
kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan ini mempunyai tiga
dimensi yaitu : pemerataan secara vertikal; horisontal; dan keadilan secara
geografis.
3. Kemampuan administratif yang berkaitan dengan perbedaan jumlah
pendapatan, integritasnya, dan keputusan yang diperlukan.
4. Kesepakatan politis, menyangkut sensitivitas dalam pengenaan pajak,
Struktur tarif siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut
ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi.
5. Kecocokan, apakah sebagai pajak pusat atau pajak daerah.
Sedangkan menurut Davey (1989, 61-62), tolok ukuran untuk menilai
berbagai pajak daerah yang ada menggunakan serangkaian ukuran :
1. Hasil (yield), memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan
berbagai layanan yang dibiayainya; stabilitas dan mudah tidaknya
memperkirakan besar hasil itu; dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi,
pertumbuhan penduduk, dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak
dengan biaya pungut.
2. Keadilan (equity), dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak
sewenang-wenang; pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya
beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda
tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; harus adil secara vertikal;
artinya kelompok yang memiliki sumberdaya ekonomi yang lebih besar
memberikan sumbangan yang lebih besar; dan pajak itu haruslah adil dari
tempat ke tempat, artinya hendaknya tidak ada perbedaan besar dan
sewenang-wenang dalam beban pajak satu daerah ke daerah lain, kecuali
jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan
layanan masyarakat.
3. Daya guna ekonomi (economic efficiency): pajak hendaknya mendorong
(atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumberdaya secara
berdaya guna dalam kehidupan ekonomi; mencegah jangan sampai pilihan
konsumen dan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan
bekerja atau menabung, dan memperkecil "beban lebih" pajak.
4. Kemampuan melaksanakan (ability to implement) : suatu pajak harus dapat
dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.
Kecocokan sebagai surnber penerimaan daerah (suitability as a local
revenue source) : artinya harus jelas kepada daerah mana suatu pajak harus
dibayarkan, dan tempat rnemungut pajak sedapat mungkin sama dengan
tempat akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari, dengan cara
memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak daerah
hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari
segi potensi ekonomi masing-rnasing; dan pajak hendaknya tidak
menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak
daerah.
Seiring dengan perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar
dari tahun ke tahun, maka dibutuhkan toleransi masyarakat dalam membayar
pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Tingkat toleransi
tersebut merupakan kendala bagi pemerintah untuk menarik pungutan pajak.
Dalam teorinya. Peacock dan Wiseman (Guritno, 2001, 173) mengatakan bahwa
"perkembangan ekonomi menyebabkan pungutan pajak yang semakin meningkat
walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak
menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh karena itu dalam
keadaan normal, meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah juga
semakin besar, begitu pula pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar".
Sesuai Undang-Undang nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang nornor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah-jenis pajak provinsi terdiri dari:
1. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
2. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air,
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor,
4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Retribusi
Retribusi adalah pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU nomor 34
tahun 2000 jo. UU nomor 18 tahun 1997). Retribusi daerah dibagi atas tiga
golongan yaitu :
1. Retribusi Jasa Umum,
2. Retribusi Jasa Usaha, dan
3. Retribusi Perijinan Tertentu.
Menurut Davey (1988, 30), retribusi adalah suatu pembayaran langsung oleh
mereka yang menikmati suatu pelayanan dari pemerintah. Pembayaran tersebut
biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian dari biaya
pelayanannya. Sedangkan menurut Davey (1989, 95), kebijakan memungut
bayaran untuk barang dan layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada
Pengertian efisiensi ekonorni. Menurutnya, seseorang bebas untuk menentukan
besar layanan tertentu yang hendak dinikmatinya.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalarn teori ekonorni, harga barang atau
layanan yang disediakan pemerintah hendaknya didasarkan pada biaya tambahan
(marginal cost) yaitu biaya untuk melayani konsumen terakhir. Karena sebagian
besar layanan pemerintah merupakan hak monopoli, maka manfaat ekonorni
tertinggi untuk masyarakat adalah jika penetapan harga layanan tersebut
diumpamakan adanya suatu persaingan pasar. Dengan demikian pemerintah akan
memproduksi jasa tersebut pada titik tempat biaya tambahan sama dengan
penerimaan tambahan (marginal revenue).
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Perubahan dalam bentuk hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah dan implikasinya terhadap pengelolaan keuangan daerah telah melahirkan
berbagai persepsi. Sementara pihak meragukan kemampuan daerah, baik dari segi
kesiapan sumberdaya manusia maupun perangkat pendukungnya, sementara yang
lain berpandangan bahwa saat pemerintah daerah bisa menunjukan
kemampuannya sebagai pelayan masyarakat dengan lebih baik dibanding
sebelumnya. Ekses lain adalah keterbukaan atas informasi yang semakin luas
sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pernerintah daerah dapat diamati oleh
masyarakat, terutama melalui peran media masa dan LSM (Abdul Halirn, 2004).
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu tugas pemerintah adalah
menyediakan barang publik yang pembiayaannya melalui berbagai sumber,
khususnya pajak. Dengan kondisi kemampuan keuangan antar daerah berbeda,
maka adanya sistem keuangan negara yang dapat menjamin kelancaran
pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh.
Alokasi tugas tersebut membawa konsekuensi pada perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah, terkait dengan kenyataan pada derajat otonomi yang
tinggi (Suparmoko, 2002, 37-38).
Berhubungan dengan pembiayaan pemerintahan di daerah, maka perlu
diketahui pendapatan yang pasti agar ada kepastian mengenai pelaksanaan dan
keinginan kegiatan pemerintahan di daerah. Perimbangan keuangan ini merupakan
suatu sistem pembiayaan dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup
pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu juga merupakan
pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah sejalan dengan
kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelengaraan
kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya.
Melalui dana perimbangan, pemerintah daerah akan memperoleh alokasi
dana besar sebagai konsekuensi otonomi daerah. Tugas-tugas yang selarna ini
secara sentralistik menjadi tugas pemerintah pusat kini menjadi tugas pemerintah
daerah. Oleh karena itu pembiayaan untuk pelaksanaan tugas-tugas tersebut harus
juga dialokasikan ke daerah melalui mekanisme perimbangan keuangan tersebut.
Artinya pemerintah daerah harus meningkatkan mutu pengelolaan keuangan.
Menurut UU No. 25 tahun 1999 pasal 6 dinyatakan bahwa dana
perimbangan terdiri dari : (1) bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
penerimaan dari Sumber Daya Alam; (2) Dana Alokasi Umum (DAU), dan (3)
Dana Alokasi Khusus (DAK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar