Tinjauan umum tentang bank syariah
Perbedaan antara bunga dan bagi
hasil
Bagi seorang muslim, sumber nilai dan
sumber hukum adalah Al-Quran dan Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang
dibutuhkan dalam analisis dan perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua
sumber nilai tersebut. Ini tercermin dari pandangan Islam mengenai bunga.
Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan Islam masih terjadi polemik apakah
bunga sama dengan riba.
Riba menurut bahasa arab berarti tambahan,
peningkatan, ekspansi atau pertumbuhan. Menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan (premium) sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh
peminjam kepada pemberi pinjaman selain pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba
memiliki arti yang sama dengan bunga sebagaimana konsensus para fuqaha (Kuncoro
2002:588).
Antonio (2004) menjelaskan bahwa menurut
Al-Quran, pandangan Islam mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat
dengan beberapa ayat, yang diturunkan dalam empat tahap berikut ini: Surat
Ar-Rum ayat 39 menyatakan ”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar
dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)”. Tahap pertama ini menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada
zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan
mendekati taqarrub kepada Allah.
Masih menurut Antonio (2004), ia
menyatakan bahwa dalam tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk.
Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang
memakan riba, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 160-161:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas mereka
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.
Tahap
ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang
cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut.
Allah berfirman dalam surat Ali imran ayat 130: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ayat ini turun pada tahun ke-3
Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda
bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda
maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum
dari praktik pembungaan uang pada saat itu (Antonio,2004).
Antonio (2004) mengemukakan bahwa pada tahap
terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan
yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba yaitu Surat Al-Baqarah 278-279:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika
kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Sekali
lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi
pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan
itu dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
TABEL 1
PERBEDAAN ANTARA
BUNGA DAN BAGI HASIL
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad
dengan asumsi harus selalu untung
|
a. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi
hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
|
b. Besarnya persentase berdasarkan pada
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
|
b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang diperoleh
|
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak
nasabah untung atau rugi.
|
c. Bagi hasil bergantung pada keuntungan
proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama
oleh kedua belah pihak
|
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”
|
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai
dengan peningkatan jumlah pendapatan.
|
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak
dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam.
|
e. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi
hasil.
|
Sumber: M. Syafi’i Antonio (2004)
Perbedaan bank konvensional dan bank
bagi hasil
Dalam
beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah
memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme
transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh
pembiayaan, dan sebagainya. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di
antara keduanya. Perbedaan-perbedaan itu dapat disimpulkan dalam tabel di bawah
ini:
TABEL II
PERBEDAAN BANK
SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Permasalahan
|
Bank syariah
|
Bank konvensional
|
Risiko
akad
|
1.
akad jual-beli
§
al
murabahah
2.
akad bagi hasil
§
al
musyarakah
§
al
mudharabah
3.
akad sewa
§
ijaroh
mutlaq
§
ijaroh
muntahiyah bitamlik
Sesuai dengan akadnya sehingga angsuran
akan selalu tetap, sesuai dengan kesepakatan di muka
|
1. akadnya adalah kredit / pinjam uang
sehingga angsuran tidak bisa dijamin akan tetap
|
Landasan
operasional
|
·
tidak
bebas nilai (berdasarkan prinsip syariah
islam)
·
uang
sebagai alat tukar bukan komoditi
·
bunga dalam berbagai bentuknya dilarang
·
menggunakan
prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil
|
·
bebas
nilai (berdasarkan prinsip materialistis)
·
uang sebagai komoditi yang dipertahankan
·
bunga
sebagai instrument imbalan teradap pemilik uang yang ditetapkan dimuka
|
Fungsi dan peran
|
·
agen investasi/manajer investasi
·
investor
·
penyediaan
jasa lalu lintas pembayaran (tidak bertentangan syariah)
·
pengelola dana kebajikan, ZIS
·
hubungan
dengan nasabah adalah hubungan kemitraan
|
·
penghimpun
dana masyarakat dan meminjamkan kembali kepada masyarakat dalam kredit dengan
imbalan bunga
·
penyedia jasa/lalu lintas pembayaran
·
hubungan
dengan nasabah adalah hubungan debitur kreditur
|
Risiko
usaha
|
·
dihadapi
bersama antara bank dengan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran
·
tidak
mengenal kemungkinan terjadinya selisih negatif (negative spread) karena sistem yang digunakan
|
·
risiko
bank tidak terkait langsung dengan debitur, dan sebaliknya
·
kemungkinan
terjadi selisih negatif antara pendapatan dan beban bunga
|
Sistem
pengawasan
|
Adanya
Dewan Pengawas Syariah untuk memastikan operasional bank tidak menyimpang
dari syariah disamping tuntutan
moralitas pengelola bank dan nasabah sesuai dengan akhlakul karimah
|
Aspek moralitas seringkali terlanggar
karena tidak adanya nilai-nilai religius yang mendasari operasional
|
Sumber:
The Sharia Banking
Training Center
Yogyakarta
Kegiatan operasional bank bagi hasil
Berdasarkan
peraturan Bank Indonesia
nomor: 62/24/PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (Siamat, 2005), kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan sebagai berikut :
A. Penghimpunan Dana (Funding)
Penghimpunan
dana atau disebut juga funding adalah
kegiatan penarikan dana atau penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan investasi berdasarkan prinsip syariah.
Berkaitan dengan kegiatan tersebut,
dalam prinsip syariah dibedakan
antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan simpanan yang mendapatkan
imbalan. Prinsip operasional syariah
yang telah diterapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip al-wadi’ah dan al-mudharabah. Bentuk-bentuk simpanan
berdasarkan prinsip syariah dapat
disebutkan sebagai berikut:
a.
Giro berdasarkan prinsip al-wadi’ah
b.
Tabungan berdasarkan prinsip al-wadi’ah dan atau al-
mudharabah; atau
c.
Deposito
berjangka berdasarkan prinsip al-mudharabah
a. Prinsip Al -Wadi’ah
Produk pendanaan pada bank syariah pada prinsipnya tidak berbeda
dengan produk pendanaan bank konvensional. Namun yang membedakan adalah
penggunaan prinsip syariah yang
menyertai masing-masing produk pendanaan, misalnya bahwa giro dan tabungan pada
dasarnya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip al- wadi’ah. Giro dan tabungan al
wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-duanya dapat ditarik
sewaktu-waktu. Al-wadi’ah berarti
titipan murni dari nasabah kepada bank atau pihak lain yang harus dijaga dan
dikembalikan kepada penitip (penabung) kapan saja ia inginkan (Siamat, 2004).
Siamat (2004) menjelaskan bahwa prinsip al-wadiah yang berlaku baik untuk
simpanan dalam bentuk giro maupun tabungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Berdasarkan karakteristik giro dan
tabungan menggunakan prinsip syariah al-wadiah yad dhamamah. Artinya bank
dapat memanfaatkan dan menyalurkan kedua jenis sumber dana tersebut serta
menjamin simpanan dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana (penabung).
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran
dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak
memperoleh imbalan atau menanggung kerugian
c. Manfaat yang diperoleh pemilik dana
(penabung) adalah jaminan keamanan terhadap dana titipannya serta
fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan tabungan lainnya.
d. Pada dasarnya bank dapat memberikan bonus
kepada pemilik dana namun tidak ada perjanjian di muka.
e. Bank harus membuat akad pembukaan rekening
yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain
yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
f. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat
mengenakan biaya administrasi. Untuk menghindari riba, maka biaya administrasi
harus dinyatakan dengan nominal, bukan persentase.
g. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan
dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
b. Prinsip Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati
sebelumnya. Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah sebagai akad kerja sama
usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi
kerugian, hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan
akibat kelalaian pengelola.
Produk pendanaan yang dapat menggunakan
prinsip al-mudharabah adalah tabungan
dan deposito berjangka. Selanjutnya, Siamat (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
pihak pemilik dana (penabung), prinsip al-mudharabah
dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah
Muthlaqah adalah
kerjasama antara pemilik dana (shahibul
maal) dan mudharib (bank) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan wilayah bisnis. Artinya, pemilik dana memberikan bank kekuasaan yang sangat
besar dalam penggunaan dana simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip mudharabah mutlaqah dapat diterapkan
untuk pembukaan rekening tabungan dan deposito berjangka.
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Jenis
mudharabah al-muqayyadah merupakan
simpanan dana khusus dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang
harus diikuti oleh bank. Mudharabah
al-muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah
mutlaqah dimana mudharib (bank)
dibatasi jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
B. Penyaluran Dana
Kegiatan
penyaluran dana atau pembiayaan bank syariah
harus tetap berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank
Indonesia .
Oleh karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah
penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah. Bentuk penyaluran
dana atau pembiayaan yang dilakukan bank syariah
dalam melaksanakan operasinya menurut Siamat (2004) secara garis besar dapat
dibedakan ke dalam 4 kelompok sebagai berikut :
1.
Prinsip jual beli (Bai’)
2.
Prinsip bagi hasil
3.
Prinsip sewa menyewa (ijarah)
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
1. Prinsip Jual Beli (Bai’)
Dalam
penerapan prinsip syariah terdapat 3
jenis prinsip jual beli (bai’) yang
banyak dikembangkan oleh perbankan syariah
dalam kegiatan pembiayaan modal kerja dan produksi, yaitu bai’ al- murabahah, bai’ as-salam dan bai’ al-istishna. Bai’ al-murabahah pada dasarnya adalah transaksi
jual beli barang dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi
kebutuhan barang oleh nasabahnya, bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan atau
dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada
nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang disepakati. Nasabah sebagai
pembeli dalam hal ini dapat memilih jenis transaksi tunai, cicilan, atau
angguhan. Umumnya, nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan.
Adapun bai’ as-salam adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya
dilakukan kemudian hari sedangkan pembayarannya dilaksanakan di muka secara
tunai. Bai’ as-salam dalam perbankan
biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi
agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri lainnya. Bai’ al-istishna pada dasarnya merupakan
kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan pembayaran di muka,
baik dilakukan dengan cara tunai, cicil, atau ditangguhkan. Untuk melaksanakan skim bai’ al-istishna kontrak dilakukan
di tempat pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat
saja membuat barang yang dipesan atau dibeli sesuai spesifikasi pesanan yang
disebutkan dalam kontrak kemudian menjualnya kembali kepada pembeli. Prinsip bai’ al- istishna ini menyerupai bai’ as-salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan
di muka, dicicil, atau ditangguhkan. Sementara dalam skim bai’ assalam
dilakukan secara tunai (Siamat, 2004).
2. Prinsip bagi hasil
Bagi hasil atau profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah terdiri dari empat jenis akad,
yaitu al-mudharabah, al-musyarakah, al-muzara’ah, dan al-musaqah
(Siamat, 2004). Namun yang paling banyak diimplementasikan dalam perbankan syariah adalah dua prinsip bagi hasil
pertama, yaitu al-mudharabah dan
al-musyarakah. Oleh karena itu, yang akan dibahas hanyalah prinsip bagi
hasil dengan akad al-mudharabah dan al-musyarakah.
a. Al-Musyarakah
Antonio
(2004) mendefinisikan al-musyarakah
secara singkat namun jelas, yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana atau keahlian dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. An-Nabhani (1996) mengemukakan
bahwa menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak
atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan. Musyarakah
dalam perbankan biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah
dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang
disetor bisa berupa uang, barang perdagangan (trading asset), property,
equipment, atau intangible asset (seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan
uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak
turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana
proyek.
Prinsip
al-musyarakah (al-musyarakah aqad) menurut Siamat (2004) dapat dibagi ke dalam
beberapa jenis, sebagai berikut:
1.
Syirkah al’inan
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana
masing-masing pihak menyerahkan suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif dalam
usaha/kerja. Porsi setoran modal
masing-masing dibagi sesuai kesepakatan, dan tidak harus sama besar. Demikian
pula keuntungan atau kerugian yang terjadi jumlahnya tidak harus sama dan
dilakukan berdasarkan kontrak atau perjanjian.
2.
Syirkah
Mufawadhah
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana
masing-masing pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut
berpartisipasi dalam pekerjaan. Demikian
pula tanggung jawab dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
3. Syirkah
A’mal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i)
Yaitu perjanjian kerjasama
antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian atau profesi yang sama untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan dibagi bersama.
4.
Syirkah Wujuh
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memiliki reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
5.
Syirkah
Al-Mudharabah
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang
satu menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian.
Beberapa ahli fiqih berpendapat bahwa al-mudharabah
tidak dikelompokkan ke dalam prinsip al-musyarakah
b. Al- Mudharabah
Al-Mudharabah
pada dasarnya adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana
salah satu pihak menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau
keahlian. Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah
sebagai suatu perjanjian kerjasama antara dua pihak di mana pihak pertama
(pemilik modal atau shahibul maal)
menyediakan seluruh kebutuhan modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola
(mudharib). Keuntungan usaha yang
diperoleh akan dibagi berdasarkan perjanjian atau kesepakatan. Sebaliknya
apabila usaha mengalami kerugian yang disebabkan bukan karena kesalahan atau
kelalaian pihak pengelola (mudharib),
kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pemilik modal (shahibul maal).
Siamat (2004) mengemukakan bahwa
prinsip al- mudharabah dapat
digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu al-mudharabah
muthlaqah dan al-mudharabah
muqayyadah. Implementasi konsep al-mudharabah
muthlaqah dalam perbankan syariah
diatur sebagai berikut:
1. Jumlah
modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang
tunai. Apabila modal diserahkan
secara bertahap, tahapannya harus jelas dan disepakati bersama.
2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah diperhitungkan dengan cara:
- Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
- Perhitungan
dari keuntungan proyek (profit
sharing)
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan
persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank
selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan
penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan
penyalahgunaan dana.
4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap
pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika
nasabah cidera janji dengan sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban,
atau menunda pembayaran kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Karakteristik mudharabah muqayyadah dalam penerapannya di dalam perbankan syariah pada dasarnya sama dengan
persyaratan mudharabah mutlaqah bagi
perbankan syariah yang telah
dijelaskan di atas. Perbedaannya adalah penyediaan modal yang hanya untuk
kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank
sebagai shahibul maal.
3. Prinsip Sewa Menyewa
Sewa
menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna usaha atau leasing. Oleh karena itu sebagaimana
dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam bentuk sewa guna usaha dengan hak
opsi atau financial lease dan sewa
guna usaha tanpa hak opsi atau operating
lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini dibedakan berdasarkan
akad, yaitu al-ijarah dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik (Siamat,
2004).
Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan
hak guna atau manfaat atas suatu barang atau jasa dengan membayar sewa untuk
suatu jangka waktu tertentu tanpa diikuti pemindahan hak kepemilikan atas
barang tersebut. Al-Ijarah al-Muntahiya
Bittamlik adalah akad atau perjanjian yang merupakan kombinasi antara
jual-beli dan sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah di mana
nasabah (penyewa) diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada akhir
akad (Siamat, 2004).
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad al-Qardh
Antonio
(2004) memberikan pengertian al-qardh
sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali. Dengan kata lain qardh
berarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Penerapan prinsip al-qardh
dalam perbankan syariah biasanya
dilakukan kepada orang atau nasabah yang sangat memerlukan dana, terutama
kepada nasabah yang kurang mampu atau usaha kecil. Pinjaman yang diberikan
tidak disertai tambahan. namun biasanya bank mengenakan uang administrasi yang
nilainya relatif kecil dan meminta jaminan.
C. Jasa-Jasa Bank Syariah
Jenis
jasa yang diberikan perbankan syariah
kepada nasabah berdasarkan akad dengan mendapatkan imbalan atau fee, antara lain al-wakalah,
hawalah, kafalah, rahn. Dalam aplikasi perbankan, al-wakalah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu, seperti
pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Al-Hawalah
adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (debitur) kepada orang lain
yang wajib menanggungnya. Transaksi ini pada dasarnya merupakan pemindahan
beban utang dari debitur menjadi tanggungan pihak lain yang berkewajiban
menanggung pembayaran utang. Al-Kafalah
adalah garansi atau jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga
untuk menanggung kewajiban pihak kedua (tertanggung) apabila tertanggung tidak
dapat memenuhi kewajibannya. Sebagaimana halnya dalam praktek bank
konvensional, perbankan syariah pada
dasarnya dapat memberikan jaminan berupa garansi bank kepada nasabahnya. Al-Rahn adalah harta atau aset yang
harus diserahkan oleh peminjam (debitur) sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya dari bank. Tujuan pemberian fasilitas ini oleh bank adalah untuk
membantu nasabah dalam pembiayaan usahanya (Siamat, 2004).
Konsep pengakuan dan pengukuran
akuntansi bank syariah
A. Pengakuan dan pengukuran pendapatan
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan
pendapatan sebagai arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari
aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu
mengkibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. FASB melalui
SFAC No. 6 (Nasrullah, 2001:20) memberikan definisi
pendapatan sebagai aliran masuk atau peningkatan lain suatu aktiva sebuah
entitas atau pelunasan utang (atau kombinasi dari keduanya) dari pengiriman
atau produksi barang, pemberian jasa atau aktivitas lainnya yang merupakan
kegiatan utama dan masih berlangsung dari entitas tersebut.
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menjelaskan tentang definisi pengakuan, bahwa pengakuan
merupakan proses pembentukan suatu pos yang memenuhi definisi unsur serta
kriteria pengakuan dibawah ini, dalam neraca dan laporan laba rugi:
a. Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang
berkaitan dengan pos tersebut akan mengalir dari atau ke dalam perusahaan; dan
b. Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya
yag dapat diukur dengan andal.
Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos
tersebut baik dalam kata-kata maupun dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke
dalam neraca atau laporan laba rugi. Pos yang memenuhi kriteria tersebut harus
diakui dalam neraca atau laporan laba rugi. Kelalaian untuk mengakui pos
semacam itu tidak dapat diralat melalui pengungkapan kebijakan akuntansi yang
digunakan maupun melalui catatan atau materi penjelasan.
Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi
kalau kenaikan manfaat ekonomi di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan
aktiva atau penurunan kewajiban (misalnya, kenaikan bersih aktiva yang timbul
dari penjualan barang atau jasa atau penurunan kewajiban yang timbul dari
pembebasan pinjaman yang masih harus dibayar.
Pengukuran adalah proses penetapan jumlah
uang untuk mengakui dan memasukkan setiap unsur laporan keuangan dalam neraca
dan laporan laba rugi. Proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran
tertentu. Pendapatan harus diukur dengan
nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah tersebut
diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima
perusahaan, dikurangi jumlah diskon dagang dan rabat volume yang diperbolehkan
perusahaan (IAI, 2004).
B. Pengakuan dan Pengukuran pembiayaan mudharabah
IAI
(2003) menjelaskan tentang pengakuan dan
pengukuran pembiayaan mudharabah sebagai berikut:
1. Pembiayaan mudharabah dalam bentuk kas diakui pada saat pembayaran sebesar
jumlah uang yang diberikan bank kepada pengelola dana.
2. Pembiayaan mudharabah yang diberikan dalam bentuk aktiva non kas dinilai
sebesar nilai wajar aktiva non kas. Selisih antara nilai wajar dan nilai buku
aktiva non kas diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank pada saat
penyerahan kepada pengelola dana.
3. Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap
pembayaran.
4. Biaya yang terjadi akibat akad mudharabah tidak dapat diakui sebagai
bagian pembiayaan mudharabah kecuali
telah disepakati bersama.
5. Pembayaran kembali pembiayaan mudharabah oleh mudharib akan mengurangi pembiayaan mudharabah.
6. Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya
pekerjaan/proyek karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya
kelalaian atau kesalahan pihak mudharib,
maka kerugian tersebut mengurangi pembiayaan mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. Apabila kehilangan
tersebut terjadi setelah dimulainya pekerjaan, hal itu tidak mempengaruhi
penilaian pembiayaan mudrahabah .
7. Apabila seluruh pembiayaan mudrahabah hilang dan bukan disebabkan
oleh kelalaian atau kesalahan mudharib,
maka pembiayaan mudharabah diakhiri
dan kerugian yang timbul diakui sebagai beban
bank.
8. Apabila akad mudharabah diakhiri sebelum jatuh tempo dan saldo pembiayaan mudharabah tidak langsung dibayar oleh mudharib, maka pembiayaan mudharabah diakui sebagai piutang mudharabah jatuh tempo.
9. Penyisihan penghapusan pembiayaan mudharabah harus dibentuk sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
10. Pengakuan keuntungan/laba pembiayaan mudharabah diakui pada periode
terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan nisbah
yang disepakati.
11. Pengakuan kerugian pembiayaan mudrahabah diakui pada saat terjadinya
kerugian tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
12. Kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib diakui sebagai piutang mudharabah jatuh tempo.
C. Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Musyarakah
IAI
(2004) menjelaskan tentang pengakuan dan pengukuran pembiayaan musyarakah sebagai berikut:
a. Pengakuan dan pengukuran awal pembiayaan musyarakah:
1. Pembiayaan musyarakah diakui pada saat pembayaran tunai atau penyerahan aktiva
non kas kepada mitra musyarakah
2. Pengukuran pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
1) pembiayaan musyarakah dalam bentuk: kas dinilai sebesar jumlah yang dibayarkan
dan aktiva non kas dinilai sebesar nilai wajar dan jika terdapat selisih antara
nilai wajar dan nilai buku aktiva non kas, maka selisih tersebut diakui sebagai
keuntungan atau kerugian bank pada saat penyerahan.
2) Biaya yang terjadi akibat akad musyarakah (misalnya, biaya studi
kelayakan) tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan musyarakah kecuali ada persetujuan dari seluruh mitra musyawarah.
b. Pengukuran bagian bank atas pembiayaan musyarakah setelah akad
1. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah permanen dinilai sebesar
nilai historis (jumlah yang dibayarkan atau nilai wajar aktiva nonkas pada saat
penyerahan modal musyarakah) setelah
dikurangi dengan kerugian, apabila ada.
2. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah menurun dinilai sebesar nilai
historis sesudah dikurangi dengan bagian pembiayaan bank yang telah
dikembalikan oleh mitra (yaitu sebesar harga jual yang wajar) dan kerugian,
apabila ada. Selisih antara nilai historis dan nilai wajar bagian pembiayaan musyarakah yang dikembalikan diakui
sebagai keuntungan atau kerugian bank pada periode berjalan
3. Jika akad musyarakah yang belum jatuh tempo diakhiri dengan pengembalian
seluruh atau sebagian modal, maka selisih antara nilai historis dan nilai
pengembalian diakui sebagai laba atau rugi pada periode berjalan.
4. Pada saat akad diakhiri, pembiayaan musyarakah yang belum dikembalikan oleh
mitra diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada mitra.
c. Pengakuan laba atau rugi musyarakah
1. Laba pembiayaan musyarakah diakui sebesar bagian bank sesuai dengan nisbah yang disepakati atas hasil usaha musyarakah. Sedangkan rugi pembiayaan musyarakah diakui secara proporsional
sesuai dengan kontribusi modal.
2. Apabila pembiayaan musyarakah permanen melewati satu periode pelaporan, maka laba
diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati dan rugi diakui dalam periode
terjadinya kerugian tersebut dan mengurangi pembiayaan musyarakah.
3.
Apabila
pembiayaan musyarakah menurun
melewati satu periode pelaporan dan terdapat pengembalian sebagian atau seluruh
pembiayaan, maka laba diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah yang disepakati, dan rugi diakui
dalam periode terjadinya secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal dan
mengurangi pembiayaan musyarakah.
4. Pada saat akad diakhiri, laba belum
diterima bank dari pembiayaan musyarakah yang
masih performing diakui sebagai
piutang kepada mitra. Untuk pembiayaan musyarakah
yang non performing diakhiri maka
laba yang belum diterima bank tidak diakui tetapi diungkapkan dalam catatan
atas laporan keuangan.
5. Apabila terjadi rugi dalam musyarakah akibat kelalaian atau
kesalahan mitra pengelola usaha musyarakah,
maka rugi tersebut ditanggung oleh mitra pengelola usaha musyarakah. Rugi karena kelalaian mitra musyarakah tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal mitra pengelola
usaha, kecuali jika mitra mengganti kerugian tersebut dengan dana baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar